"Bukan aku yang jahat tapi kamu Sayang! kamu terus saja mengabaikan aku!" Emosi Arga memuncak. Lalita tertawa mendengar ucapan suaminya, dia menolak bukan tanpa sebab karena memang sang buah hati dalam fase pertumbuhan. "Kamu tau kan jika alasan aku menolak karena Arcello, aku lelah! tapi kamu malah di hotel dengan sekretaris itu!" Air mata Lalita mengalir, hatinya tergores akan ucapan Arga. Kerutan di kening Arga mulai kentara, pria itu menatap istrinya dengan lekat. "Aku memang di hotel tapi bukan sama sekretaris!" Pria itu menatap Lalita dengan tajam. "Bohong! mana mungkin ada orang pria booking kamar hotel sendiri kalau bukan membawa jalang!" Kata Lalita dengan keras. "Terserah kamu percaya apa nggak! lagipula aku menginap di hotel bukan tanpa alasan." Pria itu mencoba menahan emosinya. Lalita masih tak percaya dan lagi dia semakin memojokkan Arga sehingga pria itu menghela nafas dalam-dalam. Agaknya pria itu tidak mau mengerti keadaan istrinya sehingga dia memotong debat
"Pak Arga?"Lalita yang saat itu sedang memiliki janji bertemu pria yang akan dijodohkan dengannya nampak terkejut setelah tau apabila pasangan kencan butanya adalah CEO-nya sendiri."Kamu mengenalku?" Sang CEO bertanya heran.Wanita itu mengangguk, jelas dia mengenalnya. Arga Rahardi Winata adalah CEO di tempat dia bekerja."S-saya … OB di perusahaan Pak Arga,” jawabnya ragu.Tatapan pria itu semakin sinis dan dingin setelah tau wanita yang akan sang Kakek jodohkan dengannya adalah OB-nya sendiri.Suasana terlihat begitu canggung, Lalita semakin tak nyaman dengan sikap Arga yang tidak bersahabat.“Kamu menerima perjodohan ini karena harta kakek, kan?” Tatapan pria itu masih sinis, terlihat ada rasa benci akan wanita yang telah dijodohkan dengannya.Terkejut sebelumnya belum hilang kini dia harus kembali terkejut dengan kalimat CEO-nya itu.“Maaf, Pak … kelihatannya Anda salah paham terhadap saya.”Pria itu mendengus, sinis. “Bila bukan harta, apalagi yang wanita seperti kamu inginkan
“Selamat pagi, Pak!” Sapaan-sapaan yang terdengar kompak itu membuat Lalita yang sedang fokus membersihkan lantai lobi menghentikan pekerjaannya. Dia yang menggunakan seragam merah–seragam OB lantas memutar tubuh dan menemui rupanya … sang CEO telah datang. Melihat para satpam dan karyawan lain bersikap hormat, Lalita pun tidak mau kalah. Dia, dengan kain pel di tangan menunduk, hormat. “Selamat pagi, Pak Arga….” ujar Lalita pelan, kemudian kembali mengangkat pandangan. Di sanalah, pandangan mereka bertemu. Duk! Entah terkejut atau bagaimana, kaki Arga menabrak ember berisi air pel milik Lalita. Hal itu membuat air kotor di ember tersebut mencuat, dan bahkan beberapa cipratannya mengotori celana dan sepatu mengilap miliknya.Jantung Lalita serasa mau copot. Dia pun buru-buru berujar, meski gagap, “M-maafkan saya, Pak. S-saya akan bersihkan–” Lalita sudah bersiap untuk mengelap sepatu Arga yang terkena cipratan air, tetapi ketika dia berjongkok, Arga lebih dulu menghindar. Sel
“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga.Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tam
"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya." Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah m
Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m
“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
"Bukan aku yang jahat tapi kamu Sayang! kamu terus saja mengabaikan aku!" Emosi Arga memuncak. Lalita tertawa mendengar ucapan suaminya, dia menolak bukan tanpa sebab karena memang sang buah hati dalam fase pertumbuhan. "Kamu tau kan jika alasan aku menolak karena Arcello, aku lelah! tapi kamu malah di hotel dengan sekretaris itu!" Air mata Lalita mengalir, hatinya tergores akan ucapan Arga. Kerutan di kening Arga mulai kentara, pria itu menatap istrinya dengan lekat. "Aku memang di hotel tapi bukan sama sekretaris!" Pria itu menatap Lalita dengan tajam. "Bohong! mana mungkin ada orang pria booking kamar hotel sendiri kalau bukan membawa jalang!" Kata Lalita dengan keras. "Terserah kamu percaya apa nggak! lagipula aku menginap di hotel bukan tanpa alasan." Pria itu mencoba menahan emosinya. Lalita masih tak percaya dan lagi dia semakin memojokkan Arga sehingga pria itu menghela nafas dalam-dalam. Agaknya pria itu tidak mau mengerti keadaan istrinya sehingga dia memotong debat
Kian hari Arcello semakin mahir berjalan hingga membuat Lalita harus ekstra mengikuti langkah kaki anaknya. Wanita itu sengaja tidak mengekang Arcello, dia membebaskan sang anak yang ingin bermain diluar sambil mengasah kemampuan berjalan.Kemanapun sang anak pergi dia mengikutinya hingga dirinya begitu kelelahan. "Nyonya biar saya saja." Baby sitter meminta Lalita untuk istirahat. Dengan senang dia mengangguk. "Baiklah." Ujar Lalita lalu duduk. Namun baru saja meletakkan pantatnya, Arcello mendekatinya untuk mengajak bermain. Baby sitter yang kesian kepada Lalita berusaha membujuk Arcello tapi kelihatannya bayi itu hanya ingin ditemani oleh sang mama. "Ayo." Dengan menghela nafas Lalita mengikuti langkah kaki sang anak. Hingga siang Arcello masih ingin bermain di taman padahal Lalita sudah sangat lelah. Kelelahan mengurus Arcello membuat Lalita mengabaikan kedatangan Arga. Biasanya Lalita begitu manis ketika dia datang kali ini nampak cuek, bahkan istrinya masih menggun
Hati Kirana sangat sakit mendengar Revan mengucap kata cinta untuk Lili tapi keadaan mereka kini dalam keadaan yang darurat. Namun upaya penyelamatan itu tidak membuahkan hasil, mata Lili tetap menutup untuk selamanya. Revan menangis, kilatan ingatan bersama Lili teringat kembali. Tak bisa dipungkiri dia juga memiliki perasaan yang sama hanya saja rasa itu terus dia tekan karena tidak ingin menyakiti Kirana. Arga pun diberitahu perihal meninggalnya Lili, awalnya Arga tidak peduli tapi Lalita tentu sangat sedih bahkan saat pemakaman Lili wanita itu turut hadir. ##### Setelah menghadiri pemakaman Lili, Arga dan Lalita duduk bersama sang kakek di ruang keluarga. Pria tua itu juga sedih dengan apa yang menimpa Lili. "Kasian sebenarnya anak itu." Ujar kakek. Tak terasa waktu terus berlalu, Arcello kini telah bisa berjalan. Tentu hal ini Arga meminta baby sitter dan Lalita untuk siaga. Suatu ketika, saat Lalita dan Arcello di taman, ponselnya berbunyi. Melihat K
Damar tertawa mendengar ucapan Arga, mana mungkin dia ngidam. Dimana-mana yang ngidam itu wanita bukannya pria. "Anda ada-ada saja Pak, mana mungkin saya ngidam." Ujarnya sambil menggelengkan kepala heran dengan atasannya. "Mana mungkin pria hamil." Sambungnya kemudian. Damar lalu menghidupkan mesin mobil, dan cuitan Arga kembali dia dengar. "Bukan kamu tapi Kania." Mendadak pria itu menginjak rem, "Apa Pak?" Dia segera menatap ke belakang. Sementara itu Arga menatapnya kesal karena hampir saja kepalanya terbentur jok. "Mau aku pecat!" tatapannya tajam. Asisten itu terkekeh kemudian meminta maaf. Setelah masalah itu selesai dia kembali bertanya akan maksud Arga. "Tadi anda bilang Kania hamil?" "Iya, mungkin itu yang membuat kamu ngidam." Ujar Arga. Sepanjang jalan kembali ke kantor, Damar sangat senang, jika Kania benar hamil pastilah dia menjadi manusia terbahagia di dunia. Sepulang dari kantor, Damar bergegas keluar untuk pulang terlebih dahulu, dia melupa
"Entah Sayang, tiba-tiba aku mual." Ujar Damar sambil menutup mulutnya. Kania nampak mengerutkan alis, kilatan ingatan semalam datang. Dia masih ingat bagaimana sang suami menghajarnya dengan rasa nikmat di bathup semalam. "Pasti masuk angin, kamu sih Mas ngajak bercinta di kamar mandi kan gini Akibatnya." Kania mengelus punggung sang suami. Pria itu terkekeh lalu dia mengangguk membenarkan ucapan istrinya. "Bisa jadi." Ucapnya. Karena tidak mungkin memakan masakan istrinya, Damar memutuskan berangkat tanpa sarapan. Siang harinya Arga mengajak Damar untuk makan siang bersama, pria itu meminta sang asisten untuk pergi ke restoran langgananya. Hal aneh terjadi kembali, perut Damar kembali bergejolak ketika melihat makanan yang Arga pesan. "Kamu kenapa?" tanya Arga yang melihat gelagat asistennya. "Saya mual." Jawab Damar. Arga tentu mengerutkan alisnya, "Mual?" Katanya heran. "Iya Pak, mungkin saya sedang masuk angin, " sahut Damar. Tanpa memperdulikan asistennya
Malam itu Lalita dan Arga bersantai sejenak di balkon, mereka mengobrol random hingga obrolan mereka membahas Lili yang kini di rumah sakit. "Lili kasian ya Mas." Kata Lalita dengan menunjukkan raut sedihnya. "Tidak, itu balasan untuk wanita jahat sepertinya." Seketika raut wajah Arga berubah menjadi malas. "Sudahlah Sayang jangan bahas wanita setan itu!" Kekesalannya semakin bertambah. Lalita menghela nafas, tapi agaknya wanita itu belum mau menyudahi bahasan tentang Lili. "Bentar Mas satu lagi, bagaimana bisa teman kamu yang bertanggung jawab atas keadaan Lili? apa jangan-jangan anak Lili anak teman kamu?" Sambil membulatkan mata, Lalita menatap sang suami. Arga berdecak kesal, "Mana mungkin, Revan adalah orang yang setia sama seperti aku." Usai berucap demikian Arga justru tertawa, dia berbangga diri dengan mengklaim dirinya adalah pria yang setia. "Alah, setia apaan kadang masih jelalatan tuh mata lihat yang seger-seger!" Lalita kini yang kesal. Pria itu se
CEO itu segera bertindak, dia meminta dokter yang merawat Lili melakukan yang terbaik, bahkan bila perlu mendatangkan dokter profesional. Hingga sore datang, keadaan wanita itu tak ada perkembangan. Hingga Kirana dan Revan mulai putus asa. "Aku takut terjadi apa-apa dengannya Mas." Ujar Kirana dengan menangis. Revan menenangkan Kirana, dia mengatakan bahkan Lili akan baik baik saja. Karena keadaan Lili masih sama, Kirana dan Revan melihat anak mereka, saat itulah mereka berpapasan dengan Arga dan Lalita yang hendak memeriksakan anaknya. "Arga." Revan memanggil Arga. Mendengar namanya disebut Arga pun menoleh, "Revan." Dia memanggil balik. Revan segera mendekati Arga, dia nampak bersalah kepada Arga karena bagaimanapun juga Lili adalah sepupu Arga. "Siapa yang sakit?" Tanpa basa-basi Arga langsung to the point. Revan dan Kirana saling pandang, lalu kemudian dia bersuara. "Sepupu kamu Arga." Arga dan Lalita mengerutkan alis mereka. Sepupu? Nama Lili telah mereka lupa
Plak.... Sebuah tamparan mendarat di pipi Lili, Kirana yang merupakan wanita lemah lembut kini murka ketika Lili meminta suaminya. "Aku awalnya mengira jika seorang pelacur seorang wanita juga, mau menolong wanita lain tapi aku salah pelacur tetap lah pelacur yang ingin memiliki milik lelaki wanita lain." Dengan tatapan amarah Kirana menatap Lili. Sementara itu Lili justru tertawa, meski hatinya sangat perih akan ucapan Kirana. "Aku meminta suami padamu, kamu malah mengingatkan aku akan asalku, lantas bagaimana dengan dirimu Kirana yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, mengambil anak yang aku lahirkan dan setelah itu mendepakku." Kini gantian Lili yang meluapkan isi hatinya. Kirana terdiam seribu bahasa, dia tahu apa yang dia lakukan salah tapi semua sudah menjadi kesepakatan di awal. Seandainya Lili tidak setuju maka kesepakatan ini juga tak ada. Saat bersamaan, tangan Lili menegangi perutnya. Tiba-tiba dia merasakan sakit yang luar biasa. Wanita itu mengerang kesa
Pertanyaan Revan mendorong Lili untuk tertawa di tengah kesedihannya, ada apa? Revan bertanya ada apa? Perlahan Lili melemparkan tatapannya, menatap tajam kedua bola mata yang sudah menatapnya. "Sikapmu, perhatian kamu membuat aku tertawan Mas, mengetuk pintu hatiku dan memaksa aku mencintai kamu." Mendengar ungkapan hati Lili Revan memalingkan wajah, "Sudah aku bilang jangan main perasaan." Ucapnya pelan. Suara tawa Lili terdengar kembali, "Bagaimana aku nggak main perasaan Mas, kita sudah menyatu bahkan benih kamu berkembang di rahimku, setiap hari kamu memperlakukan aku sangat baik, sekarang katakan padaku, bagaimana caranya aku tidak main perasaan?" Air mata Lili perlahan menetes. Hatinya terasa sesak mendengar ucapan Revan. Pria itu terdiam akan kalimat Lili, dia tidak bisa menjawab atau berkomentar apapun karena semua yang Lili ungkap benar adanya. Di dalam lubuk hatinya yang paling jauh, tak bisa dipungkiri ada rasa cinta yang berusaha dia tekan untuk Lili lant