Kobaran semangat terpancar dari raut wajah Mila. Dia terlihat sangat yakin dengan rencananya, namun aku khawatir apa yang akan dilakukannya nanti malah akan menimbulkan masalah yang lebih runyam lagi.
"Kakak tenang aja, gak usah takut gitu," lanjut Mila, sepertinya dia tahu apa yang kucemaskan. "Aku yang akan tanggung semua resikonya. Kalau ada apa-apa, pokoknya aku yang maju ke depan. Ini semua sebagai bentuk permintaan maafku, karena telah merepotkan Kakak selama ini."
"Apa sih rencanamu? Jangan yang aneh-aneh, ah."
"Gini, Kak. Sekarang itu kan lagi jamannya review-review makanan gitu di internet, bahkan di hampir semua medsos suka ada yang bikin konten review makanan. Nah, aku mau nyuruh temenku beli seblak di warung Ayu, terus akan aku review jelek di Yutub! Udah gitu, aku juga akan review behind the scene pembuatan seblaknya di FB dengan cara nyebar foto-
"Mila ... Mila ...."Zaki memanggil nama adik iparku dengan nada menggoda, sesekali dia juga bersiul sambil matanya melihat ke arah pintu rumah, menunggu Mila datang.Aku langsung menghampiri Zaki sebelum dia berbuat keributan lebih jauh lagi. Semoga saja Bapak Mertua sudah tidur, jadi tak perlu ada ribut-ribut malam-malam begini, malu didengar tetangga."Ngapain kamu? Jangan ganggu orang, ini sudah malam. Sana pulang!" kataku dari teras rumah.Zaki malah menggerungkan motornya lebih kencang lagi. "Aku mau ngajak Mila jalan," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.Anak bandel!"Jangan ganggu Mila lagi!" tegasku."Ayolah, Kak Murni. Kayak gak pernah muda aja." Zaki menanggapi dengan santai."Masa muda saya
Setelah menjawab pertanyaanku, tukang foto langsung pamit. Aku pun semakin penasaran, timbangan apa gerangan? Mungkinkah Ayu tidak jujur dalam hal timbang-menimbang jualannya?Permasalahan klasik, beberapa pedagang yang curang selalu mengurangi timbangan demi mendapat keuntungan.Kuperhatikan terus warung Ayu, keributan itu kini berakhir. Bi Munah pulang dengan mulut bersungut, sepertinya permasalahan mereka belum selesai, karena terlihat wajah Bi Munah masih menggambarkan kekecewaan."Mur, beli telur sekilo!" kata Bi Saodah. Dia mengagetkanku dari depan warung. Beberapa hari lalu, kuingat dia marah padaku gara-gara catatan utang, dan dia bilang gak akan beli di warungku lagi. Tapi, rupanya kali ini dia datang belanja. Pasti ada sesuatu yang merubah pikirannya.Kubungkus sekilo telur, dan menyerahkannya pada Bi Saodah. Tetanggaku ini menerima sa
"Aduh, bagaimana ini? Mau dibuka, takut isinya macam-macam." Tanpa sadar aku bicara pada diri sendiri dengan suara yang cukup pelan."Apa itu?"Seseorang bertanya dari balik punggungku, suaranya aneh. Aku menoleh, dan ternyata Mila. Dia pakai masker, pantas saja suaranya beda seperti ada yang menghalangi, sampai-sampai aku tak mengenalinya."Mila! Kamu ngagetin aja," kataku refleks. "Ini lho, ada paket tapi gak nyantumin siapa pengirimnya.""Wah, paket misterius itu, Kak. Siapa yang antar?" tanyanya sembari melihat paket yang kupegang."Kurir ekspedisi resmi, kok. Tapi anehnya gak nyantumin nama. Mau kukejar kurirnya untuk minta penjelasan, eh dia sudah pergi."
"Yuli, Yuni, kalian berdiri di sini, jaga kuah dan bakso ini jangan sampai terlalu matang, sekalian tata mangkuk-mangkuk ini. Tepmpelkan cap-cap di tutupnya!"Aku memanggil kedua asistenku yang tengah menyiapkan bahan seblak dan bakso di sebelah kanan. Karena stand Ayu berada di samping kiriku, jadi aku harus bertukar tugas dan posisi dengan kedua asistenku agar Ayu tak dapat melihatku.Yuli dan Yuni langsung mengikuti perintah, dan kini aku bisa berdiri dengan leluasa, mengerjakan semua pekerjaan."Mbak Murni, itu yang di sebelah stand kita kok panik begitu?" tanya Yuli, menoleh padaku dengan berbisik."Sudah, kalian fokus dengan pekerjaan kita saja. Jangan pedulikan mereka, justru harus berhati-hati terutama sama yang perempuan," jawabku seraya menunjuk Ayu dengan kerlingan mata.Acara pun dimulai, tamu
"Hah? Enggak, ah!" jawab Mila setengah teriak.Tak lama, motor belok, kami sampai di depan rumah."Itu lho, Mil. Tadi kan Ayu juga jaga stand di sana, menunya jasuke sama seblak tulang. Tapi dia gagal menyajikan jasuke, karena jagungnya tiba-tiba hilang seperti ada yang nyuri atau nyembunyikan," ceritaku sambil turun dari motor.Mila menurunkan barang-barang, dan kami mengangkutnya ke dalam rumah."Enggak ah, Kak. Dari tadi pagi sepulang nganterin Kakak kan aku jaga warung. Ke gedung cuma nganterin Kakak aja pas subuh-subuh. Kita ke sana belum ada Ayu, kan. Jadi, kapan aku melakukannya, coba?" jawab Mila.Benar juga. Hari ini, meski aku jaga stand di gedung, tapi warungku tetap buka. Hanya saja, untuk menu seblak, pentol mercon, dan bakso kuah yamin terpaksa kuliburkan dulu karena tak ada yang bisa memasa
"Tenang, Mur. Kami ke sini numpang ngumpet aja, soalnya si Ayu lagi nyari-nyari kami," jawab Bi Saodah.Suara orang berjalan dengan cepat mulai terdengar menuju warungku. Melihat Bi Munah, Bi Saodah, dan Bi Rum yang tegang membuatku yakin kalau Ayu lah yang tengah mendekat ke sini."Lalu, kenapa kalian sembunyi begini, kenapa tidak dihadapi saja langsung, apa kalian takut?" tanyaku pada mereka."Bukannya takut, kami cuma mau ngerjain dia aja. Biarin dia keliling kampung nyari-nyari kami!" jawab Bi Munah.Mereka seperti anak kecil yang sedang main umpet. Bagaimanapun, aku tak mau terlibat dalam masalah ini."Saya mau keluar, mau masuk ke rumah. Nanti kalau dia ke sini dan lihat saya sama kalian, dia akan berpikir kita sekongkol," kataku, langsung melangkah ke luar warung. 
Jadi, Bapak sudah mengadukan Zaki ke kantor polisi. Bagus lah, semoga saja nama baik keluarga kami akan segera pulih, terutama Mila. Kasihan dia, statusnya yang janda membuat para lelaki iseng memanfaatkannya."Sebenarnya, saya gak tahu apakah Bu RT ini punya otak atau tidak," balasku. "Karena, kalau punya otak ... tak mungkin lah akan berkata seperti itu. Bilang keluarga saya baperan dan tukang lapor, dan perbuatan Zaki hanya iseng? Apakah anakmu itu tidak berpikir, kalau perbuatannya telah mempermalukan sekaligus mencemarkan nama baik keluarga kami, terutama Mila?! Bagaimana bisa perbuatan seperti itu dianggap iseng? Hanya orang yang tidak punya otak yang berpikiran seperti itu!"Aku membalas perkataan Bu RT dengan kasar. Sementata itu, dia hanya terdiam seribu bahasa, kehabisan kata untuk membalas perkataanku lagi.Tanpa pikir panjang, aku pun meninggalkannya. "Maaf, say
"Alhamdulillah ...."Aku mengucap syukur begitu mendengar kabar Zaki dibawa polisi. Berarti, polisi tanggap dalam menanggapi aduan Bapak Mertua. Mila juga tampak senang sekali, terlihat senyum lega merekah dari bibirnya."Lho, kok alhamdulillah?" tanya Mang Sidik."Nanti juga Mang Sidik akan tahu sendiri kenapa anak itu bisa ditangkap polisi," jawabku."Ya, dia memang suka bikin ulah, sih. Bandel. Saya kira karena kasus narkoba, anak sebandel dia bisa saja main barang haram itu.""Astaghfirulloh. Mamang jangan bicara begitu, di kampung kita gak ada yang mengkonsumsi begituan," kataku."Iya, kan itu hanyalah perkiraan saya saja tadi. Soalnya, waktu kapan gitu ... saya lupa tepatnya kapan, pokoknya tengah malam dia ngebut pakai motor, berhenti di pos depan itu sendirian dan lang