Share

Tangisan Ibu Mertua

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-13 20:49:53

Melihat Ibu Mertua nangis sesenggukan, aku jadi panik. Namun, tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk sambil meremas jemari tangan.

 

 

Aku merasa kasihan, tapi juga kesal karena Ibu Mertua salah paham dengan uang itu. Sama sekali aku tak memberikannya. Uang itu adalah uang yang dipinjam Mila dariku, dan Mila berkata bohong pada Ibu Mertua.

 

 

"Maaf, Bu. Tapi Ibu salah paham." Aku coba bicara padanya dengan pelan. Kusentuh bahunya agar dia sedikit tenang.

 

 

Langsung Ibu Mertua menepis tanganku dengan kasar. Lalu, wajahnya berpaling.

 

 

"Baru kali ini aku punya menantu yang tidak sopan sepertimu. Meminta kembali uang yang sudah dikasih untukku ... bukankah itu namanya tidak sopan?! Padahal, aku tak pernah minta jatah bulanan pada suamimu—anak kandungku sendiri. Kubiarkan semua uangnya untukmu, tapi kamu ... sekalinya ngasih uang, dan itu pun cuma uang lima ratus ribu saja dipinta lagi! Perhitungan sekali!" kata Ibu Mertua dalam tangisnya.

 

 

Tak ada cara lain selain menjelaskan kesalahpahaman ini. Meski dengan perasaan takut, aku coba bicara bahwa uang itu adalah uang yang dipinjam Mila kemarin, dan Ibu juga tahu karena Ibu yang mengantar Mila ke rumahku.

 

 

Namun, setelah kujelaskan, Ibu Mertua tetap keukeuh dengan pikirannya.

 

 

"Enggak! Mila bilang, kamu nitip uang ini untuk Ibu!" bantahnya, setelah kujelaskan.

 

 

Ah, kenapa aku merasa akulah 'penjahatnya' di sini? Padahal, aku ini korban sikap keterlaluan Mila. 

 

 

Haruskah tetap kutagih uang itu dari Ibu Mertua? Bagaimana nanti jika dia memusuhiku gara-gara uang lima ratus ribu, kan lucu? Apalagi dia mertuaku sendiri. Tapi, aku juga butuh ....

 

 

Ibu Mertua mengeluarkan dompet dari saku gamisnya, dan mengepal dompet itu erat-erat. Lalu dia terisak lagi.

 

 

"Dulu, sebelum nikah sama kamu, banyak sekali perempuan yang mendekati Dasep. Mereka orang kaya , anak juragan semua. Tapi, Dasep malah milih kamu yang cuma anak tukang warung di terminal! Waktu itu, Ibu merestui kalian karena Ibu sayang sama Dasep. Dan akhirnya kamu jadi mantuku. Tapi, lihat sekarang, kamu jadi menantu yang tidak sopan dan perhitungan. Tahu begitu, Ibu dulu gak akan restuin kamu. Biar Dasep nikah sama anak orang kaya aja!" gerutu Ibu Mertua dalam tangisnya.

 

 

Mulutku terbuka hendak bicara, namun rasanya kaku. Aku hanya bisa terpaku. Tak pernah sebelumnya, dia bicara sekasar ini, apalagi menyinggung asal-usulku. Selama ini, dia selalu baik dan lembut. 

 

 

Semoga saja, barusan aku salah dengar.

 

 

 

"Nih!" Ibu Mertua membuka dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribu, menyerahkannya padaku. 

 

 

Aku pun mengulurkan tangan hendak mengambil uang itu, meski hatiku tak enak. Namun, baru saja kuulurkan tangan, Ibu Mertua berkata lagi.

 

 

"Ambil saja uang ini. Tapi ingat, kamu akan kuwalat kalau pelit sama orangtua."

 

 

Mendengarnya, aku kaget. Kutarik lagi tanganku. "Maaf, Bu. Sepertinya, aku sudah tidak butuh uang itu lagi. Simpan untuk Ibu saja," kataku.

 

 

Sungguh, aku tidak ingin menjadi menantu durhaka. Jangan sampai karena uang lima ratus ribu, aku kehilangan doa dan kasih sayang mertua. Bagaimana pun, mereka adalah pengganti kedua orangtua bagiku yang sudah yatim piatu sejak SMA ini.

 

 

"Jadilah menantu yang baik, maka mertuamu akan selalu mendoakanmu," kata Ibu Mertua. Dia menyimpan uang itu kembali ke dalam dompet.

 

 

Bukan hanya kali ini, sejak pertama menjadi menantunya pun, Ibu Mertua selalu memberikan nasihat itu padaku.

 

 

"Iya, Bu. Maaf, ya. Sebenarnya ini hanya salah paham. Tapi sudahlah, biar uang itu buat Ibu saja," balasku.

 

 

*

 

 

Pulang dengan membawa rasa kecewa, kakiku berasa tidak menapak ke tanah. Sambil berjalan, kuhitung sisa uang yang tersisa di dompet. Hanya ada dua ratus ribu rupiah. Aku harus putar otak untuk menjadikan uang ini menghasilkan keuntungan yang banyak. 

 

 

Ya, uang inilah satu-satunya harapanku untuk kembali berjualan. Sangat sedikit, kalau pun kujadikan modal, untung yang kuhasilkan tak akan seberapa. 

 

 

"Warungmu tutup, Mur?" 

 

 

Aku berpapasan dengan tetangga, sepertinya dia hendak belanja.

 

 

"Iya," jawabku.

 

 

"Aduh, kok tutup sih. Tahu sendiri kan ke pasar jauh, mana warung cuma ada dua, lagi ..." katanya.

 

 

"Barang dagangan saya lagi kosong, Bi." 

 

 

Maklum, aku baru membuka usaha warung jadi barang daganganku masih sedikit, alakadarnya—belum seperti warung-warung gedean. Dan barang dagangan yang tak seberapa itu, malah dipindahkan Mila ke warung Ibu Mertua.

 

 

"Ini aku mau ke warung mertuamu aja. Repot ya tinggal di sini, mau belanja aja harus nyari-nyari warung. Rasanya ingin pindah ke kota, deh." 

 

 

Kampungku memang di pelosok. Hampir semua warga berprofesi sebagai petani. 

 

 

Dari sini, pasar sangat jauh, sementara warung pun hanya beberapa. Itulah sebabnya, warga bergantung pada warung tradisional untuk menyediakan kebutuhan mereka.

 

 

Usaha warung memang menjanjikan di sini. Apalagi untukku yang hanya lulusan SMK dan ibu rumah tangga.

 

 

Kembali kupikir akan dibelanjakan apa sisa uangku ini. Sepanjang jalan menuju rumah aku tak menemukan jawaban.

 

 

"Bi, beli permen!" seru seorang anak kecil ketika aku hendak membuka pintu rumah.

 

 

Aku mendekati anak itu, namanya Hasan. "Mau berapa biji?" tanyaku.

 

 

"Beli dua ribu," jawabnya.

 

 

Kubuka pintu warung, lalu menuju meja jajanan anak-anak. Alhamdulillah, stok lengkap. Mila tidak membawa jajanan anak-anak ini.

 

 

Segera kuberikan permen pada Hasan. Dia membayar dengan uang lima ribu, aku memberikan kembalian tiga ribu.

 

 

"Bi, kembaliannya jajanin aja," kata Hasan.

 

 

"Loh, kok dihabisin, nanti ibumu marah."

 

 

"Jajanin makroni basah aja," lanjutnya.

 

 

Aku mengernyit. "Hah? Bi Murni kan gak jualan makroni basah," jawabku.

 

 

Mendadak, teman-teman Hasan menghampiri. Mereka juga menyerukan ingin membeli makaroni basah, tapi aku memang selama ini tak berjualan jajanan itu.

 

 

"Yaah ... padahal jajanan itu enak," kata mereka.

 

 

Tiba-tiba tercetus ide dalam otakku! Jualan makroni basah dan kering sepertinya akan laku, modal dua ratus ribu dari sisa uangku ini akan cukup. 

 

 

Ditambah lagi, hari ini tanah luas di depan rumahku sudah dipasangi net dan juga gawang bola oleh pemuda desa—dijadikan tempat main voly dan sepak bola alakadarnya, untuk tempat bermain anak-anak. Sudah pasti nanti di sini akan ramai anak-anak. Jualan jajanan anak pasti akan laku.

 

 

"Ya sudah, Bi Murni janji, besok pasti kalian bisa jajan makroni di sini," kataku. "Kalian harus jajan, ya ...."

 

 

Anak-anak kecil usia kelas empat SD itu loncat kegirangan.

 

 

Tak terasa senyumku mengembang. Alhamdulillah, pertolongan Alloh selalu datang saat dibutuhkan. Dengan uang dua ratus ribu ini, aku sudah ada ide untuk berjualan besok.

 

 

*

 

 

"Jadi, tadi kamu datangi Mila?"

 

 

"Iya, Mas. Dia kok jadi berubah sikap ya, Mas. Tidak sopan, gitu," jawabku.

 

 

Malam hari, seperti biasa aku dan Mas Dasep ngobrol dulu sebelum tidur. Aku bercerita tentang Mila dan Ibu, juga kesalahpahaman yang terjadi gara-gara ulah Mila.

 

 

"Kan sudah kuperingatkan berulangkali, Mila dan Ibu itu jangan terlalu digubris. Mereka sebenarnya gak suka sama kamu sejak lam—"

 

 

Tiba-tiba Mas Dasep menghentikan bicaranya, sepertinya dia keceplosan.

 

 

"Sejak lama kan, Mas?" Aku melanjutkan kata-kata suamiku itu.

 

 

"Maaf, Murni. Mas gak bermaksud ...."

 

 

"Mungkin sebelumnya aku tak menyadari hal itu, Mas. Tapi sekarang aku mengerti, karena Ibu pun mengungkit masalah itu tadi ... tentang perempuan-perempuan yang pernah mendekatimu," kataku.

 

 

"Apa, Mur? Ibu bilang apa?"

 

 

"Ah, sudahlah, Mas. Tidak apa-apa, kok." 

 

 

Aku jadi tak ingin menceritakannya, karena Mas Dasep sepertinya marah.

 

 

Hening beberapa saat di antara kami. Salahku, harusnya tak membicarakan perihal perempuan lain. Mas Dasep sangat tak suka itu.

 

 

"Besok Mas akan nagih uangmu. Biar aku bicara sama Ibu," kata Mas Dasep pada akhirnya, memecah keheningan di antara kami.

 

 

Aku menahannya, "jangan, Mas. Tadi Ibu menangis ...."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ela Suryatina
bikin emosi..
goodnovel comment avatar
Deandra Adellia
cerita tolol
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
mertua jahat ....julid
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Merelakan Utang Mertua

    "Nangis?" Mas Dasep mengernyit.Aku menceritakan kejadian saat Ibu menangis, dan apa saja yang dikatakannya."Akhirnya, kuberikan saja uang itu untuk Ibu, Mas. Kasihan dia," kataku.Namun, bukannya merasa iba, Mas Dasep malah geleng-geleng kepala."Kamu ini, Mur .... Gampang banget dibikin kasihan sama orang," respon Mas Dasep. "Pasti kamu gak sadar kan, kalau Ibu hanya akting?""Entah akting atau bukan. Yang jelas, aku gak mau kalau sampai kehilangan doa dari Ibu. Dia bilang, kalau pelit sama orangtua bisa kuwalat," jawabku.Mas Dasep mengembus napas kasar. "Itu namanya menggertak, Murni," katanya. "Duh,begitu aja gak ngerti."Aku dapat me

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-13
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Bayar Utang Tapi Bohong

    Aku menajamkan pandangan, melihat wajah siapa di balik jilbab bergo berwarna hitam itu. Lesung pipinya saat tersenyum mengingatkanku pada seseorang."Bi Tika, ya?" tebakku tiba-tiba.Senyumnya semakin mengembang. "Rupanya kamu masih ingat sama aku, Mur!" balasnya.Bi Tika adalah tetanggaku dulu, sebelum dia pindah rumah setahun lalu. Dia tetangga yang lumayan merepotkan. Hampir setiap hari pasti mengetuk pintu rumahku hanya untuk minta sesendok garam, gula, beberapa biji bawang, bahkan kadang beras dan sayuran. Listrik di rumahnya saat itu juga dialiri dari rumahku, aku dan Mas Dasep kasihan karena dia seorang janda dengan tiga orang anak yang masih kecil. Waktu itu, Bi Tika tidak bekerja dan menjanda selepas suaminya meninggal dunia."Tentu saja, sama tetangga sendiri masa tidak ingat," jawabku.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Kemana Nama Baik Suamiku?

    "Kok kamu gitu sih, Mil? Kalau mau bayar utang ya bayar aja, jangan hubung-hubungkan dengan sisa uangku."Mulut ini terasa gatal ingin mengatakan hal itu pada Mila, tapi kedatangan Bapak Mertua yang mengendarai motor membuatku urung melontarkan kalimat itu.Mata Mila terbelalak seperti orang kepergok saat melihat Bapak Mertua turun dari motor dan menghampiri kami. Kemudian Mila meraih tanganku, dan menyerahkan keresek berisi jagung padaku."Nih, aku mau pulang!" katanya setengah berbisik, buru-buru sekali.Bapak Mertua melihat Mila yang pergi tergesa menaiki motornya. "Dia kenapa, Mur?" tanyanya padaku."Gak tahu, Pak.""Ada-ada aja anak itu," gumam Bapak Mertua. "Oh ya, kamu udah terima jagu

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-24
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Keputusan Suamiku

    Tangan Mas Dasep sudah mengepal, otot-otot lengannya menegang kencang saat kutahan dia agar tak jadi pergi.Mas Dasep terbakar amarah. Aku mengerti bagaimana perkataan Bapak tadi sangat menyakitkan bagi suamiku ini. Wajah yang berubah merah padam dan ekspresi menakutkan, menguatkan hatiku untuk berani menghadapi kemarahan Mas Dasep.Mas Dasep marah terhadap Mila dan Husni, tapi api kemarahannya itu bisa membakar semua anggota keluarga yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Untuk itulah, aku harus berani menghadapi kemarahan Mas Dasep saat ini.Seperti halnya suamiku itu selalu menenangkanku saat aku menangis, maka aku pun harus bisa menenangkannya saat dia marah.Mas Dasep mewarisi emosi Bapak Mertua, dia akan marah semenakutkan saat Bapak Mertua marah. Jika Mas Dasep bicara dalam kead

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-24
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Mila Dapat Balasan?

    "Kamu bisa berpikir untuk menjaga hubungan semua orang, itu hal yang baik. Tapi aku aku tetap harus bicara pada Bapak. Ini tentang harga diri."Itulah yang diucapkan Mas Dasep sesaat sebelum dia pergi.*Selesai salat magrib, aku kembali menjaga warung. Hatiku tak tenang karena Mas Dasep belum juga pulang dari rumah Bapak.Tak sengaja, aku menyentuh cincin pernikahan yang melingkar di jari manis. Cincin yang sudah kupakai selama delapan tahun. Meski dalam kondisi keuangan sulit pun, aku tak pernah berpikir untuk menjualnya. Karena, bagiku cincin ini sangat berharga dan menyimpan banyak kenangan.Pernikahanku dengan Mas Dasep terbilang bahagia, kami hampir tak punya masalah meski hidup pas-pasan dan masih mengontrak. Ujian rumahtanggaku ha

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Pesan Mas Dasep

    "Mending kamu pulang, Mil. Sudah malam.""Ngusir nih, ceritanya!" balasnya ketus seraya memakai helm dan menaiki motor.Kelakuan adik iparku itu membuat geleng-geleng kepala. Untung aku masih punya stok sabar yang cukup.*Jam 9 malam.Aku masih berjaga di warung sambil menunggu Mas Dasep datang. Pesanan jagung terus kuterima, dan kali ini aku tengah membakar pesanan jagung terakhir.Saat hendak membungkus jagung bakar, kudengar motor butut suamiku parkir di pinggir rumah. Sejenak kemudian mesin motornya berhenti, sepertinya suamiku itu masuk lewat pintu belakang."Sudah jadi, Mur?" tanya Mang Jaka yang sedari tadi duduk di bang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Bau Hangus Tengah Malam

    "Kenapa, Mas?" tanyaku."Kemarin, untuk pertama kalinya Mas ngasih Ibu uang. Jadi, seharusnya Ibu tak akan meminjam lagi. Kalau Ibu sampai pinjam, berarti dia iseng," jawab Mas Dasep.Aku mengangguk. Lalu mengajak Mas Dasep ke warung menemaniku memasak. Azan subuh masih cukup lama, aku ingin ngobrol dulu dengannya sebentar."Barang-barang dagangan ini pemberian Bi Tika, Mas. Kemarin aku mau cerita. Tapi, Mas buru-buru ke rumah Bapak dan pulang malam," kataku begitu tiba di warung.Aku tak ingin Mas Dasep salah paham dan mengira uangku masih cukup banyak setelah kemarin menagih ke Ibu."Bi Tika yang dulunya tetangga kita?" tanya Mas Dasep sambil membantuku memarut tiga buah jagung berukuran besar untuk dijadikan puding.&n

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Siapa Pelakunya?

    "Mur! Bangun!"Jendela semakin digedor kencang. Bi Siti—tetangga belakang rumahku—berdiri di sana dengan muka panik begitu aku membuka gorden."Cepat keluar!" katanya. "Kamu ini dikasih tahu ada api, tapi diam saja!"Bi Siti memberikan kode dengan tangannya, agar aku segera mengikutinya ke belakang rumah.Sudah ada Bi Siti dan suaminya di belakang rumahku, juga Mas Dasep. Rupanya suamiku itu gercep, begitu mencium bau hangus langsung lari ke belakang.Mereka terlihat syok melihat gundukan jagung bakar, singkong, ubi, dan pisang yang hangus terbakar di sana. Dinding belakang rumah tampak menghitam, rupanya api belum sempat meluluhlantakkannya. Dan pintu belakang juga hangus sebagian, untung tidak sampai membuat hancur.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25

Bab terbaru

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Miskin

    “Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Ayu Menjadi Gila

    Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tinju, Tongkat, Hingga Golok!

    "Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Yang Datang Kembali

    "Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Dipandang Rendah

    "Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Oh, Ternyata

    Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tabayun

    "Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Tamu yang Mencariku

    "Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.

  • Hartaku Unlimited (Mereka Ingin Membuatku Miskin)   Pesan Yang Terhapus

    "Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status