"Mur! Bangun!"Jendela semakin digedor kencang. Bi Siti—tetangga belakang rumahku—berdiri di sana dengan muka panik begitu aku membuka gorden."Cepat keluar!" katanya. "Kamu ini dikasih tahu ada api, tapi diam saja!"Bi Siti memberikan kode dengan tangannya, agar aku segera mengikutinya ke belakang rumah.Sudah ada Bi Siti dan suaminya di belakang rumahku, juga Mas Dasep. Rupanya suamiku itu gercep, begitu mencium bau hangus langsung lari ke belakang.Mereka terlihat syok melihat gundukan jagung bakar, singkong, ubi, dan pisang yang hangus terbakar di sana. Dinding belakang rumah tampak menghitam, rupanya api belum sempat meluluhlantakkannya. Dan pintu belakang juga hangus sebagian, untung tidak sampai membuat hancur.
Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan saat kutanyai, seperti salah tingkah."Itu suami saya baru mau melapor," lanjutku.Mbak Ayu mengusap-usap sikunya, "ya tadi saya lewat belakang rumahmu, dan lihat ada hangus-hangus gitu," jawab Mbak Ayu.Kuperhatikan terus gerak-gerik Mbak Ayu, dan sepertinya dia mulai tak nyaman."Mbak Mur, saya ke sini mau memperkenalkan diri, karena saya warga baru di sini. Gak ada maksud lain, jadi tolong tatapannya jangan aneh begitu," lanjut Mbak Ayu. "Oh iya, dari awal saya pindah ke sini, saya sudah niat jual bebakaran. Seperti sosis bakar, bakso bakar, burger, termasuk jagung bakar. Jadi, nanti kalau jualan kita sama, Mbak jangan nganggap saya niru-niru Mbak ya," kata Mbak Ayu.Ada tatapan aneh yang tersirat saat Mb
"Ya Alloh, lindungilah suamiku."Pada akhirnya, kupasrahkan keselamatan Mas Dasep pada Yang Maha Kuasa. Tak akan cukup waktu untuk terus memikirkannya. Aku harus segera memasak, berharap suamiku segera pulang dan makan dengan lahap."Assalamualaikum."Yang kunantikan telah pulang. Mas Dasep melongokkan kepalanya di pintu warung, mengejutkanku yang tengah memasak sup ayam untuknya."Masih masak di warung, kompor yang baru belum dipasang?" tanya Mas Dasep."Belum, Mas. Aku masih takut nyalain api di dapur belakang. Mas dari mana saja?""Tadi Mas langsung berangkat ke pabrik. Kan Mas sudah cerita, kalau pabrik dapat borongan, jadi bos gak izinkan libur karena banyak kerjaan. Lagian gak enak, uang bonu
"Mbak Ayu mau beli apa? Biar saya ambilkan," kataku. Pura-pura tak mengerti kalau dia hendak meniru apa saja yang kujual di sini."Nggak kok Mbak Mur, aku cuma mau lihat-lihat saja barang daganganmu. Soalnya, dari pagi kuperhatikan warga bolak-balik belanja ke warungmu, sudah pasti kamu jual yang mereka butuhkan, kan. Makanya, aku ke sini mau ngecek Mbak Mur jual apa aja biar aku juga ikutan jual di warungku " jawabnya.Rasanya aneh melihat senyuman di raut wajah Ayu yang jutek."Bukannya barang dagangan Mbak Ayu lebih banyak, ya? sindirku halus."Ya banyak sih, tapi kupikir barang dagangan kita beda. Soalnya kok warungku sepi banget. Ternyata, semua yang kamu jual di sini, aku juga jual di warungku. Tapi, kok kenapa mereka malah beli di warungmu, ya?" katanya.
"Ibu-Ibu arisan di RT-ku, Kak ... mereka ghibahin aku!" jawab Mila sambil sesenggukan."Memangnya ghibah apa?""Mereka bilang, suamiku kerja di kota, kerjanya proyekan, banyak uangnya, tapi kok aku masih ngontrak! Harusnya aku sudah punya rumah sendiri, begitu kata mereka, Kak ....""Ya, kamu kan baru menikah dua tahun, wajar kalau masih mengontrak," kataku, coba menenangkannya. "Kakak juga sudah delapan tahun menikah tapi belum punya rumah sendiri. Tapi, Kakak biasa aja, gak musingin omongan orang. Yang penting rumah tangga Kakak bahagia walau mengontrak.""Itu kan Kakak! Kakak kan gak tahu malu, tapi kalau aku malu digituin! Bahkan, mereka gak mempercayaiku, Kak. Mereka bilang, aku berbohong tentang pekerjaan Kang Husni. Mereka menyangka Kang Husni di kota hanya jadi supir pribadi orang kaya sa
Siapa sangka, begitu pertanyaan terlontar dari mulutku, Mas Dasep langsung melahap semua jagung bakarnya. Hingga mulutnya penuh saat mengunyah, pipinya menggembung."Jagung ini enak, Mur. Bumbunya juga meresap, Mas baru kali ini makan jagung bakar dengan bumbu seperti ini. Mungkin ini bumbu racikan kota, di sini belum ada. Pantas, orang-orang pada beli," jawab Mas Dasep."Mas lupa ya, itu jagung bakar siapa? Yang jual, kemarin malam mau bakar rumah kita lho!" kataku.Jujur, aku cemburu. Tapi, Mas Dasep orangnya objektif. Enak dia bilang enak, gak enak dia bilang gak enak. Sesuai kenyataan aja.Hanya saja, sebagai seorang istri ada perasaan tertentu ketika suami lebih memuji masakan perempuan lain dibandingkan masakan istrinya sendiri, meskipun ini hanya masalah jualan jagung bakar.
"Astaghfirullohaladzim. Ada apa ini, Mila? Kok kamu ngatain aku seperti itu?"Untung saja kompor sudah kumatikan, karena ternyata Ibu Mertua langsung menarik tanganku, dia mengajakku masuk ke rumah. "Jangan di sini, malu dilihat tetangga," katanya, dengan nada yang ditahan."Murni, kenapa kamu perhitungan sama adik ipar sendiri? Tadi Mila minjam uang, tapi kamu bilang gak mau kasih pinjam karena utang Mila yang kemarin saja belum dibayar, begitu?" tanya Ibu Mertua begitu kami di dalam rumah."Bukan aku yang ngomong begitu, Bu. Tapi Mas Dasep," jawabku."Mila bilang, kamu yang ngomong begitu!" serang Ibu Mertua.Aku melihat ke Mila, dia melipat tangan di dada sambil melihatku dengan tatapan kebencian. "Mila, kenapa kamu berkata bohon
"Ajak-ajak dong, Mbak Mur. Siapa tahu dukunnya juga cocok di saya," lanjutnya.Aku hanya bisa 'melongo' melihat tingkah lakunya. Apalagi, dia mengatakan itu dengan ekspresi yang menyebalkan."Maaf ya, Mbak Ayu. Saya gak pakai yang begituan. Kalau jualan saya laris, itu karena pembelinya yang suka dengan jualan saya," jawabku mencoba tetap tenang.Ayu malah menertawakan. "Jaman sekarang, jualan gak pakai penglaris itu mustahil. Apalagi, kali ini ada aku sebagai saingan, pasti Mbak Mur nambah lagi tuh dukunnya. Buktinya, kemarin jagung bakar Mbak Mur sepi, malam ini malah laris manis sampai-sampai pelanggan saya berbelok ke sini.""Astaghfirulloh, kenapa Mbak Ayu ngomongnya seperti itu? Saya cari rejeki dengan cara halal, Mbak," jawabku.Ingin rasanya kuabaikan saja orang ini, tapi jika dibiarkan nanti dia mengira aku mengiyakan semua tuduhannya. Dan bisa saja dia menyebarkan gosip
“Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria
Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha
"Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur
"Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib
"Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan
Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M