"Siapa memangnya dia, Bu?"
Bukannya menjawab, Ibu Mertua malah semakin kencang menangis. "Pasti dia sudah berbuat macam-macam dengan lelaki itu. Kalau bapak mertuamu sampai tahu, Mila akan disiksa habis-habisan!" katanya. Rasa penasaranku semakin tinggi, namun aku juga tak bisa bertanya karena situasinya tak memungkinkan. Ibu sangat terpukul. "Kamu jangan tanya dia siapa. Ibu bahkan tak sudi menyebut namanya!" kata Ibu dengan sedikit berteriak. Dari luar rumah, terdengar suara motor, aku keluar untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Mila. Segera aku kembali ke kamar untuk memberitahu Ibu Mertua. "Bu, Mila sudah pulang. Ayo kita keluar dari sini. Simpan HP nya di tempat semula," kataku. Kami buru-buru keluar kamar dan menyimpan HP Mila di atas kasur. Dalam keadaan masih terpukul, Ibu sedikit berlari menuju kamarku sambil menarik tanganku. "Sana kamu ke warung, tad"Dia anak lelakiku, yang dikejar-kejar Mila adik iparmu itu! Dasar kecentilan saja tuh si Mila ngebet banget sama Zaki," kata Bu RT.Otomatis aku mati kutu begitu Bu RT bilang seperti itu. Kulihat Zaki melempar senyum padaku, namun entah mengapa aku menangkapnya sebagai ejekan."Kalau kamu mau sebar bukti tentang kami, kami pun akan sebar bukti aib adik iparmu itu! Zaki punya kartu As nya!" celetuk Ayu."Semua foto-foto dan video Mila ada di tangan Zaki. Jadi, kamu jangan macam-macam, Mbak Murni. Ya, kecuali kalau kamu memang ingin keluarga besarmu dipermalukan!" timpal Bu RT.Dugaanku pasti benar, selama berhubungan dengan Zaki lewat HP, Mila pasti banyak mengirimkan foto dan video pribadinya kepada lelaki itu. Astaghfirullah, kelakuannya bikin malu saja. Kalau begini, aku jadi tak bisa menjawab gertakan Ayu dan Bu RT, kan! Rasa malu sudah tergambar jelas di wajahku ini, mulutku pun terkunci
"Ampun, Pak! Ampun!" teriak Mila. Dia berjongkok sambil menangkupkan kedua tangan di dada memohon belas kasihan Bapak Mertua.Namun Bapak seolah tak peduli dan tak mendengar, dia termakan amarah dan terus menyirami Mila. Bahkan, kini menjambak rambutnya."Sakit, Pak!" rintih Mila."Ampun! Ampuni aku!"Mila terus memohon namun tak berarti apa-apa. Bapak tak mau mengampuni dan terus menyirami Mila. Tubuh Mila sudah basah seluruhnya. Tak cukup dengan menyirami saja, Bapak kini mengambil gunting dari kotak yang terpajang di dinding kamar mandi, kemudian Bapak mengguntingi rambut Mila dengan penuh amarah."Jangan, Pak! Jangan gunting rambutku, jangan! Ampun! Bu, tolong!" kata Mila, memohon pada Bapak dan minta tolong pada Ibu."Eling, Pak! Ada apa ini?!" Ibu Mertua yang sejak tadi melihat dengan panik, kini angkat bicara. Ibu sama bingungnya denganku yang tak mengerti sikap Bapak.
Astaghfirlloh, astaghfirulloh ....Pantas saja Bapak Mertua mengamuk, pasti gara-gara foto ini. Bapak memang tidak masuk aanggota grup WA, tapi pasti ada seseorang yang memberitahunya."Itu Mur, aib yang kumaksud," kata Mang Jaka. "Lain kali, kontrol lah pergaulan si Mila. Meresahkan begitu kelakuannya, bisa-bisa dia jadi contoh yang gak bener buat anak muda di kampung ini. Kan, kalau ini sampai tersebar luas di internet, kita sekampung bakal malu karena ada warganya yang kelakuannya begini."Mang Jaka mendadak berkata sinis seperti itu, aku memaklumi karena siapa pun pasti akan merasa jengkel dan marah dengan kelakuan Mila."Kira-kira, siapa ya yang nyebarin foto-foto ini? Ini kan foto pribadi, jahat banget yang nyebarin," kataku, mencoba sedikit membela Mila untuk menjaga harga dirinya. Bagaimana pun, Mila adalah korban."Halah, malah nyalahin orang lain. Jelas si Mila yang salah, kalau dia tak berfoto seperti itu, tidak akan
Segera kututup warung sesuai perintah Bapak. Dia sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah."Kia, kamu di kamar dulu sama Abiyyu ya. Tadi saya sudah telepon Bibi di Desa Sindang, dia sudah bilang pada nenekmu kalau malam ini kamu akan menginap di sini."Kutitipkan Abiyyu pada Azkia sementara aku bicara serius dengan Bapak Mertua. Ibu menemani Mila di kamarnya, adik iparku itu sudah terbebas dari hukuman Bapak sejak habis Isya tadi.Tak lupa kubuatkan kopi hitam panas kesukaan Bapak, kami kini duduk berhadapan. Bapak memasang wajah serius. "Karena perselisihan Kakek Buyut yang belum selesai, akhirnya keturununannya lah yang harus menanggung akibatnya. Ini semua harus jadi pelajaran hidup untuk kalian. Nanti kalau suamimu sudah pulang, ceritakanlah masalah ini padanya," kata Bapak padaku, dia menghentikan bicaranya sejenak demi menyeruput kopin
Bapak membuang muka, seakan tak mau melihat lagi wajah anak perempuannya itu. Namun, Mila bersikeras mendekati Bapak, dia bilang ingin menjelaskan semuanya. Ibu dengan raut wajah sedihnya menuntun Mila duduk di hadapan Bapak."Dengarkan dulu anak kita bicara, Pak," kata Ibu, membujuk Bapak yang pandangannya tak juga tertuju pada Mila. "Beri dia kesempatan bicara, Ibu yakin kali ini Mila akan berkata yang sebenarnya."Sekeras apapun usaha Ibu membujuk, Bapak tetap tak mau melihat ke arah Mila. Jelas sekali Bapak masih marah dan kecewa. Hingga Bapak kini beranjak dari kursi, hendak pergi ke kamarnya, namun segera kupegang tangan Bapak. "Pak, Murni mohon, kita dengarkan penjelasan Mila. Siapa tahu dia memang tidak bersalah atas tersebarnya aib yang menjijikan itu. Kita sama-sama tahu, keluarga RT selalu punya cara untuk memfitnah kita. Jadi, ada baiknya kita bertabayun dulu dengan Mila," pintaku.
“Iya, Pak. Murni setuju. Sudah saatnya kita bertindak, karena fitnah mereka sudah terlalu keji dan ini termasuk pencemaran nama baik. Apalagi soal foto Mila yang diedit, tercoreng nama baik keluarga kita. Ditambah, semua perbuatan mereka juga benar-benar mempengaruhi jualanku, pelangganku kini ada yang kabur,” responku.“Bapak punya rencana apa? Jangan pakai acara bereklahi, Ibu takut!” kata Ibu. Dia masih merangkul Mila dan mengusap-usap bahunya.“Tidak, Bu. Bapak hanya akan mencari bukti kalau foto Mila itu benar-benar editan. Lalu akan Bapak cari tahu siapa pelakunya, dan kalau sudah ketemu ... akan Bapak bawa orang itu ke tanah lapang untuk ‘dipamerkan’ ke warga,” jawab Bapak dengan geramnya. “Besok, Bapak akan ke studio foto yang di pasar sana. Siapa tahu tukang fotonya mengerti soal foto ini.”“Zaki, Pak! Zaki pelakunya! D
“Astaghfirullahaladzim, Mila .... Kamu tahu gak, perbuatan kamu itu sudah membuat keributan dan masalah jadi tambah runyam! Sekarang, yang tidak suka sama Kakak jadi bertambah, bukan hanya keluarga RT saja tapi juga orang-orang yang namanya ada dalam catatan utang itu. Mereka merasa malu karena urusan utang-piutangnya diketahu publik, karena itulah mereka marah ke Kakak!”Karena tak bisa lagi bersikap sabar pada Mila, aku memarahinya pagi buta begini. Tapi ada yang beda kali ini, dia tidak menjawab ataupun melawan. Mila hanya tertunduk, sepertinya dia benar-benar bertobat dan menyadari kesalahannya.“Maaf, Kak. Aku gak tahu bakal seperti ini kejadiannya,” katanya.“Ya sudah pasti bakal begini. Waktu Zaki ngorek-ngorek tentang warungku, harusnya kamu mikir kalau dia melakukannya atas suruhan ibunya yang jelas-jelas ingin membuatku bangkrut! Kamu kan t
"Silakan, Mbak Ayu. Jualan bisa ditiru, tetapi rezeki tidak akan pernah bisa ditiru," jawabku.Kali ini, tak akan kubiarkan Ayu banyak bicara lagi. Ketenanganku sudah banyak diusik olehnya selama ini. Semut pun akan menggigit jika diinjak, begitupun aku."Kok ngejawab sih. Tumben, biasanya juga diem aja kalau ku panas-panasi," balasnya sambil berbalik arah dan melangkah pulang.Namun, sial bagi Ayu. Kakinya tersandung bangku depan warungku, hingga dia jatuh tersungkur. Ceker dan tulang ayam, serta barang belanjaan dalam kereseknya terlempar ke sembarang arah hingga isinya tercecer semua. Ayu jatuh dengan posisi telungkup, wajahnya menempel ke tanah. Saat dia bangun, seluruh wajahnya kotor penuh dengan tanah. Begitu pun bajunya.Aku tak kuasa menahan tawa, bahkan orang-orang yang kebetulan lewat pas kejadian pun jadi berhenti dan menertawak
“Enggak, Mas Dasep, Ayu gak sedang pura-pura. Sepertinya dia beneran gak waras!” kata Pak RT dengan nada dan ekspresi terkejut. “Lihat saja!”Pak RT menunjuk wajah Ayu, tatapan biang onar itu memang benar-benar kosong, tak terlihat seperti akting.Mas Dasep mendekat, diikuti semua warga mendekati Ayu yang masih tertawa cekikan tak jelas. Kurasa benar, Ayu tidak sedang berpura-pura.“Aduh, bagaimana ini? Sekarang tersangkanya malah tidak bisa ditanyai,” kata Bapak Mertua seakan bicara pada dirinya sendiri.Bapak dan Pak RT membangunkan Ayu hingga sekarang posisi Ayu berdiri, namun nampaknya Ayu lemas dia hampir terjatuh meskipun beberapa kali Bapak Mertua dan Pak RT membangunkannya.“Gimana nih nasib uang kita kalau tersangkanya gak waras kayak gini? Boro-boro minta ganti rugi, diajak ngobrol aja gak nyambung!” kata warga.“Sudahlah, kita berhenti bicara soal uang dulu. Yang terpenting sekarang bagaimana kita menenangkan Ayu!” jawab Bapak Mertua. “Lihat, dia terus berontak sambil teria
Kulihat Mas Dasep keluar dari arah dapur produksi dan berlari ke arah kerumunan. Refleks kakiku melangkah ke luar warung, mengejar Mas Dasep.“Ada apa ini, Mur? Kok pada bawa golok segala itu?” Rupanya, saking terlalu fokus di dapur produksi, Mas Dasep baru ‘ngeuh’ kalau Ayu sudah tertangkap.“Itu Ayu yang dibonceng Pak RT, Mas! Warga mau menghakiminya!” jawabku tak kalah panik. “Cepat hentikan mereka, Mas!”“Astaghfirulloh!”Mas Dasep langsung menerobos kerumunan hingga kini dia berada diantata Ayu dan Pak RT, menengahi pertikaian mereka dan warga.Satu orang maju mengacungkan tinju pada Ayu dan hendak saja memukulnya, namun ditahan oleh Mas Dasep. Tak berhenti sampai di situ, warga yang lain pun melakukan aksi serupa dan membuat Mas Dasep semakin kewalahan menghadapi mereka, bahkan kulihat Mas Dasep tak sanggup lagi menahan gejolak amarah warga.Tak lama kemudian, aku kesulitan menyaksikan lagi apa yang terjadi di kerumunan sana, karena warga yang berdesakkan dan tak mau diam mengha
"Minta tolong apa, Mbak?""Selama ini saya menghilang karena saya kabur-kaburan, saya dikejar-kejar pihak kepolisian, karena disangka telah membantu menyembunyikan Ayu. Padahal, selama ini saya sendiri tidak tahu kalau Ayu adalah buronan. Saya mengenalnya karena waktu itu tak sengaja bertemu di minimarket, dia minta tolong dicarikan rumah kontrakan dan akhirnya saya bantu. Saya juga lumayan sering mengunjunginya untuk memberinya sedikit makanan, karena kasihan dia mengaku diusir dari kampungnya dan hanya membawa pakaian yang menempel di badan. Saya juga bayarkan rumah kontrakannya yang di belakang minimarket itu," jelas Mbak Widi di telepon dengan panjang lebar."Kalau begitu, Mbak Widi gak perlu merasa takut. Jangan kabur lagi, kalau ditanyai polisi tinggal jelaskan saja seperti yang tadi Mbak jelaskan ke saya. Lagipula, polisi minta keterangan Mbak sebagai saksi, bukan sebagai tersangka," kataku. "Tetap saja, kalau di depan polisi saya pasti gugup. Saya sudah takut duluan, Mbak Mur
"Ya, Mas paham."Satu jawaban yang membuatku tenang. Mas Dasep kemudian membantuku mencetak adonan pentol. Kami menghabiskan waktu menjelang subuh bersama, mengobrol dan bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kampung dan keluargaku."Tapi, bagaimana mereka tahu tentang permasalahan kita dengan Pak Hendar ya, Mas?" tanyaku."Palingan juga dari Mang Sidik. Waktu ngurusin Aminah kan dia lumayan sering bolak-balik rumah kita, mungkin dia tak sengaja mendengar kita membahas Pak Hendar," jawab Mas Dasep."Bisa juga sih. Tapi apa iya Mang Sidik suka nyebar gosip? Rasanya tidak, Mas. Apa jangan-jangan Mang Kosim dan Mang Surya, yang waktu malam kemarin Pak Hendar bertamu ke sini mereka tengah ngobrol dengan Bapak dan Pak RT. Bisa jadi Mang Kosim dan Mang Surya mencuri dengar percakapan kita?""Entah. Sudahlah, tak penting siapa yang menyebar, tak penting orang-orang mau menggosipkanmu. Yang penting aku percaya padmau, iya kan?"Seulas senyum tersungging di bib
"Maaf, Bu Rosita, tolong ulangi sekali lagi perkataan Ibu barusan?" tanyaku dengan hati yang meletup karena kaget."Jangan pura-pura tak mendengar, Mbak Murni. Saya mengatakan dengan jelas, tadi," jawabnya sinis. Delikan matanya menyiratkan persaingan sengit terhadapku.Kucoba mengatur napas, untuk sedikit meredakan emosi yang mulai naik gara-gara pernyataan barusan."Bagaimana bisa Bu Rosita berpikir saya ada macam-macam dengan Pak Hendar, sementara Bu Rosita sendiri tahu saya ini sudah bersuami?" kataku."Memang, sudah bersuami. Tapi, jaman sekarang status perkawinan tidak jadi penghalamg untuk seseorang berbuat serong," balasnya."Maksudnya bicara begitu supaya apa, ya?" tanyaku, masih coba bersabar meladeninya."Supaya Mbak Murni jauh-jauh dari Pak Hendar. Saya sedang dalam proses penjajakan dengannya. Dan saya harap, Mbak Murni jangan jadi penghalang. Keluarlah dari kegiatan, jangan mau diajak jadi pemateri oleh Pak Hendar. Pokoknya, menjauh deh dari kehidupan kami!" jawabnya lan
Tak hanya Mas Dasep, aku pun mencemaskan hal yang sama. Jika Ayu bebas berkeliaran, dia akan semakin leluasa menjalankan misinya."Satu hal yang menjadi pertanyaanku, tentang ambisi Ayu untuk mengganggu kehidupanku. Kenapa dia sampai sejauh ini melakukannya padaku terus-menerus, sejak pertemuan kami yang pertama bahkan hingga saat ini? Dia bilang dendam. Ingin membuatku miskin dan ingin menghancurkan rumahtanggaku. Kenapa dia begitu benci padaku, Bu, Pak? Aku tak pernah sedikitpun menyakitinya." Aku bertanya pada kedua mertuaku yang sepertinya juga tak tahu jawabannya. Tampak Bapak dan Ibu saling melirik sekilas dengan ekspresi yang entah seperti apa, sulit kubaca. Namun, sepertinya mereka teringat sesuatu yang sudah jauh berlalu."Sudah jelas kan, awal mulanya karena saingan warung," jawab Ibu Mertua."Tapi kan semua sudah berlalu. Warung Ayu sudah lama bangkrut. Dia juga sudah pergi dari kampung ini. Tapi kenapa dendamnya masih awet? Kurasa, ada sesuatu yang lain.""Entahlah, Kak M
"Nah, itu orangnya datang, Mur. Cepat selesaikan masalahmu."Ibu Mertua yang telah mengetahui kesalahpahaman dengan Pak Hendar, lantas mengambilalih kukusan dari tanganku dan menyuruhku cepat-cepat ke ruang tamu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.Masih ada Pak RT dan tiga orang warga di ruang tamu, kini ditambah Pak Hendar. Aku menyapanya begitu sampai menemuinya.Mas Dasep juga tampak sudah menungguku dan langsung menyuruhku duduk di sampingnya."Tadi saya dikasihtahu tetangga, katanya Mas Dasep ke rumah cari-cari saya, ya? Tadi saya sedang ada seminar, jadi gak ada di rumah. Ada apa kiranya, Mas Dasep?" Pak Hendar mengawali pembicaraan."Begini, Pak Hendar. Sehari yang lalu, istri saya dapat paket berisi sepatu berhak tinggi, tas mahal, dan set make up lengkap dengan kuas-kuasnya. Saya kaget, kok ada yang mengirimi istri saya barang-barang seperti itu, secara istri saya ini kan orangnya tidak suka pakai-pakai begituan, seakan-akan orang yang mengirim ini ingin istri saya
"Ah, jangan iseng, Mur," keluh Mas Dasep, dia kecewa karena menganggapku berbohong."Tapi benar, Mas. Chat nya terhapus," jelasku dengan suara pelan.Lemas sudah rasanya, kecerobohanku berujung ketidakpercayaan dari suamiku. Kedua mataku mulai menghangat, rasanya lelah hati dan pikiran ini menghadapi situasi sekarang. Jika dulu aku banyak menelan fitnah dan tuduhan dari Ayu dan Bu RT tentang dukun penglaris, juga para warga yang sempat tidak percaya pada kejujuranku dalam berdagang, aku dapat menerima itu semua. Tapi, kali ini ketika Mas Dasep mempertanyakan kejujuranku, sungguh tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai suami sendiri.Rasanya lebih baik aku tak dipercaya orang lain ketimbang tak dipercaya suami."Kamu lagi sensitif, Dasep." Bapak Mertua menimpali."Mas kenapa seperti tak percaya padaku?" tanyaku."Sudahlah, Murni. Mas lelah, ingin istirahat dulu."Mas Dasep beranjak menuju rumah. Dari sikapnya, dia memang tak benar-benar menunjukkan sedang marah padaku.
"Kok ke sini, sih?" gumamku refleks. Tentu aku keberatan jika Aminah tinggal di kampung ini. Meski tak serumah, tapi pasti dia akan jadi biang masalah nantinya."Ya, yang kulihat, Aminah itu merasa aman kalau dekat Dasep," kata Mang Sidik. Rupanya dia mendengar gumamanku barusan."Mang Sidik mengerti kan apa yang saya khawatirkan?""Ngerti kok, Mur. Tapi jangan dulu berpikiran macam-macam. Bisa jadi Aminah hanya membutuhkan rasa aman saja, bukan berarti suka, terus mau mengambil hatinya Dasep.""Tetap saja meresahkan," jawabku. "Pantas saja istri Mang Sidik cemburu, saya bisa rasakan sendiri waktu Aminah menginap di sini.""Lho, memangnya kenapa harus cemburu? Aduh, perempuan suka ada-ada saja kelakuannya. Masa suami gak ngapa-ngapain aja cemburu?" komentar Mang Sidik. "Lagipula belum tentu dia jadi ngontrak di sini. Coba bayangkan, kalau dia ngontrak, siapa yang mau bayar kontrakannya? Aminah kan hanya ibu rumah tangga biasa, dia gak punya pekerjaan."Aku mengambil gelas bekas kopi M