Bapak membuang muka, seakan tak mau melihat lagi wajah anak perempuannya itu. Namun, Mila bersikeras mendekati Bapak, dia bilang ingin menjelaskan semuanya. Ibu dengan raut wajah sedihnya menuntun Mila duduk di hadapan Bapak.
"Dengarkan dulu anak kita bicara, Pak," kata Ibu, membujuk Bapak yang pandangannya tak juga tertuju pada Mila. "Beri dia kesempatan bicara, Ibu yakin kali ini Mila akan berkata yang sebenarnya."
Sekeras apapun usaha Ibu membujuk, Bapak tetap tak mau melihat ke arah Mila. Jelas sekali Bapak masih marah dan kecewa. Hingga Bapak kini beranjak dari kursi, hendak pergi ke kamarnya, namun segera kupegang tangan Bapak. "Pak, Murni mohon, kita dengarkan penjelasan Mila. Siapa tahu dia memang tidak bersalah atas tersebarnya aib yang menjijikan itu. Kita sama-sama tahu, keluarga RT selalu punya cara untuk memfitnah kita. Jadi, ada baiknya kita bertabayun dulu dengan Mila," pintaku.
“Iya, Pak. Murni setuju. Sudah saatnya kita bertindak, karena fitnah mereka sudah terlalu keji dan ini termasuk pencemaran nama baik. Apalagi soal foto Mila yang diedit, tercoreng nama baik keluarga kita. Ditambah, semua perbuatan mereka juga benar-benar mempengaruhi jualanku, pelangganku kini ada yang kabur,” responku.“Bapak punya rencana apa? Jangan pakai acara bereklahi, Ibu takut!” kata Ibu. Dia masih merangkul Mila dan mengusap-usap bahunya.“Tidak, Bu. Bapak hanya akan mencari bukti kalau foto Mila itu benar-benar editan. Lalu akan Bapak cari tahu siapa pelakunya, dan kalau sudah ketemu ... akan Bapak bawa orang itu ke tanah lapang untuk ‘dipamerkan’ ke warga,” jawab Bapak dengan geramnya. “Besok, Bapak akan ke studio foto yang di pasar sana. Siapa tahu tukang fotonya mengerti soal foto ini.”“Zaki, Pak! Zaki pelakunya! D
“Astaghfirullahaladzim, Mila .... Kamu tahu gak, perbuatan kamu itu sudah membuat keributan dan masalah jadi tambah runyam! Sekarang, yang tidak suka sama Kakak jadi bertambah, bukan hanya keluarga RT saja tapi juga orang-orang yang namanya ada dalam catatan utang itu. Mereka merasa malu karena urusan utang-piutangnya diketahu publik, karena itulah mereka marah ke Kakak!”Karena tak bisa lagi bersikap sabar pada Mila, aku memarahinya pagi buta begini. Tapi ada yang beda kali ini, dia tidak menjawab ataupun melawan. Mila hanya tertunduk, sepertinya dia benar-benar bertobat dan menyadari kesalahannya.“Maaf, Kak. Aku gak tahu bakal seperti ini kejadiannya,” katanya.“Ya sudah pasti bakal begini. Waktu Zaki ngorek-ngorek tentang warungku, harusnya kamu mikir kalau dia melakukannya atas suruhan ibunya yang jelas-jelas ingin membuatku bangkrut! Kamu kan t
"Silakan, Mbak Ayu. Jualan bisa ditiru, tetapi rezeki tidak akan pernah bisa ditiru," jawabku.Kali ini, tak akan kubiarkan Ayu banyak bicara lagi. Ketenanganku sudah banyak diusik olehnya selama ini. Semut pun akan menggigit jika diinjak, begitupun aku."Kok ngejawab sih. Tumben, biasanya juga diem aja kalau ku panas-panasi," balasnya sambil berbalik arah dan melangkah pulang.Namun, sial bagi Ayu. Kakinya tersandung bangku depan warungku, hingga dia jatuh tersungkur. Ceker dan tulang ayam, serta barang belanjaan dalam kereseknya terlempar ke sembarang arah hingga isinya tercecer semua. Ayu jatuh dengan posisi telungkup, wajahnya menempel ke tanah. Saat dia bangun, seluruh wajahnya kotor penuh dengan tanah. Begitu pun bajunya.Aku tak kuasa menahan tawa, bahkan orang-orang yang kebetulan lewat pas kejadian pun jadi berhenti dan menertawak
Kobaran semangat terpancar dari raut wajah Mila. Dia terlihat sangat yakin dengan rencananya, namun aku khawatir apa yang akan dilakukannya nanti malah akan menimbulkan masalah yang lebih runyam lagi."Kakak tenang aja, gak usah takut gitu," lanjut Mila, sepertinya dia tahu apa yang kucemaskan. "Aku yang akan tanggung semua resikonya. Kalau ada apa-apa, pokoknya aku yang maju ke depan. Ini semua sebagai bentuk permintaan maafku, karena telah merepotkan Kakak selama ini.""Apa sih rencanamu? Jangan yang aneh-aneh, ah.""Gini, Kak. Sekarang itu kan lagi jamannya review-review makanan gitu di internet, bahkan di hampir semua medsos suka ada yang bikin konten review makanan. Nah, aku mau nyuruh temenku beli seblak di warung Ayu, terus akan aku review jelek di Yutub! Udah gitu, aku juga akan review behind the scene pembuatan seblaknya di FB dengan cara nyebar foto-
"Mila ... Mila ...."Zaki memanggil nama adik iparku dengan nada menggoda, sesekali dia juga bersiul sambil matanya melihat ke arah pintu rumah, menunggu Mila datang.Aku langsung menghampiri Zaki sebelum dia berbuat keributan lebih jauh lagi. Semoga saja Bapak Mertua sudah tidur, jadi tak perlu ada ribut-ribut malam-malam begini, malu didengar tetangga."Ngapain kamu? Jangan ganggu orang, ini sudah malam. Sana pulang!" kataku dari teras rumah.Zaki malah menggerungkan motornya lebih kencang lagi. "Aku mau ngajak Mila jalan," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.Anak bandel!"Jangan ganggu Mila lagi!" tegasku."Ayolah, Kak Murni. Kayak gak pernah muda aja." Zaki menanggapi dengan santai."Masa muda saya
Setelah menjawab pertanyaanku, tukang foto langsung pamit. Aku pun semakin penasaran, timbangan apa gerangan? Mungkinkah Ayu tidak jujur dalam hal timbang-menimbang jualannya?Permasalahan klasik, beberapa pedagang yang curang selalu mengurangi timbangan demi mendapat keuntungan.Kuperhatikan terus warung Ayu, keributan itu kini berakhir. Bi Munah pulang dengan mulut bersungut, sepertinya permasalahan mereka belum selesai, karena terlihat wajah Bi Munah masih menggambarkan kekecewaan."Mur, beli telur sekilo!" kata Bi Saodah. Dia mengagetkanku dari depan warung. Beberapa hari lalu, kuingat dia marah padaku gara-gara catatan utang, dan dia bilang gak akan beli di warungku lagi. Tapi, rupanya kali ini dia datang belanja. Pasti ada sesuatu yang merubah pikirannya.Kubungkus sekilo telur, dan menyerahkannya pada Bi Saodah. Tetanggaku ini menerima sa
"Aduh, bagaimana ini? Mau dibuka, takut isinya macam-macam." Tanpa sadar aku bicara pada diri sendiri dengan suara yang cukup pelan."Apa itu?"Seseorang bertanya dari balik punggungku, suaranya aneh. Aku menoleh, dan ternyata Mila. Dia pakai masker, pantas saja suaranya beda seperti ada yang menghalangi, sampai-sampai aku tak mengenalinya."Mila! Kamu ngagetin aja," kataku refleks. "Ini lho, ada paket tapi gak nyantumin siapa pengirimnya.""Wah, paket misterius itu, Kak. Siapa yang antar?" tanyanya sembari melihat paket yang kupegang."Kurir ekspedisi resmi, kok. Tapi anehnya gak nyantumin nama. Mau kukejar kurirnya untuk minta penjelasan, eh dia sudah pergi."
"Yuli, Yuni, kalian berdiri di sini, jaga kuah dan bakso ini jangan sampai terlalu matang, sekalian tata mangkuk-mangkuk ini. Tepmpelkan cap-cap di tutupnya!"Aku memanggil kedua asistenku yang tengah menyiapkan bahan seblak dan bakso di sebelah kanan. Karena stand Ayu berada di samping kiriku, jadi aku harus bertukar tugas dan posisi dengan kedua asistenku agar Ayu tak dapat melihatku.Yuli dan Yuni langsung mengikuti perintah, dan kini aku bisa berdiri dengan leluasa, mengerjakan semua pekerjaan."Mbak Murni, itu yang di sebelah stand kita kok panik begitu?" tanya Yuli, menoleh padaku dengan berbisik."Sudah, kalian fokus dengan pekerjaan kita saja. Jangan pedulikan mereka, justru harus berhati-hati terutama sama yang perempuan," jawabku seraya menunjuk Ayu dengan kerlingan mata.Acara pun dimulai, tamu