Edi duduk sambil merenung dan memperhatikan unggas peliharaannya. Pikirannya tertuju pada kedua anaknya.
“Nabila dan Nadia masih kecil, kalau begini terus bisa-bisa mereka nggak sekolah dan nggak punya masa depan,” gumamnya.
Hampir setahun lamanya Edi tidak bekerja dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari tentunya tidak akan berhenti. Edi yang merasa tubuhnya lebih baik walaupun tidak bisa beraktivitas berat seperti dulu pun bertekad untuk melobi teman-temannya untuk mendapatkan pekerjaan.
Ia pun bergegas menghubungi beberapa temannya untuk meminta pekerjaan. Ada yang memberi tanggapan positif adapula yang berpura-pura sibuk dan tidak mengenalnya.
“Huft, harus gimana ini. Tidak aku tidak boleh menyerah, aku adalah seorang ayah dan aku wajib menafkahi kedua anakku. Ibunya anak-anak sudah tidak bisa diharapkan, yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mungkin juga karena usianya yang masih sangat muda jadi belum memiliki tanggung jawab,” gumam Edi sambil mencoba menghubungi salah satu temannya lagi.
Memang usia Ajeng dan Edi terpaut cukup jauh. Ajeng baru berusia delapan belas tahun saat Edi meminangnya.
“Kamu beneran mau kerja Ed?” tanya salah satu teman yang ia hubungi, Bambang yang juga seorang kontraktor.
“Iya Mbang, aku butuh pekerjaan, anak-anakku masih kecil masih butuh banyak biaya.”
Pembicaraan mereka terjeda selama beberapa detik sampai akhirnya Bambang pun menghembuskan napas panjang.
“Mmm sebenarnya ada, tapi apa kamu mau? Pekerjaan yang ada di tempatku sekarang sebagai mandor bangunan, dan saat ini proyek yang sedang dijalani juga bukan proyek besar, gimana Ed?”
“Iya aku mau, nggak masalah yang penting bisa mencukupi kebutuhan anak-anakku,” jawab Edi cepat tanpa berpikir panjang lagi.
Ia yang sudah lama berkutat di bidang konstruksi tentunya tahu pekerjaan seorang mandor bangunan itu seperti apa berikut juga gajinya. Yang jelas seorang mandor tidak terlalu banyak beraktivitas berat, dan tentunya tubuhnya masih bisa berkompromi.
“Beneran nggak masalah? Kamu nggak malu Ed, dulu kan kontraktor besar?” Bambang mengulangi pertanyaannya.
“Ngapai malu Mbang, kalau aku nggak kerja anakku mau dikasih makan apa.”
“Ya sudah kalau memang kamu mau besok kamu bisa datang ke kantorku, nanti kita bicarakan lebih lanjut.”
Edi pun sangat bersukur dengan tawaran yang diberikan oleh Bambang. Setidaknya dengan pekerjaan ini ia masih bisa menukupi kebutuhan anaknya. Sungkan juga buat Edi yang setiap hari harus dikirimi makanan oleh kakak dan adiknya yang tinggalnya di kanan kiri rumah Edi.
Setiap harinya Edi bekerja dengan penuh semangat, hingga rasa lelah dan sakit yang dideritanya tidak dirasakan sama sekali. Pelan-pelan kehidupan barunya mulai tertata, hutang di warung sudah mulai lunas, ia juga mampu membelikan jajanan untuk anaknya setiap hari.
Begitu juga dengan perusahaan tempatnya bekerja, tampaknya kehadiran Edi di perusahaan Bambang memberikan dampak yang positif. Edi yang sudah berpengalaman di bidang konstruksi membuat klien Bambang puas dengan jasa yang ditawarkan. Sampai-sampai Edi mendapatkan kepercayaan untuk menjadi mandor pada proyek besar, yang pasti berdampak pada pemasukan Edi.
Perubahan yang terjadi pada keluarga kecilnya tentu tak luput dari perhatian Ajeng. Ia yang biasa menghabiskan waktu di luar sering melihat kedua anaknya menikmati jajanan, menu makanan yang ada di meja pun jadi lebih baik.
Kesuksesan Edi yang perlahan naik membuat Ajeng kembali menjadi seorang wanita yang manis. Ia mulai menurut pada suaminya dan menjadi Ibu yang baik.
Pertengkaran yang dulu kerap muncul sudah tidak pernah lagi terdengar di telinga kedua anaknya. Hingga kabar gembira datang pada mereka, Ajeng hamil anak ketiga. Tentu saja Edi semakin sayang dan perhatian pada istrinya itu.
“Dek … setelah anak kita lahir, adek usaha di rumah aja ya nanti saya modalin,” kata Edi di suatu malam.
“Iya mas, biar saya juga dekat dengan anak-anak,” jawab Ajeng menurut.
***
Edi menepati janjinya pada Ajeng untuk memberikan modal usaha di rumah tepat setalah masa nifasnya selesai. Ajeng yang pandai dalam memasak pun memutuskan untuk membuka warung makan di teras rumah.
Usahanya tidak pernah sepi, bahkan beberapa kali Ajeng menolak pesanan dari pelanggan dengan alasan harus menjaga si kecil, Nania. Untung saja pelanggan dapat memaklumi.
Kehadiran Nania membawa rejeki tersendiri bagi keluarga kecil Edi. Perekonominannya semakin membaik hingga bisa merenovasi rumah dan menambah satu unit motor lagi dan tentunya perabotan rumah tangga untuk Ajeng.
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Bu Winarti, Ibunda Edi tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama kemudian. Edi yang merupakan anak kesayangan sang Ibu tentu merasa terpukul.
Di hari kematian mertuanya, Ajeng terlihat sedih dan menangis sewaktu ibu mertuanya meninggal.
akan tetapi semua itu hanyalah sandiwara Ajeng agar terlihat dirinya seorang menantu yang baik. Di balik itu semua, ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Ajeng.
"Kenapa nggak dari dulu aja sih meninggalnya?" runtuk Ajeng dalam hati.
Sambil memperhatikan para pelayat yang datang, Ajeng terus saja mengomel dalam hati,
"Si tua bangka ini selalu aja ngrecoki urusan rumah tanggaku, ngerasa dia itu paling benar semua."
Saat semuanya sudah berakhir dan pulang dari pemakaman Ibunda Edi, semua saudara Edi pun berkumpul termasuk kakak adik, sepupu , dan keponakan Edi. Sang kakak Edi yang bernama Sari mencoba mendekati Ajeng dan mengajak ngobrol.
"Jeng?" tanya kakak Edi.
"Iya mbak.”
“Sekarang ibu sudah meninggal, anak-anakmu sudah ga ada yang bantu jaga. Mungkin sekarang waktunya kamu untuk fokus ke keluarga kamu sambil menekuni usaha dirumah.”
"Iya mbak," jawab Ajeng menuruti kakak iparnya.
Namun lagi-lagi ini semua hanyalah topeng yang dipakai oleh Ajeng. Ia memang menekuni usaha yang selama ini dimodali oleh Edi.
Ajeng yang baru saja menutup warung karena dagangannya habis pun mulai menghitung uang hasil jualannya.
"Wah..hari ini sudah dapat untung banyak nih, bentar lagi keluar dan kumpul sama teman-teman lagi ah,” batin Ajeng.
Ibu tiga anak itu pun langsung ke rumah Putri, istri dari adik iparnya sembari menitipkan ketiga anaknya di sana.
“Dek … dek Putri, bisa tolong titip anak-anak sebentar nggak? Saya ada perlu mau belanja karena ada pesanan tiba-tiba,” ucap Ajeng sambil menggendong Nania dan kedua anaknya membuntuti di belakang.
Putri yang masih berdiri pun mencoba mencerna ucapan Ajeng. Namun belum sempat ia bicara Ajeng pun langsung menyerahkan ketiga anaknya untuk diasuh Putri dan menuju motor yang sudah terparkir di depan.
“Jeng, tapi ini,-” panggil Putri yang tidak melihat ada susu untuk Nania, tapi Ajeng tetap saja tidak mempedulikan panggilan adiknya. Ia terus saja melaju dengan motor untuk bertemu dengan teman-temannya di cafe.
Noted : jangan lupa follow,like dan subscribe ya gaees.makasih
Ajeng kembali dielu-elukan oleh kawan-kawan sosialitanya. Setelah sekian lama ia dikenal sebagai tukang hutang, beberapa hari terakhir ini ia selalu datang mentraktir teman-temannya atau mengundang mereka ke rumah.Semuanya dilakukan sebelum jam lima sore karena sang suami baru pulang kerja menjelang maghrib. Seperti kali ini, dagangannya baru laku beberapa tapi ia sudah sibuk dengan grup chatnya."Yuhuu gaes,hari ini saya punya menu spesial lho buat kalian. Buat yang mau silakan mampir kerumah, GRATIS!” tulis Ajeng saat membuat pengumuman. Tentu saja ini membuat teman-temannya semangat, dan hal ini pun terus menerus dilakukan.Satu hari, sebelum Edi mengantar kedua anaknya sekolah, Ajeng pun langsung mendekati suaminya."Mas, tambahin modal donk buat dagang!" pinta ajeng.“Loh … keuntungan kemarin emang sudah habis? Kan daganganmu selalu abis tiap hari,” balas Edi.“Masih sih mas, tapi kan mau nambah dagangan lagi biar lebih lengkap, jadi tambah rame,” rengek Ajeng.“Mas belum gajian
Edi kembali duduk sambil memegangi dadanya. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas agar tidak sampai kambuh lagi penyakitnya. Ia tak bisa membayangkan kondisi anaknya jika harus masuk rumah sakit lagi.Beberapa waktu lalu Edi tak sengaja bertemu dengan tetangga di warung, dia adalah petugas kebersihan yang bekerja di hotel. Tetangga Edi menceritakan apa yangt adi dilihat olehnya di hotel. Memang belakangan ini Ajeng dikenal sebagai perempuan yang tidak baik di lingkungan kampung.Tak ingin berlarut-larut Edi pun langsung bertanya pada Ajeng begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.“Dek, tadi Mas denger kabar kalau kamu di hotel dengan keponakan Firman yang biasa ke sana. Apa bener?” tanyanya.Ajeng yang mendengar pertanyaan suaminya langsung terkejut. Ia mencoba menebak siapa yang menyebarkan berita ini.“Apaan sih Mas?” balas Ajeng dengan ketus.“Mas kan suami kamu dek, nggak baik lho kalau punya suami tapi masih pergi dengan laki-laki lain apalagi ke hotel,” Edi mengingatkan.“
Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah
Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa
Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid
Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d
Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“
HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep
HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep
Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“
Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d
Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid
Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa
Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah
Edi kembali duduk sambil memegangi dadanya. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas agar tidak sampai kambuh lagi penyakitnya. Ia tak bisa membayangkan kondisi anaknya jika harus masuk rumah sakit lagi.Beberapa waktu lalu Edi tak sengaja bertemu dengan tetangga di warung, dia adalah petugas kebersihan yang bekerja di hotel. Tetangga Edi menceritakan apa yangt adi dilihat olehnya di hotel. Memang belakangan ini Ajeng dikenal sebagai perempuan yang tidak baik di lingkungan kampung.Tak ingin berlarut-larut Edi pun langsung bertanya pada Ajeng begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.“Dek, tadi Mas denger kabar kalau kamu di hotel dengan keponakan Firman yang biasa ke sana. Apa bener?” tanyanya.Ajeng yang mendengar pertanyaan suaminya langsung terkejut. Ia mencoba menebak siapa yang menyebarkan berita ini.“Apaan sih Mas?” balas Ajeng dengan ketus.“Mas kan suami kamu dek, nggak baik lho kalau punya suami tapi masih pergi dengan laki-laki lain apalagi ke hotel,” Edi mengingatkan.“
Ajeng kembali dielu-elukan oleh kawan-kawan sosialitanya. Setelah sekian lama ia dikenal sebagai tukang hutang, beberapa hari terakhir ini ia selalu datang mentraktir teman-temannya atau mengundang mereka ke rumah.Semuanya dilakukan sebelum jam lima sore karena sang suami baru pulang kerja menjelang maghrib. Seperti kali ini, dagangannya baru laku beberapa tapi ia sudah sibuk dengan grup chatnya."Yuhuu gaes,hari ini saya punya menu spesial lho buat kalian. Buat yang mau silakan mampir kerumah, GRATIS!” tulis Ajeng saat membuat pengumuman. Tentu saja ini membuat teman-temannya semangat, dan hal ini pun terus menerus dilakukan.Satu hari, sebelum Edi mengantar kedua anaknya sekolah, Ajeng pun langsung mendekati suaminya."Mas, tambahin modal donk buat dagang!" pinta ajeng.“Loh … keuntungan kemarin emang sudah habis? Kan daganganmu selalu abis tiap hari,” balas Edi.“Masih sih mas, tapi kan mau nambah dagangan lagi biar lebih lengkap, jadi tambah rame,” rengek Ajeng.“Mas belum gajian
Edi duduk sambil merenung dan memperhatikan unggas peliharaannya. Pikirannya tertuju pada kedua anaknya.“Nabila dan Nadia masih kecil, kalau begini terus bisa-bisa mereka nggak sekolah dan nggak punya masa depan,” gumamnya.Hampir setahun lamanya Edi tidak bekerja dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari tentunya tidak akan berhenti. Edi yang merasa tubuhnya lebih baik walaupun tidak bisa beraktivitas berat seperti dulu pun bertekad untuk melobi teman-temannya untuk mendapatkan pekerjaan.Ia pun bergegas menghubungi beberapa temannya untuk meminta pekerjaan. Ada yang memberi tanggapan positif adapula yang berpura-pura sibuk dan tidak mengenalnya.“Huft, harus gimana ini. Tidak aku tidak boleh menyerah, aku adalah seorang ayah dan aku wajib menafkahi kedua anakku. Ibunya anak-anak sudah tidak bisa diharapkan, yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mungkin juga karena usianya yang masih sangat muda jadi belum memiliki tanggung jawab,” gumam Edi sambil mencoba menghubungi salah satu tema