*Happy Reading*Arkana hanya bisa mengusap wajah, lalu menyugar rambut dengan perlahan setelah berhasil mencerna cerita Arletta. Pria itu kemudian melirik Arletta lagi, menatapnya intens dengan perasaan yang ... benar-benar sulit di jelaskan saat ini. "Kamu ... jadi selama ini ...." ucap Arkana lagi ragu-ragu.Sejujurnya, dia kecewa. Sangat! Bagaimana mungkin istri dan keluarganya menipunya seperti ini? Membuatnya sedih, takut, dan hampir stress memikirkan semuanya. Akan tetapi, mau marah pun Arkana tak kuasa. Karena dia yakin, Arletta pasti punya alasan khusus melakukan hal ini. Hanya saja ....Arkana mendesah berat lagi. Menyugar rambutnya agak kasar dan sedikit menjambaknya. Perasaannya kacau sekali saat ini. "Aku tahu kamu kecewa dan marah sama aku, Mas. Tapi aku gak punya pilihan lain."Arkana tahu hal itu. Arkana mengerti. Hanya saja ... tetap saja kekecewaan hadir di hatinya karena fakta ini. Apa, ya? Arkana merasa tidak berguna karena tidak dilibatkan rencana sebesar ini."
*Happy Reading*Arletta kira, setelah melihat ketegangan di wajah Arkana. Dia akan mendapat kejutan berupa cerita drama berbumbu khilaf yang intinya tetap perselingkuhan. Ternyata, sepertinya dia salah. Karena, setelah ketegangan yang beberapa menit lalu terlhat, alih-alih gugup dan panik. Si tukang photo itu malah tersenyum, sambil menopang dagu dengan sebelah tangan dan menatap Arletta dengan jail. "Apa ... ini artinya kamu cemburu, Luv?" tanya kemudian. "Atau ... jangan-jangan karena ini pula akhirnya kamu muncul?" imbuhnya dengan senyum manis bin ngarep. Benar-benar seperti tak punya dosa.Beruntung Arletta sudah terbiasa mengendalikan mimik wajahnya, dan paling mahir menampilkan face foker andalannya. Hingga dia pun bisa menahan diri untuk tak bereaksi lebih dengan godaan Arkana barusan. "Ck, tahu begitu. Sudah lama aku bikin beginian. Biar kamu cepet munculnya." Arkana menambahkan lagi dengan lugas. Namun, sedetik kemudian pria itu pun harus menelan karma atas kejahilannya, be
*Happy Reading*Faktanya, playboy tetap lah playboy. Tidak akan ada keajaiban yang bisa mengubahnya dalam satu malam. Apalagi jika jiwa playboy-nya akut seperti Arkana, yang sudah merasakan nikmatnya berganti toilet hidup tiap malam. Ah, sudah .... jangan pernah berharap lebih. Jangankan sebuah cinta tulus, janji suci pernikahan pun tidak akan menjamin dia berubah menjadi alim. Percayalah, playboy insyaf total karena cinta itu, hanya ada dalam dunia novel romansa saja. Kenyataannya, butuh waktu dan usaha keras merubahnya. Arletta tahu hal itu. Arletta pun sadar akan resikonya saat dulu memilih menjatuhkan hati pada Arkana. Karenanya, dia selalu berusaha tak pernah berharap lebih pada Arkana, dan menyiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk dari sifat suaminya yang seperti itu. Akan tetapi, saat benar-benar kejadian ternyata sakit juga, ya? Lumayan lagi sakitnya. Rasanya ingin menangis pilu, tapi juga ingin menertawakan dirinya sendiri.Menertawakan kebodohannya yang memilih da
*Happy Reading*Apa maksud Arletta mengambil semua bukti yang Arkana kumpulkan? Apa yang akan gadis itu lakukan? Akankah Arletta memanfaatkan bukti tersebut untuk kepentingannya? Atau malah gadis itu berniat melenyapkan semua bukti karena marah pada Arkana?Apa? Apa? Apa?"Arg!!! Sialan!" maki Arkana dengan marah. Sambil mengacak meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan laporan. Semuanya jadi berjatuhan, termasuk sebuah laptop dan telepon kantor. Sepanjang Arkana mengenal Arletta. Baru kali ini dia benar-benar marah pada gadis itu. Sungguh! Arkana benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi gadis penuh akal bulus itu. "Kan? Terus sekarang gimana?" tanya Bruno yang sedari tadi hanya bisa memperhatikan Arkana dalam kekalutan yang sama. Meski ini bukan masalahnya, dan bahkan tidak ada hubungannya dengan dia. Tetapi, bagaimana pun selama ini Bruno lah yang selalu menemani dan membantu Arkana dalam mencari semua bukti tersebut. Karenanya, jika sampai bukti tersebut hilang beg
*Happy Reading*Arletta melirik tak minat pada deretan nomor yang terus muncul pada salah satu ponsel di atas meja. Mengacuhkannya kembali seraya menyesap minuman kaleng miliknya. Sementara di tempatnya, si pemilik ponsel sudah tampak gelisah. Tangannya saling meremas dengan keringat yang sudah membanjiri pelipisnya yang agak memar."Kenapa? Mau mengangkatnya? Angkat saja," titah Arletta lugas. Namun, dengan tatapan penuh Arti. Pria paruh baya pemilik ponsel itu pun langsung melambaikan tangannya cepat. Menolak titah Arletta dengan segera. "E-enggak, kok. Saya gak akan mengangkat panggilan itu sampai kapan pun."Arletta hanya tersenyum miring menanggapinya. Sementara pria itu, kembali meremas tangan di pangkuan dengan resah. "Nona. Kau lihat sendiri, kan? Saya sudah mengabaikan telepon darinya sejak tadi. Tak mengirimkan bantuan dan mengumumkan pemecatannya sebagai model ambasador kami. Lalu, apa lagi yang nona mau?" tanya pria paruh baya takut-takut. "Tidak ada." Arletta menjawa
*Happy Reading*"Kamu?! Mau apa kamu kemari?" Deandra langsung menghardik dengan sengit, saat menemukan keberadaan Arletta di ruangannya. Dari perusaahan Alexander, Arletta memang melanjutkan perjalanannya ke Rumah sakit tempat Deandra di rawat. Meski sebenarnya ruangan tempat Deandra sudah diberi penjagaan lumayan ketat. Agar para awak media tidak bisa menerobos dan mengganggu Deandra. Tetapi, bukan Arletta namanya jika tidak bisa mengatasi hal tersebut. "Tentu saja mau menjengukmu, Deandra. Apalagi?" sahut Arletta santai, seraya menghampiri gadis itu yang masih menatapnya dengan galak."Menjenguk atau menertawakanku, hah? Kau pasti senang kan, akan kondisiku saat ini? Kau pasti merasa menang kan, karena kini aku sudah kehilangan bayiku? Iya kan? Iya kan? Dasar wanita licik!" Deandra masih dengan amarahnya. Sayangnya, Arletta menanggapi hal itu masih dengan sikap santai tanpa dosa. Gadis itu bahkan terkekeh pelan melihat tingkah Deandra yang benar-benar kekanakan. "Faktanya, ada
*Happy Reading*Tidak perduli siapa yang tuan dari pria di hadapannya saat ini. Yang jelas, Arletta tentu tidak bisa membiarkan pria tadi memperlakukannya seperti ini. Sebelah tangan Arletta berusaha menahan tangan si pencekik. Sementara lainnya segera mengeluarkan pulpen ajaibnya dari saku celana, dan ...Sret!"Akh!!!"Bruk!Seiring lolongan kesakitan pria yang baru saja lehernya Arletta gores. Tubuh Arletta pun terjatuh ke lantai dengan keras. Keduanya saling menyentuh leher dengan rasa sakit yang berbeda. Disertai sedikit batuk-batuk dipihak Arletta yang akhirnya bisa kembali mengisi oksigen ke paru-paru. Sementara dipihak lawan yang terjadi adalah sebaliknya. Mulai menggelepar-gelepar kehilangan oksigen. Karena memang Arletta tepat menggores Urat penting yang ada di bagian leher. Setelah lawannya tumbang dan tak bergerak lagi. Arletta pun berniat segera pergi. Namun, baru saja melangkah, ternyata kawanan pria tadi sudah mengepungnya. Kali ini semuanya membawa senjata tajam di
*Happy Reading*Setelah mengambil waktu beberapa saat untuk mengumpulkan energinya. Seraya menahan rasa sakit yang makin menjalar dari robekan di perutnya, Arletta pun bangkit. Mulai memindai tempat dan orang-orang yang kembali mengepungnya.Jumlahnya lebih sedikit dari tadi. Juga, tanpa senjata tajam di tangan. Entahlah sejak kapan mereka semua menanggalkan semuanya. Atau mungkin, mereka malah sedang menyembunyikan senjata yang tadi dibawa."Let, apa yang terjadi?" Suara Elkava tiba-tiba terdengar dari head free di telinganya. Kemana saja pria ini? Kenapa baru muncul sekarang? Saat nyawanya sudah terancam seperti ini? Kesal, Arletta pun memilih mengacuhkan Elkava dan menghadapi kembali kawanan pria bersetelan kerja lengkap dihadapannya. "Siapa kalian? Apa mau kalian?" tanya Arletta kemudian."Siapa kami, nanti kamu juga akan tahu. Yang jelas, ikutlah bersama kami dengan baik-baik. Maka kami tidak akan menyakitimu," jawab salah satu dari mereka, yang tadi menusuk dan menjambak Arlet
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat