Lama terdiam membuat Keenan perlahan kehilangan akal. Namun niatan buruk yang melintasi pikirannya sejenak, berusaha ia tepis.Diliriknya tubuh wanita yang terlihat begitu berisi dari sebelumnya. Balutan dress berwarna ungu tua membuatnya semakin mempesona. Riasan tips membuat wajahnya terlihat segar. Tak pucat pasih seperti dahulu saat masih menjadi istrinya. Nampaknya Aksa berhasil membuat wanita itu merasa bahagia menjalani kehidupannya saat ini."Kamu kedinginan?" tanya Keenan memastikan saat melihat tubuh Adira yang masih meringkuk terlihat bergetar halus."Tidak masalah, sebentar lagi akan hilang dengan sendirinya," jawab Adira seraya tersenyum tipis. Untuk meyakinkan lawan bicaranya, jika dirinya saat ini sedang baik-baik saja.Namun alih-alih mengerti. Keenan justru tertegun melihat garis lengkung yang menghiasi bibir ranum mantan istrinya itu. Manis sekali.Hingga lantas membuatnya berinisiatif untuk segera memakaikan jaketnya yang setengah basah ke tubuh Adira.Adira yang te
Setelah memasuki mobil, Keenan nampak duduk di kursi belakang. Sementara Adira duduk di samping sang suami yang tengah mengemudi.Hening, tak ada percakapan di antara mereka. Sampai pada akhirnya Aksa mulai bersuara. "Sayang, pakailah sabuk pengamannya," ucapnya lembut seraya menancap gas perlahan menerobos lebatnya hujan kala itu.Adira sontak tersenyum tipis. "Tidak perlu, perutku terasa tidak terlalu nyaman akhir-akhir ini. Apa lagi jika tertekan oleh sesuatu," ucap Adira berdalih. Sebenarnya dirinya tidak mengerti cara memakai sabuk pengaman. Terlebih dirinya dulu tidak pernah diajak bepergian oleh Keenan. Jadi dirinya tak pernah mengenakan sabuk pengaman ke mana pun dirinya pergi bersama Aksa. Dan merasa malu jika hendak mengakui itu.Namun, sahutan dari Keenan yang awalnya hanya diam tak bergeming, seketika mematahkan asumsi, jika pria itu masih menaruh perhatian terhadap mantan istrinya. "Apa kamu sakit?"Sontak hal itu membuat Aksa dan Adira seketika terdiam dengan tubuh terke
"Nona Helena, lepaskan Nyonya!"Teriakkan dari Gavin seketika mengejutkan seluruh mata yang memandang. Tak terkecuali Aksa. Ia yang hendak melangkah maju dihentikan seketika oleh teriakkan itu."Helena?" tanya Aksa lirih mengulangi kalimat Gavin. Menatap sang asisten dengan penuh tanda tanya.'Ba-bagaimana mungkin?!' Helena Ducan nampak terbelalak, namun tak membuatnya lengah saat Adira terus berontak ingin melepaskan diri."Tuan, dia adalah Nona Helena Ducan. Saya bisa mengenalinya dengan mudah dari matanya," ucap Gavin meyakinkan sang atasan.Aksa pun lantas hendak beranjak dengan langkah gontai menghampiri. Namun lengannya seketika ditahan oleh sang asisten yang mulai menyadari sesuatu."Jangan terlalu gegabah, Tuan. Sepertinya yang tengah dipegang itu adalah pistol asli."Kalimat itu membuat keberanian dalam diri Adira seketika luntur. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana nasibnya akan berakhir jika sampai pelatuk itu tertekan."Cih! Sekarang kalian tahu bagaimana hebatnya aku, kan
"Dasar Jalang! Jika kamu tidak muncul dalam kehidupan Aksa, mungkin sekarang akulah yang menyandang gelar Nyonya Adhitama!"Suara lantang terdengar menggema dari atap gedung. Dibarengi dengan suara cambuk yang begitu membuat nyeri sekujur tubuh hanya dengan mendengarnya saja.Namun tak didapati sedikit pun suara Adira dari sana. Hingga salah satu dari mereka memberanikan diri untuk mengintip dari celah lubang di antara dinding yang pecah.Terlihat jelas Adira yang tengah duduk di kursi dengan tali yang melilit tubuhnya. Sedangkan mulutnya ditutup dengan lakban. Mungkin itu salah satu sebab Adira tak mengeluarkan suara.Wajah ganas dari iblis yang merasuki tubuh manusia itu tertawa puas. Tak henti menyambitkan cambuk dari tangannya ke arah kaki Adira yang telah berdarah-darah.Hal itu mampu mengundang ngilu dari suara cambuk yang saling bergesekan dengan kulit."Tuan, Nona Helen saat ini sendiri. Kesempatan bagus bagi kita untuk segera melancarkan aksi," ucap salah satu pengawal yang s
"Mas Keenan ...!"Adira berteriak seraya terduduk di atas tempat tidurnya, setelah kembali mendapatkan kesadaran. "Mimpi?" tanyanya memastikan pada dirinya sendiri.Namun saat mengusap kasar wajahnya yang dipenuhi keringat dingin, Adira kembali tersadar. Luka pada bagian lengannya akibat tali yang melilitnya erat masih menyisakan rasa pedih.Kini wanita itu menatap nanar pada kedua pergelangan tangannya. Hal yang sangat ia harapkan sebagai mimpi nyatanya benar terjadi.Kini bulir bening itu kembali berjatuhan tanpa bisa dibendung lagi. Meremas kuat rambutnya dengan kedua tangannya frustasi.Jika dirinya bisa mengulang waktu, ia tak ingin melibatkan orang lain atas kelalaiannya sendiri.Tok! Tok!Suara buku-buku jari yang mengetuk pintu membuat hati Adira sedikit terhenyak kaget. Ia pun lantas menatap ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup rapat."Masuk!" ucapnya memberi perintah pada seseorang yang tengah berdiri di depan pintu.Detik berikutnya, sosok pria berkacamata nampak memb
Setelah selesai membopong tubuh sang istri kembali ke dalam kamar, Aksa segera keluar untuk meminta Gavin menelfon kembali dokter yang saat itu menangani istrinya saat pertama kali pingsan."Gavin, panggil Dokter Rasya untuk memeriksa keadaan Adira!" titah Aksa pada sang asisten pribadi yang tak berani masuk ke dalam kamar dan hanya menunggu di luar."Baik, Tuan," jawabnya sebelum mengambil sebuah benda pipih dari saku celananya."Halo, selamat siang, Dokter. Bisakah Anda datang ke kediaman Adhitama kembali untuk memeriksa keadaan Nyonya? Setelah sadar, dia kembali pingsan, saya takut ada yang tidak beres dengan tubuhnya," ucap Gavin pada seseorang dari seberang telepon yang langsung menyahut, "Baik, Tuan Gavin, saya akan segera ke sana.""Baik, Dok, terima kasih, saya tunggu kedatangan Anda," sahut Gavin kemudian sebelum menutup sambungan telepon."Bagaimana?" tanya Aksa yang tak mendengar sama sekali jawaban dokter itu."Dokter Rasya akan segera datang untuk memeriksa keadaan Nyonya
"Ngh ...." Suara lenguhan berat terdengar dari Adira yang tengah berusaha membuka matanya yang masih terasa begitu berat.Aksa yang duduk di samping ranjang pun sontak melonjak kaget, sebelum menatap sang istri yang membuka sedikit matanya."Sayang, syukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu memerlukan sesuatu?"Rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut sang suami hanya membuat kepalanya terasa berdenyut ngilu."Tolong ambilkan aku minum, aku harus," ucap Adira dengan suara serak yang hampir tak terdengar jelas.Aksa dengan sigap mengambil segelas air putih yang terletak di atas nakas. Setelahnya membantu Adira untuk minum dengan menopang sedikit tubuhnya agar dalam posisi setengah duduk.Setelah membasahi tenggorokan yang terasa kering, Adira kembali merebahkan diri. Pusing berkunang-kunang dan rasa mual mulai bercampur aduk menjadi satu. Mengaduk-aduk isi perutnya yang seketika bergejolak."Makan sedikit, ya? Kamu belum makan apa pun sejak kejadian hari itu," uca
"Ouch! Hey, itu sakit," protes Aksa seraya memegangi lengannya.Sontak hal itu berhasil mengundang tawa dari Naura yang masih memperhatikan mereka."Ayah."Suara panggilan dari Naura seketika mengejutkan Aksa. Membuat pria itu segera memutar kepala menghadap sang putri. "Hem?""Naura ingin pinjam HP, boleh?" tanya Naura ragu seraya menyatukan kedua telunjuknya."Buat apa?" tanya Aksa memastikan. Ia tak ingin sang putri memakai ponsel untuk bermain game. Sebab akan menganggu kegiatan sekolahnya."Naura rindu Papa Sean. Setelah kepergian Papa Sean hari itu, Naura belum sempat menghubunginya sama sekali," jawab Naura seraya tertunduk lesu.Astaga, Aksa benar-benar hampir melupakan itu. Pria itu pun segera mengeluarkan benda pipih dari saku celananya dan memberikannya pada sang putri. "Nah, pakailah!" ucap Aksa seraya mengulurkan ponselnya.Namun alih-alih langsung menerima, Aksa kebingungan mendapati Naura yang tengah terdiam seraya menatap ponselnya. "Kenapa?""Aku tidak mengerti cara m
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u