"Ouch! Hey, itu sakit," protes Aksa seraya memegangi lengannya.Sontak hal itu berhasil mengundang tawa dari Naura yang masih memperhatikan mereka."Ayah."Suara panggilan dari Naura seketika mengejutkan Aksa. Membuat pria itu segera memutar kepala menghadap sang putri. "Hem?""Naura ingin pinjam HP, boleh?" tanya Naura ragu seraya menyatukan kedua telunjuknya."Buat apa?" tanya Aksa memastikan. Ia tak ingin sang putri memakai ponsel untuk bermain game. Sebab akan menganggu kegiatan sekolahnya."Naura rindu Papa Sean. Setelah kepergian Papa Sean hari itu, Naura belum sempat menghubunginya sama sekali," jawab Naura seraya tertunduk lesu.Astaga, Aksa benar-benar hampir melupakan itu. Pria itu pun segera mengeluarkan benda pipih dari saku celananya dan memberikannya pada sang putri. "Nah, pakailah!" ucap Aksa seraya mengulurkan ponselnya.Namun alih-alih langsung menerima, Aksa kebingungan mendapati Naura yang tengah terdiam seraya menatap ponselnya. "Kenapa?""Aku tidak mengerti cara m
Meski tak memiliki ikatan darah, namun Sean ingin anak angkatnya itu bisa melangsungkan kehidupan yang lebih baik saat mendengar penjelasan yang coba ia ceritakan padanya."Jangan cuma angguk-angguk saja, Naura paham tidak?""Iya, Pa, Naura paham kok," ucap Naura dengan suara khas balitanya.Sontak hal itu membuat Sean tertawa geli seraya memegangi perutnya.Namun, sebuah teriakkan lantang membuat Naura terkejut bukan main."Adira! Keluar kamu! Dasar pembunuh!" teriak seorang wanita dari arah luar. Sontak hal itu membuat Naura segera bangkit dari sofa panjang di depan televisi."Naura, suara siapa itu?" tanya Sean yang tak sengaja mendengarnya.Teriakan itu terus berlanjut dengan lantang, hingga membuat Sean yang berada dalam sambungan telepon pun menangkap suara itu."Pa, sudah dulu, ya. Besok Naura telepon lagi," ucap Naura segera mengakhiri sambungan telepon video itu. Berlari cepat ke arah kamar sang ibu saat suara dari arah luar terdengar semakin gaduh. Bersahutan dengan suara be
Air mata perlahan berjatuhan dari ekor matanya. Membuat sang putri yang tak sengaja tertetesi oleh air mata sontak mendongak menghadap sang ibu."Ma, kenapa Mama menangis? Apakah Mama juga takut dengan suara itu?" tanya Naura memastikan dengan wajah polosnya.Adira sontak menggeleng cepat. "Tidak, mata Mama hanya tidak sengaja kemasukan debu," ucap Adira berdalih.Tak ingin membuat sang putri terlalu khawatir akan kondisinya saat ini, membuat Adira berusaha menutupi kesedihannya.Tak berselang lama. Suara deru mesin mobil yang berhenti disertai sirene nyaring membuat Naura dan Adira terkejut bukan main.Adira segera beranjak. Menyambar penyangga infus yang masih terpasang di tangannya, dan menggendong sang putri dengan satu tangan. Berlari ke arah jendela balkon yang memperlihatkan pemandangan lantai dasar."Mobil apa itu?" gumamnya tak mengerti. Berusaha mengenali mobil hitam dengan sirene yang terpasang di atasnya.Sadar ada yang tidak beres, Adira segera mengajak Naura untuk keluar
Kini Adira hanya mampu terdiam. Menatap nanar sebuah mobil hitam yang perlahan melaju semakin menjauh dari tempatnya semula.Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jika keluarga mantan suaminya akan berakhir setragis ini."Ayo masuk, kondisimu belum sepenuhnya pulih!" tegas Aksa mengejutkan sang istri saat menyambar cepat gagang besi yang digunakan untuk menggantung botol infus.Sontak Adira segera menurut tanpa banyak bertanya. Meski memiliki keinginan kuat untuk segera mengunjungi makam Keenan, namun kondisi janin dalam rahimnya juga harus ia perhatikan.Ia tak ingin menghancurkan kebahagiaan keluarganya sebab luka di masa lalu.***Satu minggu kemudian."Sayang, hari ini kondisiku sudah membaik. Apakah aku boleh mengunjungi makam Mas Keenan?" tanya Adira dengan keraguan. Ia tak ingin membuat kesalah pahaman lagi terhadap Aksa dan Keenan. Namun kali ini sedikit berbeda. Keenan telah berpulang ke pada Yang Kuasa, lantas apa alasan Aksa untuk merasa cemburu padanya?Pria tampan yang teng
Perlahan Adira mulai menyusuri jalan setapak yang berada di tegah hamparan luas gundukan tanah di makam itu, hingga sampai di depan pintu masuk."Cepat sekali?" tanya Aksa saat menyadari kehadiran sang istri yang telah kembali tanpa seulas senyum menghiasi bibirnya. Tertunduk lesu dengan mata sembab yang masih berembun."Iya, aku khawatir ketika Naura kembali dari sekolahnya dan tak mendapatiku di rumah, dia akan mencariku dan menangis," jawab Adira berdalih. Padahal sebenarnya dirinya hanya tak ingin terlalu larut dalam penyesalan yang akan berujung pada dirinya yang kehilangan akal. Sebab masih ada janin yang harus ia lindungi dalam perutnya."Benar juga, lagi pula kondisimu belum sepenuhnya pulih, masih perlu istirahat untuk beberapa hari lagi," ucap Aksa seraya membukakan pintu mobil untuk sang istri yang berjalan semakin mendekat ke arahnya.Adira pun sontak memasuki mobil tanpa bersuara. Kepalanya mendadak terasa nyeri setelah berjalan menyusuri makam yang cukup luas. Nampaknya
"Kenapa diam saja? Cepat bawa masuk!" Aksa yang tak kunjung melihat tindakan dari Gavin dan beberapa pengawalnya sontak merasa kesal."Tapi Tuan ....""Cepat bawa tanpa banyak tapi. Dan hubungi Dokter Rasya untuk segera datang ke sini. Aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku," ucap Aksa yang dengan cepat menyela kalimat Gavin yang belum sempat ia selesaikan.Sontak kalimat ambigu itu membuat Gavin terdiam sesaat. Menatap punggung lebar sang atasan yang beranjak memasuki kediaman, sebelum mengambil keputusan untuk mematuhi perintah atasannya."Cepat bawa wanita ini," titahnya lirih pada bawahannya.Sontak perintah itu membuat tiga pengawal bertubuh gempal mulai beranjak memasuki mobil. Bersusah payah mengeluarkan tubuh Mayang yang tengah terbaring dan mulai membopongnya masuk."Tuan, di mana kami harus meletakkan wanita ini?" tanya salah seorang pengawal yang membopong bagian kaki Mayang."Taruh saja di kamar tamu," jawab Gavin datar seraya berlalu pergi. Malas sekali jika harus m
Mayang terperangah. Kalimat itu terdengar seperti penghinaan untuknya. Sontak Mayang memicingkan mata seiring kedongkolan yang mulai mengganjal dalam hati."Sepertinya Anda meminta pertolongan pada orang yang salah, Nona. Sebab seberapa besar pun Anda membayar saya, tidak akan membuat saya membantu Anda untuk merebut Tuan Aksa dari tangan Istrinya," tegas dokter Rasya kemudian. Masih sibuk dengan peralatan jahit untuk merekatkan kembali luka pada bagian betis Mayang.Sontak kalimat itu membuat Mayang terdiam. Meski demikian, tak menyurutkan sedikit pun niatnya untuk berusaha mendapatkan Aksa sesegera mungkin. Meski tak mendapati pertolongan dari siapa pun, dirinya masih bertekad kuat untuk kembali menjalankan rencananya."Ouch!" Mayang memekik keras saat dokter Rasya perlahan menusukkan jarum di luka terbuka di bagian kaki Mayang.Sontak pekikan itu membuat dokter Rasya menghentikan aktivitasnya dan memutar kepala menghadap pasiennya."Dokter, pakailah anestesi. Kenapa Anda menusuknya
"Baik, akan segera saya sampaikan pesan Anda. Namun jika Tuan Aksa tetap tidak mau datang, saya tidak akan lagi ikut campur," ucap pelayan wanita itu dan segera bergegas pergi meninggalkan ruangan.Sontak seulas senyum puas menggembang sempurna di bibir Mayang.Sementara itu, Aksa yang tengah berbaring di samping sang putri yang telah tertidur pulas, menatap ke arah sang istri yang tak kunjung menganggap keberadaannya."Sayang, apakah masih marah padaku karena membawa wanita itu ke rumah?" tanya Aksa mengulangi pertanyaan yang sama hingga berulang kali, namun tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang istri.Helaan nafas berat terdengar jelas sebelum Adira akhirnya bersuara. "Menurutmu? Apakah aku setuju wanita yang berulang kali ingin merebut Suamiku sekarang tinggal satu atap denganku?" ketusnya.Sontak hal itu membuat Aksa terdiam. Meski sebenarnya dirinya hanya tak ingin kembali dikendalikan oleh phobianya. Namun mungkin dirinya juga harus memikirkan kembali bagaimana perasaan sang
***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg
"Terima kasih, Tuan," ucap para pengawal serempak.Tak berselang lama, sebuah mobil mewah berwarna silver terlihat mulai memasuki halaman, membuat pagar rumah terbuka secara otomatis tanpa disentuh."Kebetulan sekali, Gavin kamu antar saya pergi ke kantor Polisi," ucap Aksa setengah berteriak saat pemuda dengan kacamata bening itu baru menjejakkan kakinya di atas lantai saat turun dari dalam mobil.Sontak Gavin hanya menatap sang majikan dengan beberapa pengawal yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. 'Apa yang terjadi?'Kini Gavin mulai beranjak turun dan menghampiri sang atasan yang masih berdiam diri di tempat semula."Tuan, apa yang telah terjadi? Untuk apa Anda pergi ke kantor Polisi? Apakah ada situasi darurat?"Rentetan pertanyaan itu membuat Aksa terdiam dengan perasaan kesal yang mulai menyertai.Jujur saja, kekhawatiran hebat seketika terbesit di dalam pikiran Gavin saat sang atasan menyebutkan kantor polisi.Melihat sang atasan yang tidak kunjung merespon apa pun, membuat pe
Adira segera membuka kotak obat yang baru ia ambil. Mengeluarkan kapas, obat merah dan perban dari dalam sana.Setelah membersihkan luka Aksa dari sisa darah yang telah berhenti mengalir, Adira segera mengoleskan obat merah dan membalut lukanya dengan perban yang ia lilitkan di telapak tangan sang suami."Apakah sakit? Aku akan melonggarkannya jika itu terasa sakit untukmu," ucap Adira saat melihat wajah sang suami masih terpejam dengan suara pekikan yang tertahan."Tidak. Asalkan darahnya sudah tidak terlihat, tidak masalah untukku," jawab Aksa masih terdiam mematung.Hingga dua tangan terasa melingkar di pinggangnya. Sontak membuat Aksa segera membuka mata sebab terkejut."Terima kasih telah melindungiku dari tusukan pisau itu," ucap Adira seraya memeluk erat pinggang sang suami.Sementara Aksa yang merasa pundaknya basah sontak segera melepaskan pelukan Adira di pinggangnya.Terlihat mata Adira yang mulai sembab dan berair. Suara isak tangis terlihat berusaha mati-matian Adira reda
Alih-alih langsung menyerang Adira dengan tangannya sendiri, Mayang justru mendekati Aksa yang tengah memicingkan mata menatapnya dari arah meja makan tanpa sedikit pun beranjak dari sana."Tuan Aksa ... lihatlah apa yang diperbuat Adira padaku!" ucap Mayang seraya merengek. Berharap Aksa akan bersimpati padanya.Namun alih-alih merasa iba, Aksa dengan cepat menutup hidungnya, dengan satu tangan lain menodongkan pisau buah yang ia raih sembarangan dari atas meja makan. "Mundur! Jangan mendekatiku! Baumu busuk sekali."Sontak kalimat itu membuat Mayang menghentikan langkah kakinya. Seraya menciumi tubuhnya sendiri.Aroma tak sedap yang datang dari bubur yang telah basi di pakaiannya teras begitu menusuk hidung. Pantas saja Aksa memintanya untuk segera pergi menjauh."Adira ...!" geram Mayang dengan nada meningkat. Melayangkan tatapan nyalang pada wanita yang tengah berdiri menghadapnya."Maafkan aku Mayang. Aku ketiduran tadi malam, jadi tidak sempat untuk mengambilkanmu baju ganti," u