Begitulah kehidupan Jenna, kembali terpuruk di titik terendah. Hatinya membeku, kemalangan seakan menyatu dengan dirinya.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Jenna tahu, suara siapa itu. Itu ibu mertuanya, pertanyaan itu dilontarkan dengan nada penuh rasa cemas. Wajar ibu mertuanya merasa seperti itu, tentu saja ia tidak akan ikhlas jika warisan yang diterima Jenna, berakhir dengan disumbangkan.
Jenna tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya duduk diam, mematung.
"Aku memperkerjakan seorang perawat, untuk mendampingi dirimu. Matamu buta, tentu akan sulit melakukan sesuatu," jelas Rosa yang melangkah masuk bersama seorang perawat. Perawat itu, dipekerjakan oleh Rosa dan semua hal yang berkaitan dengan Jenna, harus dilaporkan kepadanya.
"Selamat siang, Nyonya. Saya Maya, perawat Anda," sapa wanita paruh baya, yang dipekerjakan oleh Rosa.
Jenna, tidak bergeming.
"Abaikan sikapnya itu, memang ia tidak pe
Seperti biasa, malam ini Leo pulang dalam keadaan mabuk. Hanya saja, ia tidak langsung tidur. Semenjak Jenna pulang dari rumah sakit, Leo tidak lagi tinggal di apartemen. Ia memutuskan untuk kembali ke kediaman dan menempati kamar utama, bersama dengan Jenna. Walaupun, itu selalu membuat emosi dan gairahnya tersulut, secara bersamaan.Setelah berpesta dan bercinta dengan wanita tadi, Leo tahu yang diinginkan adalah Jenna, bukan wanita yang mirip dengan istrinya itu.Tidak lagi terlalu mabuk, Leo melangkah ke dalam kamar yang remang dan menuju sisi ranjang, di mana Jenna terlelap. Duduk di sisi ranjang dan menatap cukup lama, wajah istrinya.Leo mengangkat tangan dan membelai sisi wajah Jenna. Tentu ia masih marah dan belum memaafkan wanita itu. Namun, jika kali ini Jenna tidak menolaknya, maka Leo mungkin akan mengesampingkan kenyataan pahit itu.Setelah tangannya membelai wajah Jenna, Leo membungkukkan tubuh dan mendekatkan wajahn
Hari-hari, dilewati dengan begitu lambat. Terkadang, Jenna berharap ia mati. Jika ia mati, maka semua ini tidak lagi perlu dijalani. Hanya saja, rasa benci tidak mengizinkannya.Setelah kehilangan indera penglihatan, indera pendengarannya menjadi lebih tajam.Jenna dapat mendengar langkah kaki yang masih jauh dari kamarnya dan tahu, siapa itu.Itu adalah langkah kaki ibu mertuanya.Pintu kamar dibuka dan Rosa yang begitu bahagia, berkata, "Maya, pastikan Nyonya butamu itu, tidak meninggalkan kamar. Hari ini, aku mengundang beberapa orang sahabat dan aku tidak mau, wanita buta itu mempermalukan diriku!""Baik, Nyonya," jawab Maya, sopan.Lalu, pintu kamar dibanting oleh Rosa, saat meninggalkan kamar itu.Jenna tahu, keberadaannya semakin tidak diperhitungkan. Namun, selama ia masih bernapas, maka kesempatan untuk membalas dendam pasti ada.Maya, di hadapan Rosa adalah perawat yang kompet
Digendong begitu saja, membuat Jenna langsung memeluk leher suaminya itu, saat takut terjatuh.Melangkah masuk ke dalam kamar, Leo mendudukkan Jenna di sisi ranjang."Duduk diam di sana!" perintah Leo dan meninggalkan Jenna sendirian.Kedua tangan Jenna yang berada di atas pangkuan, saling bertautan. Ia tahu, pasti Leo marah. Namun, seharusnya pria itu bertanya apa penyebabnya. Hanya saja, Jenna yakin pria itu tidak akan peduli.Jenna duduk diam di sana, tidak bergerak. Ia tidak ingin mencari masalah dengan Leo. Ia dapat berkelahi dengan ibu mertuanya itu, tetapi tidak dengan Leo.Pintu kamar dibuka dan Leo melangkah masuk.Leo meletakkan nampan di atas ranjang, tepat di samping Jenna. Lalu, melepaskan jas dan menggulung lengan kemejanya.Dari suara setiap gerakan, Jenna tahu Leo melepaskan jas dan saat ini berada tepat di hadapannya. Dari hembusan napas dan kehangatan tubuh Leo, yang dirasaka
Raut wajah Rosa, menghitam. Mendengar bahwa kedatangan Logan adalah untuk menemui Jenna, membuatnya merasa begitu cemburu. Namun, sesaat kemudian Rosa mulai tersenyum. Ya, hubungannya dengan Logan sudah tidak begitu baik dan ia, tidak ingin semakin memperburuk."Jenna ada di kamarnya, mari aku antar," balas Rosa dan melangkah pergi, diikuti oleh Logan yang menggandeng tangan putrinya.Tok tok tok!Rosa mengetuk pintu, sebelum membukanya."Jenna, Logan dan Anastasya datang menjengukmu," ujar Rosa, datar."Masuklah kalian, aku akan meminta pelayan mengantarkan teh," ujar Rosa kembali, kali ini kepada Logan.Jenna yang duduk di sudut ranjang, mengangkat wajahnya. Tubuhnya tersentak, saat merasakan bagaimana Anastasya yang berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Kehangatan pelukan gadis kecil itu, menggetarkan jiwanya yang membeku."Bibi, apakah mata Bibi masih sakit?" tanya Anastasya, sambil meng
Jenna, mendorong Logan dan mundur dua langkah. Di sela tangisannya, Jenna berkata, "Jangan datang menemuiku lagi! Aku yakin, kau tahu betapa sulitnya aku melewati semua ini. Jadi, aku mohon, aku butuh waktu dan apa yang terjadi saat ini, tentu terjadi dengan izin dariku. Tolong, jangan temui aku lagi. Jangan bawa Anastasya menemuiku lagi, aku tidak mau melukai perasaannya.""Apakah harus seperti ini?" tanya Logan, lirih.Jenna, mengangguk kencang untuk menjawab pertanyaan itu.Logan, terdiam untuk sesaat, sebelum berkata, "Aku tidak tahu mengapa aku melakukan ini. Mengapa aku datang menemuimu dan melakukan sejauh ini. Aku tidak tahu pasti, alasannya. Yang pasti, ini bukan karena rasa iba!"Setelah mengucapkan kalimat itu, baik Logan maupun Jenna, terdiam."Jika itu keinginanmu, maka akan aku penuhi. Namun, jika kamu tidak lagi mampu bertahan, jangan lupa aku akan selalu ada untukmu," ujar Logan, kemudian berbalik pergi, meninggalk
Hari-hari kembali berlalu dengan lambat. Keberadaan Jenna, tidak lagi diperhitungkan dalam kediaman. Dianggap tidak ada, lebih baik bagi Jenna. Hari ini, ia memiliki jadwal kontrol ke rumah sakit. Biasanya, Maya si mantan perawat yang menemaninya, tetapi saat ini perawat itu sudah dipecat.Mandi dan berganti pakaian, dilakukan sendiri. Jenna yang berada di ruang ganti, mulai memilih pakaian. Menyentuh kain dan tahu itu adalah gaun yang mana. Setelah berganti pakaian, Jenna berjalan ke arah pintu kamar. Semenjak buta, ia tidak butuh ponsel atau apa pun, bahkan ia tidak tahu apakah tas tangannya masih ada atau tidak. Pergi ke rumah sakit, Jenna tidak perlu membayar, sebab ia terdaftar sebagian anggota keluarga jajaran direksi.Membuka pintu kamar, tangan Jenna mulai meraba-raba."Hendak pergi ke rumah sakit?"Suara itu, membuat Jenna menghentikan langkah dan mengangguk."Aku akan mengantarmu," ujar Leo."Tidak per
Berusaha mengabaikan keberadaan Jenna, Leo tetap memejamkan mata sampai mereka tiba di rumah sakit.Begitu mereka sampai dan taksi berhenti, Leo langsung membuka mata dan turun dari taksi.Merapikan jas dan menarik membuang napas berulang-ulang, sebelum membantu Jenna turun dari taksi."Mau aku gendong?" tanya Leo, berusaha memecahkan ketegangan yang dirasakan."TIDAK!" seru Jenna langsung dan berjalan lebih cepat.Leo yang menggandeng lengan Jenna, turut mempercepat langkahnya.Kehadiran Leo, Tuan Muda Kim, menarik perhatian. Apalagi selama ini, pria itu tidak pernah mendampingi sang istri.Di dalam ruang praktek dokter, pemeriksaan dilakukan. Jenna menurut dengan setiap perintah sang dokter dan tidak mengajukan pertanyaan apa pun.Seperti biasa, hasil pemeriksaan bagus dan dokter hanya meresepkan suplemen."Dokter, segera jadwalkan transplantasi untuk istriku," peri
Setelah itu, tidak ada lagi yang berbicara. Jenna, memastikan tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Entah perlakuan Leo tulus, atau hanya pura-pura, ia tidak lagi memikirkan hal tersebut. Kebahagiaan, bukanlah sesuatu yang pantas dimiliki. Itulah yang diyakini oleh Jenna.Kembali ke kediaman, Jenna melakukan aktivitas seperti biasanya.Leo, mendatangkan seorang perawat profesional untuk mendampingi, tetapi Jenna langsung menolak. Ia yakin, perawat itu hanya akan memata-matai dan melaporkan segala sesuatu kepada Leo, sama seperti Maya, perawat yang diperkerjakan oleh ibu mertuanya.Dengan berat hati, Leo menyetujui penolakan Jenna dan meminta sang perawat untuk pergi.Jenna semakin menutup diri. Ia hanya akan berbicara saat ditanya, itu pun hanya satu atau dua kata yang diucapkan.***Hari demi hari, kembali berlalu. Leo semakin kesulitan, mendekati Jenna. Wanita itu akan memintanya pergi, jika ia datang mengh