Mata Pak Abdul merah. Keduanya tangannya terkepal kuat hingga urat-urat di tangannya bersembulan. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang memburu. Darahnya mendidih dan gigi-giginya bergemelutuk.
“Kamu nggak tahu apa-apa tentang perasaan ku, Pak. Kamu nggak bakalan mengerti apa yang aku rasakan!” teriak Bu Hamidah.
“Sejak pertama kali aku mengenalnya, aku sudah menaruh hati padanya. Aku mencintai dia melebihi rasa sayangku pada diri sendiri,” lanjut perempuan berwajah judes itu.
Pak Abdul memejamkan matanya sejenak. Dadanya terasa sakit mendengar apa yang dikatakan oleh wanita yang dinikahinya bertahun-tahun lalu itu.
“Apa kurangku padamu, Midah? Apa kurangku?” Pak Abdul berkata dengan nada tinggi tepat di depan muka istrinya itu.
Lelaki itu tak menyangka jika semuanya akan seperti ini. Dia menyesal telah m
“Saranku, sebaiknya kalian pergi deh dari rumah itu,” ucap seorang pria dengan jambang di sekitar wajahnya. “Wanita itu udah kelewatan. Dia udah melanggar batas privasi kalian,” lanjutnya. “Ini semua demi kelangsungan rumah tanggamu dengan Ambar. Kamu nggak mau kan rumah tanggamu kembali hancur seperti dulu?” Ghani hanya bisa diam mendengar ucapan pria yang tak lain adalah kakak kandungnya itu. “Aku bisa aja Mas pergi dari rumah itu. Tapi gimana dengan Bapak? Aku takut kalau…” “Kalau soal Bapak… kamu nggak perlu khawatir. Ada aku dan Hafizah,” potongnya cepat. “Benar, Ghani. Kamu tenang aja. Aku bakalan sering-sering nengokin Bapak,” sahut seorang wanita cantik yang baru saja datang dari arah dapur. Ghani masih terdiam. Dia masih ragu menerima saran dari kakaknya itu. Tapi di sisi lain, dia juga harus memikirkan kesehatan mental Ambar. Dia tak ingin nasib pernikahannya hancur seperti yang sudah-sudah. “Kali
Hari ini Gunawan bangun lebih pagi dari biasanya. Ini hari pertamanya bekerja sebagai sales sebuah merek rokok. Ya! Setelah menganggur cukup lama, akhirnya kini Gunawan mulai bekerja kembali. “Gun,” tegur Bi Darni saat Gunawan memakai sepatunya di teras rumah. Gunawan menoleh ke sampingnya. Seulas senyum menghiasi wajah tampannya kala melihat wajah sang bibi yang mirip dengan almarhumah ibunya itu. “Kok pagi betul berangkatnya?” tanya Bi Darni. “Iya, Bi. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja sebagai sales. Jadi, aku nggak mau telat sampai tempat kerja.” Gunawan menjawab sembari tangannya tetap memakaikan sepatu ke kakinya. Bi Darni menghela napas panjang. “Kenapa nggak tetap kerja sama Sucip aja sih, Gun? Daripada kamu harus bangun sepagi ini.” Gunawan tak lantas menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menghela napas panjang sembari menatap wajah wanita pengganti ibunya itu lekat-lekat. “Sore nanti kan aku sudah pulang
Sebuah tepukan di pundaknya membuat Gunawan tersadar dari keterpurukannya. Dirinya kini menoleh ke belakang, ke arah Faizal yang tengah menatapnya dengan pandangan penuh tanya. “Dia… bukan siapa-siapa kok, Bang,” jelas Gunawan sebelum Faizal bertanya padanya. Faizal mengerutkan keningnya dengan heran. Dia tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Gunawan. “Aku… Ng…nggak kenal kok sama dia,” jelas Gunawan lagi dengan suara bergetar. Faizal semakin mengerutkan keningnya. Dia tak mengerti dengan apa yang Gunawan katakan. “Maksudnya?” Akhirnya Faizal tak tahan juga untuk tak mengeluarkan tanya. Kali ini yang merasa heran adalah Gunawan. Dia mengerutkan keningnya sembari menatap Faizal dengan melongo dan wajah seperti orang bloon. “M-maksud apa?” Gunawan malah balik bertanya. “Iya. Kamu tadi ngomong soal apa? Aku nggak ngerti deh. Kenal? Kenal sama siapa?” Faizal menjelaskan maksud pertanyaannya dengan sedetail
“Kamu!” sinis Anggun saat berpapasan dengan Gunawan di tempat parkir. Gunawan tersenyum mendengar suara sinis Anggun. Dia lantas mengulurkan tangannya. Bermaksud untuk bersalaman dengan mantan istrinya itu. Namun, dengan angkuhnya Anggun menepis tangan Gunawan. "Apa kabar?" tanya Gunawan. Bibirnya masih mengulas senyuman saat melontarkan pertanyaan itu. Walaupun Anggun sudah dengan kasar menepis tangannya tadi. Anggun tersenyum miring. Tanpa menjawab pertanyaan Gunawan. Wanita itu lantas meninggalkan tempat parkir dengan langkah yang begitu angkuh dan sombong. Gunawan menghela napas panjang. Dia hanya bisa menatap kepergian mantan istrinya itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Terus terang dia masih menyimpan rasa sayang untuk Anggun. Walaupun itu sangat kecil dan mungkin akan hilang seiring berjalannya waktu. Namun, dia tak bisa membohongi hatinya sendiri. Anggun masih menempati sudut hatinya yang terdalam. “Siapa dia?” t
"Saya dan ibu saya nggak pernah mengizinkan orang lain untuk tinggal bersama di rumah ini. Termasuk Anda yang bukan siapa-siapa kamu," ucap Ferdy yang berdiri di belakang Bu Ika. “Saya juga nggak sudi tinggal bareng sama orang yang anaknya udah merebut suami orang,” tambah Intan, istri Ferdy. Bukan kebetulan keduanya berada di sana. Memang setiap siang mereka berdua pulang ke rumah dan menutup toko yang mereka kelola berdua. Setelah ashar mereka akan membukanya kembali sampai malam. Bu Ika menoleh dan dengan angkuhnya dia berkata, "siapa kalian? Berani-beraninya kalian menentang keinginan saya? Memangnya kalian yang punya rumah ini?” Ferdy tersenyum miring mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Bu Ika. Sedangkan Bu Siti tampak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan apa yang keluar dari mulut wanita seumurannya itu. “Enggak perlu tahu siapa kami! Yang jelas kami berdua enggak mengizinkan orang lain tinggal di rumah ini,” jawab Ferdy. “Iya. Rumah ka
Gunawan tak bisa mengelak saat sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya. Dia terjungkal ke belakang dengan bibir mengeluarkan darah. Di sampingnya, Lena menjerit saat melihat kejadian itu. “Dasar bajingan!” umpat lelaki yang menghadiahi Gunawan dengan bogem mentah tadi. Gunawan berusaha bangkit dan menyeka cairan merah yang keluar dari sudut bibirnya. Belum sempat Gunawan menghindar, lelaki itu kembali melayangkan tonjokan tepat ke arah pelipisnya. Lagi-lagi Gunawan harus terjungkal ke belakang. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan mencengkeram kerah kemejanya. Matanya menyala merah. Urat-urat di sekitar kepalanya pun bersembulan keluar. Menandakan emosinya sudah tak bisa dibendung lagi. Melihat suaminya kalap, Lena berusaha menahan lengan lelaki itu agar tak menyakiti Gunawan lagi. “Sudah, Mas! Sudah, cukup! Jangan kamu teruskan lagi!” mohon Lena. Tangannya berusaha menahan lengan lelaki yang selama ini menemani ha
Hari ini Irfan akan berangkat ke luar kota. Dia mendapatkan tugas untuk mengecek proyek yang sedang berjalan di sana. Anisa yang mendengar itu segera membantu suaminya untuk menyiapkan segala keperluan Irfan selama berada di tempat itu. Anggun sebenarnya juga mendengar berita itu. Akan tetapi, yang dilakukannya hanya memanyunkan bibir saja. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi sudah jelas dan pasti kalau dia akan melakukan sesuatu yang buruk pada Anisa dan Pak Dullah. "Aku harap kamu bisa menjaga Anggun selama aku tak ada di rumah," ucap Irfan saat dirinya berdiri di samping Anisa. Anisa tak menyahuti ucapan sang suami. Dia hanya menatap sekilas ke arah lelaki yang kurang lebih sembilan tahun menjadi teman hidupnya itu. "Maaf kalau kemarin kata-kata ku menyakiti hatimu. Aku nggak pernah bermaksud untuk membuatmu sakit hati dan merasa terabaikan. Aku hanya ..." Anisa memotong ucapan sang suami dengan tatapan matanya. Namun, sedeti
Pagi ini Pak Dullah tampak bersiap untuk keluar rumah lagi. Anisa yang melihat bapaknya tampak terburu-buru, segera menghampiri lelaki itu. "Bapak mau ke mana lagi?" tanya Anisa saat dirinya berada di samping bapaknya. "Bapak ada urusan. Pulangnya mungkin nanti malam," jawab Pak Dullah. Matanya menatap sang anak sekilas. "Urusan apa sih, Pak? Bapak nggak mau cerita sama aku?" kejar Anisa. Dia merasa penasaran karena melihat akhir-akhir ini Pak Dullah tampak sangat sibuk. Pak Dullah menghela napas panjang. Matanya menatap sang anak dengan sorot lembut dan penuh kasih. "Nanti juga kamu bakalan tahu sendiri. Sekarang, Bapak nggak bisa cerita sama kamu," ucap Pak Dullah. Anisa sudah membuka mulutnya untuk menjawab lagi. Namun, pergerakannya terhenti saat melihat Pak Dullah bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk melangkah keluar rumah. "Bapak berangkat dulu. Assalamu'alaikum," pamit Pak Dullah. Anisa men
Gunawan tengah menikmati malam minggunya dengan duduk di teras rumahnya. Ditemani segelas minuman favoritnya—es cappucino juga sepiring brownies tape yang ia beli sepulang bekerja tadi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat hidangan yang ia tata di atas meja. “Nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?” ucapnya sembari menempatkan dirinya di kursi kayu. Namun, saat tangannya mencomot sepotong kue itu. Sebuah mobil dan dua sepeda motor tampak memasuki pekarang rumahnya. Dari dalam mobil turun sosok yang dikenal Gunawan sebagai suami dari Vera. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan empat orang berbadan besar mengikutinya di belakang. “Ada apa nih?” tanya Gunawan saat lelaki itu berada di hadapannya. Keningnya terlipat heran karena ekspresi wajah kelima orang itu tampak tegang dan menyimpan kebencian yang mendalam. “Enggak usah banyak bacot!” ucap seorang yang berbadan paling besar. Gunawan semakin tak mengerti. “Ada apa ini? Bisa kan bicara baik
Gunawan hanya diam saja mendengar semua ucapan Heri. Dia tak berniat untuk menjawab ataupun membantah ucapan lelaki itu. “Sekali lagi, aku minta tolong sama Mas Gunawan!” ucap Heri. “Kita sama-sama laki-laki dan aku pikir Mas Gunawan adalah orang yang baik. Jadi, Mas Gun nggak keberatan dengan apa yang akan aku sampaikan,” lanjut Heri. Gunawan menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya. Sudut bibirnya turut terangkat. Membentuk seulas senyum tipis nan sinis. Seolah mengejek Heri yang mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku minta sama Mas Gunawan untuk nggak mengganggu dan mencoba mendekati Vera kembali. Aku mohon, Mas. Biarkan rumah tangga kami bahagia tanpa ada gangguan dari pihak luar,” terang Heri. “Lagi pula semua uang yang sudah Mas Gunawan keluarkan saat masih bersama dengan Vera sudah aku kembalikan semuanya?” lanjut Heri. “Aku pikir itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuat Mas Gunawan pergi dari kehidupan kami berdua,” pungkas Heri. Gunawan i
Gunawan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Vera. Sekuat hati dia bersikap biasa saja saat tanpa sengaja bertemu dengan Vera di kantor. Dia juga berusaha untuk sebisa mungkin tak terlibat percakapan dengan wanita itu. “Gun,” tegur Amri saat Gunawan tengah bersiap-siap untuk berangkat visit. Gunawan menoleh ke arah temannya itu. “Ada apa, Am?” “Tuh!” Amri menunjuk ke arah lain dengan dagunya. Gunawan mengikuti arah tunjuk Amri. Seketika itu juga ekspresi wajahnya berubah. Tanpa mengatakan apapun juga. Dia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, saat akan mencapai pintu keluar Vera mencegah langkahnya. “Bisa kita bicara?” pinta Vera. Gunawan mendengus keras. “Maaf, saya sedang sibuk hari ini!” “Sebentar aja. Ada yang harus aku jelaskan sama Mas Gunawan,” ujar Vera sedikit memaksa. “Enggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi! Semuanya sudah sangat jelas menurutku,” sahut
Gunawan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Helaan napas berat terdengar begitu menyesakkan. Faizal yang melihat itu hanya bisa menepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Mencoba menyalurkan semangatnya pada lelaki yang tengah patah hati itu. “Ikhlas ya, Gun! Aku tahu masih banyak wanita baik di luaran sana,” ucap Faizal. Gunawan menatap Faizal dengan tatapan sendu. Namun, seulas senyum terukir manis di wajahnya. “Suaminya mengembalikan semua uang yang pernah aku keluarkan selama bersama dengan Vera,” kisah Gunawan. “Padahal aku nggak pernah minta uang itu balik lagi. Aku ikhlas kok membantu dia selama ini. Yah walaupun endingnya harus menelan rasa kecewa dan sakit hati,” lanjut Gunawan. Faizal menganggukkan kepala mendengar penuturan Gunawan. Dia tahu betul sahabatnya itu akan sangat royal pada siapapun juga. Dia tak pernah pandang bulu ketika membantu orang lain. “Dia juga bilang, maaf atas semua yang udah istrinya
Gunawan pulang dengan perasaan kacau. Hatinya hancur dan remuk. Kenapa semuanya harus seperti ini di saat dirinya mulai bisa membuka hatinya untuk orang lain? Apakah Tuhan tak mengizinkan dirinya untuk bahagia? Bukankah dirinya juga berhak untuk bahagia? Pikirannya melayang ke kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya berada di rumah Vera. “Kenalkan! Saya Heri, suami dari Vera.” Lelaki itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Gunawan. Gunawan menyambut uluran tangan itu dengan perasaan kacau. Lelaki itu terkesiap mendengar ucapan lelaki yang mengaku sebagai suami Vera itu. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya hari ini. Tidak mungkin Vera sudah bersuami. Selama ini dia selalu mengaku masih sendiri dan belum ada rencana untuk menikah. Namun, kenapa semua seolah terbalik dan … “Maksudnya … apa ini, Ver? Kenapa dia mengaku sebagai …” “Aku … aku bisa jelaskan semua ini. Dia ini … dia ini memang … suamiku, Mas.”
Gunawan tertegun mendengar penuturan Lisa. Dirinya sulit sekali untuk percaya pada apa yang diucapkan oleh gadis itu. “Mas Gunawan boleh percaya atau enggak. Tapi, yang jelas aku udah kasih tahu yang sebenarnya,” ujar Lisa. Gunawan menatap Lisa dengan pandangan menyelidik. Seolah ingin menelisik lebih jauh tentang cerita yang meluncur dari mulut gadis itu. “Dia itu sebenarnya udah punya suami. Sekarang suaminya lagi ada di luar kota untuk kerja. Biasanya sebulan sekali suaminya akan pulang ke sini,” terang Lisa. Gunawan mengernyitkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang didengar oleh pendengarannya kini. “Aku cerita kayak gini bukan karena pengin menjelek-jelekkan teman, tapi aku nggak mau ada korban lagi,” lanjut Lisa. Gunawan semakin tak mengerti. Dia menatap Lisa dengan tatapan penuh tanya. “Maksud kamu … korban apa?” tanya Gunawan dengan suara terbata-bata. Lisa menikmati minuman yang telah te
Hari ini Gunawan kembali menemani Vera yang sedang menjaga booth untuk pameran. Sejak pagi dia sudah stanby dan selalu cekatan jika Vera membutuhkan sesuatu. Walaupun di sana Vera tak sendirian, tetapi Gunawan tetap menemaninya di sana. “Pulang dari sini kita cari tempat buat makan ya, Mas,” pinta Vera. Gunawan tersenyum. “Memangnya kamu mau makan apa?” “Em … apa ya? Yang pedas-pedas enak kali ya. Kayak lalapan atau mie ayam gitu,” jawab Vera. Gunawan menganggukkan kepalanya. “Aku ada rekomendasi tempat makan yang enak di sekitar sini. Mau coba ke sana?” “Boleh. Kebetulan juga ada yang pengin aku omongin sama, Mas Gun,” sahut Vera. Gunawan tersenyum mendengar jawaban Vera. Dia merasa lega karena sikap Vera jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hari ini gadis itu lebih banyak tersenyum dan lebih bisa mengontrol emosinya. Hari sudah beranjak siang. Acara pameran pun sudah selesai. Gunawan membantu Vera dan teman-tema
Gunawan masih memikirkan ucapan Faizal tempo hari. Dia menjadi penasaran siapa Vera sebenarnya. Bukan karena dia kepo dengan urusan orang lain. Namun, dia harus melakukan itu agar tak salah lagi dalam memilih pasangan. Ya! Gunawan bertekad untuk menjadikan Vera sebagai pasangannya kelak. Gunawan telah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dia. Terdengar gombal memang, tetapi itulah yang terjadi. Dirinya merasa jatuh cinta hanya dengan melihat senyuman manis Vera. “Mas Gun!” tegur seseorang. Gunawan terlonjak kaget mendengar teguran orang itu yang tak lain adalah Fino. Fino tersenyum dan segera duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Gunawan. “Melamun aja deh. Kenapa?” tanya Fino begitu dirinya telah duduk di sebelah Gunawan. “Aku dari tadi panggil-panggil kamu, Mas. Eh kamu malah asik melamun. Enggak nyahut sama sekali,” lanjut Fino. Gunawan tersenyum kecut sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia meras
Semenjak kejadian tempo hari, Gunawan semakin dekat dengan Vera. Bahkan Gunawan rela mengantar jemput Vera. Dia tak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. “Hari ini jadwal kamu ke mana aja, Ver?” tanya Gunawan saat keduanya berjalan dari parkiran menuju kantor. “Aku hari ini ada event, Mas. Di pameran gitu sih. Kenapa, Mas?” “Enggak. Kamu berangkat sama tim atau berangkat sendiri?” “Sama tim sih, Mas. Kenapa sih? Kok kayaknya khawatir banget gitu?” tanya Vera dengan nada heran. Gunawan menghela napas panjang. “Enggak. Aku cuma takut kejadian waktu itu terulang kembali. Aku takut mereka ganguin kamu lagi.” Vera tertegun mendengar ucapan Gunawan. Dalam hati dia mulai berpikir, betapa tulus dan perhatiannya lelaki ini. Apakah harus dirinya mendapatkan perlakuan yang lain dari orang lain? “Mas Gunawan tenang aja. Mereka nggak bakalan berani gangguin aku lagi kok.” Vera mencoba tersenyum. “Semoga saja per