"Sayangnya tante harus setuju, karena Nina sedang mengandung bayiku.""APA?!"Bukan hanya Martha yang terpekik syok, Nina pun tidak kalah terkejut. Namun, Nina segera menguasai diri, lalu menjewer pelan kuping si biang masalah."Hamil?! Memangnya siapa yang kamu bilang hamil, hah?!" tanya Nina mendesis."Tentu saja kamu." Martin menjawab santai, sembari mengelus perut Nina yang rata.Nina segera menepis tangan Martin yang kurang ajar. Nina gelisah bukan hanya karena sikap Martin yang berlebihan, tetapi juga karena pelotototan tajam dari Martha, mama kandungnya.Nina menggeram dengan merapatkan giginya. "Hentikan Martin! Kamu pikir aku ini alien, hah? Kita hanya satu kali bercinta, dan itu baru terjadi kemarin. Kamu pikir bimsalabim gitu, langsung jadi benihnya?! Padi saja butuh waktu untuk jadi bulir beras, apalagi jadi nasi. Kalau ngomong itu yang masuk akal dikit dong.""Tapi Nina sayang, kamu mau kan menikah denganku? Tidak peduli kamu hamil bayiku atau tidak, aku tidak bisa membia
Max menurunkan Marigold di teras Edelweis mansion."Jangan cemberut begitu dong," bujuk lembut Max sembari membantu melepaskan sabuk pengaman Marigold.Cup. Max memberikan kecupan panjang di kening Marigold."Kamu janji akan menemaniku sepanjang malam," tuduh Marigold sambil menusuk dada bidang suaminya dengan jari telunjuknya. "Tapi kenyataannya.. belum ada satu jam berjanji, sudah ingkar. Dasar plin-plan."Max meraih pergelangan tangan istrinya, lalu mengecup punggung tangannya. "Bukan begitu sayang. Jangan pernah menuduhku ingkar janji, aku hanya memundurkan janji. Kan kamu dengar sendiri, kalau tadi kakekku tiba-tiba menelpon. Mereka ingin makan malam bersamaku."Marigold melingkarkan kedua tangan di leher Max. "Kalau begitu, biarkan aku ikut makan malam denganmu. Aku kan istrimu, jadi aku juga termasuk keluargamu. Lagipula sejak menikah denganmu, aku jarang bertemu keluargamu. Tiap hari hanya bertemu dengan para siluman di mansionmu itu sampai aku muak.""Lain kali saja, sayang,"
Satu jam sebelumnya di Edelwise Mansion.Entah mengapa suasana hening saat memasuki pintu utama mansion, membuat bulu kuduk Marigold berdiri, seolah dirinya sedang travelling ke istana berhantu. Marigold melirik jam tangannya. "Baru jam sembilan malam," gumam Marigold lirih dengan mata menyapu setiap sudut ruangan yang sunyi, bahkan para pelayan pun tidak nampak batang hidungnya. "Aku tidak salah masuk rumah kan? Tumben, mansion sepi kayak kuburan. Kemana semua orang, kok tiba-tiba menghilang? Atau.. jangan-jangan mereka diculik alien?"Tok-tok-tok-tok-tok.Suara sepatu Marigold menggema di ruangan yang dilewatinya. Marigold mengedikkan bahunya, mencoba tidak mempedulikan suasana yang cukup mencekam. "Sudahlah. Kebetulan juga aku sedang malas berbasa-basi dengan para siluman itu."Tiba-tiba.. sebelum kakinya naik ke anak tangga pertama menuju kamarnya, sekelebat bayangan muncul di samping kiri Marigold dan membuatnya terpekik kaget."Astaga.." Tangan Marigold mencengkram bajunya kar
Ketika Max dan Archie menghambur masuk ke dalam Edelweis mansion, keduanya mendapati Marigold tengah dikerumuni dan dihakimi oleh para istri. Sedangkan kepala Marigold menunduk lesu, memandang ke bawah, tidak mempedulikan dengan jari-jari telunjuk yang merecokinya."Ck, malam-malam begini kenapa kamu membuat keributan, Marigold?" gerutu Lotus, istri keenam, sembari mengikat erat tali jubah tidurnya. Lalu kedua tangannya bersedekap di dada, memandang tak suka pada Marigold."Kenapa anak anjing itu?" tanya Amarilis, istri kelima menimpali sambil berjongkok untuk melihat si dogi lebih dekat. "Apa dia sakit? Kalau sakit, bawa saja ke dokter hewan. Atau panggil saja dokternya kemari. Kasihan kalau cuma diselimuti seperti itu.""Kata Thomas, anjing itu sudah tidak ada napasnya." Chrysan, istri kedua menjawab datar. Thomas adalah kepala pelayan di Edelweis mansion."Mati?! Anak anjing itu sudah mati?" seru kaget Lotus dan Amarilis berbarengan."Marigold, kamu yang membunuhnya? Tega sekali ka
Apartemen Max.Cklek.Max membawa Marigold ke apartemen pribadinya. Sepanjang perjalanan dari Edelweis mansion hingga pintu apartemen terbuka, sama sekali tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Hanya isak tangis lirih Marigold yang sesekali terdengar.Blam. Pintu tertutup. Max mengurung tubuh lesu Marigold pada pintu. Disentuhnya dagu istrinya hingga mata yang berkaca-kaca itu mau menatapnya. Ibu jari Max mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Marigold. Sorot mata yang kecewa itu membuat hati Max pedih. "Sayang," bisik Max yang membungkuk ingin mencium bibir Marigold, namun istrinya itu memalingkan wajahnya hingga bibir maskulin itu hanya mengenai pipi lembutnya."Biarkan aku sendiri." Sikap penolakan Marigold membuat Max semakin sedih. Istrinya ini sama sekali tidak mau memandangnya. Seumur hidupnya, Max tidak pernah menghibur seorang wanita yang sedih. Max hanya paham bagaimana memanjakan wanita serta menyenangkan mereka dengan hartanya. Juga tidak sulit membuat para wa
Sementara itu di Edelweis mansion.Sepeninggal Tuan Max, Marigold, dan Tuan Archie, para istri duduk berkumpul di ruang keluarga di Edelweis mansion. Televisi layar datar 70 inci sudah dinyalakan, dengan program acara berita seputar luar negeri. "Yes, kita berhasil. Kita berhasil. Kita berhasil membuat Max marah pada Marigold dan menghukumnya. Well, apa rencana kita berikutnya? Benar-benar tidak sabar melihatnya kembali gemetar dan ketakutan." Istri kembar, Lily dan Peony yang kompak berkomentar bersahutan. "Huh, tentu saja berhasil. Siapa dulu yang merancangnya?" Chrysan mengibaskan rambutnya, berjumawa."Tapi aku tidak suka rencanamu yang melibatkan anak anjing yang tidak bersalah itu. Meskipun aku tidak menyukai hewan, tapi itu terlalu kejam, Chrysan. Bisa-bisanya kita meracuni hewan kecil yang tidak bersalah." Raut wajah Lotus yang muram, menggeleng tak setuju."Ck, untuk memuluskan rencana, apa pun itu bisa dilakukan," bantah ketus Chrysan memicingkan mata pada Lotus yang keban
Di tempat lain..Martin sedang duduk di belakang kemudi mobilnya, sambil mengunyah beef burger yang kedua. Ketika melihat sebuah mobil lain datang mendekat, Martin segera memasukkan sisa burger ke dalam mulutnya, lalu menyeruput soft drink yang sudah tak ada rasanya, untuk mendorong burger itu masuk ke tenggorokannya."Pa," panggil Martin yang keluar dari mobilnya sendiri, lalu berlari kecil mendekati mobil papanya yang sedang menunggu pintu pagar rumah dibukakan."Martin?" Papanya membuka kaca mobil dan mengernyit. "Sedang apa kamu disini? Kenapa tidak langsung masuk saja?"Martin menghela napas panjang. "Tante Martha tidak mengizinkanku masuk, bahkan para satpam sudah diperintahkan supaya tidak membukakan pintu untukku.""Kalau begitu masuk mobil papa saja. Kita masuk sama-sama," ucap papanya yang tahu tujuan putranya datang ke rumah untuk menemui Nina, namun selalu dihalang-halangi istri keduanya."Terima kasih, pa." Martin berlari kecil, melewati bagasi, lalu membuka pintu penumpa
Entah berapa kali, Nina menghela napas hari ini. Sepanjang pagi hingga menjelang siang, Nina sudah menyumbang karbondioksida yang cukup banyak hingga menciptakan hawa panas di sekelilingnya. Karena hanya itulah yang bisa dilakukan Nina saat dirinya menghadapi mama dan tingkah keras kepalanya.Dari jam enam pagi, pintu kamar tidur Nina sudah diketuk tanpa henti hingga dirinya terpaksa membukanya. Setelah itu, Nina mendapati dirinya digiring ke kamar mandi untuk menyegarkan diri, lalu duduk di depan cermin yang dipenuhi dengan lampu-lampu terangnya. Jiwa yang belum terkumpul sepenuhnya, membuat Nina merasa gamang dan hanya bisa menurut apa pun yang diperintahkan padanya."Huft.." Helaan napas lega ketika Nina akhirnya dibiarkan sendiri di kamarnya, setelah dirinya dipermak habis-habisan. Tanpa membuang waktu, Nina segera memasang alat penyadap suara yang diberi suami kedua mamanya, di bagian dalam pakaiannya. Nina sudah diwanti-wanti agar alat penyadap pemberian Martin itu, jangan samp
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri