Keesokan harinya..."Marigold, apa suamimu akan baik-baik saja ditinggal di rumah bersama mama?" tanya papa Marigold sambil memarkirkan motornya di lahan parkir di pasar yang khusus menjual aneka bunga dan tanaman. "Papa kok jadi sedikit khawatir ya."Dengan acuh, Marigold mengibaskan tangannya. "Max perlu latihan mental supaya tahan banting. Jadi papaku sayang, sebaiknya anda jangan terlalu mencemaskan Max. Oke?" jawabnya enteng."Tapi..""Sudahlah, pa. Jangan bicarakan Max lagi. Sudah lama kita tidak berkencan. Ayo cepat. Kita perlu berburu bibit baru untuk kebun papa," ajak Marigold yang terlalu bersemangat sambil menggandeng lengan papanya memasuki gapura pasar bunga."Kamu yakin?" tanya papanya ragu. "Kamu kan tau sendiri kalau mamamu itu keras kepala, suka memaksa, dan banyak maunya. Tekadnya sekeras suaranya yang menggelegar. Papa takut terjadi sesuatu pada suamimu..""Pa," ucap Marigold seraya berdiri di depan papanya. "Max akan baik-baik saja. Jadi papa tenang saja. Max pasti
"Kami pulang," sapa Marigold yang langsung terdiam saat melihat suaminya dikelilingi para tante yang kepo."Oh kalian sudah pulang?" sapa mama Marigold yang segera berdiri, lalu menggandeng putrinya untuk duduk menempel pada Max, menantunya. "Duduk disini.""Apa disini.. sedang ada acara?" tanya Marigold bingung sambil memandang satu per satu wajah para tante, teman satu geng mamanya."Ah, bukan acara spesial, cuma acara kumpul-kumpul biasa," jawab enteng mamanya seraya mengibaskan tangannya. "Mereka bilang pingin ketemu sama menantu mama yang kaya dan tampan, makanya mereka minta kumpul-kumpulnya di rumah kita.""Apa?" Marigold terkejut mendengar pengakuan vulgar dari mamanya. "Kenapa mama tidak bilang padaku?" gerutunya sebal melihat kerumunan mendadak yang meresahkan ini. Ulah usil mama tercintanya ini pasti bertujuan untuk memamerkan menantu spesialnya pada grup arisannya. Ck, dasar!"Ck, kalau mama bilang dulu, kamu pasti tidak akan setuju," protes mamanya sambil memberikan cubit
Sementara itu di tempat lain.. Hatsyii-hastsyii-hastyii.. "Astaga, makin parah saja flu ku," keluh Martin sambil menggosok hidungnya yang tertutup masker hijau. "Ini pak obatnya," kata kasir di sebuah apotik mini di lantai dasar apartemen. "Totalnya sekian, pak." "Ini uangnya. Terima kasih." Martin membayar, lalu meraih dua tablet obat flu. Hatsyii-hastsyii-hastyii.. "Sialan! Sebenarnya siapa sih yang membicarakan aku? Kenapa aku bisa tiba-tiba flu dan sakit kepala?" omel sebal Martin sambil berjalan dengan langkah terseret-seret, kembali ke unit apartemennya. Itu hanya kekesalan Martin yang terus menerus bersin tanpa henti. Martin berpikir pasti ada orang yang sedang membicarakan dirinya di belakangnya. Haaah... sebenarnya bersin dan hidung tersumbat ini adalah salahnya sendiri yang bekerja lembur beberapa hari terakhir, tanpa istirahat dan makan yang cukup. Alhasil kondisi Martin kini drop. Dimulai dari hidung tersumbat, kepala semakin berat, dan badan pun meriang panas dingi
"Kamu.. sebenarnya ada urusan apa mencariku?""Eng itu.." Tiba-tiba Nina menjadi gugup. Jemarinya terlihat gemetar saat menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. "Aku datang kemari karena..""Ya? Karena apa?" tanya Martin sambil mengambil segelas air di atas meja."Apa.. apa boleh aku tinggal disini untuk beberapa waktu?" tanya Nina dengan suara mencicit."Uhuk-uhuk-uhuk.." Martin tersedak air yang sedang diminumnya. "Ti-tinggal disini? Maksudmu tinggal di apartemenku?"Nina mengangguk ragu. "Apa.. boleh?"Martin meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. Dirinya tertegun mendengar permintaan Nina yang rupanya serius. "Kenapa tiba-tiba? Meskipun kita sedang mencoba hubungan serius, tapi untuk tinggal bersama.. itu belum terpikirkan olehku."Nina menghela nafas lelah. Sambil meraih bantal sofa di sebelahnya lalu dipeluknya, Nina berkata dengan lirih. "Maafkan aku. Tapi, aku benar-benar tidak punya pilihan lain selama beberapa hari ke depan ini."Martin mengabaikan nyeri di k
Ciuman demi ciuman terus berlanjut dan semakin menuntut. Nina ingin menolak rayuan Martin, namun tubuhnya memiliki pikiran sendiri. Tubuhnya melengkung nikmat, merespon kecupan demi kecupan Martin di lehernya. Sentuhan samar pada dua gundukan lembutnya menghantarkan sengatan listrik ribuan watt. Dengan cepat, gairah Nina melesat tak terkendali. Nina memejamkan matanya erat-erat menikmati sensasi hasrat yang begitu memabukkan.Kemudian..Hatsyii-hastsyii-hastyii.."Sial!" gerutu kesal Martin yang sontak menjauhkan diri dari Nina. Sedangkan Nina.. tubuhnya sontak membeku, kehilangan kehangatan tubuh Martin yang tiba-tiba tiba-tiba menjauh karena terserang bersin hebat. Dengan otak yang masih berkabut gairah, perlahan Nina bangkit dan duduk kikuk di pinggir sofa sambil merapikan pakaiannya. Nina tidak berani memandang ke arah Martin yang sedang mengusap hidungnya yang memerah dengan tisu.Hatsyii-hastsyii-hastyii.."Maafkan aku, Nina," sesal Martin seraya mengambil beberapa tisu di meja,
Blam.Suasana sangat hening ketika pintu apartemen Martin tertutup rapat.Nafas Nina yang terengah-engah membuat Martin menolehkan kepalanya. Dilihatnya bahu Nina berguncang hebat saat gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Nina menangis terisak-isak.Martin meremas gemas rambutnya seraya mengumpat tanpa suara. "Brengsek!"Hari ini banyak sekali kejadian drama yang menguras emosi. Mulai dari flu yang menjengkelkan. Dilanjutkan dengan kemunculan dua wanita cantik yang tak terduga di apartemennya, yang menambah kepala semakin sakit. Mereka adalah Helen, rekan kerja Martin, dan Nina. Adu mulut kedua wanita cantik itu juga menambah semakin runyam situasi. Tidak ketinggalan adegan bermesraan yang tidak direncanakan dengan Nina di sofa, yang akhirnya mengharuskan dirinya mengguyur kepala dengan air dingin untuk meredakan gairahnya.Lalu klimaks dari semuanya itu.. datanglah sepasang merpati tak diundang, yaitu papa kandung dan ibu tirinya, yang dengan seenaknya menerobos masuk ke
Akhirnya... Martin tidak bisa berpikir lagi. Gejolak gairahnya menggantikan kerja otak logisnya.Srek. Bruk.Tiba-tiba, secepat kedipan mata, Martin mengubah posisinya yang awalnya terdesak, berubah menjadi pemangsa. Kini tubuh Nina terbaring pasrah di sofa dengan Martin menjulang diatasnya."Apa kamu tahu apa yang kamu minta, Nina?" desis Martin seraya mengelus pipi gadis itu. Martin tersenyum miring melihat Nina yang menegang kaku.Sebagai jawaban, kepala Nina hanya bisa mengangguk dan menggeleng-geleng bersamaan. Nina terhipnotis dengan mata lembut dan sikap Martin yang merayu. Nina tidak bisa memahami sepenuhnya, ucapan pria yang sedang menindih tubuhnya di sofa. Nina menggertakkan gigi, menahan erangannya saat tubuh lembutnya menempel erat dengan tubuh keras Martin. Kupu-kupu berterbangan di perut Nina.Saat ini, Nina sangat menginginkan sentuhan jemari Martin yang sudah bergerilya, merabanya dengan ahli di leher dan diatas dua gundukan lembutnya."Mar-martin, aku.. aku..""Permi
Mata Nina terbelalak kaget melihat siapa tamunya. "Oh, tidak.""Selamat pagi, Nina sayang," sapa ramah wanita yang datang bertamu. Dia adalah Martha, mama kandung Nina. Matanya memperhatikan dengan tatapan tidak suka pada penampilan Nina yang hanya terbalut bathrobes putih. "Kenapa kamu tidak berpakaian yang layak di apartemen seorang pria, Nina? Jadi kamu.. sudah berhubungan intim dengan.. Martin?""Buat apa mama datang lagi kemari?" desak Nina mengabaikan pertanyaan mamanya. Dengan sedikit gemetar, tangannya mengencangkan ikatan bathrobes nya yang mulai mengendor. Nina merasa sedikit jengah dipelototi mamanya, akibat penampilannya yang minim. Nina hanya mengenakan pakaian dalam, dibawah balutan bathrobes itu."Ganti bajumu. Kita pergi sekarang!" perintah Martha sambil meraih pergelangan tangan Nina."Tidak," tolak Nina kasar seraya mengibaskan tangannya agar cengkraman mamanya terlepas darinya. "Aku tidak mau ikut mama kemanapun. Sebaiknya mama pergi saja. Mama pasti punya banyak ur
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri