Bab 6 Mencuri

Ditengah suasana hangatnya kebersamaan keluarga yang tengah menikmati sarapan pagi di meja makan mereka, seketika berubah saat melihat putri pertama dari keluarga itu datang dan tengah menyaksikan betapa bahagianya mereka.

Beberapa menit setelah Damian pergi ke kantor, aku sendiri memutuskan untuk kerumah orang tuaku berniat mengambil beberapa barang – barangku yang bagiku sangatlah penting. Namun nyatanya disana tak ada sambutan hangat melainkan hanya sebuah tatapan risih, ntah bagaimana lagi harus menjelaskan seperti apa yang aku rasakan melihat keluarganya itu seakan terganggu dengan kehadirannya, haruskah mereka menatap aku seperti orang asing yang tiba – tiba datang, layaknya seorang tamu yang tak di undang. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tak layak, pribadi siapa yang tak sakit hati dengan perlakuan yang seperti itu.

“Ada apa, pagi – pagi ke kesini?” Tanya tuan Arzano setelah ia meneguk habis kopi hangatnya.

“Aku datang untuk mengambil beberapa barang saja, maaf jika saja kedatanganku menganggu kalian.” Tamara menunduk sebagai permohonan maaf lalu berbalik pergi.

“Kau datang di waktu yang tidak tepat, lain kali jangan seperti itu.” Ujar sang ibu.

Alleta Rezalia Noa sosok wanita yang telah melahirkanku, berkata seperti itu. Ucapannya seperti bukan seorang ibu pada anaknya, seorang ibu mana yang akan berkata seperti itu bukankah seorang ibu seharusnya bahagia dan senang jika anaknya pulang kerumah. Tapi memang aku tidak pernah merasa seperti putrinya dan dia pun mungkin tidak pernah menagnggap aku sebagai putrinya.

“Ya, lain kali tidak akan aku ulangi.”

Aku beranjak pergi tanpa memperdulikan mereka lagi dan lebih memilih untuk segera menuju kamarku, lagi pula aku pun tidak ingin berlama – lama dirumah ini. Sedikit lagi aku menuju kamarku dan tak sengaja aku bertemu dengan nenek Hanna, mungkin dia baru akan sarapan bersama dengan yang lainnya dibawah.

“Ada apa?”

Pertanyaan yang sama seperti apa yang orang – orang dimeja makan itu tanyakan padaku.

“ingin mengambil barang – barangku saja.”

“Begitu, baiklah tapi jangan berlama – lama dan segeralah pulang.” Ujar nenek Hanna kemudian berlalu pergi dengan aku yang masih berdiri disana. Padahal tanpa di suruh pun aku juga akan pergi secepatnya.

***

Aku memasuki ruangan yang kemarin ruangan ini adalah tempat ternyaman untukku dirumah ini, ruangan yang kemarin adalah tempat aku mengadukan segala kesedihan, kemarahan dan kekecewaanku, tempat dimana aku jadikan sebagai pelarian dari segela hal yang menyatiku dirumah ini. semua yang ada dikamar ini menajdi saksi bagaimana aku melewati hari – hariku dirumah ini. Sedih karena harus meninggalkan segala emori berharga bersama dengan kamar ini.

Aku berjalan mengambil wadah berukuran sedang dan mulai memasukkan barang – barang yang menurutku sangatlah penting bagiku, aku sangat sayang jika mereka semua harus aku tinggalkan disini.

Aku mengambil sebuah boneka beruang berwarna coklat, yang dimana itu adalah boneka pemberian kakek sebelum ia meninggal, aku mengambil beberapa alat menggambarku dan terakhir mengambil buku -buku yang dulunya begitu favorit untuk aku baca. Tak lupa juga diary yang masih tergeletak nyaman di atas meja belajar itu.

“Kau pulang hanya karena barang rongsokan itu.”

Aku terdiam mematung ditengah kegiatanku mengemas barang, hal yang paling tidak aku sukai adalah ketika wanita bernama Queensha Nathallya Noa selalu muncul disetiap apa yang aku lakukan. Aku selalu benci dengan dia yang selalu ada didalam setiap urusan dan permasalahanku, karena bagaimaa pun bagiku dialah orang dari segala sumber penderitaanku.

“Memangnya kenapa? Menurutmu ini mungkin adalah barang rongsokan, sampah tapi berbeda bagiku.” Jawabku yang kembali menyusun barang – barang itu.

Queensha melipat tangan didada dan terkekeh pelan mendengar jawaban sang kakak, baginya setiap perlawanan dan balasan yang dilakukan Tamara selalu berakhir sebagai lelucon baginya.

“Katakan saja jika kau ingin menarik perhatian ayah dan ibu, juga orang – orang yang ada dirumah ini.” Ujar Queen lagi.

“Hei, Tamara. Kau harusnya sadar jika reputasimu dirumah ini sudah rusak, kedatanganmu hanya akan menganggu perasaan orang – orang dirumah ini. Bagaimana tidak, kau tumbuh menjadi anak yang hampir membuat malu keluarga ini, jika saja ayah tidak berbaik hati mungkin ayah sudah akan mengusirmu dari keluarga.”

“Tapi bukankah memang seperti itu, bukan hanya ayah tapi kalian semua memang sudah mengusirku dari keluarga. Tapi aku sama sekali tidak masalah dengan semua itu, aku sudah tidak peduli lagi seperti apa aku dihadapan keluarga ini. Baik atau buruk, persetan dengan semua itu. Tapi aku pun selalu bersyukur karena tidak pernah menjadi orang yang suka mencuri kebahagian orang lain.” Balasku.

“Mencuri!!!”

Kuputuskan untuk segera beranjak pergi, aku sudah tak ada waktu lagi untuk meladeni Queen. Bagiku berurusan dengannya hanya membuang – buang waktu dan tenagaku saja.

Queen yang merasa tidak terima dengan perkataan sang kakak lantas ia menarik kasar Tamara yang ingin berlalu pergi. “Mencuri? Mencuri apa, siapa yang kau maksud seperti itu.”

“Kau marah? Kau tersinggung, Jadi tidak perlu lagi ku jelaskan.” Tamara menepis tangan Queen dan kembali melanjutkan langkahnya.

Queen dengan nafas yang naik turun mendandakan ia begitu tidak terima dengan perkataan Tamara, ia sangat tidak suka jika diperlakukan seperti ini. Harga dirinya seakan dicabik – cabik oleh sang kakak dan sangta tidak bisa untuk ia biarkan.

Queen dengan cepat menyusul Tamara, ia harus memberikan pelajaran pada Tamara sebelum pergi meninggalkan rumah, karena telah berani berkata seperti itu padanya.

“TAMARA!!!”

Plak!!!

Satu tamparan lolos mengenai pipi Tamara, meskipun sang adik divonis oleh dokter mengenai kondisi jantungnya yang lemah tapi siapa sangkah jika Queen bisa sedemikian kuatnya untuk menyakitinya. Ia akui jika tamparan Queen begitu kuat mengenainya.

Emosi dan kemarahan Queen mengundang kehebohan dirumah itu, Sontak semua penghuni rumah memperhatikan apa yang terjadi pada kakak beradik itu.

“Ada apa ini?” Bentak sang ayah yang baru saja akan berangkat menuju kantornya.

Queen dengan mata yang memanas membendung air mata nampak begitu menyedihkan, sang ibu yang mengetahui pertengkaran kedua putrinya segera berlari kearah mereka.

“Ada apa ini, Queen sayang ada apa nak?” Ujar Aletta menghampiri putri bungsunya.

“Ada apa ini Tamara?” Tanya Arzano menatap tajam Tamara.

“Tidak ada apa – apa, hanya permasalahan kecil.” Balas Tamara dengan tenang.

“Permasalahan kecil tidak akan membuat Queen sampai menangis seperti ini, apa lagi yang kau lakukan pada adikmu.” Ucap Aletta yang masih berusaha menenangkan Queen.

“Aku pun tidak tahu kenapa Queen bisa berlebihan seperti itu karena ini hanyalah permasalahan kecil, aku tiada maksud untuk menyakiti atau pun menyinggung siapa pun.”

“Aku hanya tidak terima jika kakak mengatakan bahwa aku akan mencuri segalanya darinya, aku tidak pernah seperti itu ayah, ibu.” Ujarnya dengan derai air mata jatuh membasahi pipi.

“Apa maksudnya itu Tamara, memangnya Queen mencuri apa darimu. Justru kaulah yang mencuri kebahagiaanya, kau mencuri pria yang akan menjadi suaminya. Tapi Queen masih berbaik hati untuk mengikhlaskan dia untukmu agar dirimu tidak dipandang buruk diluar sana karena hamil anak tanpa seorang ayah.” Jelas sang ibu.

“Oh ya, kalau begitu terimah kasih Queen karena sudah sebaik itu padaku.”

Tamara melemparkan senyum manis pada Queen, entah dalam maksud apa. Tapi lagi – lagi itu membuat hati Queen semakin dirunduk kemarahan.

“Kalau begitu semaunya aku pamit pulang, karena ada banyak yang harus aku lakukan dirumahku.”

Tak ingin lagi menghiraukan dan berlarut – larut dalam hal dramatis yang dibuat Queen, memang lebih baik Tamara memutuskan untuk segera pergi.