Audy menatap nanar air hujan yang lebat itu mengguyur jalanan melalui balik jendela kamar. Seharusnya sekarang dia sedang berkencan menikmati malam minggu bersama Gerald, seperti pasangan pada umumnya. Namun, dia hanya bisa berdiam diri bak patung hidup.
Tok...Tok...Tok...
Ketukan beruntun yang menggema dari luar kamar, menyadarkan Audy dari lamunannya.
"Siapa?" tanya Audy tanpa mengalihkan padangan pada benda transparan di depannya.
"Simbok, Non."
"Masuk." Seru Audy dari dalam kamar.
Mbok Ani perlahann memutar gagang pintu. Ia melangkah hati-hati mendekati Audy.
"Kenapa mbok?" Audy merasa heran melihat mbok ani yang kini menunjukan gigi putih yang tertata rapi, sambil tersimpuh malu.
"Eh... itu Non, ada yang lagi ngapel."
"Siapa mbok?"
"Den Gerald, Non."
Mendengar nama yang disebutkan mbok Ani, mata Audy membulat sempurna. Dia tidak percaya laki-laki yang sedari tadi tidak ada kabar kini sudah berada di rumahnya.
"Serius mbok?"
"Serius Non. Masa mbok bohong."
Audy menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa yang tadi dipikirkannya hingga ia tak mendengar deru suara mobil Gerald.
"Aduh, Aduy belum dandan nih mbok."
"Mau dandan gimana lagi si Non? gitu aja udah cantik kok."
"Apaan? orang kucel begini."
"Non tuh udah cakep dari lahir, abis bangun tidur juga keliatan cantik."
"Iih simbok, pinter banget gombalnya."
Mbok Ani tekekeh kecil melihat Audy yang tampak gusar mencari alat make up nya.
"Ya sudah, Mbok ke bawah dulu yah."
"Mbok, gak mau bantuin Audy gitu?"
"Udah deh Non, yang natural aja. Cantiknya paras seorang wanita hanya akan membuat lelaki menatap. Tapi, cantiknya akhlak akan membuat mereka menetap."
"Bukannya tadi mbok bilang mau kebawah? hati-hati turun tangganya." Tandas Audy yang tak mau diceramahi panjang lebar.
Mbok Ani menggeleng pasrah sambil berkata, "Dasar bocah."
Audy meringis lebar menatap punggung renta Mbok Ani. "Simbok gak tau sih, insecurenya aku saat liat temen kampus Gerald yang glow uo semua." batin Audy
Audy menghela nafas panjang. Andaikan saja Gerald bisa lebih ramah, mungkin Audy bisa cuek dalam berpenampilan. Tapi, sayangnya Gerald tipe ice boy. Audy sendiri tidak tahu apa yang bisa meluluhkan Gerald. Sifat periang dan senyum cerianya ternyata tak mampu membuat Gerald bersikap hanvat. Audy hanya berharap, semoga dengan penampilan yang goodlooking bisa menarik perhatian Gerald.
Audy mengamati penampilannya di cermin besar berukuran 1×1 meter yang berada di kamar. Setelah cukup yakin, ia melangkah perlahan keluar kamar untuk menemui Gerald.
"Hai Ger, maaf menunggu lama." Seru Audy yang telah berada di anak tangga paling akhir yang terhubung dengan ruang tamu.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Gerald hanya menatap Audy tanpa ekspresi.
"Tak apa."
Audy memaksakan senyumannya saat berada di hadapan Gerald.
"Mengapa tidak mengabari kalau mau kesini?"
"Surprise."
Mulut Audy ber O ria. Ia mengambil duduk disebelah Gerald.
"Kangen yah?" ucap Audy percaya diri sembari mencolek perut Gerald.
"Tidak." balas Gerald tanpa dosa.
"Lalu untuk apa kau kemari?" kesal Audy mencebikan bibirnya.
"Ini." Gerald menyerahkan bungkusan besar yang tergeletak di lantai dekat kakinya.
"Apa?"
"Bukalah." perintah Gerald
Mata Audy berbinar ceria. Meski hatinya dongkol dengan keiritan Gerald dalam berbicara namun, dibaliknya Gerald tipikal laki-laki yang penyayang serta pengertian.
Pelan tapi pasti, Audy mebuka bingkisan yang diberikan Gerald.
"Waaa... Makasi,"ucap Audy tulus.
"Sama-sama."
Audy memeluk erat boneka bear berwarna merah muda terang yang baru saja diberikan Gerald."Suka?"
Audy terpaksa mengangguk. Hatinya terasa sesak. Bagaimana bisa Gerald memberikan boneka bear padahal ia sendiri menyukai keroppi?.
Bahkan warnanya begitu feminin sedangkan Audy lebih pro dengan warna gelap seperti cokelat atau biru tua. Dalam hati Audy bertanya, apakah Gerald hanya pura-pura peduli padaku?.
"Kalau begitu aku pulang dulu." Imbuh Gerald sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Lho? kenapa buru-buru?"
"Tesis ku sudah menungguku."
Audy mendesah kecewa, lagi-lagi Gerald lebih mementingkan tesis dari pada kekasihnya.
"Itukan bisa nanti-nanti." Cegah Audy tak rela Gerald pergi.
"Lebih cepat selesai lebih baik."
"Apa aku harus menjadi seorang pengemis baru kau peduli?"
Gerald mengangkat dagu Audy agar sejajar dengannya.
"Ku harap kau dapat mengerti."
Audy memalingkan wajahnya. Manik matanya terlalu lemah untuk beradu tatap dengan sorot tajam manik hitam milik Gerald.
"Baiklah. Hati-hati di jalan."
"Iya."
Audy mengekori langkah kaki Gerald ke luar pintu rumah. Tangannya melambai lesu saat mobil gerald melewati batas pagar.
πππππππππππππ
Piyar..... Bunyi beda berjatuhan
"Della... Berhentilah bekerja, aku ingin kamu di rumah saja mengurus keluarga ini," amarah Hendra kini memuncak, saat melihat tumpukan berkas kerjaan Della dibawa pulang kerumah.
"Apa salahnya aku bekerja? lagi pula untuk apa aku mengurus keluarga ini,? Memangnya aku siapa?" tanya Della sinis.
"Ow ya aku lupa, statusku hanya nyonya muda rumah ini" ucap Della dengan menekan kata status.
"Apa maksudmu Della?"
"Aku tidak punya maksud apa-apa," jawab Della dengan entengnya lalu mengambil tumpukan berkas dan ingin mengerjakannya kembali.
Seketika berkas yang dipegang Della dirampas dengan paksa oleh Hendra. "Kamu..."
"Apa ? Aku lelah berdebat denganmu. Aku ini istri yang tak pernah kau anggap. Aku nyonya di rumah ini tapi, nyonya tak dianggap. Kau lihat setiap sudut rumah ini bahkan kamar ini punya almarhum istrimu, aku tidak ada tempat disini." Della mengungkapkan rasa kecewa yang dipendam selama ini kemudian berlalu meninggalkan Hendra.
Brukk
Della yang tergesa berlari menghindari Hendra yang mengejarnya tak sengaja menabrak tubuh boneka bear berukutan 2 meter yang digendong Audy.
"Audy!" teriak Della susah payah menahan tubuhnya yang huyung ke belakang agar tak jatuh ke lantai.
"Maaf Bunda. Aku tak sengaja," elak Audy tak mau disalahkan.
Sekejap Della tertegun melihat sesuatu yang dipeluk Audy.
"Baguskan?" tanya Audy yang paham Della sedang mengamati boneka sekaligus bunganya.
"Ya" jawab Della singkat. Hatinya sedikit bergetar melihat benda itu. Benda yang sangat Ia favoritkan dan selalu Gerald untuk menghiburnya dikala sedang bersedih atau sekedar untuk menyogoknya jika sedang marah. Tiba-tiba terbesit kerinduan dihatinya pada Gerald.
"Bun?" desis Audy memutus lamunan Della.
"Simpan baik-baik bonekanya, jangan sampai bunda ambil, ini boneka favorit Bunda," ucap Della seraya mengukir senyum manis.
"Benarkah Bun,?" tanya Audy dengan memasang muka cemberut.
"Iya, kenapa mukamu seperti itu?"
"Boneka ini dari Gerald. Tapi..."
"Della!" teriak Hendra dari kejauhan.
"Maaf, nanti dilanjut ngobrolnya aku pergi dulu kebelakang," ucap Della berlalu meninggalkan Audy dengan langkah terburu-buru.
"Bunda kenapa dipanggil ayah kok kayak ada rasa takut begitu? Jangan-jangan ayah minta jatah sama bunda tapi, bunda gak ngasih, duh... Kasian sekali ayahku," pikir Audy lalu masuk kedalam kamar membawa boneka yang sedari tadi dipeluknya.
Tetesan bening yang luruh ke bumi semakin deras. Siluet kilat yang disusul guntur menambah kesyahduan hujan malam ini.Gerald tersenyum puas penuh kemenangan. Meskipun belum ada tanda-tanda Della akan kembali padanya, namun Gerald yakin mampu membuat Della bernostalgia lagi akan kenangan kebersamaan mereka dulu.Dengan demikian, sedikit demi sedikit Della akan merana dan memintanya untuk mengulang kembali masa-masa indah mereka."Kemarin mungkin kamu bisa menolak ku, tapi akan ku pastikan jika esok lusa kau akan menjadi milikku." Ucap Gerald penuh keyakinan.ππππππππππππPukul 06.30 pagi. Mentari bersinar cerah beralas awan biru yang membentang di penjuru langit.Weekend merupakan hari yang sangat dinanti. Bukan hanya siswa siswi, pekerja kantor juga menantikan hari itu.Della menyiapkan sarapan pagi bersama Mbok Ani yang
Waktu terus bergerak maju dan tak akan pernah bisa berhenti. Waktu memiliki detik, menit, bahkan jam yang tak akan berkesudahan. Tak ada peran yang akan menggantikannya.Kini waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sinar sang surya hampir meredup namun, Gerald belum juga menunjukkan batang hidungnya. Audy terus membuka dan menutup kunci handphonenya. Namun, tidak ada satu balasan atau pun panggilan dari Gerald. Tak selang beberapa lama Audy pun melakukan miss call kembali."Maaf nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan."Audy berdecak kesal, dandanan yang tadi begitu cantik dan fresh kini sudah berubah menjadi acak-acakan dan kusut, "kamu kemana Ger?" tanya Audy pada diri sendiri lalu dia membanting tubuhnya di atas kasur meluapkan rasa kesalnya."Audy!!" Panggilan dari luar kamar membuat Audy menggeliat malas. Suara Hendra yang melengking bercampur suara ketukan pintu yang beruntun serta tidak sabaran m
Matahari tenggelam sempurna di garis cakrawala. Siluet tipis bintang di langit perlahan muncul.Gerald melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, setelah melambaikan tangan sebagai ucapan perpisahan pada Della. Wajah tampannya berseri-seri, pertemuan tak sengaja dengan Della kini membuahkan hasil yang tak dia sangka-sangka."Della, perlahan tapi pasti aku akan mendapatkan kamu kembali." Bisik suara terdengar di telinga sebelah kiri Gerald, menemani perjalanan menuju pulang ke rumah."Apa kau senang sekarang Gerald? Ingat di atas kebahagiaan mu, akan ada seorang gadis yang terluka." Suara itu kembali terdengar di telinga Gerald sebelah kanan.Seketika dia baru teringat jika dia melupakan janji yang telah dia buat untuk Audy. "Oh ... astaga aku lupa dengannya." gumam Gerald.Masih dengan konsentrasi menyetir Gerald mencari-cari ponsel miliknya untuk menghubungi Audy. Nam
Gerald menarik nafas lega, saat selesai meeting dengan klien yang memberikan pundi-pundi emas untuk kemajuan perusahaan, yang telah dibangun deddynya hingga mencapai puncak kesuksesan.Perut yang sedari pagi belum terisi kini mulai berdemo, dia memilih untuk makan, makanan cepat saji di mall itu. HokBen menjadi pilihannya.Setelah selesai memesan dia mencari bangku kosong untuk menjadi tempat ia menyantap makanan. Saat dia tengah mencari-cari, matanya tak sengaja tertuju pada bangku pojok dekat jendela kaca dengan view pemandangan jalan Gandaria. Bola matanya berubah menjadi binar bahagia saat melihat sosok wanita yang telah memenuhi ruang hatinya."Della!" Sapa Gerald setelah mendekati meja pojok. Dia baru ingat jika perusahaan tempat bekerja Della ada di daerah Gandaria."Hay, Ger! Kamu disini?"
Gerald mengalihkan pandangan matanya, saat jalanan di depannya mendadak ramai oleh kerumunan orang.Della yang ikut menyaksikkan arah pandangan Gerald, bersiap hendak bangkit ingin memeriksa."Kamu, mau kemana?""Aku ingin melihatnya sebentar," ucap Della."Mungkin ada kecelakaan."Della tersenyum canggung, perasaannya menjadi tak tenang. Ia ingin menengok apa yang sebenarnya terjadi di depan sana, namun pegangan erat di pergelangan tangannya membuat Della segan."Sudahlah, jangan ikut campur urusan orang." cegah Gerald yang tak ingin Della pergi."Tapi ....""Jika tidak ingin menolong ya sudah, untuk apa jadi penonton? tidak bermanfaat sama sekali," ucap Gerald.Della mengangguk menurut. Memang benar yang dikatakan gerald, hanya sekedar ingin tahu tanpa peduli, untuk apa?. Kecelakan bukan sebuah hiburan, ini musibah tid
Hari telah menjelang sore, belum ada tanda-tanda Audy akan membuka mata. Della dan Hendra dengan sabar menunggui Audy. Setelah perdebatan yang dilakukan tadi akhirnya Hendra mengalah saat, mendengar penjelasan dari Della jika dia sama sekali tidak bertemu Audy, sedangkan Gerald yang kelelahan sehabis meeting tertidur pulas di atas sofa."Aku ke kantor sebentar, ada masalah di kantor, yang harus segera aku selesai," Ucap Hendra lirih takut membangunkan Gerald."Iya hati-hati. Biar aku yang menjaga Audy.""Terimakasih." Balas Hendra lantas berbalik arah menuju pintu.Della mengangguk singkat. Ia menghela nafas saat melihat wajah pucat Audy."Dasar ceroboh. Apa kau begini karena melihat kebersamaan kami?" Umpat Della dalam hatinya. "Seharusnya kamu, menemui kami dan bertanya baik-baik. Lihatlah akibat prasangka burukmu, kamu malah celaka." Della mulai mengomeli Audy yang masih memejamkan matanya.
Hampir menjelang dini hari Audy terbangun dari tidurnya. Pikirannya yang sedang kacau membuat tidurnya menjadi tak tenang.Audy mengamati sekelilingnya, ia menatap wajah tua ayahnya. Lagi, kenangan tak menyenangkan tadi sore berputar di memori otaknya."Meski kau telah melukaiku, tapi entah mengapa aku masih merindukmu ." Batin Audy mulai menitikan air mata."Aku mencintaimu sepenuh jiwaku, tapi kenapa kau membalasku hanya dengan separuh hatimu." Meskipun lisannya menggumamkan kata cinta tetapi, tak bisa dipungkiri jika hatinya kini sedang merintih terluka.Audy terisak perlahan, "Cinta memang bisa membuat bahagia, tapi ini hanya berlaku bagi mereka yang beruntung dan memiliki pasangan yang tepat." Gumam Audy tersenyum miris. Ia mencoba menenangkan gejolak batinnya tapi sulit. Lihatlah bagaimana dinginnya Gerald padanya. Kekasihnya itu bahkan tak menanyakan apa yang terjadi padanya hingga dia bisa celaka.
Audy menarik nafas dalam mencoba berdamai dengan keadaan dan berhenti berpikiran negatif. "Tidak, mungkin ini hanya kebetulan, Gerald tahu makanan kesukaan bunda.""Hai ... Audy! Kenapa kamu melamun," suara Della menyadarkan Audy."Tidak, Bun. Mari makan," jawab Audy agak canggung.Della ikut bergabung untuk sarapan bersama dengan Audy dan Gerald. Tak sesekali Della melempar candaan untuk menggoda Gerald yang notabenenya sebagai cowok kaku dan dingin.Setelah selesai Gerald memutuskan untuk pulang. Pagi yang menyenangkan untuk Gerald dan menambah mood booster nya. Meskipun tidak bisa berduaan dengan Della. Tapi bersama ke dua wanita itu ada daya tarik sendiri menurutnya."Audy, Bunda. Aku harus pergi." Tutur Gerald membuka pembicaraan. Setelah keadaan hening."Kenapa?" desah Audy kecewa."Aku ada janji dengan dosen pembimbing tesi
Sinar mentari yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela membangunkan Della dari mimpi indahnya. Ia menggeliat sejenak, lantas mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hawa dingin yang menyergapnya membuat dirinya enggan beranjak. Dia segera menarik kembali selimut yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuhnya."Sayang, kau sudah bangun?" ujar Hendra yang baru saja selesai membersihkan diri."Hmmm." Della bergumam pendek. Malas menanggapi pertanyaan retoris Hendra. Entah mengapa sejak kemarin moodnya belum juga membaik.Belum lagi benaknya yang mendadak memikirkan Gerald, cinta pertamanya yang semakin membuatnya lesu."Kau kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan?" Hendra yang cepat menyelesaikan ikatan dasi di lehernya, beranjak mendekati Della."Aku tidak papa," elak Della saat tangan kekar itu ingin meraih dahinya."Tapi Bunda terlihat lesu. Apa Bunda menginginkan sesuatu?" tawar Hendra."Tidak, Yah. Bunda han
Gerald memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumahnya. Lantas melepas seatbelt yang Audy kenakan. "Ckkk. Seperti anak kecil saja," Ujar Audy. Namun, ia membiarkan Gerald melakukan hal itu untuknya. "Tapi kau suka kan?" Goda Gerald. Kemudian membuka seatbelt yang dikenakannya sendiri. "Dasar bucin," Cibir Audy bersiap turun sebelum Gerald melempar gombalan lebay nya. "Biar aku saja," Cegah Gerald menahan lengan Audy. "Aku bisa sendiri, Ger. Tak perlu berlebihan," Sahut Audy lalu membuka pintu mobil. "Dasar tak bisa diajak romantis," Desis Gerald. Perlahan ia melangkahkan kakinya ikut turun. Audy mengabaikan kekesalan Gerald. Ia dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Melangkah terus hingga ke kamar. Lalu membaringkan diri di atas ranjang sebelum Gerald menyuruhnya.
Selesai sarapan, Gerald masih terus memberika perhatian pada Audy. Ia pun mengambilkan segelas air putih untuknya."Terima kasih. " Lidah Audy terasa kelu. Tidak terbiasa dengan sikap Gerald. Perhatian kecil dari laki-laki itu sukses membuatnya salah tingkah.Gerald tersenyum manis. Menatap Audy yang semakin terlihat cantik dengan sedikit rona merah di pipinya."Biar aku saja," tawar Gerald saat Audy hendak meletakan gelas itu kembali."Apa kau tidak pergi bekerja Ger?" Ujar Audy. Bila ditaksir mungkin sekarang sudah pukul tujuh lebih."Tidak. Aku akan menemanimu di sini.""Aku baik-baik saja," ucap Audy. Walau dalam hatinya ia berharap agar Gerald terus di sisinya.'Bodoh kau Audy. Apa sekarang kau mulai berharap padanya? Ap kau lupa bagaimana mudahnya dia mencampakkanmu?' Batin Audy mendadak dilema.
Perlahan Gerald membantu membaringkan Audy di atas ranjang. Dengan tangan kanan menahan punggung Audy agar tidak langsung Gerak pun sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Audy.Sekilas tatapan mereka bertemu, Audy cukup lama menatap Gerald. Ia masih tak menyangka bila suaminya kini telah berubah menjadi malaikat yang super lembut.Begitu pula dengan Gerald, Laki-laki itu balas menatap wajah cantik Audy. Dalam hatinya ia berjanji, tak akan menyia-nyiakan istrinya lagi."Permisi. " Suara seorang pramusaji membuat Gerald dan Audy sontak mengalihkan tatapannya. Gerald lekas menarik tangannya yang tertindih punggung Audy. Lantas, membaringkan Audy dengan hati-hati.Wajah Audy sedikit memerah saat melihat pramusaji itu tersenyum canggung."Masuk saja, Sus," Ucap Audy sadar bila bila sosok yang berdiri di depan pintu tampak ragu. Mungkin saja
Gerald mendudukan pantatnya di sofa sembari menunggu Audy keluar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi, agar bisa bergerak sigap jika gadis itu akan keluar. 'Maafkan aku, karena keegoisanku kamu menjadi terluka. Tapi aku berjanji, aku akan melupakan masa laluku dan memulai hidup bersamamu.'Gerald larut dalam pikirannya. Perasaan bersalah kembali menggeleyutinya. Ia beruntung semesta menyadarkan dirinya dengan cepat sehingga gadis itu belum terlepas darinya.Suara deringan ponsel terdengar nyaring, membuat lamunan Gerald buyar. Diliriknya ponsel Audy yang berada di atas nakas.Gerald menatap ke arah pintu toilet, sepertinya Audy belum selesai dengan urusannya."Apa aku saja yang mengangkatnya ya?" Gumam Gerald menimbang sebentar.Deringan itu masih terus berbunyi, Gerald menunggu sebentar lagi berharap Audy cepat keluar."Baiklah, biar aku saja yang mengangkatnya. Siapa tahu saja itu telepin penting," pungkas Gerald segera mende
Sinar mentari menembus kaca jendela ruangan, di mana Audy sedang dirawat. Sinarnya sedikit menyilaukan, membuat Audy terbangun dari tidur panjangnya. Perlahan-lahan mata Audy mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya, infus yang terpasang di tangannya membuat ia susah bergerak."Auhh ...." Audy mengaduh kesakitan. Satu hal yang sangat ia benci, saat ia ingin tumbuh menjadi mandiri saat itu juga ia membenci saat dia sakit dan terbaring lemah tak berdaya.Gerald yang masih terlelap kini bangun saat mendengar suara Audy. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke ranjang Audy."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengucek matanya agar terbuka dengan sempurna"Iya, aku baik-baik saja." Audy berusaha bangkit dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ia meringis kecil, kepala yerasa pening saat ia menggerakan tubuhnya."Apa yang ingin kau lakukan?" Heran Gerald dengab sigap memegangi tubuh Audy."Aku ingin ke ka
'Menjaganya' entah kata dari mana itu terlintas dalam otak Gerald. Satu prioritas yang mampu membuatnya bertanggungjawab."Kau di sini saja. Apa kau ingin sesuatu?" tanya Gerald dengan lembut.'Mengapa lelaki ini berubah?" tanya Audy pada dirinya sendiri. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Gerald. Perubahannya yang berbeda 180 derajad dari sebelumnya membuat Audy harus tetap waspada."Audy?!" Seru Gerald mengibas-ngibaskan tangannya di depan Wajah Audy yangtampak melamun."Eh, iya. Tidak ada. Aku ingin jus jambu saja," ucap Audy yang mendapatkan anggukan dari Gerald."Baiklah, tunggu sebentardan jangan kemana-mana." Peringat Gerald sebelum melangkah pergi. Ia bersiul pelan, melangkah masuk ke dalam restoran.20 menit berlalu, Gerald kini kembali ke mobil dengan membawa makanan dan juga minum sesuai pesanan Audy."Ini untukmu," Gerald memberikan satu box makanan yang berisi cumi saos tiram dan juga udang
Gerald bergegas menuju mobil, yang kebetulan mobil itu terpakir tidak jauh dari posisi Audy dan Rakha. Entahlah rasa laparnya tiba-tiba saja menghilang. Gerald mengambil ponsel di dalam sakunya.Tangannya dengan lincah mengetik nama Audy. Namun, sayang nama itu tidak ada di ponselnya. Saat ia mengingat kembali, nomor Audy hanya diberikan inisial A, Gerald tersenyum getir. Gerald menghela nafas berat. Abaikan dulu masalah nama kontak, yang terpenting sekarang bagaimana membuat Audy pulang dan memberinya pelajaran. Namun, matanya tak bisa untuk berpaling dari pandang yang disuguhkan, lelaki itu benar-benar membuat Audy bisa tertawa tanpa ada beban. Ingin rasanya ia turun lalu menghajar lelaki itu, tapi niatnya diurungkan saat Audy menyentuh tangan lelaki itu."Brengsek! Beraninya kau, Audy." Umpatan keluar dari mulut Gerald.Tak menunggu waktu lama Gerald menekan nomor Audy, menunggu Audy menjawab pangg
Lelah, keadaan yang membuat seseorang akan melepaskan segala sesuatu yang tengah dipertahankan. Begitupun dengan Audy ia sudah lelah dengan semua ini, bolehkah ia bahagia? Ada kalanya saat kita tidak sanggup memperbaiki lebih baik tutup telinga dan mata. Sudah 2 minggu lamanya setelah kejadian Gerald menginginkan Audy untuk ikut program keluarga berencana, yang membuat hatinya seperti teriris belati. Bukan sakit karena Gerald tidak menginginkan anak dari rahimnya, ia lebih sakit karena dianggap seperti jalang, yang habis dipakai lalu dibuang, bedanya hanya pada status saja, suami istri. "Kau lembur lagi?" Tanya Shinta yang melihat Audy masih sibuk dengan komputernya. "Iya, aku harus segera menyelesaikan ini semua." "Apa ada masalah?" "Tidak ada." "Baiklah, aku harap kau tidak mengabaikan kesehatan mu. Lihat itu kantong matamu sudah menghitam semua." Shinta mencoba untuk memberikan p