Gerald menarik nafas lega, saat selesai meeting dengan klien yang memberikan pundi-pundi emas untuk kemajuan perusahaan, yang telah dibangun deddynya hingga mencapai puncak kesuksesan.
Perut yang sedari pagi belum terisi kini mulai berdemo, dia memilih untuk makan, makanan cepat saji di mall itu. HokBen menjadi pilihannya.
Setelah selesai memesan dia mencari bangku kosong untuk menjadi tempat ia menyantap makanan. Saat dia tengah mencari-cari, matanya tak sengaja tertuju pada bangku pojok dekat jendela kaca dengan view pemandangan jalan Gandaria. Bola matanya berubah menjadi binar bahagia saat melihat sosok wanita yang telah memenuhi ruang hatinya.
"Della!" Sapa Gerald setelah mendekati meja pojok. Dia baru ingat jika perusahaan tempat bekerja Della ada di daerah Gandaria.
"Hay, Ger! Kamu disini?"
Gerald mengalihkan pandangan matanya, saat jalanan di depannya mendadak ramai oleh kerumunan orang.Della yang ikut menyaksikkan arah pandangan Gerald, bersiap hendak bangkit ingin memeriksa."Kamu, mau kemana?""Aku ingin melihatnya sebentar," ucap Della."Mungkin ada kecelakaan."Della tersenyum canggung, perasaannya menjadi tak tenang. Ia ingin menengok apa yang sebenarnya terjadi di depan sana, namun pegangan erat di pergelangan tangannya membuat Della segan."Sudahlah, jangan ikut campur urusan orang." cegah Gerald yang tak ingin Della pergi."Tapi ....""Jika tidak ingin menolong ya sudah, untuk apa jadi penonton? tidak bermanfaat sama sekali," ucap Gerald.Della mengangguk menurut. Memang benar yang dikatakan gerald, hanya sekedar ingin tahu tanpa peduli, untuk apa?. Kecelakan bukan sebuah hiburan, ini musibah tid
Hari telah menjelang sore, belum ada tanda-tanda Audy akan membuka mata. Della dan Hendra dengan sabar menunggui Audy. Setelah perdebatan yang dilakukan tadi akhirnya Hendra mengalah saat, mendengar penjelasan dari Della jika dia sama sekali tidak bertemu Audy, sedangkan Gerald yang kelelahan sehabis meeting tertidur pulas di atas sofa."Aku ke kantor sebentar, ada masalah di kantor, yang harus segera aku selesai," Ucap Hendra lirih takut membangunkan Gerald."Iya hati-hati. Biar aku yang menjaga Audy.""Terimakasih." Balas Hendra lantas berbalik arah menuju pintu.Della mengangguk singkat. Ia menghela nafas saat melihat wajah pucat Audy."Dasar ceroboh. Apa kau begini karena melihat kebersamaan kami?" Umpat Della dalam hatinya. "Seharusnya kamu, menemui kami dan bertanya baik-baik. Lihatlah akibat prasangka burukmu, kamu malah celaka." Della mulai mengomeli Audy yang masih memejamkan matanya.
Hampir menjelang dini hari Audy terbangun dari tidurnya. Pikirannya yang sedang kacau membuat tidurnya menjadi tak tenang.Audy mengamati sekelilingnya, ia menatap wajah tua ayahnya. Lagi, kenangan tak menyenangkan tadi sore berputar di memori otaknya."Meski kau telah melukaiku, tapi entah mengapa aku masih merindukmu ." Batin Audy mulai menitikan air mata."Aku mencintaimu sepenuh jiwaku, tapi kenapa kau membalasku hanya dengan separuh hatimu." Meskipun lisannya menggumamkan kata cinta tetapi, tak bisa dipungkiri jika hatinya kini sedang merintih terluka.Audy terisak perlahan, "Cinta memang bisa membuat bahagia, tapi ini hanya berlaku bagi mereka yang beruntung dan memiliki pasangan yang tepat." Gumam Audy tersenyum miris. Ia mencoba menenangkan gejolak batinnya tapi sulit. Lihatlah bagaimana dinginnya Gerald padanya. Kekasihnya itu bahkan tak menanyakan apa yang terjadi padanya hingga dia bisa celaka.
Audy menarik nafas dalam mencoba berdamai dengan keadaan dan berhenti berpikiran negatif. "Tidak, mungkin ini hanya kebetulan, Gerald tahu makanan kesukaan bunda.""Hai ... Audy! Kenapa kamu melamun," suara Della menyadarkan Audy."Tidak, Bun. Mari makan," jawab Audy agak canggung.Della ikut bergabung untuk sarapan bersama dengan Audy dan Gerald. Tak sesekali Della melempar candaan untuk menggoda Gerald yang notabenenya sebagai cowok kaku dan dingin.Setelah selesai Gerald memutuskan untuk pulang. Pagi yang menyenangkan untuk Gerald dan menambah mood booster nya. Meskipun tidak bisa berduaan dengan Della. Tapi bersama ke dua wanita itu ada daya tarik sendiri menurutnya."Audy, Bunda. Aku harus pergi." Tutur Gerald membuka pembicaraan. Setelah keadaan hening."Kenapa?" desah Audy kecewa."Aku ada janji dengan dosen pembimbing tesi
"Ehem...." Suara deheman Hendra menyadarkan Audy dari khayalan indahnya."Ayah." Jawab Audy nampak malu-malu."Ayah lihat kamu begitu mencintainya!""Iya, Yah. Aku mencintai Gerald Purnama! Kenapa? bukankah ayah menyetujui hubungan ku dengannya?""Ayah sangat menyetujui hubungan kalian. Tapi ayah tidak ingin kamu berlebihan mencintai, nya.""Maksud ayah?" tanya Audy mengerutkan keningnya."Ayah, takut kamu akan sakit hati nanti.""Ayah, kenapa berbicara seperti itu?""Entahlah, selama ini ayah diam-diam memperhatikan hubungan kalian. Ayah merasa Gerald, tidak benar-benar mencintai mu."Audy terdiam membisu mencerna kalimat Hendra. Ia tak habis pikir kenapa ayahnya bisa berpikiran seperti itu."Tapi itu mungkin hanya perasaan ayah saja. Ayah berharap semoga ini tidak benar."
Gerald mengumpat keras dalam mobil saat ponselnya tiba-tiba lowbat dan seperti biasa dia tidak membawa charger. Gerald semakin kesal karena kemacetan didepannya masih belum berakhir.Gerald merasakan tenggorokannya mulai mengering, saat dia menoleh ke sisi kanan jalan ada kafe yang sering dia kunjungi dan berniat untuk mampir terlebih dahulu."Tenggorokanku terasa kering sekali." Gerald sesekali menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan menuju Coffe House langganannya. Begitu dia masuk kafe, pelayan yang sudah mengenalnya menyambut kedatangan Gerald dengan ramah."Seperti biasa americano." Barista itu langsung mengangguk setelah mendengar pesanan Gerald. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe, Ia berharap ada Della disana."Apa kau masih ingat tempat ini, Del?" tanya Gerald lirih seolah ada Della disana. Gerald menghela nafas panjang, mendadak Ia rindu dengan Della. Bagaimana Ia akan move jika
Audy menghapus butiran bening di pelupuk matanya, sembari menyusuri jalanan yang membawanya menjauh dari area rumah sakit. Sesekali Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Baru saja fisiknya pulih, hatinya kini tersayat pilu."Aku pikir, aku ini adalah masa depanmu. Tapi ternyata kau lebih memilih uang dari pada pasangan". Gumam Audy lirih, Ia pun menepikan tubuhnya disebuah halte.Audy asal mengambil tempat duduk. Kakinya terasa ngilu setelah hampir setengah jam berjalan.Ada sebuah kegetiran saat Ia menatap layar ponselnya yang kosong tanpa notif chat dari Gerald."Apa kau benar-benar melupakan aku?" batin Audy kecewa. Desahan nafas berat keluar dari bibir tipis Audy."Baiklah, sepertinya kali ini perasaanku yang harus mengalah. Biarkan saja logika ku yang bekerja."Audy mendongak lurus keatas, menatap birunya langit yang bersih tanpa
Di halaman rumah sudah ada mbok Ani yang sedari tadi menunggu kepulangan Audy. Mbok Ani berlari saat melihat Audy baru turun dari motor dengan baju yang sudah basah kuyup. Tak hanya itu, Mbok Ani juga melihat tatapan nanarnya seolah ditunjukkan pada seseorang."Non Audy!" Mbok Ani berlari membawakan payung untuk Audy yang masih mematung diluar gerbang tanpa memperdulikan kehadiran Gerald dan Della.Mbok Ani dengan sigap mengembangkan payung yang sedari tadi dipegangnya erat disela langkah kakinya.Audy tersenyum getir, melihat pemandangan di depannya. Lelaki itu, Lelaki yang sudah ditunggunya berjam-jam yang lalu. Lelaki yang harusnya menjemputnya. Namun, tidak ada kabar. lelaki yang seharusnya menjadi penyemangat kesembuhannya, lelaki yang harusnya memeluknya saat dalam kondisi seperti ini.Namun, lelaki itu justru tengah berlari-lari untuk membukakan pintu untuk wanita lain."Astaga, N
Sinar mentari yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela membangunkan Della dari mimpi indahnya. Ia menggeliat sejenak, lantas mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hawa dingin yang menyergapnya membuat dirinya enggan beranjak. Dia segera menarik kembali selimut yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuhnya."Sayang, kau sudah bangun?" ujar Hendra yang baru saja selesai membersihkan diri."Hmmm." Della bergumam pendek. Malas menanggapi pertanyaan retoris Hendra. Entah mengapa sejak kemarin moodnya belum juga membaik.Belum lagi benaknya yang mendadak memikirkan Gerald, cinta pertamanya yang semakin membuatnya lesu."Kau kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan?" Hendra yang cepat menyelesaikan ikatan dasi di lehernya, beranjak mendekati Della."Aku tidak papa," elak Della saat tangan kekar itu ingin meraih dahinya."Tapi Bunda terlihat lesu. Apa Bunda menginginkan sesuatu?" tawar Hendra."Tidak, Yah. Bunda han
Gerald memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumahnya. Lantas melepas seatbelt yang Audy kenakan. "Ckkk. Seperti anak kecil saja," Ujar Audy. Namun, ia membiarkan Gerald melakukan hal itu untuknya. "Tapi kau suka kan?" Goda Gerald. Kemudian membuka seatbelt yang dikenakannya sendiri. "Dasar bucin," Cibir Audy bersiap turun sebelum Gerald melempar gombalan lebay nya. "Biar aku saja," Cegah Gerald menahan lengan Audy. "Aku bisa sendiri, Ger. Tak perlu berlebihan," Sahut Audy lalu membuka pintu mobil. "Dasar tak bisa diajak romantis," Desis Gerald. Perlahan ia melangkahkan kakinya ikut turun. Audy mengabaikan kekesalan Gerald. Ia dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Melangkah terus hingga ke kamar. Lalu membaringkan diri di atas ranjang sebelum Gerald menyuruhnya.
Selesai sarapan, Gerald masih terus memberika perhatian pada Audy. Ia pun mengambilkan segelas air putih untuknya."Terima kasih. " Lidah Audy terasa kelu. Tidak terbiasa dengan sikap Gerald. Perhatian kecil dari laki-laki itu sukses membuatnya salah tingkah.Gerald tersenyum manis. Menatap Audy yang semakin terlihat cantik dengan sedikit rona merah di pipinya."Biar aku saja," tawar Gerald saat Audy hendak meletakan gelas itu kembali."Apa kau tidak pergi bekerja Ger?" Ujar Audy. Bila ditaksir mungkin sekarang sudah pukul tujuh lebih."Tidak. Aku akan menemanimu di sini.""Aku baik-baik saja," ucap Audy. Walau dalam hatinya ia berharap agar Gerald terus di sisinya.'Bodoh kau Audy. Apa sekarang kau mulai berharap padanya? Ap kau lupa bagaimana mudahnya dia mencampakkanmu?' Batin Audy mendadak dilema.
Perlahan Gerald membantu membaringkan Audy di atas ranjang. Dengan tangan kanan menahan punggung Audy agar tidak langsung Gerak pun sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Audy.Sekilas tatapan mereka bertemu, Audy cukup lama menatap Gerald. Ia masih tak menyangka bila suaminya kini telah berubah menjadi malaikat yang super lembut.Begitu pula dengan Gerald, Laki-laki itu balas menatap wajah cantik Audy. Dalam hatinya ia berjanji, tak akan menyia-nyiakan istrinya lagi."Permisi. " Suara seorang pramusaji membuat Gerald dan Audy sontak mengalihkan tatapannya. Gerald lekas menarik tangannya yang tertindih punggung Audy. Lantas, membaringkan Audy dengan hati-hati.Wajah Audy sedikit memerah saat melihat pramusaji itu tersenyum canggung."Masuk saja, Sus," Ucap Audy sadar bila bila sosok yang berdiri di depan pintu tampak ragu. Mungkin saja
Gerald mendudukan pantatnya di sofa sembari menunggu Audy keluar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi, agar bisa bergerak sigap jika gadis itu akan keluar. 'Maafkan aku, karena keegoisanku kamu menjadi terluka. Tapi aku berjanji, aku akan melupakan masa laluku dan memulai hidup bersamamu.'Gerald larut dalam pikirannya. Perasaan bersalah kembali menggeleyutinya. Ia beruntung semesta menyadarkan dirinya dengan cepat sehingga gadis itu belum terlepas darinya.Suara deringan ponsel terdengar nyaring, membuat lamunan Gerald buyar. Diliriknya ponsel Audy yang berada di atas nakas.Gerald menatap ke arah pintu toilet, sepertinya Audy belum selesai dengan urusannya."Apa aku saja yang mengangkatnya ya?" Gumam Gerald menimbang sebentar.Deringan itu masih terus berbunyi, Gerald menunggu sebentar lagi berharap Audy cepat keluar."Baiklah, biar aku saja yang mengangkatnya. Siapa tahu saja itu telepin penting," pungkas Gerald segera mende
Sinar mentari menembus kaca jendela ruangan, di mana Audy sedang dirawat. Sinarnya sedikit menyilaukan, membuat Audy terbangun dari tidur panjangnya. Perlahan-lahan mata Audy mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya, infus yang terpasang di tangannya membuat ia susah bergerak."Auhh ...." Audy mengaduh kesakitan. Satu hal yang sangat ia benci, saat ia ingin tumbuh menjadi mandiri saat itu juga ia membenci saat dia sakit dan terbaring lemah tak berdaya.Gerald yang masih terlelap kini bangun saat mendengar suara Audy. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke ranjang Audy."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengucek matanya agar terbuka dengan sempurna"Iya, aku baik-baik saja." Audy berusaha bangkit dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ia meringis kecil, kepala yerasa pening saat ia menggerakan tubuhnya."Apa yang ingin kau lakukan?" Heran Gerald dengab sigap memegangi tubuh Audy."Aku ingin ke ka
'Menjaganya' entah kata dari mana itu terlintas dalam otak Gerald. Satu prioritas yang mampu membuatnya bertanggungjawab."Kau di sini saja. Apa kau ingin sesuatu?" tanya Gerald dengan lembut.'Mengapa lelaki ini berubah?" tanya Audy pada dirinya sendiri. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Gerald. Perubahannya yang berbeda 180 derajad dari sebelumnya membuat Audy harus tetap waspada."Audy?!" Seru Gerald mengibas-ngibaskan tangannya di depan Wajah Audy yangtampak melamun."Eh, iya. Tidak ada. Aku ingin jus jambu saja," ucap Audy yang mendapatkan anggukan dari Gerald."Baiklah, tunggu sebentardan jangan kemana-mana." Peringat Gerald sebelum melangkah pergi. Ia bersiul pelan, melangkah masuk ke dalam restoran.20 menit berlalu, Gerald kini kembali ke mobil dengan membawa makanan dan juga minum sesuai pesanan Audy."Ini untukmu," Gerald memberikan satu box makanan yang berisi cumi saos tiram dan juga udang
Gerald bergegas menuju mobil, yang kebetulan mobil itu terpakir tidak jauh dari posisi Audy dan Rakha. Entahlah rasa laparnya tiba-tiba saja menghilang. Gerald mengambil ponsel di dalam sakunya.Tangannya dengan lincah mengetik nama Audy. Namun, sayang nama itu tidak ada di ponselnya. Saat ia mengingat kembali, nomor Audy hanya diberikan inisial A, Gerald tersenyum getir. Gerald menghela nafas berat. Abaikan dulu masalah nama kontak, yang terpenting sekarang bagaimana membuat Audy pulang dan memberinya pelajaran. Namun, matanya tak bisa untuk berpaling dari pandang yang disuguhkan, lelaki itu benar-benar membuat Audy bisa tertawa tanpa ada beban. Ingin rasanya ia turun lalu menghajar lelaki itu, tapi niatnya diurungkan saat Audy menyentuh tangan lelaki itu."Brengsek! Beraninya kau, Audy." Umpatan keluar dari mulut Gerald.Tak menunggu waktu lama Gerald menekan nomor Audy, menunggu Audy menjawab pangg
Lelah, keadaan yang membuat seseorang akan melepaskan segala sesuatu yang tengah dipertahankan. Begitupun dengan Audy ia sudah lelah dengan semua ini, bolehkah ia bahagia? Ada kalanya saat kita tidak sanggup memperbaiki lebih baik tutup telinga dan mata. Sudah 2 minggu lamanya setelah kejadian Gerald menginginkan Audy untuk ikut program keluarga berencana, yang membuat hatinya seperti teriris belati. Bukan sakit karena Gerald tidak menginginkan anak dari rahimnya, ia lebih sakit karena dianggap seperti jalang, yang habis dipakai lalu dibuang, bedanya hanya pada status saja, suami istri. "Kau lembur lagi?" Tanya Shinta yang melihat Audy masih sibuk dengan komputernya. "Iya, aku harus segera menyelesaikan ini semua." "Apa ada masalah?" "Tidak ada." "Baiklah, aku harap kau tidak mengabaikan kesehatan mu. Lihat itu kantong matamu sudah menghitam semua." Shinta mencoba untuk memberikan p