"Ehem...." Suara deheman Hendra menyadarkan Audy dari khayalan indahnya.
"Ayah." Jawab Audy nampak malu-malu.
"Ayah lihat kamu begitu mencintainya!"
"Iya, Yah. Aku mencintai Gerald Purnama! Kenapa? bukankah ayah menyetujui hubungan ku dengannya?"
"Ayah sangat menyetujui hubungan kalian. Tapi ayah tidak ingin kamu berlebihan mencintai, nya."
"Maksud ayah?" tanya Audy mengerutkan keningnya.
"Ayah, takut kamu akan sakit hati nanti."
"Ayah, kenapa berbicara seperti itu?"
"Entahlah, selama ini ayah diam-diam memperhatikan hubungan kalian. Ayah merasa Gerald, tidak benar-benar mencintai mu."
Audy terdiam membisu mencerna kalimat Hendra. Ia tak habis pikir kenapa ayahnya bisa berpikiran seperti itu.
"Tapi itu mungkin hanya perasaan ayah saja. Ayah berharap semoga ini tidak benar."
Gerald mengumpat keras dalam mobil saat ponselnya tiba-tiba lowbat dan seperti biasa dia tidak membawa charger. Gerald semakin kesal karena kemacetan didepannya masih belum berakhir.Gerald merasakan tenggorokannya mulai mengering, saat dia menoleh ke sisi kanan jalan ada kafe yang sering dia kunjungi dan berniat untuk mampir terlebih dahulu."Tenggorokanku terasa kering sekali." Gerald sesekali menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokan menuju Coffe House langganannya. Begitu dia masuk kafe, pelayan yang sudah mengenalnya menyambut kedatangan Gerald dengan ramah."Seperti biasa americano." Barista itu langsung mengangguk setelah mendengar pesanan Gerald. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe, Ia berharap ada Della disana."Apa kau masih ingat tempat ini, Del?" tanya Gerald lirih seolah ada Della disana. Gerald menghela nafas panjang, mendadak Ia rindu dengan Della. Bagaimana Ia akan move jika
Audy menghapus butiran bening di pelupuk matanya, sembari menyusuri jalanan yang membawanya menjauh dari area rumah sakit. Sesekali Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Baru saja fisiknya pulih, hatinya kini tersayat pilu."Aku pikir, aku ini adalah masa depanmu. Tapi ternyata kau lebih memilih uang dari pada pasangan". Gumam Audy lirih, Ia pun menepikan tubuhnya disebuah halte.Audy asal mengambil tempat duduk. Kakinya terasa ngilu setelah hampir setengah jam berjalan.Ada sebuah kegetiran saat Ia menatap layar ponselnya yang kosong tanpa notif chat dari Gerald."Apa kau benar-benar melupakan aku?" batin Audy kecewa. Desahan nafas berat keluar dari bibir tipis Audy."Baiklah, sepertinya kali ini perasaanku yang harus mengalah. Biarkan saja logika ku yang bekerja."Audy mendongak lurus keatas, menatap birunya langit yang bersih tanpa
Di halaman rumah sudah ada mbok Ani yang sedari tadi menunggu kepulangan Audy. Mbok Ani berlari saat melihat Audy baru turun dari motor dengan baju yang sudah basah kuyup. Tak hanya itu, Mbok Ani juga melihat tatapan nanarnya seolah ditunjukkan pada seseorang."Non Audy!" Mbok Ani berlari membawakan payung untuk Audy yang masih mematung diluar gerbang tanpa memperdulikan kehadiran Gerald dan Della.Mbok Ani dengan sigap mengembangkan payung yang sedari tadi dipegangnya erat disela langkah kakinya.Audy tersenyum getir, melihat pemandangan di depannya. Lelaki itu, Lelaki yang sudah ditunggunya berjam-jam yang lalu. Lelaki yang harusnya menjemputnya. Namun, tidak ada kabar. lelaki yang seharusnya menjadi penyemangat kesembuhannya, lelaki yang harusnya memeluknya saat dalam kondisi seperti ini.Namun, lelaki itu justru tengah berlari-lari untuk membukakan pintu untuk wanita lain."Astaga, N
Gerald sedikit salah tingkah saat Hendra mentapnya penuh selidik."Emm, saya permisi dulu Om." Lanjut Gerald sembari memaksakan senyumnya."Iya, hati-hati." Balas hendra singkat.Hendra menghela nafas, perasaannya menjadi tidak tenang seolah memiliki ikatan batin. Ia pun bisa merasakan ada sesuatu yang dialami Audy, bahkan ia yakin jika hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja.Gerald menggepalkan tangannya kuat-kuat menahan emosi saat melewati Hendra."Sial, kenapa si tua bangka ini bisa mendadak muncul?" geram Gerald melangkah gontai menuju ruang tamu."Bagaimana bisa Audy mengacuhkanku? mau cari perkara?" batin Gerald dongkol. Baru pertama kalinya Audy berani mengacuhkannya."Kita lihat saja, siapa yang akan mengemis cinta esok." Batin Gerald sinis. Awalnya Gerald ingin berbicara baik-baik dengan Audy. Namun, sikap Audy seperti ini memanci
Gerald masih mencoba untuk menghubungi Audy, tapi hasilnya masih sama, tidak ada jawaban."Oh, astaga Audy." Tanpa Gerald sadari sedari tadi dia memukul stir mobilnya berkali-kali. Entah mengapa moodnya semakin memburuk.Padahal belum ada 24 jam Audy tanpa kabar, tapi Gerald merasa kehilangan sosok wanita itu. "Gerald Purnama, apa sekarang kau mulai mencintai gadis itu?" tanya Gerald pada diri sendiri."Tidak Gerald, cintamu hanya untuk Della. Baik dulu maupun sekarang." Imbuh Gerald masih memyangkal hati kecilnya."Ingat, kamu hanya ingin memperalat gadis itu untuk mendapatkan cinta sejati mu, bukan malah serius jatuh cinta padanya."Baru saja mengendarai jarak lima kilometer, Gerald kini sudah terjebak pada lampu merah. Hal ini sungguh membuat Gerald semakin dongkol."Shit!" Gerald menarik nafas dalam-dalam. Sinar mentari yang terik seolah menembus k
Di dalam mobil Gerald berpikir kembali. Haruskah dia menelepon Della untuk bertanya dimana Audy? tapi jika dia bertanya pada Della, apa nanti Della tidak berpikir macam-macam?."Oh. Sungguh kamu membuatku sangat kacau Audy!"Gerald mengambil ponselnya menekan segala pikiran negatifnya. Dia kembali menimbang dengan seksama."Sepertinya tidak ada jalan lain. Aku perlu bertanya pada Della untuk mendapat informasi yang terpercaya."Gerald melirik kontak yang diberi nama love. Pelan tapi pasti, Ia pun segera melakukan panggilan telepon pada mantan kekasihnya itu.Setelah dua kali panggilan akhirnya Della menjawab panggilannya.Gerald menghembuskan nafas lega. Ia pun tanpa ragu lagi langsung menanyakan Audy. Hanya dalam beberapa menit panggilan telepon itu langsung dimatikan Gerald. Senyum mengembang di bibirnya, seperti mendapatkan jackpot.Tanpa jeda l
Della kembali merogoh tasnya saat ponselnya kembali berdering."Siapa?" Tanya Audy sedikit kesal karena Della mendadak berhenti untuk mengangkat telepon."Sebentar yah," Della tergesa menjauh dari Audy.Audy mencebikan bibirnya. Keburu moodnya hilang untuk menonton."Iya Ger." Ucap Della setengah berbisik."Aku sudah ada diparkiran. Kamu dimana?""Aku sedang mau mengantri untuk membeli tiket menonton.""Oke, kamu belikan aku sekalian ya." Pinta Gerald memohon.Apa kamu berencana menjadikan aku obat nyamuk?""Tidak. Bukan begitu maksud ku." Gerald panik dengan pertanyaan Della."Jadi?" Tanya Della sarkas.Gerald terdiam sebentar, berpikir bagaimana cara menjelaskan pada Della."Datanglah ke bioskop, anggap ini sebagai
Audy menghela napas kecewa. Sepertinya Gerald memang benar-benar tak mencintainya. Semua sikap manisnya hanya semu!.Baru saja mencecap manisnya cinta, sekarang aku harus menelan pil pahit dikhianati. "Ayah, sepertinya memang kamu benar. Aku harus mengedepankan logika dari pada perasaan." Gumam Audy menahan sesak di dadanya.Audy menguatkan diri. Ia bersiap beranjak untuk mengembalikan ponsel Gerald."Ger ..." ucapan Audy terpotong oleh getaran panjang dari ponsel yang digenggamnya.Audy menyeringai lebar. Seolah takdir berpihak padanya. Lihatlah, kontak yang dinamai love oleh Gerald memanggilnya.Pepatah itu benar, serapat apapun menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga busuknya.Audy menelan ludah. Ini kesempatan emas agar dia tau siapa wanita yang berada diantara cintanya itu. Audy berpikir sebentar, haruskah dia mengangkat telepon itu?."Tidak, Audy. Hatimu pasti akan kesakit
Sinar mentari yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela membangunkan Della dari mimpi indahnya. Ia menggeliat sejenak, lantas mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hawa dingin yang menyergapnya membuat dirinya enggan beranjak. Dia segera menarik kembali selimut yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuhnya."Sayang, kau sudah bangun?" ujar Hendra yang baru saja selesai membersihkan diri."Hmmm." Della bergumam pendek. Malas menanggapi pertanyaan retoris Hendra. Entah mengapa sejak kemarin moodnya belum juga membaik.Belum lagi benaknya yang mendadak memikirkan Gerald, cinta pertamanya yang semakin membuatnya lesu."Kau kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan?" Hendra yang cepat menyelesaikan ikatan dasi di lehernya, beranjak mendekati Della."Aku tidak papa," elak Della saat tangan kekar itu ingin meraih dahinya."Tapi Bunda terlihat lesu. Apa Bunda menginginkan sesuatu?" tawar Hendra."Tidak, Yah. Bunda han
Gerald memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumahnya. Lantas melepas seatbelt yang Audy kenakan. "Ckkk. Seperti anak kecil saja," Ujar Audy. Namun, ia membiarkan Gerald melakukan hal itu untuknya. "Tapi kau suka kan?" Goda Gerald. Kemudian membuka seatbelt yang dikenakannya sendiri. "Dasar bucin," Cibir Audy bersiap turun sebelum Gerald melempar gombalan lebay nya. "Biar aku saja," Cegah Gerald menahan lengan Audy. "Aku bisa sendiri, Ger. Tak perlu berlebihan," Sahut Audy lalu membuka pintu mobil. "Dasar tak bisa diajak romantis," Desis Gerald. Perlahan ia melangkahkan kakinya ikut turun. Audy mengabaikan kekesalan Gerald. Ia dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Melangkah terus hingga ke kamar. Lalu membaringkan diri di atas ranjang sebelum Gerald menyuruhnya.
Selesai sarapan, Gerald masih terus memberika perhatian pada Audy. Ia pun mengambilkan segelas air putih untuknya."Terima kasih. " Lidah Audy terasa kelu. Tidak terbiasa dengan sikap Gerald. Perhatian kecil dari laki-laki itu sukses membuatnya salah tingkah.Gerald tersenyum manis. Menatap Audy yang semakin terlihat cantik dengan sedikit rona merah di pipinya."Biar aku saja," tawar Gerald saat Audy hendak meletakan gelas itu kembali."Apa kau tidak pergi bekerja Ger?" Ujar Audy. Bila ditaksir mungkin sekarang sudah pukul tujuh lebih."Tidak. Aku akan menemanimu di sini.""Aku baik-baik saja," ucap Audy. Walau dalam hatinya ia berharap agar Gerald terus di sisinya.'Bodoh kau Audy. Apa sekarang kau mulai berharap padanya? Ap kau lupa bagaimana mudahnya dia mencampakkanmu?' Batin Audy mendadak dilema.
Perlahan Gerald membantu membaringkan Audy di atas ranjang. Dengan tangan kanan menahan punggung Audy agar tidak langsung Gerak pun sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Audy.Sekilas tatapan mereka bertemu, Audy cukup lama menatap Gerald. Ia masih tak menyangka bila suaminya kini telah berubah menjadi malaikat yang super lembut.Begitu pula dengan Gerald, Laki-laki itu balas menatap wajah cantik Audy. Dalam hatinya ia berjanji, tak akan menyia-nyiakan istrinya lagi."Permisi. " Suara seorang pramusaji membuat Gerald dan Audy sontak mengalihkan tatapannya. Gerald lekas menarik tangannya yang tertindih punggung Audy. Lantas, membaringkan Audy dengan hati-hati.Wajah Audy sedikit memerah saat melihat pramusaji itu tersenyum canggung."Masuk saja, Sus," Ucap Audy sadar bila bila sosok yang berdiri di depan pintu tampak ragu. Mungkin saja
Gerald mendudukan pantatnya di sofa sembari menunggu Audy keluar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi, agar bisa bergerak sigap jika gadis itu akan keluar. 'Maafkan aku, karena keegoisanku kamu menjadi terluka. Tapi aku berjanji, aku akan melupakan masa laluku dan memulai hidup bersamamu.'Gerald larut dalam pikirannya. Perasaan bersalah kembali menggeleyutinya. Ia beruntung semesta menyadarkan dirinya dengan cepat sehingga gadis itu belum terlepas darinya.Suara deringan ponsel terdengar nyaring, membuat lamunan Gerald buyar. Diliriknya ponsel Audy yang berada di atas nakas.Gerald menatap ke arah pintu toilet, sepertinya Audy belum selesai dengan urusannya."Apa aku saja yang mengangkatnya ya?" Gumam Gerald menimbang sebentar.Deringan itu masih terus berbunyi, Gerald menunggu sebentar lagi berharap Audy cepat keluar."Baiklah, biar aku saja yang mengangkatnya. Siapa tahu saja itu telepin penting," pungkas Gerald segera mende
Sinar mentari menembus kaca jendela ruangan, di mana Audy sedang dirawat. Sinarnya sedikit menyilaukan, membuat Audy terbangun dari tidur panjangnya. Perlahan-lahan mata Audy mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya, infus yang terpasang di tangannya membuat ia susah bergerak."Auhh ...." Audy mengaduh kesakitan. Satu hal yang sangat ia benci, saat ia ingin tumbuh menjadi mandiri saat itu juga ia membenci saat dia sakit dan terbaring lemah tak berdaya.Gerald yang masih terlelap kini bangun saat mendengar suara Audy. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke ranjang Audy."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengucek matanya agar terbuka dengan sempurna"Iya, aku baik-baik saja." Audy berusaha bangkit dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ia meringis kecil, kepala yerasa pening saat ia menggerakan tubuhnya."Apa yang ingin kau lakukan?" Heran Gerald dengab sigap memegangi tubuh Audy."Aku ingin ke ka
'Menjaganya' entah kata dari mana itu terlintas dalam otak Gerald. Satu prioritas yang mampu membuatnya bertanggungjawab."Kau di sini saja. Apa kau ingin sesuatu?" tanya Gerald dengan lembut.'Mengapa lelaki ini berubah?" tanya Audy pada dirinya sendiri. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Gerald. Perubahannya yang berbeda 180 derajad dari sebelumnya membuat Audy harus tetap waspada."Audy?!" Seru Gerald mengibas-ngibaskan tangannya di depan Wajah Audy yangtampak melamun."Eh, iya. Tidak ada. Aku ingin jus jambu saja," ucap Audy yang mendapatkan anggukan dari Gerald."Baiklah, tunggu sebentardan jangan kemana-mana." Peringat Gerald sebelum melangkah pergi. Ia bersiul pelan, melangkah masuk ke dalam restoran.20 menit berlalu, Gerald kini kembali ke mobil dengan membawa makanan dan juga minum sesuai pesanan Audy."Ini untukmu," Gerald memberikan satu box makanan yang berisi cumi saos tiram dan juga udang
Gerald bergegas menuju mobil, yang kebetulan mobil itu terpakir tidak jauh dari posisi Audy dan Rakha. Entahlah rasa laparnya tiba-tiba saja menghilang. Gerald mengambil ponsel di dalam sakunya.Tangannya dengan lincah mengetik nama Audy. Namun, sayang nama itu tidak ada di ponselnya. Saat ia mengingat kembali, nomor Audy hanya diberikan inisial A, Gerald tersenyum getir. Gerald menghela nafas berat. Abaikan dulu masalah nama kontak, yang terpenting sekarang bagaimana membuat Audy pulang dan memberinya pelajaran. Namun, matanya tak bisa untuk berpaling dari pandang yang disuguhkan, lelaki itu benar-benar membuat Audy bisa tertawa tanpa ada beban. Ingin rasanya ia turun lalu menghajar lelaki itu, tapi niatnya diurungkan saat Audy menyentuh tangan lelaki itu."Brengsek! Beraninya kau, Audy." Umpatan keluar dari mulut Gerald.Tak menunggu waktu lama Gerald menekan nomor Audy, menunggu Audy menjawab pangg
Lelah, keadaan yang membuat seseorang akan melepaskan segala sesuatu yang tengah dipertahankan. Begitupun dengan Audy ia sudah lelah dengan semua ini, bolehkah ia bahagia? Ada kalanya saat kita tidak sanggup memperbaiki lebih baik tutup telinga dan mata. Sudah 2 minggu lamanya setelah kejadian Gerald menginginkan Audy untuk ikut program keluarga berencana, yang membuat hatinya seperti teriris belati. Bukan sakit karena Gerald tidak menginginkan anak dari rahimnya, ia lebih sakit karena dianggap seperti jalang, yang habis dipakai lalu dibuang, bedanya hanya pada status saja, suami istri. "Kau lembur lagi?" Tanya Shinta yang melihat Audy masih sibuk dengan komputernya. "Iya, aku harus segera menyelesaikan ini semua." "Apa ada masalah?" "Tidak ada." "Baiklah, aku harap kau tidak mengabaikan kesehatan mu. Lihat itu kantong matamu sudah menghitam semua." Shinta mencoba untuk memberikan p