Audy menghela nafas panjang. Setelah kepergian prof. Budiman dia memutuskan untuk melakukan revisi detik ini juga.
"Ayolah Audy. Semangat. Jika percintaanmu gagal, harusnya dibidang lain kamu harus berhasil." Ucapnya menyemangati diri sendiri.Audy menggulung kemeja yang dia kenakan hingga siku, bersiap membuka setumpuk berkas yang kini telah berjejak. Ia meneliti satu persatu lembaran berkas. Lantas disusul desahan panjang."Astaga, kenapa banyak sekali." Keluh Audy menutup berkasnya kembali. Audy menyandarkan kepalanya diatas meja perpustakaan. Otaknya terasa lebih berat dua kali lipat dari biasanya. "Aku pikir volume otakku bertambah. Ternyata aku sedang memikul beban masa depan." Sambung Audy masih meratapi nasibnya. Perlahan mata sayu itu terpejam. Ia ingin menetralisir rasa pening di kepalanya. Jemari lentiknya mulai mengetuk ngetuk atas meja. Menimbulkan alunan nada yang menenangkan.Sepuluh menit berlaluEntah kemana lagi langkah kaki Audy akan berpijak. Sudah seharian Audy mengelilingi sebuah Mall tanpa berniat membeli barang. Kesepian ditengah keramaian, itulah yang Audy rasakan kini.Setelah kejadian tadi pagi saat berpapasan dengan Gerald dan Della, mood Audy semakin memburuk. Rencananya untuk merevisi menjadi hancur beratakan, digantikan dengan menghabiskan waktu disebuah pusat perbelanjaan."Ditempat yang sama. Namun, dengan rasa yang tak lagi sama." Audy tersenyum kecut, dia memandangi sekerumun pengunjung yang tengah sibuk memilih barang ditemani teman atau pun pasangan.Ditempat ini dulu Audy terbiasa pergi sendiri. Lalu semesta mendatangkan Gerald padanya. Mereka lantas menghabiskan waktu berdua meskipun hanya Audy yang merasa bahagia. Dan sekarang Audy kembali seperti dulu, mengelilingi tempat ini sendirian.Audy menghela nafas. Takdir yang dijalaninya memang terasa berat, tapi Audy yakin dia pasti kuat. Biarkan takdir b
Jantung Audy berdebar tak karuan. Setelah merevisi tanpa mengenal lelah akhirnya kini dia bisa sidang. Beruntung ada tomi yang setia mendampinginya."Aku yakin kamu pasti lulus." Ucap Tomi tulus membesarkan hati Audy. Pasca putus dengan Gerald, Tomi semakin gencar mendekati Audy. Air mata Audy tempo lalu menggugah hatinya. Dia berjanji akan membahagiakan Audy selalu."Aku harap juga begitu." Gumam Audy lirih. Telapak tangannya kini sudah sedingin es. Berulangkali dia mengelus dada untuk menetralkan detak jantungnya."Masih kurang lima belas menit lagi Audy. Bersiaplah. Tenangkan batinmu. Kamu harus bisa tampil maksimal." Peringat Tomy penuh perhatian.Audy mengangguk pelan. Ia menarik nafas panjang berulangkali, mencoba menghilangkan kegugupannya."Kenapa menatapku seperti itu?" Tanya Audy yang salah tinggkah diperhatikan Tomi sedemikian rupa.Tomi tersenyum simpul. Lantas menggeleng singkat. "Memangnya ti
Hendra samar-samar mendengar gumaman Audy. Rasa keingintahuannya seketika muncul. Tidak biasanya Audy mengumpat, hal apakah yang membuat anak gadisnya berbicara seperti itu?."Audy! Apa ada yang kamu bicarakan tadi?" Tanya Hendra, membuat dua wanita itu seketika mematung ditempatnya.Langkah kaki Audy terhenti, ia memutar badannya menghadap sang ayah. Diliriknya pula Della yang juga ikut terdiam.Audy tampak menimbang dalam hati. Apakah ini waktu yang tepat untuk memberi tahu ayahnya tentang kelakuan busuk Della?."Ayah, mungkin Audy sedang menghafalkan lantunan lagu." Ujar Della saat Audy tak kunjung bersuara yang semakin membuat Hendra curiga."Uhh ... Dasar wanita rubah. Sampai kapan kamu akan berakting." Desah Audy dalam hati, lidahnya terasa kaku untuk mengungkapkan kebenaran."Bunda, ayah tanya pada Audy." Kesal Hendra yang tak kunjung mendapat jawaban.Della menatap Audy dengan seksama. Terpancar jelas dari
The Forest by Wyl’s, kafe yang terletak di Jakarta Selatan dengan nuansa begitu romantis semua sudutnya begitu cantik.Setelah berdebat dengan Audy, Della melajukan mobilnya untuk bertemu dengan Gerald di kafe. Della merasa senang katanya Gerald akan memberikan kejutan untuknya."Del,"panggil Gerald saat Della sudah sampai, Gerald sengaja menunggu Della di parkiran. Karen ingin menutup mata indah milik Della."Ger, kamu sudah sampai. Kejutan apa yang ingin kamu berikan?" Tanpa menjawab pertanyaan Della Gerlad langsung menutup mata Della dengan kain berwana hitam.Gerald menuntun Della masuk kedalam kafe. Disana sudah ada tim sukses Gerald. Satu ruangan indoor disewa Gerald, ruangan itu disulap begitu indahnya. Bunga segar menghiasi ruangan itu terlihat juga gambar love yang dibentuk dari bunga mawar merah.Perlahan-lahan Gerald membuka kain yang menutupi mata Della. Della tercengang saat melihat pemandan
Gerald dan Della meninggalkan kediaman purnama.Menyisakan mommy Mika dan juga Audy. Mereka tidak menyangka jika Gerald lebih memilih wanita itu."Mom," panggil Audy sembari memberikan sentuhan hangat pada mommy Mika."Audy, maafkan anak mommy.""Mom, tidak usah merasa bersalah. Aku sudah ikhlas dari dulu dan aku juga tidak ingin menikah dengan Gerald, Mom. Hatiku sudah tidak bisa menerima luka yang dia torehkan." Audy berucap dengan berlinang air mata. "Terimakasih sudah menerima Audy.""Audy," panggil mommy Mika lirih, dia tak sanggup melihat calon menantunya itu menangis. "Kenapa kamu harus berbohong, kenapa tidak cerita pada mommy.""Maaf, mom. Audy egois! Audy hanya tidak ingin kehilangan kasih sayang yang mommy berikan. Audy menginginkan itu."Mommy Mika memeluk erat tubuh Audy. "Menikahlah dengan Gerald. Mommy akan membantu mu." Bujuk mommy Mika."Tidak, mom. Ak
Hendra, Della dan Audy pergi ke ruangan dokter obgyn untuk memastikan apakah diagnosa yang dikatakan dokter di IGD tadi benar atau tidak.Ruangan yang bertulis nama dokter Marta, SpOG. Della Memeriksakan perutnya. Jari lincah dokter Marta memegang alat USG disana juga ada layar kaca seperti televisi yang langsung melihatkan kondisi didalam perut Della."Baik pak, disini terlihat seperti gumpalan darah ini disebut juga dengan embrio. Kandungan ibu Della juga baik. Usia kandungannya sudah 4 Minggu atau dengan kata lain 1 bulan." Jelas dokter Marta sambil menunjuk ke layar televisi.Hendra takjub dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter Marta dengan penjelasan nya."Terimakasih Dok," ucap Hendra. Ia lalu mendekati Della, menciumi kening Della. Sebagai tanda ungkapan rasa syukur.Della tersenyum kikuk, matanya tertuju pada Audy. Disana Della melihat betapa Audy bersorak penuh kemenangan."Jan
Gerald mempercepat langkahnya keluar ruangan. Pikirannya kini hanya terfokus pada Della. Dirogohnya kantong saku celananya, lalu dia mengambil benda pipih yang terselip disana."Aku tak akan mempercayai kata-katamu gadis ceroboh."Gerald menggeleng tegas. Segera dia membuka kunci ponsel lalu mencari nomor Della disela langkahnya menuju halaman kantor dan memanggil taxi.Berulang kali Gerald melakukan panggilan. Namun, sayang tetap tak ada jawaban. "Kemana kamu sayang." ucap Gerald lirih."Maaf pak, kita akan kemana?" Tanya supir taxi yang belum mendapatkan perintah.Gerald menimbang-nimbang kemana dia akan pergi sekali lagi dia mencoba untuk menelpon Della. "Angkat Della!" gumam Gerald sambil mengetuk-ngetukkan jari tangan ke pahanya."Kita ke jalan kenangan." Perintah Gerald yang mendapatkan anggukan dari sopir taxi.Gerald beruntun mengirim pesan untuk Della. Dia berharap ada jawaban disana. Se
Prok... prok...prokSuara tepukan tangan riuh terdengar dari beranda rumah. Seorang gadis tampak sedikit mempercepat langkahnya untuk menahan kepergian Gerald yabg hampir mencapai batas pagar."Ah, aku tak menyangka. Selain brengsek kau juga tidak punya hati rupanya!" Suara serak khas menahan tangis terdengar menggelegar, memecahkan kesunyian di siang hari hari yang terik.Gerald tersentak kaget Suara yang sangat familiar di gendang telingan nya. Membuat ia urung hendak pergi."Apa maksudmu, Audy?"Iya, suara itu adalah suara milik Audy stepani. Seorang gadis yang berusaha untuk tegar agar tak menetesakan air mata saat tau ada seseorang yang tega akan membunuh janin calon adiknya.Usai mendapatkan telepon dari mbok Ani yang tak sengaja mendengar percakapan Gerald dan Della, Audy lantas bergegas untuk pulang dan berniat menemui Gerald."Jangan pura puran bodoh Gerald. Tentu saja kau yang sangat paham dengan maksud ku.
Sinar mentari yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela membangunkan Della dari mimpi indahnya. Ia menggeliat sejenak, lantas mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hawa dingin yang menyergapnya membuat dirinya enggan beranjak. Dia segera menarik kembali selimut yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuhnya."Sayang, kau sudah bangun?" ujar Hendra yang baru saja selesai membersihkan diri."Hmmm." Della bergumam pendek. Malas menanggapi pertanyaan retoris Hendra. Entah mengapa sejak kemarin moodnya belum juga membaik.Belum lagi benaknya yang mendadak memikirkan Gerald, cinta pertamanya yang semakin membuatnya lesu."Kau kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan?" Hendra yang cepat menyelesaikan ikatan dasi di lehernya, beranjak mendekati Della."Aku tidak papa," elak Della saat tangan kekar itu ingin meraih dahinya."Tapi Bunda terlihat lesu. Apa Bunda menginginkan sesuatu?" tawar Hendra."Tidak, Yah. Bunda han
Gerald memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumahnya. Lantas melepas seatbelt yang Audy kenakan. "Ckkk. Seperti anak kecil saja," Ujar Audy. Namun, ia membiarkan Gerald melakukan hal itu untuknya. "Tapi kau suka kan?" Goda Gerald. Kemudian membuka seatbelt yang dikenakannya sendiri. "Dasar bucin," Cibir Audy bersiap turun sebelum Gerald melempar gombalan lebay nya. "Biar aku saja," Cegah Gerald menahan lengan Audy. "Aku bisa sendiri, Ger. Tak perlu berlebihan," Sahut Audy lalu membuka pintu mobil. "Dasar tak bisa diajak romantis," Desis Gerald. Perlahan ia melangkahkan kakinya ikut turun. Audy mengabaikan kekesalan Gerald. Ia dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Melangkah terus hingga ke kamar. Lalu membaringkan diri di atas ranjang sebelum Gerald menyuruhnya.
Selesai sarapan, Gerald masih terus memberika perhatian pada Audy. Ia pun mengambilkan segelas air putih untuknya."Terima kasih. " Lidah Audy terasa kelu. Tidak terbiasa dengan sikap Gerald. Perhatian kecil dari laki-laki itu sukses membuatnya salah tingkah.Gerald tersenyum manis. Menatap Audy yang semakin terlihat cantik dengan sedikit rona merah di pipinya."Biar aku saja," tawar Gerald saat Audy hendak meletakan gelas itu kembali."Apa kau tidak pergi bekerja Ger?" Ujar Audy. Bila ditaksir mungkin sekarang sudah pukul tujuh lebih."Tidak. Aku akan menemanimu di sini.""Aku baik-baik saja," ucap Audy. Walau dalam hatinya ia berharap agar Gerald terus di sisinya.'Bodoh kau Audy. Apa sekarang kau mulai berharap padanya? Ap kau lupa bagaimana mudahnya dia mencampakkanmu?' Batin Audy mendadak dilema.
Perlahan Gerald membantu membaringkan Audy di atas ranjang. Dengan tangan kanan menahan punggung Audy agar tidak langsung Gerak pun sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Audy.Sekilas tatapan mereka bertemu, Audy cukup lama menatap Gerald. Ia masih tak menyangka bila suaminya kini telah berubah menjadi malaikat yang super lembut.Begitu pula dengan Gerald, Laki-laki itu balas menatap wajah cantik Audy. Dalam hatinya ia berjanji, tak akan menyia-nyiakan istrinya lagi."Permisi. " Suara seorang pramusaji membuat Gerald dan Audy sontak mengalihkan tatapannya. Gerald lekas menarik tangannya yang tertindih punggung Audy. Lantas, membaringkan Audy dengan hati-hati.Wajah Audy sedikit memerah saat melihat pramusaji itu tersenyum canggung."Masuk saja, Sus," Ucap Audy sadar bila bila sosok yang berdiri di depan pintu tampak ragu. Mungkin saja
Gerald mendudukan pantatnya di sofa sembari menunggu Audy keluar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi, agar bisa bergerak sigap jika gadis itu akan keluar. 'Maafkan aku, karena keegoisanku kamu menjadi terluka. Tapi aku berjanji, aku akan melupakan masa laluku dan memulai hidup bersamamu.'Gerald larut dalam pikirannya. Perasaan bersalah kembali menggeleyutinya. Ia beruntung semesta menyadarkan dirinya dengan cepat sehingga gadis itu belum terlepas darinya.Suara deringan ponsel terdengar nyaring, membuat lamunan Gerald buyar. Diliriknya ponsel Audy yang berada di atas nakas.Gerald menatap ke arah pintu toilet, sepertinya Audy belum selesai dengan urusannya."Apa aku saja yang mengangkatnya ya?" Gumam Gerald menimbang sebentar.Deringan itu masih terus berbunyi, Gerald menunggu sebentar lagi berharap Audy cepat keluar."Baiklah, biar aku saja yang mengangkatnya. Siapa tahu saja itu telepin penting," pungkas Gerald segera mende
Sinar mentari menembus kaca jendela ruangan, di mana Audy sedang dirawat. Sinarnya sedikit menyilaukan, membuat Audy terbangun dari tidur panjangnya. Perlahan-lahan mata Audy mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya, infus yang terpasang di tangannya membuat ia susah bergerak."Auhh ...." Audy mengaduh kesakitan. Satu hal yang sangat ia benci, saat ia ingin tumbuh menjadi mandiri saat itu juga ia membenci saat dia sakit dan terbaring lemah tak berdaya.Gerald yang masih terlelap kini bangun saat mendengar suara Audy. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke ranjang Audy."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengucek matanya agar terbuka dengan sempurna"Iya, aku baik-baik saja." Audy berusaha bangkit dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ia meringis kecil, kepala yerasa pening saat ia menggerakan tubuhnya."Apa yang ingin kau lakukan?" Heran Gerald dengab sigap memegangi tubuh Audy."Aku ingin ke ka
'Menjaganya' entah kata dari mana itu terlintas dalam otak Gerald. Satu prioritas yang mampu membuatnya bertanggungjawab."Kau di sini saja. Apa kau ingin sesuatu?" tanya Gerald dengan lembut.'Mengapa lelaki ini berubah?" tanya Audy pada dirinya sendiri. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Gerald. Perubahannya yang berbeda 180 derajad dari sebelumnya membuat Audy harus tetap waspada."Audy?!" Seru Gerald mengibas-ngibaskan tangannya di depan Wajah Audy yangtampak melamun."Eh, iya. Tidak ada. Aku ingin jus jambu saja," ucap Audy yang mendapatkan anggukan dari Gerald."Baiklah, tunggu sebentardan jangan kemana-mana." Peringat Gerald sebelum melangkah pergi. Ia bersiul pelan, melangkah masuk ke dalam restoran.20 menit berlalu, Gerald kini kembali ke mobil dengan membawa makanan dan juga minum sesuai pesanan Audy."Ini untukmu," Gerald memberikan satu box makanan yang berisi cumi saos tiram dan juga udang
Gerald bergegas menuju mobil, yang kebetulan mobil itu terpakir tidak jauh dari posisi Audy dan Rakha. Entahlah rasa laparnya tiba-tiba saja menghilang. Gerald mengambil ponsel di dalam sakunya.Tangannya dengan lincah mengetik nama Audy. Namun, sayang nama itu tidak ada di ponselnya. Saat ia mengingat kembali, nomor Audy hanya diberikan inisial A, Gerald tersenyum getir. Gerald menghela nafas berat. Abaikan dulu masalah nama kontak, yang terpenting sekarang bagaimana membuat Audy pulang dan memberinya pelajaran. Namun, matanya tak bisa untuk berpaling dari pandang yang disuguhkan, lelaki itu benar-benar membuat Audy bisa tertawa tanpa ada beban. Ingin rasanya ia turun lalu menghajar lelaki itu, tapi niatnya diurungkan saat Audy menyentuh tangan lelaki itu."Brengsek! Beraninya kau, Audy." Umpatan keluar dari mulut Gerald.Tak menunggu waktu lama Gerald menekan nomor Audy, menunggu Audy menjawab pangg
Lelah, keadaan yang membuat seseorang akan melepaskan segala sesuatu yang tengah dipertahankan. Begitupun dengan Audy ia sudah lelah dengan semua ini, bolehkah ia bahagia? Ada kalanya saat kita tidak sanggup memperbaiki lebih baik tutup telinga dan mata. Sudah 2 minggu lamanya setelah kejadian Gerald menginginkan Audy untuk ikut program keluarga berencana, yang membuat hatinya seperti teriris belati. Bukan sakit karena Gerald tidak menginginkan anak dari rahimnya, ia lebih sakit karena dianggap seperti jalang, yang habis dipakai lalu dibuang, bedanya hanya pada status saja, suami istri. "Kau lembur lagi?" Tanya Shinta yang melihat Audy masih sibuk dengan komputernya. "Iya, aku harus segera menyelesaikan ini semua." "Apa ada masalah?" "Tidak ada." "Baiklah, aku harap kau tidak mengabaikan kesehatan mu. Lihat itu kantong matamu sudah menghitam semua." Shinta mencoba untuk memberikan p