Mateo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya seraya menyandarkan memejamkan mata lelah. Sudah dua hari dia tidak banyak bicara dengan Miracle. Setiap kali dia mengajak berbicara, istrinya itu akan selalu menghindar darinya.Sejak kemunculan Heera, Miracle lebih banyak diam. Meski dia pernah berusaha menjelaskan tidak ada yang terjadi di antara dirinya dan Heera, tapi tetap saja Mirale tidak mau mendengarnya.Jujur, Mateo hanya ingin bertanggung jawab atas kesalahannya di masa lalu. Namun, dia tidak pernah sedikitpun berpikir untuk kembali pada Heera. Dia memang bahagia saat Heera masih hidup. Dia ingin Heera mendaaptkan pria yang terbaik di hidupnya.Suara ketukan pintu terdengar. Mateo yang tengah melamum langsung mengalihkan pandangannya ke arah pntu dan menginterupsi untuk masuk."Tuan Mateo," Gustav melangkah mendekat ke arah Mateo seraya menundukan kepalanya."Ada apa?" tanya Mateo dingin kala Gustav berdiri di hadapannya. "Apa kau ingin melaporkan tentang Heera?" tebaknya
Suara detuman musik memekak telinga. Mateo menegak vodka di tangannya hingga tandas. Entah sudah gelas ke berapa, dia terus meminum vodka di tangannya. Para wanita seksi berkali-kali menggoda Mateo, namun dia langsung meminta para penjaga mengusir para wanita yang terus mengganggunya."Mateo, kau ini kenapa? Apa kau memiliki masalah?" Arsen yang duduk di samping Mateo, dia menyesap wine di tangannya. Jika Mateo menolak para wanita yang mengganggunya. Berbeda dengan Arsen yang memilih meladeni sebentar wanita-wanita yang mengganggunya."Apa kau sudah tahu Heera masih hidup?" Mateo mengambil rokoknya, menghidupkannya dan menghisapnya perlahan.Arsen membuang napas kasar. "Jadi rumor yang aku dengar itu benar? Heera masih hidup?" tanyanya dengan serius."Ya, dia masih hidup," jawab Mateo dengan pandangannya lurus ke depan dan pikiran yang menawarang."Jangan katakan kau akan memilih Heera dan meninggalkan Miracle," tukas Arsen dengan tatapan penuh peringatan pada Mateo."Jaga bicaramu. A
"Mateo, aku memesankan steak untukmu. Kalau kau tidak suka, kau bisa memilih yang lain." Heera berucap kala steak yang dia pesan sudah dihidangkan ke atas meja. Dia terus mengulas senyuman hangat di wajahnya ke arah Mateo."Tidak perlu. Ini sudah cukup," jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar.Heera mengangguk. Kemudian dia dan Mateo mulai menikmati makan siang mereka. Suasana restoran yang tidak terlalu ramai. Serta design khas Italia yang lembut membuat Heera sejak tadi terlihat begitu menikmati restoran tempat di mana dia dan Mateo bertemu."Heera," panggil Mateo dengan raut wajah yang begitu serius."Ya?" Heera menjawab seraya menatap Mateo."Aku membaca dokumen kerja samaku dengan temanmu itu. Apa kau bisa meminta Miya untuk datang? Aku tidak suka meeting dengan wakil dari perusahaan. Aku lebih menyukai meeting langsung dengan pemilik." Mateo meletakan pisau dan garpunya ke atas meja. Lalu dia mengambil wine yang baru saja dituangkan oleh pelayan dan disesapnya perlahan."Ah
Miracle turun dari mobil, dia membanting kasar pintu mobilnya. Dia melangkah masuk ke penthousenya. Raut wajah dingin dan menahan amarahnya sudah sejak tadi tidak bisa tertahan. Ingin sekali tadi dia meluapkan amarahnya. Tapi dia tidak mungkin melakukan itu. Miracle tidak bisa meluapkan amarahnya ketika berada di publik seperti ini. Semarah dan sebenci apapun dirinya, dia tidak bisa mempertaruhkan nama baik keluarganya.Seketika langkah Miracle terhenti kala dia berpapasan dengan Mateo yang juga baru saja tiba di penthouse mereka. Dan saat Miracle melihat Mateo, dengan cepat Miracle langsung meninggalkan Mateo. Namun, tiba-tiba Mateo menarik tangan Miracle, membawanya masuk ke dalam kamar."Lepas!" Miracle menghentakan tangan Mateo yang mencengkram pergelangan tangannya."Tadi kau kemana? Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau ke luar kantor?" tanya Mateo dengan tatapan yang begitu lekat pada Miracle.Miracle membuang napas kasar mendengar pertanyaan Mateo. Ya, sepulang dari makan s
Mateo menatap Miracle yang tengah tertidur pulas di sampingnya. Tadi malam Miracle menuruti perkataan Mateo yang memintanya tidur di ranjang yang sama. Sudah cukup Mateo tersika tidur di ranjang yang terpisah. Beruntung tadi malam Miracle tidak berontak seperti biasa. Mateo tahu istrinya itu begitu lelah jika terus membahas tentang masalah mereka."Maafkan aku, Miracle." Mateo membawa tangannya mengelus lembut pipi Miracle. Sungguh, dia tidak bisa melihat mata Miracle yang sembab.Suara dering ponsel terdengar. Mateo langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang terus berdering itu. Dia mengambil ponselnya, dan menatap ke layar. Seketika kening Mateo berkerut, kala melihat nomor Gustav yang muncul di layar ponselnya. Awalnya Mateo tidak ingin menjawab. Namun dering ponsel yang tak kunjung berhenti, membuat Mateo memilih untuk menggeser tombol hijau, untuk menjawab panggilan tersebut."Ada apa kau menghubungiku sepagi ini, Gustav!" Mateo menjawab begitu dingin saat panggilan terhu
"Tuan Mateo..."Mateo yang hendak menuju parkiran mobil, langkahnya terhenti kala mendengar ada yang memanggilnya. Kini dia berbalik, dan mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara yang memanggilnya."Gustav? Ada apa?" Mateo menatap dingin assistantnya yang berdiri di hadapannya. Sesaat Mateo mengerutkan keningnya, menatap Gustav yang tampak begitu cemas."Сэр, мы не можем здесь разговаривать. В компании есть злоумышленники. Хочу рассказать о падении акций De Luca Group," Gustav berucap dalam bahasa Russia dengan pelan. Wajahnya terlihat tenang saat mengatakan itu.(Tuan Kita tidak bisa bicara di sini. Ada penyusup di perusahaan. Saya ingin memberitahu tentang penurunan saham di De Luca Group.)Mateo terdiam sesaat kala mendengar Gustav berbicara bahasa Russia yang mereka gunakan jika tengah membicarakan sesuatu rahasia. Sesaat Mateo menatap sekelilingnya dengan sudut matanya. Meski dia melihat ke sekitarnya, Mateo tetap menunjukan wajah tenang seperti biasa. Dia tidah terlihat
Selena meringkuk. Di memeluk lututnya dan terus menangis. Sedangkan Heera yang duduk tidak jauh dari Selena, menatap malas sejak tadi Selena tidak henti menangis."Apa kau bisa berhenti menangis? Kepalaku pusing melihatmu menangis!" seru Heera yang sudah habis kesabaran."Kau ini sebenarnya siapa? Aku tidak asing dengan wajahmu." Selena menghapus sisa air matanya. Dia menatap ke arah wanita yang duduk tidak jauh darinya. Sesaat Selena terdiam berusaha mengingat wanita itu. Pasalnya dia seperti pernah melihat wanita itu."Aku rasa kau mengenaliku," jawab Heera dingin dengan nada angkuhnya.Selena kembali terdiam. Dia tampak berpikir. Namun tiba-tiba saat sesuatu muncul dalam ingatan Selena. Raut wajah Selena berubah menjadi pucat. "K-Kau, Heera Amico. T-Tidak mungkin. Bukannya kau-""Aku masih hidup. Aku adalah kekasih Mateo. Aku yakin Mateo datang menyelamatkanku. Dan aku pastikan kau dan adikmu mati membusuk di tempat ini," tukas Heera dengan tatapan tajam ke arah Selena."Tidak mung
Flashback on#"Tuan Mateo..."Langkah Mateo terhenti kala dia mendengar ada yang memanggilnya. Dia melirik sekilas ke samping—menatap Gustav berdiri tidak jauh darinya. Mateo tidak menjawab, dia hanya menggerakan kepalanya memberi isyarat agar Gustav masuk ke dalam ruang kerjanya. Gustav mengangguk, dia melangkah mengkuti Mateo masuk ke dalam ruang kerjanya."Ada apa?" Mateo duduk di kursi kebesarannya. Tatapannya kini teralih pada Gustav yang berdiri di hadapannya."Maaf, Tuan. Jika saja bertanya lagi. Tapi kenapa anda meminta saya menghentikan pencarian tentang Nona Heera? Banyak hal yang menurut saja aneh, Tuan. Ada wanita yang tiba-tiba datang mengaku sebagai Nona Heera dan ketika saya mencari tahu, banyak yang belum terungkap. Jika wanita itu memiliki kalung yang sama dengan Nona Heera, itu tidak bisa langsung disimpulkan dia adalah Nona Heera Amico." Gustav berucap tentang apa yang dia pikirkan selama ini. Ada kejanggalan dalam hatinya. Dia yakin ada sesuatu dibalik semua ini."
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira