Flashback on#"Tuan Mateo..."Langkah Mateo terhenti kala dia mendengar ada yang memanggilnya. Dia melirik sekilas ke samping—menatap Gustav berdiri tidak jauh darinya. Mateo tidak menjawab, dia hanya menggerakan kepalanya memberi isyarat agar Gustav masuk ke dalam ruang kerjanya. Gustav mengangguk, dia melangkah mengkuti Mateo masuk ke dalam ruang kerjanya."Ada apa?" Mateo duduk di kursi kebesarannya. Tatapannya kini teralih pada Gustav yang berdiri di hadapannya."Maaf, Tuan. Jika saja bertanya lagi. Tapi kenapa anda meminta saya menghentikan pencarian tentang Nona Heera? Banyak hal yang menurut saja aneh, Tuan. Ada wanita yang tiba-tiba datang mengaku sebagai Nona Heera dan ketika saya mencari tahu, banyak yang belum terungkap. Jika wanita itu memiliki kalung yang sama dengan Nona Heera, itu tidak bisa langsung disimpulkan dia adalah Nona Heera Amico." Gustav berucap tentang apa yang dia pikirkan selama ini. Ada kejanggalan dalam hatinya. Dia yakin ada sesuatu dibalik semua ini."
"Mateo, kau mau membawaku kemana?" tanya Heera seraya menatap Mateo yang terus fokus melajukan mobilnya. Dia sedikit bingung karena Mateo membawanya masuk ke dalam sebuah hutan. Sedangkan harusnya mereka menuju kota."Nanti kau akan tahu," jawab Mateo dingin tanpa mengalihkan pandangannya pada Heera.Heera mengerutken keningnya. Dia hendak kembali bertanya. Namun, dia memilih mengurungkan niatnya. Kini dia bersandar di lengan kekar Mateo. Sudah sejak tadi dia ingin berada dalam dekapan Mateo. Mateo pun hanya diam kala Heera menyandarkan kepalanya di lengannya.Tak berselang lama, mobil Mateo berhenti di tengah hutan yang gelap. Heera langsung menatap ke sekelilingnya, melihat dirinya dan Mateo berada di sebuah hutan. Raut wajah Heera sedikit bingung. Pasalnya, hutan ini banyak pohon besar dan suara-suara aneh yang membuat hutan ini terlihat begitu seram. Namun Heera memilih untuk bersikap tenang. Karena dia tahu Mateo pasti akan melindunginya."Turunlah," ucap Mateo dingin."Mateo, ke
Denis melangkahkan kakinya mendekat ke arah Miracle dan Selena. Tatapannya begitu tajam dan lekat menatap wanita cantik yang berada di hadapannya. Selena yang sejak tadi memeluk lengan Miracle dengan kuat. Sedangkan Miracle terlihat begitu tenang kala Denis mendekat ke arahnya."Mirace Geovan, bagaimana perasaanmu ketika suamimu memilih kekasihnya dari pada kau?" Denis menyeringai menatap Miracle dan mengatakan itu dengan penuh ejekan."Jika suamiku memih kekasihnya. Lalu apa urusannya denganmu?" Miracle mengangkat wajahnya, menantang Denis yang berani mengejeknya itu."Well, kau rupanya begitu sombong, Miracle." Denis mendekat, dia menarik kasar dagu Miracle. "Bagaimana kalau aku melenyapkan kesombonganmu? Aku memberikanmu dua pilihan. Kau ingin aku lebih dulu mencicipi kulit mulusmu atau kau ingin aku lebih dulu mencicipi kulit mulus kakakmu?"Miracle tersenyum sinis. "Kau pikir kau bisa dengan mudah menyentuhku dan kakakku? Kau tidak mengenal diriku dengan baik."Denis mengangkat s
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Mateo terus memeluk dan mencium Miracle berharap tidak terjadi sesuatu pada istrinya. Tubuh Miracle begitu dingin, darah tidak henti keluar dari tubuhnya. Meski Mateo telah menekan luka tembak di dada Miracle, namun tetap tidak menghentikan pendarahan. Sedangkan Selena bersama dengan Sean. Mereka berada tepat di belakang mobil Mateo.Saat tiba di rumah sakit, para petugas medis langsung membawa brankar. Mateo memindahkan tubuh Miracle dan Sean memindahkan tubuh Selena. Raut wajah keduanya begitu panik dan ketakutan. Kini mereka berlari mengikuti petugas medis, menuju unit gawat darurat."Tuan... Maaf kalian tidak bisa ikut ke dalam." Sang perawat mencegah Mateo dan Sean yang ingin ikut masuk ke dalam unit gawat darurat. Tidak ada pilihan lain, Mateo dan Sean pun terpaksa menunggu di luar ruang unit gawat darurat.Ketika ruang unit gawat darurat tertutup. Sean langsung menarik kasar kerah baju Mateo. Dia menghajar pelipis Mateo. Mateo memilih di
"Dokter, detak jantung Nyonya Miracle lost."Perkataan perawat sukses membuat orang yang ada membeku dan terkejut. Wajah Mateo berubah menjadi pucat. Kakinya terasa begitu lemah. Saat sang dokter berlari masuk ke dalam ruang unit gawat darurat, Mateo langsung menyusulnya bersama dengan Sean dan Dominic."Tuan, maaf anda tidak bisa masuk ke dalam," ucap perawat itu mencegah Mateo yang memaksa ingin masuk ke dalam."Biarkan aku masuk!" Mateo mendorong keras tubuh perawat itu, hingga membuatnya hampir tersungkur."Maaf, Tuan. Tapi-"Sean memejamkan mata sesaat. Tangannya terkepal begitu kuat. Pikirannya tidak henti membayangkan tentang keadaan Miracle. "Biarkan dia masuk," ucapnya tegas. Dia tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan Mateo masuk ke dalam ruang unit gawat darurat.Sang perawat tampak ragu. Namun Mateo terus menghunuskan tatapan begitu tajam dan penuh peringatan pada perawatnya. Hingga kemudian sang perawat menganggukan kepalanya, memberi jawaban Mateo boleh masuk ke da
"Tuan Mateo." Gustav menundukan kepalanya kala melihat Mateo keluar dari ruang rawat Miracle."Gustav, ada yang ingin aku lakukan sebentar. Kau tunggu di sini, jaga istriku. Hubungi aku jika ada sesuatu," ucap Mateo dingin.Gustav mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Mateo melanjutkan langkahnya, hendak keluar dari rumah sakit. Namun tiba-tiba langkah Mateo terhenti melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya dan menatapnya begitu tajam. Dia membuang napas kasar, melihat Antonio—ayahnya datang menemuinya. Sejak dulu hubungannya tidak pernah baik dengan ayahnya sendiri."Ikut aku," tukas Antonio dingin dan sorot mata tajam pada Mateo.Mateo tidak menjawab. Terpaksa dia mengikuti ayahnya itu yang membawanya ke sebuah ruangan yang ada di rumah sakit. Meski dia sebenarnya tidak ingin menuruti ayahnya itu, tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Jika bukan di rumah sakit, Mateo sudah pasti memilih mengabaikan permintaan ayahnya itu."Ada apa?" Mateo bertanya dengan nada dingin kala dirinya dan
Satu Minggu kemudian...Mateo menatap Miracle dari balik kaca. Wajah pucat sang istri begitu terlihat jelas. Tidak hanya itu, hal yang membuat Mateo terluka adalah alat bantu pernapasan sang istri yang melekat di tubuh istrinya itu. Sudah satu minggu hidup Matep begitu kacau.Dokter mengatakan tidak bisa memastikan kapan Miracle bisa sadar. Namun meski demikan, Dokter mengatakan kandungan Miracle jauh lebih kuat. Di saat Miracle berjuang hidup, kandungan Miracle masih tetap bisa bertahan hidup. Jika mengingat itu semua Mateo tidak henti bersyukur. Setidaknya meski Miracle masih belum sadar, dia masih mendengar detak jantung istrinya."Kau di sini rupanya." Arsen baru saja menjenguk Miracle, dia menatap Mateo yang sejak tadi berdiri melihat Miracle dari balik kaca.Mateo melirik Arsen sekilas. Kemudian dia kembali mengalihkan pandangannya. Raut wajah dingin dan tampak kacau begitu terlihat di wajah Mateo. Pria yang terkenal angkuh, nyatanya bongkahan es yang ada dalam dirinya telah men
Sean melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang rawat Miracle. Dia sudah mendengar adiknya itu sudah sadar. Tentu saja Sean langsung menemui adiknya itu.Saat Sean sudah tiba di ruang rawat Miracle. Tatapannya teralih melihat wajah Mircle yang tengah melamun dan memikirkan sesuatu. Dia melihat jelas ada hal yang dipikirkan oleh adik perempuannya itu."Apa yang sedang kau pikirkan?" Sean mendekat, lalu duduk di tepi ranjang menatap dalam iris mata biru Miracle."Kakak?" Miracle menghentikan lamunannya kala Sean berada di hadapannya."Apa yang kau pikirkan, Miracle?" Sean kembali bertanya seraya mengelus lembut pipi adiknya itu."Tidak ada, kak. Aku tidak memikirkan apapun." Miracle terpaksa berbohong. Dia tidak ingin memberitahu kakaknya. Meski dia yakin Sean mengetahui semuanya. Tapi dia terlalu lelah jika kembali membahas tentang masalah rumah tangganya."Miracle." Sean menjeda seraya mengembuskan napas pelan dan melanjutkan, "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku juga tahu apa yang ter
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira