Tanpa terasa pernikahan Mateo dan Miracle sudah berjalan tiga bulan. Setiap harinya hubungan mereka begitu dekat. Hampir setiap harinya mereka saling belajar memahami satu sama lain. Jika sebelumnya Mateo begitu egois, kini Mateo mulai jauh lebih pengertian pada Miracle.Miracle tengah mematut cermin, dia memoles wajahnya dengan make up yang sedikit tebal namun tidak berlebihan. Pagi ini Miracle memilih memakai dress berwarna merah yang sama dengan warna lipstik yang di pakainya. Setelah selesai berias, Miracle melangkah meninggalkan walk-in closetnya menghampiri Mateo yang pasti sudah menunggunya.Saat Miracle baru saja melangkahkan kakinya keluar. Mateo yang tengah membaca koran, dia langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara ketukan heels Miracle. Satu Alis Mateo terangkat, melihat dari atas hingga ke bawah penampilan Miracle yang sangat cantik. Warna merah memang selalu menjadi warna yang menggoda."Mateo? Kenapa kau akh-" Miracle memekik terkejut kala Mateo tiba-tiba
"Kenapa kau berani menyembunyikan sesuatu dariku, Miracle?" William menghunuskan tatapan tajamnya. Sedangkan Miracle memilih menunduk, dan tidak berani melihat sang ayah."Maaf, Daddy..." Miracle memilih mengalah dan meminta maaf."Miracle memiliki alasan sendiri untuk menyembunyikannya. Selena adalah saudara kembarnya. Dia tidak mungkin mengkhianati saudaranya yang mempercayainya," Mateo bersuara membela Miracle dengan tegas."Tapi itu bukan alasan! Miracle tahu berapa banyak usahaku agar menemukan Selena. Harusnya dia tidak hanya diam!" seru William yang masih tidak terima."Tenangkan dirimu, William. Selena juga pernah menghubungiku! Meski aku tidak tahu keberadaannya, tapi dia memberi kabar dia baik-baik saja. Bukan hanya Miracle yang menyembunyikannya darimu. Tapi aku juga menyembunyikanya," ujar Marsha dengan wajah bersalah."Marsha!" William mengepalkan tangannya, dia hendak meluapkan emosinya. Namun, dia tidak ingin melukai sang istri. Hingga kemudian dia memilih mengendalikan
"Mateo, tunggu.." Miracle menahan lengan Mateo, kala dia dan sang suami baru saja tiba di rumah mereka. Sepulangnya dari rumah orang tuanya Miracle memang langsung pulang ke rumah. Tentu saja ini karena Mateo masih tidak mau bicara padanya.Bahkan sepanjang jalan tadi, Mateo hanya fokus mengemudikan mobil. Setiap kali Miracle ingin membuka percakapan, dia selalu mengurungkan niatnya karena melihat wajah dingin Mateo yang tampak tidak ingin di ganggu. Tapi sekarang saat dia dan Mateo sudah tiba di rumah, Miracle sudah tidak lagi bisa menahan diri."Istirahatlah ini sudah malam." Mateo melepaskan tangan Miracle yang menyentuh lengannya.Miracle mendesah pelan. "Jangan mendiamkan aku seperti ini, Mateo. Tadi aku sudah meminta maaf padamu, bukan? Tapi kenapa kau masih mediamkanku," ucapnya seraya mengerutkan bibirnya."Kenapa kau harus membohongiku, Miracle?" Mateo bertanya dengan suara begitu dingin. Tatapannya menatap sang istri dengan lekat."Aku tidak bermakud membohongimu, Mateo." Mi
Mateo melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, memasuki gedung apartemen tempat dimana dia dan Miracle tinggal. Setelah memarkirkan mobil, Mateo dan Miracle turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lobby apartemen."Mateo, acara jamuan makan malamnya jam berapa?" tanya Miracle sambil memeluk lengan Mateo saat memasuki lobby apartemen."Jam tujuh malam," jawab Mateo."Kalau begitu aku harus segera memilih gaun yang akan aku pakai malam ini," balas Miracle sembari memikirkan gaun apa yang akan dia pakai malam ini."Miracle," Suara bariton memanggil nama Miracle cukup keras, membuat Miracle dan Mateo langsung mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu.Seketika kening Miracle berkerut, menatap sosok pria yang melangkah mendekat. Sedangkan Mateo, menghunuskan tatapan tajam kala melihat sosok pria itu. Kini Mateo menarik tangan Miracle, merapat ketubuhnya. Dia seolah menunjukan Miracle hanya miliknya."Apa kabar, Miracle?" tanya pria itu dengan ramah seraya menatap lembut M
Mobil yang membawa Mateo dan Miracle mulai memasuki lobby hotel, tempat di mana undangan makan malam. Mateo lebih dulu turun dari mobil, dia membukakan pintu mobil untuk Miracle. Miracle pun menyambut tangan Mateo. Kilatan kamera memenuhi area lobby. Sejak tadi para wartawan terus mengambil gambar Miracle dan Mateo yang tampak begitu mesra dan serasi.Tak berselang lama, sebuah mobil memasuki area lobby. Mateo dan Miracle mengalihkan pandangan mereka ke arah mobil itu. Seketika senyum di bibir Miracle terukir melihat Selena dan Charlotte turun dari mobil. Dia sudah menduga Selena juga akan datang. Sebelumnya Charlotte datang karena Miracle yang menghubungi sepupunya itu. Biasanya jika ada jamuan makan malam seperti ini, Charlotte lebih memilih untuk tinggal di rumah. Kini beberapa wartawan mengarahkan kameranya ke arah Selena dan Charlotte. Mereka terus tersenyum kala wartawan mengambil gambar."Mateo... Miracle..." Selena dan Charlotte melangkah menghampiri Mateo dan Miracle."Ka, di
"Miracle..." Suara bariton memanggil nama Miracle dengan sedikit keras, membuat Miracle langsung mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu."Mateo? Kau di sini?" Miracle menatap Mateo yang melangkah mendekat ke arahnya."Kau kemana saja? Aku mencarimu." Mateo membawa tangannya mengelus lembut pipi Miracle."Mateo, tadi aku menabrak seseorang. Pakaiannya tertumpah wine. Aku harus menggantinya, Mateo," ujar Miracle memberitahu."Seseorang?" Kening Mateo berkerut, menatap bingung Miracle. "Siapa yang kau tabrak?""Nona itu-" Baru saja Miracle menunjuk tempat di mana wanita yang dia tabrak berdiri, tapi dia mendapati wanita itu sudah tidak ada. Miracle mengedarkan pandangannya, mencari wanita yang dia tabrak tadi. Namun nyatanya, wanita itu benar-benar sudah tidak ada di sana."Kemana wanita itu?" gumam Miracle. Padahal dia belum mengganti rugi gaun yang tertumpah wine akibat kecerobohannya."Miracle? Kau mencari siapa?" tanya Mateo dengan tatapan lekat pada Miracle."Mateo, tadi ak
"Kau?" Mateo mengeluarkan suaranya, dia menatap tak percaya dengan apa yang dia lihat. Mateo beranjak berdiri, dia hendak mendekat tapi entah kenapa langkah kakinya terasa begitu berat.Wanita itu masih diam, dia tidak bergeming dari tempatnya dan terus menatap iris mata coklat Mateo. Gustav yang masih ada di sana, langsung undur diri kala dia melihat Mateo mematung melihat wanita itu."Aku kembali, Mateo." Suara wanita itu terdengar begitu lembut. Tatapannya menatap Mateo penuh kasih sayang dan kerinduan mendalam. Sedangkan Mateo, dia masih bungkam dan tidak percaya."Kau siapa?" Mateo bertanya dengan raut wajah yang begitu dingin. Pikiranya meyakinkan apa yang dia lihat ini bukanlah orang yang sangat dia kenal.Namun tiba-tiba, wanita itu berlari dan menghamburkan pelukannya pada Mateo. Dia menangis kencang kala berada dalam pelukan Mateo. Mateo masih diam, dia tidak bergerak atau pun membalas pelukan wanita itu."Aku merindukanmu! Aku tersiksa! Apa kau tahu?" Wanita itu kian terisa
"Heera-""Aku tahu kau tidak pernah mencintai istrimu. Aku tahu pemberitaan di media adalah omong kosong. Kau tidak mungkin semudah itu melupakanku. Aku mengenal dengan baik siapa pria yang aku cintai. Istrimu hanya menggantikan kakaknya yang melarikan diri di hari pernikahan. Kau dan dia bahkan tidak mengenal satu sama lain. Di hatimu akan tetap ada diriku." Heera berujar dengan penuh keyakinan. Sedangkan Mateo masih bungkam tanpa mengatakan sepatah katapun.Mateo menghembuskan napas kasar. "Heera, banyak hal yang kau tidak mengerti." Tidak ada pilihan lain, Mateo tidak mungkin membohongi Heera. Karena jika dia membohongi Heera dengan apa yang terjadi, bukan hanya Heera yang terluka. Namun, Miracle, istrinya akan lebih terluka."Apa yang aku tidak mengerti, Mateo?" tanya Heera seraya melangkah semakin mendekat ke arah Mateo. Tatapannya menatap Mateo penuh dengan kelembutan."Heera, aku sudah menikah," jawab Mateo."Aku tahu." Heera menjeda. "Tapi aku juga tahu kau tidak mencintai ist
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira