“Aku mau cerai! Aku tidak peduli kau menyetujuinya atau tidak! Yang aku inginkan hanya kita bercerai!” isak Miracle keras. Bahunya bergetar dan terdengar begitu pilu. Tatapan Mateo menghunus tajam kala Miracle lagi dan lagi mengatakan kata cerai. Rahangnya mengetat. Amarah yang terbendung di dalamnya telah memuncak dan tak lagi bisa tertahan. Sepasang iris mata cokelat Mateo tampak menunjukan amarah yang akan meledak. “Miracle! Berapa kali aku mengatakan padamu! Kita tidak akan pernah bercerai!” teriak Mateo begitu menggelegar. Bulir air mata Miracle mendera, membasahi pipinya. Dia menggelengkan kepalanya tegas. Menatap Mateo penuh dengan luka. “Mau sampai kapan, Mateo? Apa kau tidak lelah dengan semuanya? Aku lelah! Lelah! Jika aku kembali memberikan kesempatan, dan kau kembali mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya kita akan tetap berpisah. Lebih baik kita berpisah sekarang. Kau tenang saja. Aku akan tetap membiarkanmu bertemu dengan anak kita. Aku tidak akan pernah mengha
Mateo menatap Miracle yang tengah tertidur pulas. Wajah cantik tanpa polesan make up sedikit pun tetap membuat istrinya itu terlihat segar dan mempesona. Kini Mateo membawa tangannya, mengelus lembut pipi Miracle. Mengecupinya di sana. Sudah lama dia tidak bermesraan dengan sang istri. Mateo benar-benar merindukan memeluk istrinya itu. Sudah beberapa hari ini, Mateo hanya bisa melihat Miracle saat tertidur pulas. Namun, kali ini tentu berbeda. Mateo bukan hanya bisa melihat, tetapi dia pun bisa memeluk istrinya kembali. Setelah badai menerpa rumah tangga mereka, pada akhirnya Mateo dan Miracle tetap mampu bertahan. Kenyataannya, cinta yang telah menyingkirkan ego mereka. “Kau sangat cantik.” Mateo bergumam pelan sembari memberikan kecupan lembut di bibir sang istri. Dia menelusuri wajah Miracle yang begitu halus. Hidung mancung menjulang melebihi bibir ranum nan indah. Bulu mata lentik. Membuat Miracle bagaikan pahatan seorang dewi yang sempurna. Mateo menyadari, dirinya selalu jat
Matahari sudah tinggi. Sinarnya menembus tirai rumah rawat, dan menyentuh wajah Miracle. Miracle tengah duduk di tepi ranjang menunggu Mateo yang tengah menemui dokter. Hari ini adalah hari yang tengah ditunggu-tunggu oleh Miracle. Akhirnya Miracle diperbolehkan untuk pulang. Tentu hari ini juga Miracle langsung melakukan penerbangan dengan sang suami pulang ke Milan. Mengingat perjalanan yang ditempuh oleh Miracle sangat jauh, membuat Mateo menemui sang dokter untuk memastikan kesehatan istrinya itu. “Mateo lama sekali,” gumam Miracle dengan embusan napas pelan. Ceklek. Suara pintu terbuka, membuat Miracle langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu—seketika senyum di bibir Miracle terukir hangat melihat Mateo melangkah masuk ke dalam kamar. Miracle langsung bangkit berdiri dan memeluk erat sang suami. “Mateo, kau dari mana saja? Kenapa lama sekali,” rengek Miracle dalam pelukan Mateo. “Maaf, sayang. Aku harus memastikan kesehatanmu dan anak kita sudah sepenuhnya pulih. Kit
Milan, Italia. Miracle mengerjapkan matanya beberapa kali. Menggeliat di ranjang empuk dan megah. Lalu merentangkan kedua tangannya kala pagi menyapa. Kini Miracle menoleh ke samping, melihat ranjang sang suami sudah kosong. Miracle berdecak kesal. Pasti Mateo sudah disibukan dengan pekerjaannya. Pasalnya tadi malam Mateo terlihat begitu sibuk membaca email masuk dari asistennya. Sebenarnya Miracle kesal karena Mateo tidak kenal waktu. Namun, Miracle pun tidak ingin egois. Mateo sudah lama menemaninya di Indonesia. Sudah pasti suaminya itu disibukan dengan banyak pekerjaan kala tiba di Milan. Miracle telah tiba di Milan. Setelah perjalanan panjang dari Bali menuju Milan akhirnya dia telah tiba di rumahnya. Tadi malam kala dirinya dan Mateo tiba di rumah, Miracle lebih dulu tertidur pulas. Tampak Miracle begitu merindukan kamarnya dan Mateo. Kamar yang selalu memadu cinta dan kasih sayang dengan sang suami. Pertengkaran, rindu, apa pun mereka habiskan di kamar ini. Sungguh, Miracle
“Mateo, aku ikut dengamu saja, ya?” Miracle berucap dengan tatapan meminta pada sang suami. Tampak raut wajahnya begitu cemas dan khawatir. Miracle tengah membantu sang suami memasang dasi. Sejak tadi malam Miracle tidak bisa tenang. Hal yang membuat Miracle tak mengerti adalah ketika Rudolf, Paman Mateo meminta suaminya itu datang sendiri tanpa adanya pengawal. Tak dipungkiri, tentu sebagai seorang istri Miracle sangat ketakutan. Dia takut terjadi sesuatu dengan suaminya itu. Miracle tahu Leyna yang bersalah. Apa yang dilakukan oleh Mateo adalah demi menyelamatkan dirinya. Akan tetapi, Rudolf tentu saja menaruh dendam dengan Mateo. Meski pun Mateo adalah keponakannya. Namun, Rudolf adalah ayah dari Leyna. Tentu Rudolf tidak akan terima dengan apa yang dilakukan oleh Mateo. Memikirkan hal itu benar-benar membuat Miracle semakin mencemaskan sang suami.“Miracle. Tidak akan terjadi sesuatu padaku.” Mateo membelai lembut pipi Miracle. “Jangan mencemaskanku, sayang. Aku akan pulang tep
Rudolf tersenyum sinis. Dia mengetuk pelan mejanya dengan telunjuknya. Raut wajahnya tampak tengah berbahagia. “Well… Membunuhku? Kau bahkan tidak membawa satu pun pengawalmu. Siapa yang bisa membantumu, Mateo? Tujuanku memintamu ke sini karena tentu aku harus membalaskan dendamku dan membalaskan kematian putriku. Aku rasa kau pernah mendengar, nyawa haruslah dibayar dengan nyawa.” Mateo mengangkat bahunya tak acuh. Raut wajahnya terlihat santai mendengar perkataan Rudolf. Hingga kemudian Mateo menjawab sarkas, “Jadi tujuanmu memanggilku karena ingin membunuhku? Aku baru tahu aku memiliki Paman yang pengecut. Kau memintaku untuk tidak membawa anak buahku. Sedangkan kau di sini di kelilingi oleh anak buahmu.” Mateo begitu terlihat santai dan tidak takut sama sekali. Mateo hanya melihat sekilas banyaknya anak buah Rudolf di sekelilingnya. Tujuan Mateo datang hanya ingin menuruti permintaan Pamannya itu. Rupanya Pamannya memiliki niat licik. Tentu Mateo tidak pernah takut sama sekali.
Suara tembakan terdengar, membuat Mateo yang tengah melangkah menuju halaman belakangnya terhenti sejenak. Kini Mateo berada di salah satu rumahnya di dekat perkebunan anggur miliknya. Tepatnya dua jam lalu, dokter baru saja mengeluarkan peluru di lengan kiri Mateo. Beruntung peluru itu tidak menembus mengenai syaraf. Proses mengeluarkan peluru pun tidaklah lama. Luka tebak di lengan kiri Mateo sudah dibalut oleh perban. Mateo sengaja tidak mendatangi rumah sakit, dia takut ada paparazzi yang diam-diam mengambil gambarnya. Itu kenapa Mateo meminta dokter melakukan tindakan operasi di rumahnya yang jauh dari pusat kota. Sebelumnya, luka di lengan kiri Mateo sudah diikat kuat oleh kain demi mengehentikan pendarahan. Paling tidak, Mateo mampu melakukan tindakan pertama agar luka tembak itu tidak membahayakan dirinya. Mateo menatap dingin Dominic yang tengah berlatih menembak. Hal yang membuat Mateo terus menatap Dominic dan tak menghentikan pemuda itu karena Dominic tidak menggunakan
“Berita siang ini datang dari pengusaha ternama Rudolf Cannosa. Kabarnya Rudolf Cannosa terlibat penyuapan pada salah satu pejabat pemerintahan. Saat ini Rudolf Cannosa masih dalam pemeriksaan. Namun, menurut pihak kepolisan bukti semua sudah ada di tangan mereka. Dan menurut kabar, Keluarga De Luca tidak terlibat sama sekali. Sayangnya hingga detik ini Keluarga De Luca tidak mau memberikan keterangan. Mengingat Rudolf Cannosa masih memiliki hubungan persaudaraan dengan Keluarga De Luca.” Bibir Miracle menganga. Dia sampai harus menutup mulut dengan tangannya kala melihat berita yang baru saja dilihatnya. Rudolf Cannosa ditangkap kepolisian? Lalu di mana Mateo? Kenapa suaminya itu belum juga pulang?Pikiran Miracle kini berkecamuk. Dia terus memikirkan tentang Mateo. Berita tentang Rudolf Cannosa—paman dari sang suami membuatnya benar-benar terkejut. Hari ini Mateo bertemu dengan Rudolf Cannosa. Sesuai permintaan paman dari suaminya itu, Mateo datang sendiri tanpa adanya pengawal yan
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira