Suara tembakan terdengar, membuat Mateo yang tengah melangkah menuju halaman belakangnya terhenti sejenak. Kini Mateo berada di salah satu rumahnya di dekat perkebunan anggur miliknya. Tepatnya dua jam lalu, dokter baru saja mengeluarkan peluru di lengan kiri Mateo. Beruntung peluru itu tidak menembus mengenai syaraf. Proses mengeluarkan peluru pun tidaklah lama. Luka tebak di lengan kiri Mateo sudah dibalut oleh perban. Mateo sengaja tidak mendatangi rumah sakit, dia takut ada paparazzi yang diam-diam mengambil gambarnya. Itu kenapa Mateo meminta dokter melakukan tindakan operasi di rumahnya yang jauh dari pusat kota. Sebelumnya, luka di lengan kiri Mateo sudah diikat kuat oleh kain demi mengehentikan pendarahan. Paling tidak, Mateo mampu melakukan tindakan pertama agar luka tembak itu tidak membahayakan dirinya. Mateo menatap dingin Dominic yang tengah berlatih menembak. Hal yang membuat Mateo terus menatap Dominic dan tak menghentikan pemuda itu karena Dominic tidak menggunakan
“Berita siang ini datang dari pengusaha ternama Rudolf Cannosa. Kabarnya Rudolf Cannosa terlibat penyuapan pada salah satu pejabat pemerintahan. Saat ini Rudolf Cannosa masih dalam pemeriksaan. Namun, menurut pihak kepolisan bukti semua sudah ada di tangan mereka. Dan menurut kabar, Keluarga De Luca tidak terlibat sama sekali. Sayangnya hingga detik ini Keluarga De Luca tidak mau memberikan keterangan. Mengingat Rudolf Cannosa masih memiliki hubungan persaudaraan dengan Keluarga De Luca.” Bibir Miracle menganga. Dia sampai harus menutup mulut dengan tangannya kala melihat berita yang baru saja dilihatnya. Rudolf Cannosa ditangkap kepolisian? Lalu di mana Mateo? Kenapa suaminya itu belum juga pulang?Pikiran Miracle kini berkecamuk. Dia terus memikirkan tentang Mateo. Berita tentang Rudolf Cannosa—paman dari sang suami membuatnya benar-benar terkejut. Hari ini Mateo bertemu dengan Rudolf Cannosa. Sesuai permintaan paman dari suaminya itu, Mateo datang sendiri tanpa adanya pengawal yan
Kandungan Miracle memasuki minggu ketiga puluh. Perut Miracle kian membesar. Membuat Miracle semakin berhati-hati setiap melangkah. Hari demi hari Mateo semakin overprotective. Bahkan jika Miracle jenuh di rumah dan ingin berbelanja sendiri di luar maka detik itu juga Mateo akan meluangkan waktu menemaninya. Tidak hanya itu, Mateo pun selalu meminta dua orang pelayan serta empat pengawal mengikuti ke mana pun Miracle pergi. Terdengar berlebihan tapi memang itu yang harus Miracle patuhi. Miracle tidak bisa menolak aturan yang dibuat oleh sang suami. Well… Hidup Miracle selama ini sudah banyak aturan dari ayahnya. Ternyata menikah pun Miracle tetap harus mengikuti aturan suaminya. Walau tak dipungkiri Miracle ingin hidup normal tidak diperilakukan secara berlebihan. Namun, jika sudah seperti ini Miracle bisa apa? Melawan pun tidak bisa. Semua yang dilakukan Mateo memang terbaik untuk dirinya dan bayi yang ada di kandungannya. Meski itu terlalu berlebihan sekali pun. Miracle tengah d
Suara dering ponsel terdengar, membuat Miracle yang baru saja melangkah keluar kamar mandi—langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Miracle mengambil ponsel miliknya, lalu melihat ke layar. Embusan napas Miracle terdengar kala melihat nomor Dominic yang muncul di layar ponselnya. Sudah sejak lama Dominic tidak menghubunginya. Bahkan ketika Mateo memceritakan Dominic yang membantunya saja tetap Dominic tidak meneleponnya. Miracle memilih sengaja diam. Bukan tanpa alasan, tetapi Miracle ingin Dominic sendiri yang menghubunginya lebih dulu. Mengingat adiknya itu begitu banyak menutupi sesuatu darinya.Tak berselang lama, Miracle mulai menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya. “Ya, Dominic?” jawab Miracle kala panggilan terhubung. “Maaf aku baru menghubungimu,” ujar Dominic dengan suara dingin dari seberang line. Miracle mengembuskan napas kasar. “Kau masih mengingatku juga?” “Aku tidak mungkin tid
“Nyonya.” Seorang pelayan menyapa Miracle yang baru saja pulang. Setelah tadi pergi bersama dengan Charlotte; kini Miracle kembali ke rumah. Tampak di belakang Miracle ada para pengawal Mateo yang membawakan shopping bag milik Miracle. Membuat sang pelayan sedikit menggaruk tengkuk lehernya, kala melihat begitu banyak barang belanjaan Miracle. Well… Hobby Miracle banyak berubah sejak hamil. Sekarang Miracle jauh lebih menyukai berbelanja, ke salon demi merawat kecantikannya. Bahkan Miracle sendiri bingung pada dirinya yang menyukai kebiasaan yang dulunya menurut Miracle sangat membosankan.Kenyataanya sekarang menjadi hal yang Miracle sangat sukai. Tenty Merawat kecantikan karena Miracle tidak ingin sang suami melihat-lihat wanita lain. Walau sebenarnya, Miracle tahu Mateo tidak akan mungkin berpaling darinya. Namun, entah bersolek sekarang merupakan hal yang disukai Miracle. Dia selalu menginginkan tampil cantik di depan sang suami. Sepulang dari rumah baru Charlotte, Miracle meman
Miracle mengusap perut buncitnya. Tatapan Miracle teralih pada para pelayan yang tengah memasang foto babymoon-nya dengan Mateo. Seketika senyuman Miracle terukir melihat foto-foto yang terpasang itu. Tanpa terasa kandungan Miracle memasuki minggu ke tiga puluh satu. Kandungan Miracle semakin membesar. Meski mulai tidak nyaman kala tidur, tapi Miracle tetap menikmati masa-masa kehamilannya. “Nyonya, apa ada yang kurang?” tanya sang pelayan seraya melihat Miracle.“Tidak. Ini semua sudah bagus,” jawab Miracle pelan. “Hm, apa suamiku masih menerima telepon?” tanyanya. Sebelumnya suaminya itu mendapatkan telepon dari Gustav, asisten dari sang suami.“Terakhir saya lihat sebelum ke sini, Tuan Mateo masih tengah menerima telepon, Nyonya,” kata sang pelayan sopan. “Aku di sini.” Suara Mateo menyela ucapan sang pelayan sontak membuat para pelayan yang ada di sana langsung menundukan kepalanya pamit undur diri kala Mateo sudah datang. “Kau sudah selesai?” tanya Miracle kala sang suami tib
Mateo mengembuskan napas kasar kala mengingat dirinya tadi membentak sang istri. Dia tidak bermaksud untuk membentak istrinya itu, namun kemarahan dalam dirinya tidak lagi bisa terbendung kala Miracle meminta untuk ke Jakarta. Kandungan Miracle sudah membesar. Dia tidak mau menanggung resiko. Terlebih jarak Milan ke Jakarta tidaklah dekat. Itu yang membuat Mateo tidak mungkin menuruti keinginan Miracle.Mateo menyandarkan punggungnya di kursi. Dia duduk di ruang kerjanya yang ada di penthousenya. Kemudian, mengambil gelas sloki yang ada di hadapannya yang berisikan wine dan disesapnya pelan. Suara ketukan pintu terdengar, Mateo mengalihkan pandangannya dengan raut wajah yang begitu dingin. Kini Mateo menginterupsi orang yang mengetuk pintu itu untuk segera masuk. “Tuan Mateo,” sapa Gustav, asisten Mateo seraya melangkah masuk ke dalam ruang kerja Mateo. Mateo mengembuskan napas kasar melihat kedatangan Gustav. Kini dia meletakan gelas yang ada di tangannya ke atas meja dan tatapan
“Mateo, kita pesawat jam berapa?” Miracle keluar dari walk-in closetnya, mendekat pada Mateo yang duduk di sofa. Kini tubuh Miracle sudah terbalut dress polos lengan panjang berwarna merah dipadukan dengan stocking hitam. “Kita pesawat jam sembilan,” jawab Mateo seraya menatap sang istri yang duduk di sampingnya. Kemudian, Mateo mengambil susu cokelat hangat yang ada di atas meja dan memberikannya pada sang istri. “Minumlah. Kau belum meminum susu cokelatmu.” Miracle tersenyum. “Terima kasih, Sayang,” balasnya sembari meminum perlahan susu cokelat yang sebelumnya sudah disiapkan oleh sang pelayan.“Lebih baik kita berangkat sekarang. Arsen dan Charlotte akan satu pesawat dengan kita,” ujar Mateo yang sedikit membuat Miracle terkejut. “Arsen dan Charlotte ikut kita? Bukannya tadi malam Arsen bilang baru bisa berangkat besok?” tanya Miracle yang tak mengerti. Tadi malam Miracle baru saja menghubungi Charlotte membahas tentang ke Jakarta. Sebelumnya Charlotte pun sudah tahu kabar keh
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira