“Dengarkan aku baik-baik, Miracle. Aku memang sudah menandatangani surat cerai itu. Tapi aku tidaklah bodoh. Semua keputusan yang aku ambil karena saat itu aku terpaksa agar Leyna tidak melakukan hal nekad. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu dan anak kita. Selain itu, jika kau memperhatikan tanda tanganku dengan jelas maka kau akan tahu aku telah memanipulasi tanda tanganku. Huruf depannya aku buat sama seperti tanda tangan asliku. Tapi bagian belakang, itu bukan tanda tanganku. Dan saat aku membawamu ke rumah sakit, aku sudah meminta anak buahku membakar surat cerai itu. Jangan pernah kau berpikir bisa pisah dariku, Miracle. Sampai kapan pun kau hanya milikku. Dengan atau tanpa persetujuan darimu, kau hanya akan tetap menjadi milikku!” Mata Miracle memanas mendengar apa yang dikatakan oleh Mateo. Bagai sebilah pisau yang tertancap di hatinya. Sesak. Perih. Terluka. Setelah apa yang dilakukan oleh Mateo, pria itu dengan mudah mengatakan hal itu padanya. Perlahan Miracle tak sangg
Pelupuk mata Miracle bergerak. Perlahan dia mulai memijat pelipisnya. Sesaat kala mata Miracle terbuka, dia menatap dirinya berada di ruang rawat rumah sakit. Aroma ruangan lembut khusus rumah sakit menyeruak ke indra penciuman Miracle. Ingatan Miracle langsung berputar tentang kejadian kemarin. Kejadian di mana dirinya hampir terbunuh karena obsesi Leyna mendapatkan Mateo. Jika mengingat semuanya hati Miracle semakin sakit. Miracle mengembuskan napas kasar. Dia berusaha untuk lebih baik tidak mengingat-ingat hal yang melukai hatinya. Bukan artinya memaafkan hanya saja Miracle tidak ingin terjadi sesuatu pada kandungannya. Mengingat dokter terakhir mengatakan kandungannya lemah. “Selamat pagi, Nyonya Miracle.” Seorang perawat melangkah mendekat ke arah Miracle seraya membawakan nampan yang berisikan bubur. “Pagi,” jawab Miracle singkat dan raut wajah begitu dingin. Sebenarnya Miracle tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Namun, dia harus mengalahkan egonya demi kandungannya. “Nyony
Sudah tiga hari Miracle berada di rumah sakit dan selama itu juga Miracle mendiamkan Mateo. Setiap kali Mateo berusaha mengajaknya bicara, Miracle memilih mengabaikannya. Bahkan ketika Mateo ingin menemani Miracle di ruang rawat, Miracle tetap tidak memedulikannya. Hingga detik ini Miracle belum bisa melupakan semuanya begitu saja. Hatinya begitu terluka dengan apa yang dilakukan oleh Mateo. Meskipun Miracle tahu Mateo tidak memiliki hubungan dengan Leyna tetap saja hati Miracle masih sangat terluka. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak terluka jika sang suami berkali-kali menutupi sesuatu. Miracle tengah duduk di sofa ruang rawatnya—dia melihat keluar jendela. Jujur saja Miracle sudah sangat jenuh berada di rumah sakit. Ingin rasanya Miracle segera keluar dari sini, akan tetapi itu tidaklah mungkin. Dia pun sudah lama berada di Indonesia. Keadaan yang seperti ini tidak mungkin bisa Miracle meninggalkan Indonesia. Kandungan lemah akan membuat Miracle sedikt lebih lama di Indones
“Hi, Nona Miracle. Kita bertemu lagi.” Miracle mengerutkan keninya melihat dokter muda di hadapannya menyapa dirinya. Tampak Miracle berusaha mengingat wajah dokter tampan di hadapannya itu. Pasalnya wajah dokter itu sudah tidak asing lagi. Dia seperti pernah melihat dokter itu. Hingga saat ketika Miracle berusaha mengingat tiba-tiba dokter itu melangkah mendekat ke arahnya. “Matius. Dokter Matius. Kita pernah bertemu di taman belakang rumah sakit, Nona,” ujar Dokter Matius yang langsung memberitahu. Dia bisa melihat dari pancaran sepasang iris mata biru Miracle. Wanita itu tampak berusaha mengingat dirinya. Miracle mengembuskan napas panjang. Dia sudah mengingat dokter yang ada di hadapannya itu. “Dari mana kau tahu namaku? Aku bukan pasienmu, jadi bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanyanya dengan nada dingin dan tak ramah. “Bukannya kau sendiri yang mengatakan padaku untuk mencari tahu namamu? Dan tentu sangat mudah bagiku mencari tahu data pasien yang dirawat di rumah sakit ini,
Mateo mengembuskan napas kasar seraya melirik arlojinya sudah hampir satu jam Miracle masih tak kunjung kembali ke kamar. Dia ingin sekali menyusul sang istri, namun jika dia melakukan itu maka hanya akan memperkeruh suasana. Miracle masih marah padanya dan masih tak mau berbicara padanya. Mateo memejamkan mata sesaat, berusaha meredakan kekesalan dalam dirinya. Ingin rasanya Mateo bersika egois dan menarik paksa Miracle agar patuh padanya. Akan tetapi jika dia bersikap egois, itu hanya akan membuat Miracle semakin membenci dirinya. Sifat Miracle ini sangat wajar. Terlebih dengan semua yang dilakukannya tentu meninggalkan kekecewaan yang mendalam di hati istrinya itu. Saat Mateo tengah berusaha menenangkan kekesalan dalam dirinya, tatapan Mateo teralih pada seorang pengawal yang tadi dia minta untuk menjaga istrinya, melangkah mendekat ke arahnya. “Tuan…” Pengawal itu menundukkan kepalanya, menyapa Mateo dengan raut wajah yang sedikit ketakutan. “Kenapa kau di sini? Di mana istrik
“Aku mau cerai! Aku tidak peduli kau menyetujuinya atau tidak! Yang aku inginkan hanya kita bercerai!” isak Miracle keras. Bahunya bergetar dan terdengar begitu pilu. Tatapan Mateo menghunus tajam kala Miracle lagi dan lagi mengatakan kata cerai. Rahangnya mengetat. Amarah yang terbendung di dalamnya telah memuncak dan tak lagi bisa tertahan. Sepasang iris mata cokelat Mateo tampak menunjukan amarah yang akan meledak. “Miracle! Berapa kali aku mengatakan padamu! Kita tidak akan pernah bercerai!” teriak Mateo begitu menggelegar. Bulir air mata Miracle mendera, membasahi pipinya. Dia menggelengkan kepalanya tegas. Menatap Mateo penuh dengan luka. “Mau sampai kapan, Mateo? Apa kau tidak lelah dengan semuanya? Aku lelah! Lelah! Jika aku kembali memberikan kesempatan, dan kau kembali mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya kita akan tetap berpisah. Lebih baik kita berpisah sekarang. Kau tenang saja. Aku akan tetap membiarkanmu bertemu dengan anak kita. Aku tidak akan pernah mengha
Mateo menatap Miracle yang tengah tertidur pulas. Wajah cantik tanpa polesan make up sedikit pun tetap membuat istrinya itu terlihat segar dan mempesona. Kini Mateo membawa tangannya, mengelus lembut pipi Miracle. Mengecupinya di sana. Sudah lama dia tidak bermesraan dengan sang istri. Mateo benar-benar merindukan memeluk istrinya itu. Sudah beberapa hari ini, Mateo hanya bisa melihat Miracle saat tertidur pulas. Namun, kali ini tentu berbeda. Mateo bukan hanya bisa melihat, tetapi dia pun bisa memeluk istrinya kembali. Setelah badai menerpa rumah tangga mereka, pada akhirnya Mateo dan Miracle tetap mampu bertahan. Kenyataannya, cinta yang telah menyingkirkan ego mereka. “Kau sangat cantik.” Mateo bergumam pelan sembari memberikan kecupan lembut di bibir sang istri. Dia menelusuri wajah Miracle yang begitu halus. Hidung mancung menjulang melebihi bibir ranum nan indah. Bulu mata lentik. Membuat Miracle bagaikan pahatan seorang dewi yang sempurna. Mateo menyadari, dirinya selalu jat
Matahari sudah tinggi. Sinarnya menembus tirai rumah rawat, dan menyentuh wajah Miracle. Miracle tengah duduk di tepi ranjang menunggu Mateo yang tengah menemui dokter. Hari ini adalah hari yang tengah ditunggu-tunggu oleh Miracle. Akhirnya Miracle diperbolehkan untuk pulang. Tentu hari ini juga Miracle langsung melakukan penerbangan dengan sang suami pulang ke Milan. Mengingat perjalanan yang ditempuh oleh Miracle sangat jauh, membuat Mateo menemui sang dokter untuk memastikan kesehatan istrinya itu. “Mateo lama sekali,” gumam Miracle dengan embusan napas pelan. Ceklek. Suara pintu terbuka, membuat Miracle langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu—seketika senyum di bibir Miracle terukir hangat melihat Mateo melangkah masuk ke dalam kamar. Miracle langsung bangkit berdiri dan memeluk erat sang suami. “Mateo, kau dari mana saja? Kenapa lama sekali,” rengek Miracle dalam pelukan Mateo. “Maaf, sayang. Aku harus memastikan kesehatanmu dan anak kita sudah sepenuhnya pulih. Kit
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira