Miracle menatap ke luar jendela, dia melihat ke arah jam dinding—waktu menunjukan pukul dua belas malam. Namun Mateo belum juga pulang. Miracle berusaha menghubungi sang suami, tapi tidak ada jawaban dari suaminya itu.Miracle memahami terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan oleh suaminya. Sejak di mana Miracle tahu pabrik anggur dan perkebunan anggur milik Mateo terbakar, jujur saja Miracle tidak bisa tenang.Pikirannya terus memikirkan bagaimana keadaan Mateo yang pasti terpuruk mengenai ini. Terlebih banyaknya korban jiwa. Ingin rasanya Miracle menyusul Mateo, tapi dia tidak bisa melakukan itu, mengingat dirinya tengah mengandung dan pasti Kawasan pabrik anggur dipenuhi dengan asap. Dia tidak ingin menanggung risiko.“Mateo kenapa belum pulang juga?” gumam Miracle cemas. Tatapannya mulai teralih pada ponselnya, tidak ada satu pun pesan atau telepon dari suaminya.CeklekSuara pintu terbuka. Miracle langsung mengalihkan pandangannya, ke arah pintu. Seketika senyum dibibir Mir
“Mateo, hari ini aku dan Charlotte akan bertemu dengan Ka Selena. Tidak apa-apa, kan?” tanya Miracle seraya membantu Mateo memasang dasi. Jujur saja, Miracle sedikit tidak enak. Pasalnya, sang suami sedang dalam masalah, dia tidak enak jika harus bersenang-senang keluar. Ingin rasanya Miracle membantu, tapi Mateo tidak akan pernah mau menerima bantuannya. Suaminya itu selalu meyakinkan, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.“Ya, kau bisa bertemu dengan Selena. Aku tahu kau pasti bosan.” Mateo menundukan kepalanya, mengecup bibir Miracle singkat. “Jangan mencemaskan apa pun,” bisiknya tepat di depan bibir Miracle.Miracle mengulas senyuman di wajahnya. “Apa aku tidak bisa sama sekali membantu? Aku tidak tenang dengan masalah yang kau hadapi, Mateo.”“Miracle.” Mateo menjeda, dia membawa tangannya mengelus lembut pipi Miracle. “Dengan kau berada di sisiku, kau sudah membantuku, sayang.”Miracle kembali tersenyum mendengar perkataan Mateo. Dia membenamkan wajahnya di dada bidang sang su
Berkali-kali Mateo mengumpat kasar mendengar saran dari Gustav. Meminta bantuan Sean? Itu adalah hal yang tidak mungkin bagi seorang Mateo De Luca. Dia tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan meminta bantuan pria itu. Meski Sean adalah kakak iparnya sendiri, tapi dia tidak akan pernah melakukan hal itu.Pasalnya, jika saja dia meminta bantuan Sean, maka pria itu akan menjadi besar kepala, berpikir dirinya membutuhkan bantuan. Hanya saja, dia sekarang terjebak dalam situasi rumit. Dia ingin mengambil alih Hans Group, yang telah bermain-main denganya, tapi salah satu pemegang saham terbesar di sana adalah Sean, yang menggunakan nama samaranya di perusahaan itu. Sial, Mateo benar-benar mengumpati istrinya harus memiliki kakak seperti Sean.“Mateo, kenapa kau ini lambat sekali? Kau ini tidak mengemis meminta uang pada Sean. Kau bisa mengatakan ingin membeli saham milik kakak iparmu itu di Hans Group.” Arsen berkata dengan nada mulai kesal. Sejak tadi dia menunggu, tapi sahabatnya itu
“Tuan Mateo.” Gustav menerobos masuk ke dalam ruang kerja Mateo. Saat tadi sebelumnya dia keluar meninggalkan ruang kerja Tuannya, untuk mengambil berkas penting. Kini dia kembali dengan begitu tergesa-gesa. “Ada apa, Gustav? Kenapa kau berlari seperti itu?” tanya Mateo dingin, menatap Gustav yang berdiri di hadapannya. Sedangkan Arsen yang masih di ruang kerja Mateo, dia memilih menyesap wine di tangannya. Entah sudah berapa gelas yang dia habiskan. Pria itu tak kunjuk pergi dari ruang kerja Mateo.“Lihat ini, Tuan.” Gustav memberikan iPad di tangannya pada Mateo. Raut wajahnya tampak begitu terkejut, dan seperti tak percaya.Mateo menautkan alisnya kala menerima iPad dari Gustav. Didetik selanjutnya, tatapan Mateo teralih pada grafik di pasar saham. Tiba-tiba, Mateo menajamkan matanya melihat angka dari saham Hans Group yang memiliki harga yang naik.Mateo membuka video yang ada di folder sebelumnya, yang ditunjuk oleh Gustav. Seketika Mateo bungkam, membaca berita yang tertulis d
Selena melirik arlojinya, sudah dua jam dia menunggu tapi Miracle dan Charlotte tak kunjung datang. Padahal tiga puluh mneit yang lalu saat dia menghubungi Charlotte, sepupunya itu mengatakan sedang dalam perjalanan, dan sudah tidak lagi jauh. Tapi hingga detik ini Selena menunggu, baik Miracle maupun Charlotte tidak ada yang muncul.Selena mengembuskan napas kesal. “Ke mana Miracle dan Charlotte? Kenapa mereka belum datang juga?” gerutunya.Kini Selena mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor Charlotte. Namun, satu, dua, hingga lima kali dia berusaha menghubungi sepupunya itu, tidak ada satu pun jawaban. Kali ini Selena berganti menghubungi nomor ponsel Miracle, dan hasil yang Selena dapatkan aalah sama. Tidak ada jawaban dari nomor ponsel saudara kembarnya itu.Selena berdecak tak suka. “Kenapa tidak ada yang menjawab teleponku?”“Sudahlah, aku menghubungi Mateo saja.” Tidak ada pilihan lain, Selena yakin, Miracle akan selalu izin pada Mateo. Selan mencari nomor kontak Mateo, setel
“Siapa kau?” Miracle menyipitkan matanya, menatap sosok pria di hadapannya dengan tatapan dingin, dan tajam.Pria itu menyeringai penuh arti. “Well, selamat datang, Nona Geovan.”Miracle mengangkat sedikit wajahnya. Sesaat Miracle terdiam, mengamati sosok pria yang tak asing itu. Dia seperti pernah melihat wajah pria yang di hadapannya itu. Namun, berkali-kali Miracle berusaha mengingat pria itu, dia tetap tak kunjungi mengingatnya.“Apa maumu? Kenapa kau menculiku dan sepupuku?” Miracle berseru dengan tatapan yang semakin menajam. Miracle berusaha menenangkan dirinya. Dan berusaha untuk tidak panik.“Menurutmu?” Alis pria itu terangkat, tersenyum misterius ke arah Miracle dan Charlotte berhantian.“Kau, pria sialan! Kenapa menculik kami? Kau akan tahu akibatnya karena telah menculik kami! Lihat saja dalam hitungan menit, aku akan pastikan kehancuranmu!” seru Charlotte meninggikan suaranya.Miracle menyentuh tangan Charlotte, memberi isyarat pada sepupunya itu untuk tidak terbawa emos
Arsen membopong Charlotte masuk ke dalam kamarnya. Terlihat wajah Charlotte begitu pucat. Mata yang sembab. Rambut yang berantakan dan tidak lagi tertata. Kini Arsen membaringkan tubuh Carlotte ke atas ranjang. Sesaat Arsen mengembuskan napas kesal. Penyesalan karena datang terlambat. Bahkan dia melihat keadaan Charlotte dengan dress yang sudah dirobek oleh pria sialan itu, Sungguh, jika saja datang terlambat Arsen tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Charlotte.Charlotte meringkuk di ranjang seraya menarik selimut tebal, menutupi tubuhnya hingga ke leher. Bulir air mata Charlotte terus menetes membasahi pipinya. Ya, pikiran Charlotte membayangi bagaimana Levin menyentuhnya dan menciumnya. Dia merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.“Charlotte, minumlah teh ini.” Arsen duduk di tepi ranjang, dia memberikan teh yang baru saja diberikan oleh pelayan. Namun, Charlotte tidak menerima teh itu. Hanya tangisnya kini mulai kencang.Arsen meletakan kembali teh di tangannya kala mel
Mateo menatap wajah Miracle yang tampak begitu pucat. Sudut bibir sang istri yang luka. Membuat amarah dalam dirinya tidak mampu tertahan. Ya, Dokter baru saja memeriksakan keadaan Miracle. Beruntung istri dan kandungannya baik-baik saja. Namun, meski demikian Mateo tidak henti menyalahkan dirinya sendiri. Melihat bekas tamparan di wajah sang istri, membuatnya ingin menghabisi pria sialan itu dengan tangannya sendiri.Kini Mateo duduk di tepi ranjang. Dia membawa tangannya menyentuh lembut pipi sang istri dan mengecupi seluruh wajah istrinya itu. Terutama luka di sudut bibir Miracle. Hatinya bagai teriris melihat luka di wajah sang istri.“Maaf, maaf aku datang terlambat,” bisik Mateo pelan tepat di depan bibir Miracle.Pelupuk mata Miracle bergerak kala merasakan sesuatu menyentuh wajahnya. Saat Miracle sudah membuka matanya, dia mengukir senyuman melihat Mateo berada di hadapannya.“Kau sudah bangun?” Mateo mengelus lembut pipi Miracle.Miracle mengangguk. “Mateo, aku ingin bersanda
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira