Miracle melirik Mateo yang tengah melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Dia ingin sekali menegur suaminya itu. Namun, raut wajah dingin Mateo membuat Miracle mengurungkan niatnya. Sudah sejak tadi Mateo mendiamkannya.Miracle tahu suaminya itu marah padanya karena tidak menurut. Jujur, bukan tidak ingin menuruti permintaan sang suami tapi Miracle menyayangi Charlotte, sepupunya. Dia takut terjadi sesuatu pada sepupunya.Kini Miracle memilih menyandarkan punggungnya di kursi, dia memejamkan matanya. Lebih baik, dia tertidur sebentar. Dia pun mulai mengantuk. Biasanya tengah malam seperti ini, dirinya sudah tertidur dalam pelukan sang suami.Tanpa sengaja, Mateo melihat ke arah Miarcle sebentar. Raut wajah tanpa ekspresi tampak di wajah Mateo, menatap sang istri yang tengah tertidur pulas. Meski dia kesal, tetap Mateo berusaha mengendalikan dirinya. Dia tidak mungkin meluapkan amarah pada istrinya yang tengah hamil. Mateo kembali menatap ke depan, fokus melajukan mobilnya.Tak bersela
Matahari sudah tinggi. Silaunya menembus jendala, menyentuh wajah Charlotte yang tengah tertidur di ranjang besar dan empuk. Perlahan Charlotte menggeliat. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dan menguap. Seketika saat mata Charlotte sudah terbuka. Dia tampak begitu terkejut kala mendapati dirinya berada di sebuah kamar maskulin dengan kombinasi warna hitam dan abu-abu. Raut wajah Charlotte berubah. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke bawah—kali ini dia bernapas lega mendapati tubuhnya masih terbalut oleh dressnya.Charlotte memijat pelan pelipisnya, berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kenapa bisa dia berada di kamar ini? Namun tiba-tiba saat Charlotte berusaha mengingat, raut wajahnya berubah. Dia mengingat dirinya yang mendatangi klub malam dan berakhir mabuk. Dia juga mengingat berdansa dengan dua orang pria. Dan terakhir Charlotte mengingat Miracle menjemputnya. Meski mabuk, dia masih mengingat dengan jelas beberapa bagian tadi malam.CeklekSuara pintu terbuka
“Mateo, apa hari ini kau akan pulang malam lagi?” Miracle bertanya seraya membantu Mateo memasangkan dasi.Pagi ini, Miracle bangun lebih awal menyiapkan segala yang dibutuhkan sang suami. Padahal tadi malam dia tidur terlambat. Tapi sepertinya, alarm dirinya sendiri sudah membangunkannya. Beberapa hari ini Miracle memang sering kesiangan. Namun, dia pun sering bangun lebih awal. Hal yang membuat Miracle kesal adalah Mateo tidak pernah mau membangunkannya jika dirinya masih tertidur lelap.“Aku tidak ada meeting pagi ini. Aku akan pulang lebih awal.” Mateo memberikan kecupan singkat dibibir Miracle. “Apa kau akan pergi hari ini?” tanyanya.“Sepertinya tidak. Aku tidak ingin pergi. Aku ingin istirahat saja di rumah,” jawab Miracle dengan tatapan lembutnya.“Good.” Mateo menarik dagu Miracle, mencium bibir sang istri lembut. “Aku berangkat sekarang. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu.”Miarcle menganggukan kepalanya. “Iya, sayang.”Mateo tersenyum. Dia sedikit menundukan tubuhnya,
“Mateo.” Suara bariton memanggil nama Mateo dengan cukup keras, membuat Mateo yang baru saja keluar dari ruang meeting, langsung mengalihkan pandangannya, pada sumber suara itu.Tatapan Mateo tertuju pada Arsen yang kini berdiri tidak jauh darinya. “Ada apa kau ke sini?” tanyanya dingin.Arsen berdecak pelan. “Kau ini kenapa menyambut teman baikmu dengan tidak ramah seperti ini?” jawabnya kesal.Mateo tidak menjawab. Raut wajah dingin dan tanpa ekspresinya malas mendengar apa yang dikatakan oleh Arsen. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Mateo memilih melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Tepat di saat Mateo melangkah masuk, Arsen langsung mendengkus tak suka. Pria itu pun berjalan mengikuti Mateo yang menuju ruang kerjanya.“Mateo, aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” ucap Arsen kala dia dan Mateo berada di dalam ruang kerjanya.“Ada apa?” Mateo duduk di kursi kebesarannya. Lalu dia mengambil gelas sloki yang berisikan wine, menyesapnya perlahan.“Well, aku ingin berterima kasih k
“Mateo, besok aku akan bertemu dengan Ka Selena. Kau ingatkan, waktu itu Ka Selena mengatakan akan menetap di Melbourne?” Miracle berkata seraya menatap Mateo yang tengah menikmati sarapannya.“Ya, aku mengingatnya. Kau pergi sendiri bertemu dengan Selena?” Mateo mengambil gelas cangkir yang berisikan kopi, lalu menyesapnya perlahan.“Tidak, aku aku akan bertemu dengan Ka Selena bersama dengan Charlotte,” jawab Miracle dengan raut wajah yang tampak muram. Terlihat iris mata birunya penuh dengan kesedihan.“Kau kenapa, sayang?” Mateo menatap iris mata biru Miracle. Dia melihat jelas raut wajah kesedihan dimata sang istri.“Mateo, sebenarnya aku menyukai Ka Selena tinggal di sini. Melbourne jauh. Aku pasti jarang bertemu dengan kakakku.” Bibir Miracle tertekuk. “Ka Sean banyak perjalanan bisnis. Dominic ada di Boston. Kedua orang tuaku sudah kembali ke Toronto. Terkadang ayahku juga sering melakukan perjalan bisnis dan ditemani oleh ibuku. Kenapa aku harus berjauhan dengan mereka? Apa
Suara dering ponsel terdengar, membuat Miracle yang baru saja melangkah keluar dari kamar mandi, menatap ponselnya yang tidak henti berdering. Miracle mendekat dan langsung mengambil ponselnya yang terus berdering itu. Seketika kening Miracle berkerut, melihat nomor Charlotte yang muncul diayar ponselnya. Tanpa menunggu, Miracle menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian meletakan ketelinganya.“Ya, Ada apa Charlotte?” jawab Miracle saat panggilan terhubung.“Miracle, apa kau sudah melihat berita siang ini?” tanya Charlotte dengan suara panik.“Berita? Berita apa? Aku belum melihat televisi.”“Mateo ada di mana sekarang?”“Tadi pagi Mateo sudah berangkat. Kenapa kau bertanya tentang Mateo?”“Sekarang kau lihat berita siang ini. Semua stasiun televisi menyiarkan berita tentang pabrik anggur suamimu.”Raut wajah Miracle berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Charlotte. Dia langsung menyambar remote televisi dan langsung menghidupkannya. Didetik selanjutnya tatap
Miracle menatap ke luar jendela, dia melihat ke arah jam dinding—waktu menunjukan pukul dua belas malam. Namun Mateo belum juga pulang. Miracle berusaha menghubungi sang suami, tapi tidak ada jawaban dari suaminya itu.Miracle memahami terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan oleh suaminya. Sejak di mana Miracle tahu pabrik anggur dan perkebunan anggur milik Mateo terbakar, jujur saja Miracle tidak bisa tenang.Pikirannya terus memikirkan bagaimana keadaan Mateo yang pasti terpuruk mengenai ini. Terlebih banyaknya korban jiwa. Ingin rasanya Miracle menyusul Mateo, tapi dia tidak bisa melakukan itu, mengingat dirinya tengah mengandung dan pasti Kawasan pabrik anggur dipenuhi dengan asap. Dia tidak ingin menanggung risiko.“Mateo kenapa belum pulang juga?” gumam Miracle cemas. Tatapannya mulai teralih pada ponselnya, tidak ada satu pun pesan atau telepon dari suaminya.CeklekSuara pintu terbuka. Miracle langsung mengalihkan pandangannya, ke arah pintu. Seketika senyum dibibir Mir
“Mateo, hari ini aku dan Charlotte akan bertemu dengan Ka Selena. Tidak apa-apa, kan?” tanya Miracle seraya membantu Mateo memasang dasi. Jujur saja, Miracle sedikit tidak enak. Pasalnya, sang suami sedang dalam masalah, dia tidak enak jika harus bersenang-senang keluar. Ingin rasanya Miracle membantu, tapi Mateo tidak akan pernah mau menerima bantuannya. Suaminya itu selalu meyakinkan, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.“Ya, kau bisa bertemu dengan Selena. Aku tahu kau pasti bosan.” Mateo menundukan kepalanya, mengecup bibir Miracle singkat. “Jangan mencemaskan apa pun,” bisiknya tepat di depan bibir Miracle.Miracle mengulas senyuman di wajahnya. “Apa aku tidak bisa sama sekali membantu? Aku tidak tenang dengan masalah yang kau hadapi, Mateo.”“Miracle.” Mateo menjeda, dia membawa tangannya mengelus lembut pipi Miracle. “Dengan kau berada di sisiku, kau sudah membantuku, sayang.”Miracle kembali tersenyum mendengar perkataan Mateo. Dia membenamkan wajahnya di dada bidang sang su
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira