Gauri beberapa kali menghela napas berat seraya meremat tangannya sendiri. Dia sekarang berada di dalam kamar. Duduk sendirian di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat kesal. Bagaimana tidak, setelah menjelaskan semuanya Satya pamit pulang meninggalkan Gauri sendirian dalam keluarga yang masih kacau.
Ck! Tidak akan meninggalkan Gauri? Buktinya pria itu tetap pergi dari sana tanpa peduli dengan keadaan Gauri. Sepertinya Gauri salah karena sudah terbawa perasaan tadi. Tapi untuk apa juga Satya tetap berada di sana?
"Ah, bener juga," gumam Gauri merasa dirinya begitu bodoh. Sebenarnya apa yang dia harapkan dari hubungan ini?
Tok ... Tok ... Tok
Gauri mendongak melihat siapa yang datang melewati pintu kamarnya.
"Clara," lirih Gauri sedikit tersenyum melihat eksistensi Clara di sana. "Kirain kamu udah pulang," kata Gauri tanpa mengalihkan pandangan dari Clara yang kini duduk di sampingnya.
"Gimana bisa pulang dengan keadaan kayak gini, Ri," ketus Clara memasang wajah kesal.
Gauri tersenyum kikuk. Dia jadi merasa tidak enak karena menyusahkan Clara dengan masalahnya.
Ralat. Masalah Satya yang kini menyeret Gauri. Dalam kata lain apa yang terjadi tetap menjadi masalah Gauri. Mengingatnya membuat Gauri kesal dan marah.
"Maaf, yah," kata Gauri dengan nada tidak enak.
"Udahlah, gak usah dipikirin," ujar Clara. Wanita itu lalu beranjak duduk di depan Gauri. Mereka saling berhadapan seperti orang yang akan melakukan sesi wawancara kerja. "Jadi, sebenarnya apa yang terjadi, Ri? Kenapa kamu tiba-tiba jadi pacar Kak Satya tepat di hari pernikahannya? Hamil pula?" tanya Clara dengan wajah bingung dan penasaran.
Ingin sekali rasanya bibir Gauri mengatakan semuanya, jika ini hanya sandiwara dan akal-akalan Satya saja. Namun teringat kembali janjinya pada Satya membuat Gauri bergeming. Dia hanya bisa berharap jika janji pada pria itu tak akan membuatnya menyesal di kemudian hari.
"Bukan tiba-tiba kok," jawab Gauri pada akhirnya.
Jawaban yang membuat Clara mendengus. Tak puas dengan jawaban yang diberikan sahabatnya itu.
"Terus, kenapa kamu gak pernah ngomong sama aku?" tanya Clara lagi.
Tentu saja Gauri tidak tahu harus menjawab apa karena ini semua hanya sandiwara. Tak ingin sampai salah bicara membuat Gauri hanya terdiam seraya menundukkan kepalanya. Kadang Gauri akan mengatakan hal yang seharusnya jadi rahasia jika sudah larut dalam pembicaraan.
Suara derit pintu membuat Gauri mendongak dan Clara menoleh. Itu Maria. Datang dengan keadaan yang masih kacau. Walau sudah tidak menangis lagi namun mata sembab itu masih terlihat dengan jelas.
'Kurang ajar kamu, Kak Satya. Gara-gara kamu, aku jadi anak durhaka yang membuat ibuku menangis.' Geram Gauri dalam hati. Jika saja Satya ada di sini mungkin Gauri akan menjambak rambut pria itu sampai gundul.
Clara bergeser sedikit untuk memberi ruang pada Maria agar bisa duduk juga. Dia juga tetap harus di sana. Takut jika Maria mengamuk lagi pada Gauri.
"Bu?" panggil Gauri dengan suara yang begitu pelan.
"Usia kandunganmu sudah berapa bulan, Gauri?" tanya Maria membuat Gauri membulatkan matanya. Bibir Gauri bergetar. Sungguh dia sangat gugup.
"Li--lima minggu, Bu," jawab Gauri asal seraya memohon maaf dalam hati karena telah berbohong.
Ternyata benar kata orang-orang bijak. Sekali kau berbohong, maka kebohongan lain akan muncul lagi dan lagi.
Maria menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Dia memejamkan mata sebentar seperti sedang mengatur emosi yang sedang bercampur aduk.
"Terus, kenapa kamu gak ngasih tau Ibu, Nak?" Suara Maria bergetar. Yang terdengar bukan lagi sebuah kemarahan namun rasa iba. Maria maju lalu memeluk Gauri dengan tangis yang kembali pecah. "Maafin Ibu udah mukul kamu tadi," ucapnya mengelus lembut kepala Gauri yang ditutupi jilbab.
"Gak, Bu. Gauri yang harusnya minta maaf. Ibu gak salah apa-apa." Gauri jadi kegalaban sendiri mendengar maaf dari sang Ibu. Dia pun pada akhirnya ikut menangis di sana.
***
Gauri tidak pernah menyangka jika pernikahan yang katanya akan dipercepat benar-benar terjadi. Wanita itu seakan tidak diberikan waktu untuk bernapas sebentar saja.
Siang itu keluarga Satya langsung datang untuk melamar Gauri. Tidak ada penolakan dari keluarga wanita itu. Mereka; ibu dan kedua paman Gauri, menyambut kedatangan orangtua Satya dengan baik. Acara yang dilakukan mendadak itu berjalan dengan lancar. Tanggal pernikahan pun sudah ditetapkan, satu minggu dari sekarang.
Gauri sampai terperangah saat mendengar hal itu. Dan entah kenapa dia jadi sedikit kesal saat melihat Ibu dan kedua pamannya serta orangtua Satya terlihat begitu bahagia.
'Baru juga kemarin marah-marah seakan gak terima. Sekarang udah ketawa-tawa aja." Kesal Gauri dalam hati dengan bibir mengerucut.
Satya yang melihat ekspresi Gauri tak bisa menahan senyumnya. Wanita itu menggemaskan sekali.
"Satya boleh pinjam Gauri sebentar?" tanya Satya tiba-tiba membuat semua orang menatapnya.
"Boleh. Kalian ngobrol aja di dalam," jawab Maria yang kini sudah bisa tersenyum lebar.
Satya ikut tersenyum lalu melirik Gauri. Dengan gerakan kepala Satya mengajak Gauri ke ruang tengah. Dengan langkah sedikit malas Gauri mengikuti pria itu dari belakang. Mengabaikan bisik-bisik dari orangtuanya dan Satya. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka.
"Kak Satya kayaknya seneng banget, yah," sindir Gauri setelah duduk di depan Satya.
Satya yang tadinya tersenyum lebar seketika memudarkan senyumannya.
"Kakak jangan lupa kalau kita lakuin semua ini karena perjanjian itu," kata Gauri lagi mengingatkan Satya tujuan mereka menikah. Pria itu hanya bergeming dengan tatapan sendu. Ada rasa sedikit tidak terima dengan kata-kata Gauri. Ingin marah tapi itu memang benar adanya. Mereka menikah untuk menolong Satya.
Gauri mendengus kasar lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Udah gitu pernikahannya cepet banget lagi," keluh Gauri.
"Saya harus mulai masuk kerja jadi saya yang minta supaya pernikahannya di percepat," kata Satya.
"Apa?" Gauri sedikit memekik.
"Kamu juga kan harus masuk kerja."
Gauri yang semula akan protes jadi terdiam sebentar. "Benar juga," gumamnya mengingat cuti yang ia ambil akan segera berakhir. "Ya udah deh. Gak apa-apa. Lebih cepat lebih baik dengan begitu perjanjiannya juga akan segera berakhir."
Padahal perjanjiannya belum dimulai tapi Gauri sudah ingin semua ini berakhir.
Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Gauri pun berdiri.
"Aku mau istirahat," katanya dengan nada begitu datar.
"Iya. Kamu istirahat aja," jawab Satya dengan senyum yang agak terpaksa.
Gauri tidak mengatakan apa-apa lagi. Satya hanya bisa melihat punggung sempit Gauri yang kini sudah menghilang di balik pintu. Pria itu menghela napas panjang. Menyandarkan tubuhnya di kursi lalu memejamkan mata sesaat. Pikiran pria itu berkelana ke mana-mana. Bukan hanya Gauri, Satya pun merasa ragu.
Apakah keputusannya menikahi wanita itu sudah benar?
Apakah tidak akan ada yang terluka dengan keputusannya ini?
Satya hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.
Tbc....
Persiapan pernikahan dilakukan dengan cepat. Gaun pernikahan, catering dan segala macamnya. Untung saja dua paman Gauri meminta bantuan keluarga yang lain. Membagi tugas agar semua bisa selesai tepat waktu.Walau itu berarti Gauri harus menjawab puluhan pertanyaan---yang intinya sama saja--- dari para keluarga yang datang. Ingin menutupi juga percuma karena berita cepat sekali tersebar apalagi dikawasan perkampungan. Bisa dikatakan Gauri dan Satya seketika jadi buah bibir semua orang.Gauri sendiri jadi malu untuk keluar rumah membuatnya hanya bisa berdiam diri di kamar. Seperti orang bodoh. Dia hanya akan keluar jika itu hal mendesak. Itupun Gauri akan mengenakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya. "Padahal aku gak ngapa-ngapain, terus kenapa sih aku harus ngerasa takut dan malu kayak gini?" erang Gauri frustasi melempar masker yang ia kenakan. Andai saja tidak teringat janjinya mungkin Gauri akan ke mesjid dan mengumumkan jika semua yang terjadi adalah kebohongan yang dibuat S
Acara ijab kabul berlangsung dengan lancar. Kini Gauri bisa bernapas lega karena apa yang sempat mengganggu pikirannya tadi tidak terjadi. Wanita itu juga sudah tidak deg-degan lagi.'Aku deg-degan pasti karena gugup dan takut bukan karena Kak Satya megang tanganku.' Pikir Gauri mengangguk pelan. Reaksi tubuhnya begitu berlebihan. Maklum saja Gauri memang kadang terserang rasa panik saat merasa gugup yang berlebihan.Sekarang Gauri dan Satya harus menyapa para tamu yang datang. Walau tamu yang diundang juga tidak banyak hanya sanak saudara. Pasangan yang telah sah menjadi suami istri itu kini duduk di atas pelaminan menjadi raja dan ratu sehari. Beberapa tamu yang sudah memberikan selamat kini sedang menikmati hidangan."Bener ya, Si Gauri itu udah hamil?" tanya salah satu tamu yang sedang asyik berkumpul seraya menikmati hidangan di depan mereka."Katanya sih gitu," timpal yang lain dengan wajah julid mereka."Tapi kan Si Satya sudah hampir nikah sama Si Lia tapi dibatalin gitu aja."
Dua hari berlalu setelah pernikahan mendadak itu. Sekarang Satya dan Gauri sudah bersiap-siap untuk kembali ke kota. Tuntutan pekerjaan serta kuliah Gauri menjadi alasan utama. Lagipula sejak kuliah dan bekerja keduanya memang lebih banyak menghabiskan waktu di kota dari pada di desa. Pulang kampung hanya dilakukan saat ada acara keluarga atau perayaan besar."Baik-baik ya kalian di sana," ujar Maria memeluk erat Gauri seakan rasa rindunya pada sang anak belum tuntas sepenuhnya."Iya, Bu," jawab Gauri tersenyum tipis seraya mengusap punggung Maria penuh sayang.Setelah pelukan itu terlepas kini giliran Satya yang mencium tangan mertuanya itu."Ibu sekarang jadi tenang melepas Gauri karena sudah ada yang menjaganya di sana," ujar Maria mengelus lembut lengan Satya yang hanya bisa tersenyum malu-malu. Tentu saja karena kalimat barusan itu ditujukan untuknya. Mungkin kalimat itu membuatnya tersipu namun arti dibalik kalimat itu sungguh luar biasa. Tanggung jawab besar yang harus diemban
Satya masih bertahan di ruang tamu kosan Gauri yang hanya beralaskan tikar tipis. Dia terus menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi barusan. Keadaan mereka memang sudah canggung ditambah lagi pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu membuat keduanya terasa semakin jauh."Mas Satya, makan dulu."Satya langsung berbalik saat mendengar suara Gauri. Wanita itu pergi begitu saja setelah memanggil Satya untuk makan malam. Satya mengikuti langkah wanita itu tanpa mengatakan apapun. Walau sedang marah ternyata Gauri tetap baik mau menyediakan makan malam untuk mereka. Tidak ada obrolan yang terjadi. Makan malam itu terasa begitu sepi dan lambat. Hanya ada suara piring dan sendok yang beradu.Tidak.Satya tidak bisa membiarkan suasana seperti ini terus berlanjut. Pria itu berinisiatif mencuci bekas piring mereka."Biar saya aja yang cuci piringnya," ujar Satya pada Gauri yang sedang memasukkan sisa makanan mereka ke dalam kulkas kecilnya."Oke!" jawab Gauri mengangguk pelan.Satya tersenyum
[Gauri: Mas Satya malam ini mungkin aku bakalan pulang telat soalnya temen kerja ngajak buat makan malam di luar][Satya: Iya gak apa-apa😊]Mungkin Satya memang mengirim pesan itu dengan emot tersenyum namun di wajahnya tidak ada senyum sama sekali. Pria itu malah menghela napas panjang, menaruh ponselnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya."Loh, Bang Satya belum pulang?" tanya seorang pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitamnya, Yogie."Pengen lembur," jawab Satya santai."Ck!" Yogie mendengus. "Ganti cuti kemarin?" ejeknya pada pria yang terpaut lebih tua darinya dua tahun."Iya. Takutnya kalo gak diganti gajiku dipotong," canda Satya memasang wajah memelas yang justru membuat Yogie ingin memukul wajah tampan pria itu."Sumpah Bang! Pengen nonjok," ujar Yogie dengan wajah kesalnya. Bukannya takut Satya malah tertawa di sana.Yogie yang kini berbalut pakaian serba hitam itu merogoh kunc
Pada kenyataannya Satya tidak seberani itu mengatakan semuanya. Hal yang baru saja terjadi berasal dari angannya saja. Satya memang pergi dari sana namun bukan ke arah Gauri melainkan ke arah dapur. "Gak, Kak Ilham! Bukan gitu!" Gauri menampik. Wanita itu kemudian menunduk sebentar lalu mendongak kembali. "Aku bukannya gak suka sama Kak Ilham. Tapi, aku cuma gak mau terlibat dalam hubungan yang akan menimbulkan dosa," lanjut Gauri. Wanita itu bukanlah seorang wanita ahli agama namun dia masih tahu cara membatasi diri. Terbukti selama ini Gauri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Dia ramah dan tidak sedikit pria yang menyukainya sampai menyatakan cinta. Namun Gauri selalu menolak dengan halus. Alasan ingin fokus pada pekerjaan dan kuliah bukan hanya bualan semata. Gauri menekuni dua kegiatannya itu tanpa ingin terganggu hubungan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.Dan sekarang ditambah lagi statusnya sudah bersuami---walau hal itu masih disembun
Satya telah selesai dengan semua masakannya. Pria itu berniat mulai hari ini dia akan menyiapkan makanan untuk Gauri, untuk mereka. Untuk apa punya suami seorang koki jika tidak bisa menyenangkan istri, iya kan? Padahal Satya akui masakan Gauri tidak seburuk itu. Tapi, wanita itu sudah tidak percaya diri memasak untuk Satya lagi. Tidak apa-apa, lagipula Satya bahagia bisa memasak untuk Gauri.Makanan yang terlihat begitu indah dipandang mata dan pastinya enak kini tertata rapi di meja makan Gauri yang sederhana itu. Pria itu baru akan beranjak untuk mengajak Gauri sarapan namun Gauri datang lebih dulu dengan pakaian yang sudah rapih. Melihat makanan yang di atas meja membuat Gauri diam sejenak."Yuk sarapan dulu!" ajak Satya mempersilakan Gauri untuk duduk. Wanita itu tidak menjawab dan malah langsung duduk. Aroma masakan Satya menggelitik indra penciumannya membuat Gauri seketika lapar.Gauri benar-benar menikmati hidangan yang Satya s
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba
Suasana begitu canggung setelah insiden pelukan tadi. Gauri hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat ke arah Satya. Jantungnya masih bekerja dua kali lipat dan dia juga yakin jika sekarang pipinya tengah memerah. Tersipu malu."Maaf saya udah lancang meluk kamu tadi," ujar Satya. Pria itu merasa harus meminta maaf melihat wajah tidak nyama Gauri. Itu sebuah refleksi tubuh Satya. Otaknya tak lagi bisa menahan tubuhnya tadi. Mungkin karena terlalu khawatir melihat keadaan Gauri yang memprihatinkan.Dalam hati Gauri tak lagi ingin membahas hal itu karena hanya akan membuatnya teringat bagaimana harumnya tubuh Satya saat memeluknya tadi. Jangan lupakan juga sensasi hangat dan nyaman yang ciptakan dari pelukan itu.'Ya Allah! Aku mikir apa sih?' Gauri memarahi dirinya sendiri.Gauri meluruskan kepalanya. "Iya, gak apa-apa." Walau dengan tangan yang masih saling meremas di balik selimut. "Maaf juga udah bikin Mas Satya khawatir dan harus pulang," kata Gau
"Jadi, bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Ilham sedikit tidak sabaran. Dokter dengan jilbab putih itu sampai tersenyum kikuk sebab dia bahkan belum selesai memeriksa keadaan Gauri. Namun dia maklum setiap orang pasti sangat khawatir melihat sanak keluarga atau orang spesial mereka sedang sakit."Dari hasil pemeriksaan ... Mbak Gauri baik-baik aja. Hanya kelelahan," jawab dokter itu. "Saya akan memberinya obat. Bahkan jika Mbak Gauri mau pulang sekarang juga boleh," lanjutnya tersenyum manis ke arah Gauri.Tak beda jauh dengan Gauri yang juga tersenyum lega. Sarah yang berada di samping Gauri pun ikut mengucap 'Alhamdulillah' karena ternyata Gauri baik-baik saja."Terimakasih, Dok," ujar Gauri."Iya sama-sama," balas dokter itu seraya membereskan peralatannya. Dia lalu menoleh ke arah Ilham. "Mas-nya gak usah terlalu khawatir. Mbak-nya baik-baik aja kok," sambung dokter itu. Gegalat Ilham terlalu kentara jika pria itu memiliki perasaan pada
Gauri berpikir setelah meminum obat pereda nyeri maka sakit perutnya akan beransur hilang. Namun hingga pagi menjelang sakit pada bagian bawah perutnya itu tak kunjung membaik. Bahkan sampai membuat Gauri terlihat semakin pucat sebab semalam tidurnya tak terlalu nyenyak.Sebenarnya Gauri bisa saja meminta izin untuk tidak masuk bekerja hari ini namun mengingat pekerjaan yang sangat banyak membuat Gauri mengurungkan niat."Assalamualaikum!" Gauri sedang bersiap-siap saat seseorang mengetuk pintu kosannya."Walaikumsalam!" jawab Gauri dengan sedikit sempoyongan menuju pintu. "Eh, Bu Gayatri," lirih Gauri saat melihat eksistensi ibu kosnya, Gayatri."Loh, Gauri kamu ke mana?" tanya Gayatri dengan wajah khawatirnya mengamati Gauri dari ujung kaki hingga kepala."Kerja, Bu.""Kamu kan lagi sakit. Kok malah mau berangkat kerja?" tanya wanita paruh baya itu lalu membawa Gauri untuk masuk.Gayatri meletakkan rantang berisi makan
Gauri tersenyum tipis membaca pesan dari Satya. Dia lalu menaruh ponselnya untuk melanjutkan kembali pekerjaan yang telah diberikan Pak Dimas tadi.Tidak hal menarik yang terjadi sampai jam pulang tiba. Saat sampai di rumah entah kenapa Gauri sedikit merasa kurang karena Satya tidak di sana. Wanita itu menggeleng pelan. Mengusir pikiran tak karuannya itu."Mendingan aku cepetan mandi terus ngerjain tugas," gumam Gauri pada dirinya sendiri. Dia benar-benar melakukan segala aktivitas seperti biasanya sendirian.Gauri sudah berusaha untuk fokus pada tugasnya. Namun nyatanya tidak semudah itu. Matanya selalu tertuju pada ponsel yang sedang diisi daya di sampingnya. Tumben sekali Satya tidak menghubunginya. Hingga rasa kantuk mulai menyerang ponsel itu tak kunjung berbunyi."Aku kenapa sih?" tanya Gauri pada dirinya sendiri seraya menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin Mas Satya sedang sibuk jadi wajar kalau dia gak menghubungiku," lanjutnya dengan nada mengomel. "Tapi, kok
Malam telah menjelang dan Satya masih sibuk mengurus beberapa dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dia dan Yogie akan membuka cabang baru di luar kota membuatnya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya."Bang, ngopi dulu!" kata Yogie yang baru saja datang dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya. Pria dengan balutan kaos putih itu meletakkan satu gelas di atas meja kecil yang berada di samping kanan meja penuh dokumen Satya. Sementara cangkir yang lain tetap dia pertahankan di tangan sambil berjalan menghampiri Satya."Pembukaannya minggu depan. Bang Satya jadi ikut?" tanya Yogie lalu menyeruput kopi di tangannya."Saya belum ngasih tau Gauri," jawab Satya tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya dari dokumen-dokumen itu."Ck! Yang udah punya istri mah beda yah," sindir Yogie berdecak. "Harus minta ijin dulu," lanjutnya dengan nada sedikit mengejek."Ya iyalah! Saya gak mungkin ninggalin Gauri gitu aja tanpa ngasih tahu!" sewot Satya lalu tersenyum jahil ke arah Yogie."Kenapa
Gauri sedang sibuk bergulat dengan beberapa tugas kuliahnya saat Satya datang seraya menenteng ponselnya."Maaf, Gauri ganggu, tapi dari tadi Ibu video call terus katanya kangen sama kamu," ujar Satya dengan nada tidak enak karena sudah mengganggu Gauri."Ya udah sini, Mas!" Gauri meminta ponsel Satya namun bukan memberikannya, Satya malah menarik Gauri untuk duduk di tepi tempat tidur. Walau bingung Gauri tetap mengikuti saja tanpa protes.Satya lalu menekan tombol panggil pada nomor ibunya. Seakan memang sudah menunggu panggilan dari Satya, sang ibu dengan cepat mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, Bu!" "Walaikumsalam!"Suara Indah terdengar begitu nyaring membuat Satya dan Gauri kompak tersenyum. Satya mengarahkan kamera ke arah Gauri. Tahu jika sang Ibu ingin bertanya pada menantu kesayangannya itu."Gimana kabar kalian di sana? Kalian baik-baik aja kan?" tanya Indah."Alhamdulillah, Bu. Kami baik-ba
Satya telah selesai dengan semua masakannya. Pria itu berniat mulai hari ini dia akan menyiapkan makanan untuk Gauri, untuk mereka. Untuk apa punya suami seorang koki jika tidak bisa menyenangkan istri, iya kan? Padahal Satya akui masakan Gauri tidak seburuk itu. Tapi, wanita itu sudah tidak percaya diri memasak untuk Satya lagi. Tidak apa-apa, lagipula Satya bahagia bisa memasak untuk Gauri.Makanan yang terlihat begitu indah dipandang mata dan pastinya enak kini tertata rapi di meja makan Gauri yang sederhana itu. Pria itu baru akan beranjak untuk mengajak Gauri sarapan namun Gauri datang lebih dulu dengan pakaian yang sudah rapih. Melihat makanan yang di atas meja membuat Gauri diam sejenak."Yuk sarapan dulu!" ajak Satya mempersilakan Gauri untuk duduk. Wanita itu tidak menjawab dan malah langsung duduk. Aroma masakan Satya menggelitik indra penciumannya membuat Gauri seketika lapar.Gauri benar-benar menikmati hidangan yang Satya s
Pada kenyataannya Satya tidak seberani itu mengatakan semuanya. Hal yang baru saja terjadi berasal dari angannya saja. Satya memang pergi dari sana namun bukan ke arah Gauri melainkan ke arah dapur. "Gak, Kak Ilham! Bukan gitu!" Gauri menampik. Wanita itu kemudian menunduk sebentar lalu mendongak kembali. "Aku bukannya gak suka sama Kak Ilham. Tapi, aku cuma gak mau terlibat dalam hubungan yang akan menimbulkan dosa," lanjut Gauri. Wanita itu bukanlah seorang wanita ahli agama namun dia masih tahu cara membatasi diri. Terbukti selama ini Gauri tidak pernah berpacaran dengan siapapun. Dia ramah dan tidak sedikit pria yang menyukainya sampai menyatakan cinta. Namun Gauri selalu menolak dengan halus. Alasan ingin fokus pada pekerjaan dan kuliah bukan hanya bualan semata. Gauri menekuni dua kegiatannya itu tanpa ingin terganggu hubungan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.Dan sekarang ditambah lagi statusnya sudah bersuami---walau hal itu masih disembun
[Gauri: Mas Satya malam ini mungkin aku bakalan pulang telat soalnya temen kerja ngajak buat makan malam di luar][Satya: Iya gak apa-apa😊]Mungkin Satya memang mengirim pesan itu dengan emot tersenyum namun di wajahnya tidak ada senyum sama sekali. Pria itu malah menghela napas panjang, menaruh ponselnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya."Loh, Bang Satya belum pulang?" tanya seorang pria yang tengah memakai jaket kulit berwarna hitamnya, Yogie."Pengen lembur," jawab Satya santai."Ck!" Yogie mendengus. "Ganti cuti kemarin?" ejeknya pada pria yang terpaut lebih tua darinya dua tahun."Iya. Takutnya kalo gak diganti gajiku dipotong," canda Satya memasang wajah memelas yang justru membuat Yogie ingin memukul wajah tampan pria itu."Sumpah Bang! Pengen nonjok," ujar Yogie dengan wajah kesalnya. Bukannya takut Satya malah tertawa di sana.Yogie yang kini berbalut pakaian serba hitam itu merogoh kunc