"Dimana gangnya, Mbak?" tanya Pak Satria."Iya ini. Disini saja, Pak Satria." Aku memberhentikan laju mobil Pak Satria. Ini adalah kali pertamaku duduk dan di antar oleh mobil sport Pak Satria. Nyaman sekali. Bukan tak malu memberhentikan lajunya seperti seorang sopir 'Pak' tapi mau bagaimana lagi."Terima kasih banyak ya, Res, Pak Satria. Saya sudah merepotkan kalian. Padahal, saya harusnya sendiri saja. Saya mohon maat juga atas kelakuan mantan suami saya dan istrinya." Kini mereka berdua telah mengantarkanku ke depan gang. "Tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku seneng kalau bisa bantu kamu." Resti angkat bicara. Kami masih diam di dalam mobil."Gak usah gak enak. Memang ini sudah tugas saya." Pak Satria berkomentar."Oh, ya, ini jalan ke rumah Mbak Hanah?" Pak Satria bertanya. Tatapannya seperti menyelidiki sesuatu."Iya, Pak. Ini gang masuk ke rumah saya." Aku menjawab. "Area gundukkan rumah-rumah sederhana." Aku merasa tak enak."Memangnya kenapa ya, Om? Kayak aneh gitu?" ujar Res
"Olahraga yang bikin terluka, Pak." "Enggak, saya gak apa-apa. Tubuh saya gak ada yang luka sedikitpun. Mbak Hanah santai saja." Pak Satria orangnya sangat santai dan bersahaja sekali. Bicaranya kalem dan santun. "Jangan panggil Pak dong, Han, Om aku kayak tua banget kesannya. Padahal wajahnya unyu-unyu gitu. Sixpack. Kayak umur 17 tahun." Resti membuatku gugup. Nada bicaranya seperti mengejek Pak Satria."Hush!" Pak Satria nampak kaget lalu semprot lagi ponakannya itu."Om, kan belum Bapak-bapak. Nah, Han, lebih baik kamu panggil Mas saja. Dan Om panggil teman aku jangan Mbak, dong, kan dia lebih muda dari Om." Resti ini apa-apaan?"Ya terserah lah, asal jangan panggil saya Kakek atau Opa saja." Pak Satria terkekeh. Pun denganku."Jadi, kamu panggil Om aku, Mas saja. Biar gak terlalu formal." Bisik Resti. "Enggak ah. Gak enak!" Aku menolak. "Om panggil teman aku Hanah saja. Jangan ada embel-embel 'Mbak' nya. Memang Mbak tukang jamu?" celetuk Resti.Kami hanya diam mendengarkan Res
"Ibu? Tika?" Aku kaget melihat kedatangan mereka berdua. Netranya sudah berbau sinis sejak tadi.Aku masih menyelesaikan pesanan dari ibu-ibu yang masih menunggu. "Hey, Hanah! Kamu sok bawa pengacara ke pengadilan. Sok kaya sekali kamu. Timbang jadi penjual nasi uduk saja." Sungut ibu mertua mulai angkat bicara. Di depan umum. Sejenak aku belum menggubrisnya. Malu pada tetangga."Ini, Bu, Mbak," ucapku seraya memberikan pesanan mereka yang sudah di kemas dengan kresek putih."Ini uangnya, Han." Bu RT untungnya kasih uang pas. "Ini, Mbak Han!" Pun dengan Mbak Eli, dia beri pula uang pas."Kita pergi ya. Takut!" Bu RT seperti mengejek kedatangan ibu dan rengrengannya. "Iya, Bu, Mbak, maaf ya." Aku menjawab bisik-bisik. Ibu mertua masih tetap berdiri menyilang lengan di bawah dada.Ibu-ibu telah pergi."Maaf, Bu, silahkan duduk dulu. Tidak baik bicara apalagi marah-marah sambil berdiri." Aku berkomentar sambil terus menahan emosi."Han? Ada apa?" Ibu datang."Bu Niken?" Ibu kaget. Netra
"Gak mau. Aku gak mau pergi sama Ayah. Afni mau sama Ibu." Anakku tak mau ikut dengannya."Ayok!" Mas Jimy menjewang lengan anaknya. Lantas aku kaget. "Mas! Kalau kayak gitu cara kamu bawa anak kita, kamu sama sekali gak bisa lembut, aku gak akan biarin kamu bawa dia." Aku menyingkirkan tangan kasar seorang Jimy dari lengan anak kami."Hey, Afni anakku. Dia berhak aku bawa dan aku urus!" Mas Jimy membentak."Tapi cara kamu kasar sekali. Mana mungkin aku bisa tenang membiarakan Putri semata wayangku hidup bersama orang tua macam kamu." Aku mulai naik pitam. Afni mengeluarkan isak tangis."Halah! Kamu juga gak becus! Kamu malah bawa-bawa anak kecil untuk ketemu pacar kamu si pemilik hotel itu! Banyak tetangga yang bilang kamu suka datang kesana." Mas Jimy kembali menuduh kalau aku dan Pak Zen ada hubungan gelap. Padahal aku kesana hant untuk menjemput Afni. Pun tidak setiap hari."Jangan asal tuduh kamu, Mas! Kamu lebih baik pergi. Anakku akan tetap di sini!" Nadaku naik satu setengah o
"Arkh!" Mas Jimy merintih. Pak Satria layangkan tonjokkan di pipi kirinya. Pasti sakit sekali."Anda jangan asal bicara. Saya bisa bawa ini ke jalur hukum atas kasus pencemaran nama baik." Dengan gagah perkasa setelah menarik kemeja Pak Satria angkat bicara. Nadanya tak terlalu tinggi tapi ada hentakkan di setiap kata demi kata.••"Alah! Aku juga tahu! Mana punya uang dan mana mau kamu di sewa gratisan!" Mas Jimy tak juga menyesal setelah bicara. Sambil memegangi pipi yang sakit, dia malah menghina Pak Satria. Aku benar-benar malu."Jaga bicara kamu, Mas Jimy! Dari dulu kamu memang tidak beradab. Bicaramu seperti orang yang tidak berpendidikan. Bahkan orang yang tak berpendidikan tinggi seperti kamu pun punya etika yang lebih baik. Ini! Kamu yang katanya makan bangku esde sampai makan bangku kuliah, ternyata mulut kamu tak juga mendapat didikan. Kamu tak lebih dari pria yang hanya sekolah karena gengsi saja. Etika kamu, pendidikan kamu, nol besar, Mas!" Tak tahan lidah ini ingin berg
"Bu, Hanah sama Afni mau ke pasar dulu. Mau beli pakaian buat Afni beberapa. Kan kebanyakan masih di rumah yang dulu. Kalau kesana Hanah takut." Aku ijin pada Ibu untuk pergi ke pasar bersama putri kecilku."Oh iya, hati-hati.""Nenek gak apa-apa di tinggal sendiri?" Anakku khawatir pada neneknya.Ibu menggelengkan kepala lalu ia membungkuk untuk mengelus pipi Afni. "Gak apa-apa dong, Nak. Nenek 'kan bentar lagi mau buka warung. Semuanya juga sudah siap di bantu sama Ibu kamu. Kalau mau pergi, pergi saja. Jaga diri kalian baik-baik." Ibu berpesan. Kini ia kembali berdiri."Nenek mau apa?" tanya putriku."Oleh-olehnya?" kata anakku. Ibu menyeringai. "Ah gak mau apa-apa. Yang penting kalian selamat. Pulangnya jangan terlalu sore, ya." Ibu kembali berpesan."Apa Nenek mau es krim?" tanya anakku lagi. Dasar bocah. Aku hanya tersenyum.Ibu menggelangakan kepala lagi. "Enggak, ah. Gigi Nenek udah gak kuat. Entar gigi Nenek sakit. Suka kesentak uratnya. Sakit. Nenek 'kan sudah sepuh, Nak." I
"Oh, mau ke pasar?""Em, iya, Pak." Aku manggut-manggut."Kalau gitu saya antar saja. Kalau nunggu angkutan lama. Di sebelah sana juga banyak yang menunggu, Mbak. Di bahu jalan. Tapi sepertinya angkot pada penuh." Pak Zen menjelaskan. Ternyata benar, banyak penumpang angkot hari ini."Biar saja saya menunggu, Pak, maksudnya, saya sama anak saya menunggu saja. Kami tidak terburu-buru, kok." Aku menjawab. "Gak apa-apa. Sekalian saya juga mau beli baju buat Helen. Buat pentas seni akhir semester. Katanya dia harus beli kebaya dan perlengkapan wanita lainnya." Pak Zen memberi alasan."Oh gitu ya, Pak?" tanggapku."Iya, lebih baik kalian bareng saja sama kami. Oh ya, gimana kalau Mbak Hanah bantu pilihkan baju kebaya buat anak saya. Saya 'kan awam soal kebaya." Pak Zen menggaruk keningnya yang tak gatal. Mungkin dia malu. Tapi kasihan juga seorang ayah harus mencarikan benda-benda anak gadisnya. Huwh ... gimana ini?"Tapi ....""Gimana, Afni mau?" Pak Zen bertanya pada anakku. Otomatis Af
"Mbak Hanah dan Afni gak usah ke pasar. Belanjanya di sini saja. Biar gak terlalu muter-muter nyari barangnya. Di sini juga komplit." Pak Zen menjelasakan."Nanti saja pulangnya saya ke pasar, Pak. Sekarang saya akan bantu carikan pakaian saja buat Helen." Aku menjawab."Ayok!" Pak Zen sudah ancang-ancang keluar, pun kami menyusul. Ah biarlah, nanti aku balik lagi ke pasar. Sambil pulang.Tak lama berjalan karena kami memakai lift untuk naik, sampailah kami di lantai tiga. Pak Zen yang menekan tombol di lift, karena aku tak terlalu tahu dimana letak penjual kebaya.Akhirnya kami sampai. Benar saja, bermacam-macam busana terpampang. Bagian kiri khusus tema kebaya dan pakaian-pakaian daerah. "Kamu harus pakai kebaya apa, Sayang?" tanyaku pada Helen. "Kebaya apa saja. Warnanya harus merah muda, Tante. Buat menari," jawabnya. Kami sudah berada tepat di depan toko. "Mau kebaya modern atau tradisional?" tanyaku lagi. "Tradisional saja, Tante. Ibu guru suruhnya seperti itu." Helen menjawab
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku