Malam pengantin tak pernah seindah yang Melody bayangkan. Pengalaman pertama yang seharusnya berkesan justru terasa menyakitkan saat dia berakhir di atas pembaringan sebagai pelampiasan lelaki yang tadi siang bersanding dengannya di pelaminan.
Selimut yang hanya menutup sebagian tubuhnya dia tarik perlahan, saat punggung lebar itu meninggalkan ruang kamar, tanpa sepatah pun kata yang diucapkan."Kenapa?" Perempuan dua puluh lima tahun itu bertanya sebelum sampai suaminya berlalu di ambang pintu. "Kalau emang nggak ada rasa, kenapa masih harus melakukannya?"Lelaki bertubuh atletis itu berbalik dengan tatapan tajam yang sama. "Pria lebih banyak menggunakan logika dibanding hatinya. Cuma orang munafik yang menyinyiakan kesempatan, hanya karena alasan nggak cinta!"***Melody Nada Insani dinikahi Raga Purnama Danuarta karena desakan orang tua mereka. Sudah bukan rahasia umum ketika dua keluarga kaya menjalin kerjasama, hingga perjodohan tercipta sebagai perekat hubungan antar keduanya.Dibanding pihak keluarga Melody yang menyerahkan semua keputusan pada sang putri. Raga justru ditekan satu-satunya orang tua yang dia punya, yaitu ibunya. Dia dipaksa untuk menerima, daripada kehilangan segalanya. Segalanya di sini bukan hanya harta dan jabatan, tapi juga seseorang yang membuatnya bertahan melajang sampai kepala tiga.Pernikahan yang akhirnya disepakati bersama ternyata bukan hanya meyakiti salah satu pihak saja, tapi keduanya. Melody maupun Raga sama-sama punya alasan kenapa mereka mau menerima, hingga akhirnya bertahan dalam hubungan tanpa perasaan."Nggak makan dulu, Kak?" tanya Melody saat melihat suaminya berlalu begitu saja melewati meja makan luas dengan enam kursi mengelilingi, yang hanya ia sendiri duduki.Raga melirik, meski tak menoleh sepenuhnya."Nggak laper. Kamu makan aja sendiri!" jawabnya tak acuh."Dari tadi juga udah makan sendiri. Emang kakak liat ada orang selain aku di sini?"Raga menghentikan langkah yang sebelumnya terburu. Dia akhirnya menoleh sepenuhnya pada perempuan itu."Nggak." Raga masih terdiam di tempatnya memerhatikan sang istri."Ya udah. Bukannya lagi buru-buru, ngapain masih di sini?" cibir Melody sembari menyuap nasi goreng terakhir di piringnya.Rahang lelaki bermata pekat itu mengetat, dia menatap perempuan bergaun putih yang masih duduk tenang di meja makan."Kamu masih bisa sesantai itu setelah semua yang terjadi?" Suara Raga semakin dalam menandakan emosi yang tengah dia pendam.Melody menghela napas panjang, lalu mengempaskan sendok dan garpu di atas piring hingga meninggalkan bunyi berdenting."Ya, terus aku harus gimana? Bukannya kita udah sama-sama sepakat untuk menjalani hidup masing-masing apa pun yang terjadi? Tibang makan santai aja dipermasalahin. Emangnya jadi istri pelampiasan aja nggak cape? Aku juga butuh tenaga siapa tahu nanti malam Kakak minta tiga ronde!"Raga memejamkan mata dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya."Mel--" Giginya sudah gemelatuk menahan geram, sebelum sebuah panggilan terdengar menginterupsi mereka."Maaf, Pak. Meetingnya setengah jam lagi!" Suara Asisten sekaligus sopir pribadinya terdengar. Raga mengusap wajah kasar kala teringat alasannya kesiangan adalah perempuan yang tengah mendebatnya saat ini. Padahal semalam, setelah menuntaskan dahaganya sebagai seorang lelaki mereka tidur di kamar yang terpisah."Kita bicarakan lagi setelah aku pulang nanti," tukas Raga sebelum berlalu pergi."Ya, itupun kalau kamu inget pulang ke sini," batin Melody.***Siangnya, Melody sudah pergi untuk memenuhi janji temu pada seseorang di tempat yang biasa dia kunjungi untuk melepas penat atau membunuh waktu, kala pekerjaannya sebagai Desainer di butik milik sendiri, mulai tak terkendali.Sebuah Warmindo yang sudah dilengkapi dengan perpustakaan mini menjadi pelariannya sejak tiga tahun lalu. Tempat yang terletak di pinggiran ibukota dalam gang padat penduduk ini pula, dia sering melihat Raga suaminya pulang-pergi setelah mengunjungi seseorang yang dia ketahui sebagai sosok yang spesial bagi suaminya hingga ia rela melepas kebebasan demi menikahi Melody."Taf, pesenan yang biasa, ya!" ucap Melody begitu sampai di hadapan pemuda berambut gondrong dengan penampilan urakan yang tengah asik mengguntingi bulu hidung di depan meja kasir.Tiga tahun menjadi pelanggan tetap membuat Melody cukup mengenal penjaga warung dan perpustakaan mini ini."Siap. Airnya dikit, banyakin sawi, telor setengah mateng, kan?" Oktaf--lelaki seumuran Melody itu mendikte kembali makanan yang biasa perempuan itu pesan."Iya. Ngomong-ngomong kamu mandi, kan hari ini? Jangan sampe dakinya netes ke kuah emih," celetuk Melody dengan santainya."Anj--ya mandilah.""Ya, baguslah. Aman berarti." Setelah puas meroasting Oktaf, Melody langsung melipir ke pepustakan mini, memilah-milah bacaan, sembari menunggu orang yang dituju.Sementara itu, Oktaf menyiapkan pesanan tepat di dapur yang tersekat pintu dari meja kasir."Btw ke mana aja lu dua minggu ini? Tumben nggak keliatan," tanya Oktaf begitu dia menghidangkan pesanan Melody plus es teh manis di atas meja."Biasa, ada urusan keluarga." Melody menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari novel di genggaman.Meski sudah tiga tahun kenal. Percakapan mereka memang hanya terbatas dari keseharian, maupun hobi yang sama-sama disukai. Keduanya seolah tak ingin saling melanggar privasi dengan membahas masalah pribadi.Akhirnya Oktaf hanya mangut-mangut, walaupun masih banyak hal yang ingin dia tanyakan tentang perempuan ini."Novel Indo, dengan tema perjodohan rata-rata emang begini, ya?" Melody membuka percakapan saat menyadari Oktaf masih duduk di bangku tepat di hadapannya. Dia menyodorkan novel bersampul merah muda yang di covernya tertulis 'sudah dibaca sekian juta kali di platform anu'"Gimana emang? Gua nggak pernah baca tema romance soalnya." Oktaf balik menanyakan."Ya, gitu. Saling benci, gengsi, cowoknya dingin, nggak mau nyentuh ceweknya, seiring kebersamaan baru cinta muncul perlahan, makin deket, intim, hamil, mulai membucin, konflik dikit, akhirnya bahagia dunia akhirat.""Ya, emang begitu rata-rata. Lu maunya gimana?" Oktaf bingung harus menanggapi, karena sejauh yang dia tahu memang seperti itu."Ya ...." Ada jeda cukup panjang. Melody terdiam, pikirannya jauh melayang menapaki tiap kenangan yang sudah dia lewati selama dua puluh lima tahun kehidupan. "Nggak gimana-gimana, cuma kadang realita nggak sesederhana dan seindah apa yang digambarkan di novel-novel."Oktaf terdiam. Lekat dia menatap perempuan cantik berambut sebahu yang duduk di sisinya. Pandangan mata bening itu beralih dari novel di genggaman. Seolah ada luka yang tersembunyi di balik sorot matanya yang dipaksa tegar."Lu nggak apa-apa, kan, Mel?" Lelaki dengan celana robek-robek itu mulai khawatir.Melody menoleh, lalu tersenyum lebar meyakinkan. "Nggak apa-apa, ko--""Pemisi!" Suara lembut dari arah pintu masuk terdengar menginterupsi.Melody mengintip dari balik rak buku di depan."Oh, orangnya udah dateng!" seru perempuan berkulit putih itu."Siapa?" Oktaf mengerutkan kening.Melody menggeleng sejenak. "Nggak penting. Suruh langsung ke sini aja, Taf!""Oh, oke!" Meski sempat bingung dan penasaran, akhirnya Oktaf mengangguk pelan, sebelum beranjak bangkit.***Melody menatap dengan saksama perempuan berambut panjang yang duduk di hadapannya. Wajah pucat yang nyaris tak pernah tersentuh alat make up, mata bening sayu yang dihiasi bulu nan lentik. Serta kedua alis kembar yang lebat.Ibu satu anak inilah alasan Raga akhirnya mau menikahinya setelah perjodohan mereka lama terencana."Mbak Fiona tahu siapa saya, kan?" Melody langsung saja mengajukan pertanyaan untuk menekankan posisinya."Ya, kamu baru aja jadi istri Raga. Kalian menikah kemarin di gedung Assembly Hall sampe masuk berita saking megah dan meriah acaranya." Perempuan yang lebih dari empat tahun menjada itu masih sempat tersenyum di tengah suara lirihnya.Melody mangut-mangut."Ya, acara yang meriah, tamu dari berbagai kalangan, menghabiskan banyak dana, tapi mempelai pria pikirannya malah ke mana-mana!"Perempuan yang bergantung pada kursi roda itu terdiam menatap Melody dengan tatapan tak terbaca."Dia liatin hape hampir di sepanjang acara. Aku sempet lirik salah satu pesan dari Mbak Fiona yang minta Kak Raga mampir sebentar, karena anak Mbak kangen katanya. Mohon maaf. Yang kangen ibunya atau anaknya?" tambah Melody dengan menggebu-gebu."Raga bilang kalau pernikahan kalian cuma sementara!" Ada kabut amarah yang tersembunyi di balik tatapan lembut Fiona."Oh, ya?" Melody semakin memancing yang sukses membuat perempuan tiga puluh tahun itu mulai menunjukkan aslinya."Ya, pernikahan kalian hanya status, dan kamu cuma pelampiasannya aja, karena saya nggak bisa!"Terpejam mata Melody saat merasakan sesuatu seperti baru saja menghantam dadanya."Raga hanya butuh waktu untuk meluluhkan hati Mamanya agar bisa merestui saya!" Penuh penekanan tiap kata yang Fiona lontarkan bak satu per satu sembilu yang menikam jantung Melody."Jadi, dia mau buat saya jadi janda demi janda?" Ada nada mencibir dibalik kata yang terdengar getir."Emangnya kenapa dengan janda?" Fiona balik bertanya dengan suara yang tak seperti biasanya. "Kalau memang kamu punya segalanya, kenapa cuma saya yang Raga cinta?"Melody memalingkan muka, matanya memanas seketika. Dia remas kuat rok yang dikenakan, kala teringat nama yang Raga sebut di tengah pelepasannya. Fiona."Kamu cantik, kaya, dan berpendidikan, Melody. Semua yang kamu mau bisa kamu miliki. Saya rasa kamu bisa mendapatkan lebih banyak cinta di luar sana!"Melody menengadahkan wajahnya. Dia tahan segenap perasaan bahkan sejak ijab pertama kali Raga lontarkan untuk meminangnya.Hubungannya dengan Raga memang rumit, perkenalan mereka juga sudah berlangsung sangat lama. Meski tak pernah menunjukkannya, tapi Melody meyakini bahwa cinta itu ada.Setelah perasaan sesak di dadanya cukup mereda, dia akhirnya menimpali."Tapi saya cuma mau suami saya, Mbak!"...Bersambung."Kamu cantik, kaya, dan berpendidikan, Melody. Semua yang kamu mau bisa kamu miliki. Saya rasa kamu bisa mendapatkan lebih banyak cinta di luar sana!""Tapi saya cuma mau suami saya, Mbak!"Fiona terbungkam menatap perempuan berparas jelita yang duduk tepat di hadapannya. Tak ada emosi yang kentara, kalimat itu seolah langsung keluar dari dasar hati Melody. Sejak sepakat untuk menerima Raga sebagai suaminya, ia sudah siap dengan segala konsekwensinya, termasuk belenggu yang mengikat suaminya. Yaitu Fiona dan anaknya.Namun, apa salahnya mencoba? Tidak ada yang tahu seberapa dalam hati manusia. Siapa tahu Fiona mau menyerah, setelah sadar posisinya."Kalau itu, saya kembalikan lagi kepada Raga. Dia punya pilihan, dan seharusnya bisa memutuskan." Fiona akhirnya kembali buka suara setelah sekian lama. Sorot mata yang semula terpancar lembut, kini tak lagi ada. Dia seolah tengah menantang istri dari lelaki yang tiga tahun terakhir membersamainya."Setiap keputusan pasti ada pertimbangan.
"Sial, tumben dia pulang cepet?" Melody melotot panik saat Mobil Tesla yang sering digunakan Raga sudah terparkir di pelataran rumah mereka.Perempuan itu linglung sendiri, lalu mondar-mandir beberapa kali sampai akhirnya melihat asisten rumah tangga mereka keluar dari dalam rumah."Bi Tuti!" Melody memanggil wanita paruh baya itu."Eh, Non Mel! Kenapa nggak masuk?""Ng, itu, anu ... dari kapan Kak Raga pulang, Bi?" Dia malah balik bertanya."Kalau nggak salah Bapak pulang dari sejam yang lalu.""Mampus!" Melody menepuk dahi. Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Curhat dengan Oktaf membuatnya benar-benar tak ingat waktu. "Padahal baru jam lima," gumamnya."Lagi ngapain dia, Bi?" tanya Melody lagi."Tadi, sih bibi liat lagi telponan di kamar.""Oh, aman berarti. Aku masuk sekarang kalau gitu." Melody berlari kecil setelah pamit pada Bi Tuti yang hendak membuang sampah di bak depan pagar.Melihat kondisi rumah yang sepi, Melody mengusap dada lega, lalu buru-buru m
Tak terasa, sepuluh hari berselang sejak perubahan statusnya. Melody masih menjalani kehidupan seperti biasa. Bangun pagi, mengerjakan desain, mengontrol butik, sesekali mampir ke lapak Oktaf. Di samping itu, dia juga masih terus berusaha menjadi istri yang baik untuk Raga, meski kehadirannya kadang tak dianggap ada. Dan dia dibutuhkan hanya untuk pelampiasan lelaki itu saja.Walaupun begitu, dia masih terlihat seceria biasanya. Hanya sesekali perempuan itu menangis untuk meluapkan perasaan sebak di dadanya. Sudah lebih dari sepekan berjalan, sepertinya Melody mulai terbiasa dengan kehidupan barunya.Tumbuh sebagai satu-satunya harapan orang tua, membuat dia mampu berdiri tegak di tengah berbagai tekanan yang ada. Seberapa berat pun beban yang ditangguhkan di pundak kecil itu. Melody tetap mampu menahannnya."Ini bukan kamu yang bikin, kan?" Raga bertanya seraya menarik salah satu kursi di meja makan. Lelaki dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu terlihat baru selesai olah
Malam tak pernah terasa amat mencekam, sejak pernikahannya dengan Raga. Untuk pertama kalinya sejak sepuluh hari pernikahan, Melody merasa gelisah di kamarnya padahal jam masih menunjukkan pukul 19.01 WIB.Hantu anak kecil itu sudah mengikutinya sejak umur sepuluh tahun. Dulu perempuan itu menganggapnya tak ubahnya teman, karena Melody memang kesulitan beradaptasi dengan lingkungan hingga menyebabkannya mengalami banyak ketertinggalan.Ayahnya sudah pernah membawa Melody berobat ke orang pintar atau melakukan metode 'pembersihan' yang seringkali disebut dengan Rukyah. Namun, tak ada hasil yang signifikan. Sampai sekarang dia masih belum bisa lepas dari bayang hantu anak lelaki yang sudah mengikutinya sejak kecil. Hanya bersama Raga, hantu itu tak berani menunjukkan wujudnya.Sebenarnya wujud hantu itu tak semenyeramkan seperti yang tampak di film-film horor. Wajahnya bahkan bisa dibilang tampan. Namun, tetap saja, saat hantu itu bersikeras ingin membawa Melody pergi entah ke mana, dia
"Kak ....""Kak Raga.""Bangun, Kak! Udah subuh."Melody mengguncang tubuh Raga yang masih terbaring lelap di ranjang, masih dengan mukena yang melekat di tubuh mungilnya.Alis tebal Raga bertaut, perlahan dia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, kemudian mengucek mata dan berdecak menatap istrinya."Iya, iya!" Dengan enggan Raga beranjak dari ranjang nyamannya."Ambil wudu, terus sholat dulu!" ingat Melody saat melihat suaminya berlalu begitu aja menuju kamar mandi."Udah mau siang ini, mana sempet?" dalih Raga masih dengan tubuh sempoyongan, karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya."Lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Makin banyak yang ibadah di rumah ini, makin setan takut buat mampir. Lagian ini baru jam lima lebih sepuluh menit. Buruan, Kak! Mandinya habis sholat aja, lagian semalem kita nggak ngapa-ngapain," desak Melody."Iya, iya, bawel!" Raga mendengkus, lalu berjalan menuju keran yang ada di samping bilik mandi.Beberapa saat kemudian, dia kembali
"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan."Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya."Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!""Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha."Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody."Ayah tahu pe
Besoknya, Raga celingukan saat turun ke ruang makan. Tak dia temukan sang istri yang biasanya lebih dulu sampai."Melody ke mana, Bi?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama pandangannya berkejaran."Non Mel udah pergi beberapa saat lalu, Pak!" sahut Bi Tuti menghampiri."Kok, dia nggak bilang saya, ya?" Raga bingung sendiri. Kalaupun memang ada urusan mendesak, biasanya Melody menunggu Raga pergi lebih dulu."Duh, kalau itu Bibi kurang tahu." Bi Tuti menggaruk rambutnya yang dicepol rapi.Raga menghela napas gusar sembari memeriksa ponsel di genggaman."Ck, mana nombernya nggak aktif lagi." Dia mulai khawatir ada yang terjadi, sebab apa yang baru kemarin Melody alami.Terdesak keadaan, dia memang langsung mengabarkan pada sang mertua saat Bi Tuti laporan kalau istrinya tiba-tiba teriak di kamar. Malamnya Raga juga diam-diam memerhatikan bagaimana istrinya ketakutan hingga meminta tidur bersama, belum lagi sosok 'dia' yang kembali diceritakan setelah cukup lama Raga tak
Lekat Oktaf menatap perempuan cantik yang tengah menyeruput es cappucino extra cream di hadapannya. Dari pagi sampai siang mengamati, bahkan setelah singgah di kedai kopi ini, dia masih belum juga menemukan letak 'kesalahan' dalam diri Melody. Kira-kira apa yang membuat seseorang yang terlihat senormal ini dikatakan 'sakit' hingga pernah ditangani rumah sakit jiwa?"Oktaf suka Americano?" Pertanyaan Melody yang tiba-tiba membuat Oktaf terhenyak dari lamunan yang menghanyutkan. Tanpa sadar dia menggeleng kemudian mengangguk secara beriringan."Jadi, suka atau enggak?" tanya Melody dengan alis yang bertautan."Sebenarnya cuma asal pilih aja, lagian ini yang paling murah, kan?" jawab Oktaf sekenanya."Kenapa pesen yang paling murah? Kan, aku yang bayar," protes Melody setelahnya."Bukan masalah lu yang bayar, kebetulan aja gue emang lumayan suka kopi pait, apalagi buat temen rokok. Keduanya kombinasi yang pas untuk melengkapi idup gue yang nggak kalah pait.""Emang hidup kamu pahit? Kena
Pagi ini, Oktaf terlihat memarkirkan motornya di depan sebuah lapas tahanan perempuan untuk menemui seseorang. Sudah enam bulan sejak sidang pertama, baru hari ini lagi dia datang mengunjungi wanita yang seharusnya dia panggil 'Mama'Sidang putusan Harmoni yang didakwa dengan tiga tuduhan sekaligus, yaitu penculikan dan penggelapan dana, dan pembunuhan tak disengaja memang masih belum diputuskan. Pengadilan baru memberi keterangan bahwa wanita paruh baya itu mungkin terancam hukuman lima belas tahun penjara dengan semua kejahatan yang sudah dilakukannya. Sebagai seorang istri dan ibu dia memang merasa sudah gagal. Meski, begitu. Sebagai seorang wanita, dia tak merasa demikian, karena selama delapan belas tahun terakhir dia mampu mewujudkan beberapa keinginan dan terbebas dari hubungan toxic yang membuatnya dengan nekad menghilangkan nyawa Reffrain. Suaminya sendiri. "Gimana keadaan Raga sekarang?" Pertanyaan itu terlontar saat mulut Harmoni, saat melihat putra bungsunya duduk di rua
"Gue baru dapet kabar kalau dini hari tadi Ny. Luisa bawa Melody pergi ke luar negeri!" Jazz menghampiri Oktaf di rumah Raga."Jadi, hubungan mereka bener-bener nggak bisa diperbaiki?" tanya Harpa yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama."Gue nggak tahu. Ini seminggu, kayaknya Raga juga masih terintimidasi dengan ancaman Ny. Luisa. Btw keadaan kakak lo gimana sekarang, Taf?"Oktaf menghela napas sebelum mengambil tempat di samping Jazz. "Udah 3 hari dia susah makan. Tiap tidur selalu ngigau nama Melody. Gue bingung harus bertindak gimana kalau dia udah kayak orang depresi."Duk! Duk! Duk!Suara kaki koper yang terantuk dengan tangga, sontak menginterupsi mereka. Oktaf, Jazz, dan Harpa langsung menoleh ke arah yang sama saat melihat Raga buru-buru menuruni tangga dengan penampilan rapi dan barang bawaannya."Loh, kok kalian belum siap-siap? Bukannya kita mau nyusulin Melody ke Meksiko?" Raga menatap bingung ketiganya.Sementara Oktaf, Jazz, dan Harpa hanya bisa saling menatap sat
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Alejandro yang berada di kompleks perumahan elite pusat kota. Oktaf, Jazz, dan Harpa, yang kini seolah tak terpisahkan, sesekali memerhatikan Raga yang begitu antusias untuk pertemuannya bersama Melody. Dua pekan serasa dua tahun, jelas terlihat di matanya pancaran kerinduan pada sosok yang sebelumnya hanya dianggap sebagai pelampiasan. Perlahan Raga sadari, bahwa kehadiran Melody lebih dari berarti. Dan dia membutuhkan perempuan itu lebih dari siapa pun di dunia ini. "Taf!" Jazz tiba-tiba menepuk bahu Oktaf yang tengah menyetir, dari belakang. Wajah lelaki keturunan bule itu tampak memucat. "Ada apa, Bro?" "Kayaknya kita harus puter balik sekarang!"Kini, giliran alis Oktaf yang menyatu. Harpa pun Raga tak kalah kebingungan. "Kenapa? Rumahnya udah di depan!" "Gue nggak bisa jelasin sekarang, pokoknya puter balik dulu!""Iya, tapi apa alasannya? Setidaknya kita harus tahu sebelum memutuskan kembali pul--""Jalan aja terus, Kal! Apa p
Dua minggu sebelumnya, di Warmindo Oktaf. Raga dan Melody duduk bersisian, begitu Oktaf meninggalkan mereka. Sesekali pasangan suami-istri itu beradu pandang, lalu kembali saling menghindar. "Aku harap kalau sampai kita nggak ditakdirkan buat bersama. Kakak bisa dapet seseorang yang mengerti Kakak, yang bisa bikin Kakak bahagia. Tapi, jujur. Aku berharap orang itu bukan Mbak Fiona." Melody memilin jemarinya yang tertaut di atas paha. Kalimat itu keluar seiring dengan air mata yang lolos dari pelupuknya.Raga menghela napas panjang mendengarnya. Mata lelaki itu sesaat terpejam sebelum menimpali ucapan Melody yang sebenarnya tak ingin dia dengar sama sekali, apalagi hal itu menyangkut Fiona. "Aku dan Fiona terikat karena hutang nyawa, Mel. Karena Reyhan. Sampai detik ini nggak ada rasa lebih selain dari tanggung jawab dan prihatin melihat kondisinya. Kalau bisa meminta, aku cuma ingin mengulang waktu. Memperbaiki apa yang udah kumulai, agar hubungan kita bisa lebih baik dari sebelumn
"Bisa berhenti natap gue nggak? Gue nggak akan ke mana-mana!" protes Oktaf yang risi dengan tatapan Raga yang seolah mengulitinya."Gue cuma takut ini mimpi atau halusinasi. Beberapa waktu lalu gue bahkan ngerasa udah gila.""Bang ...." Tatapan Oktaf meredup, begitu mendengar pengakuan Raga. Dia menghela napas, lalu kembali merangkul bahu kakaknya. "Kok, bisa, ya kita tercipta dari dua manusia toksik?" Pandangan Raga tampak lurus ke depan saat mengatakannya. "Udahlah, Bang. Sekarang, kan ada gue. Kita cuma perlu saling menjaga. Berdua, selamanya.""Nggak." Raga menggeleng yang membuat Oktaf kebingungan melihatnya. "Masih ada Melody. Apa pun yang terjadi gue harus bawa dia pul--""NGGAK! LEPAS SIALAN! SAYA NGGAK MAU IKUT. RAGAAA!""LIAT AJA NANTI, REYHAN PASTI AKAN MENJEMPUTMU KE NERAKA! DASAR LELAKI NGGAK BERGUNA!!""KAMU BAHKAN NGGAK PEDULI SAMA RAKA. DIA ANAK KITA, RAGA! RAKA ANAK KITA!"Suara ribut-ribut dari bawah menginterupsi kakak-beradik yang masih melepas rindu setelah bela
Kasus penculikan Melody dan Lyric yang pernah menggemparkan tanah air, tujuh belas tahun lalu akhirnya menemukan titik terang berkat kesaksian Ny. Luisa dan Oktaf alias Kala. Semuanya diperkuat dengan tertangkapnya dua orang komplotan yang membantu Harmoni untuk melancarkan aksinya. Beritanya tersebar nyaris di seluruh media dalam dan luar negeri. Kasus yang dulu sempat menggantung dan tak terpecahkan itu, belakangan ini menjadi buah bibir di mana-mana. Tak terasa sudah dua hari sejak penangkapan Harmoni di kediamannya. Oktaf yang masih terpukul dan mencoba menerima kenyataan yang ada, perlahan mulai bangkit. Dikumpulkanya serpihan harapan yang hancur di tangan ibu kandungnya sendiri. Sesak bercampur nyeri itu ia rasakan, saat potongan-potongan puzzle yang selama ini berserakan mulai tersusun kembali. Kilas balik kejadian masa kecilnya muncul perlahan, dimulai dengan pertengkarannya bersama Lyric, mendapatkan donor darah, sampai kejadian di gedung terbengkalai hingga divonis amnesi
"Putra bungsu Miss Harmoni dinyatakan meninggal tak lama setelah Lyric menghilang, kami sudah mengikutinya seminggu belakangan, dia bolak-balik rumah rumah sakit tapi masuk ke ruangan yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Baru-baru ini kami melacak ponselnya dan ada pembelian tiket ke Bali untuk 2 orang."Nyonya Luisa berdiri di samping sebuah makam bertuliskan *Kala Anugerah Purnama* feelingnya terasa kuat, meski habis otopsi rumah sakit menyatakan bahwa yang bersemayam di bawah tanah ini adalah anak haram putranya."Gali sekarang!" titahnya.Beberapa orang suruhan menurut. Mereka mulai menggali, sampai jasad yang baru 3 hari disemayamkan itu diangkat ke permukaan.Hujan turun begitu deras mengiringi penggalian ilegal yang dilakukan wanita dengan status tinggi ini. Bahkan guntur yang bersahutan sama sekali tak mengurungkan niatnya untuk mengungkap kebenaran.Seketika tubuh Nyonya Luisa jatuh bersimpuh di tanah begitu peti yang menutupi jasad bocah belia di dalamnya dibuka perlahan.
Aku lelah meratapi mendung yang payungi sudut kalbu ketika tahu langit biru terkadang berselimut awan kelabu.Aku tak peduli pada fajar yang membawa harapan baru bila di antaranya masih ada malam kelam yang senantiasa menitipkan rindu-rindu yang menyiksaku.Meski gerimis datang sesekali membasahi tandusnya hati. Kemarau yang seolah tak pernah usai tetap berhasil mengubur mimpi-mimpi yang selalu malam bawa pergi.Aku tak bisa terus-menerus mengharapkan empati dari hidup yang dijalani. Ketika luka-luka yang berusaha ditutupi justru menganga dalam diri.Pada semesta yang membawaku sampai ke titik ini. Aku menyerah pada harap yang selalu berakhir ratap.Oktaf menutup catatan terakhir dari buku harian Melody. Matanya memerah, jejak basah meninggalkan bekas di atas kertas dengan sampul merah muda itu.Tarikan napas panjang menandakan betapa sesak dadanya saat ini. Dia tak pernah menyangka bahwa catatan yang ditinggalkan Melody bukan sisa daftar yang harus dia kerjakan, melainkan buku haria
"Suntikan ini bila Melody mulai menggila, tambahkan dosisnya kalau dia meracau tentang kejadian penculikan. Mama sudah melakukannya selama belasan tahun, sekarang giliranmu yang melanjutkan, karena beberapa tahun lagi dia akan menjadi istrimu."Harmoni menjelaskan pada Raga setelah perempuan berambut cepak itu keluar dari dalam ruang kamar Melody."Kenapa kita nggak biarin dia tinggal di rumah sakit jiwa aja, sih, Ma? Bukankah lebih mudah kalau dia ditangani dokter?""Nggak bisa, Sayang. Kamu ingat saat dia hampir lompat dari atap gedung tinggi? Hendrix nggak mau ambil risiko lagi, jadi dia minta kita yang tangani, sementara Melody rawat idap aja sampe batas waktu yang belum bisa dipastikan.""Tapi dokter mengatakan kalau tindakan yang dia lakukan dipicu sesuatu? Dia dipengaruhi seseorang.""Udah jelas dipicu sesuatu. Dia, kan halu.Udah, ya, Ga. Ini keputusan Om Hendrix, kamu cuma menjalankannya. Inget, masa depan kita terjamin karena keluarga Alejandro. Yang perlu kamu lakukan cuma