Malam tak pernah terasa amat mencekam, sejak pernikahannya dengan Raga. Untuk pertama kalinya sejak sepuluh hari pernikahan, Melody merasa gelisah di kamarnya padahal jam masih menunjukkan pukul 19.01 WIB.
Hantu anak kecil itu sudah mengikutinya sejak umur sepuluh tahun. Dulu perempuan itu menganggapnya tak ubahnya teman, karena Melody memang kesulitan beradaptasi dengan lingkungan hingga menyebabkannya mengalami banyak ketertinggalan.Ayahnya sudah pernah membawa Melody berobat ke orang pintar atau melakukan metode 'pembersihan' yang seringkali disebut dengan Rukyah. Namun, tak ada hasil yang signifikan. Sampai sekarang dia masih belum bisa lepas dari bayang hantu anak lelaki yang sudah mengikutinya sejak kecil. Hanya bersama Raga, hantu itu tak berani menunjukkan wujudnya.Sebenarnya wujud hantu itu tak semenyeramkan seperti yang tampak di film-film horor. Wajahnya bahkan bisa dibilang tampan. Namun, tetap saja, saat hantu itu bersikeras ingin membawa Melody pergi entah ke mana, dia mulai ketakutan.Lama menimbang-nimbang, akhirnya Melody mengambil keputusan besar, meski harga dirinya dipertaruhkan.Dia menyambar boneka kesayangannya yang sudah penuh tambalan, lalu beranjak menuju kamar Raga.Beberapa saat celingukan di luar, Melody buru-buru masuk ke dalam kamar yang kebetulan tak terkunci. Tanpa permisi, bahkan saat Raga baru saja keluar dari kamar mandi, selesai membersihkan diri.Janji yang sudah dia ucapkan pada Melody terpaksa harus dilanggar, karena Fiona dan Raka seolah tak rela melepasnya."Tumben kamu nyamperin duluan?" cetus lelaki itu begitu melihat Melody masuk, dan meloncat ke ranjang."Aku tidur di sini nggak apa-apa, kan?" Pertanyaan Raga, dia jawab dengan pertanyaan lagi."Kenapa?""Dia datang lagi, Kak!" seru Melody dengan mata yang masih berkejaran, memerhatikan sekitar.Raga memejamkan mata. Dia hela napas panjang saat tahu apa yang dimaksud istrinya."Mel, udah aku bilang berkali-kali, setan itu nggak ada. Makanya kalau sholat itu yang khusyuk, jadi nggak diganggu.""Emang kakak pernah ajarin aku gimana cara sholat yang khusyuk? Bukannya Kakak juga sholatnya cuma seminggu sekali pas jumatan?"Raga kembali menghela napas panjang, ingin menyangkal, tapi apa yang istrinya katakan memang benar."Ya udah, ya udah. Nggak usah dibahas lagi! Kalau mutusin masuk kandang Macan, harus siap kapan pun diterkam. Di sini mungkin kamu nggak akan bisa bener-bener tidur.""Please, Kak. Malem ini kita cuma tidur aja, ya! Aku nggak enak badan." Melody mengiba dengan pandangan yang dia buat nanar.Raga berdecak. "Kamu sengaja mengujiku?""Ayolah, Kak. Aku cuma pake piama Doraemon sekarang. Bukan pake baju dinas malem, masa Kakak nggak tahan?!""Mel ....""Please!""Aaargh ... oke!" sentaknya tak rela."Makasih." Melody tersenyum sembari mengulurkan jarinya membentuk 'finger heart'"Ya udah tidur sana!" titahnya."Tapi aku belum ngantuk." Melody mengerucutkan bibirnya sembari memeluk boneka kecil penuh jaitan yang selalu menemani tidurnya."Terus kita ngapain kalau nggak--""Nonton!" potong Melody cepat, sebelum sempat Raga menyelesaikan kalimat. "Kakak, kan udah janji kita bakal nonton hari ini." Dia tunjuk TV berukuran 42 inci yang tergantung di depan pembaringan.Raga menyisir kasar rambutnya ke belakang. Lalu dengan enggan menyambar remote dan mulai menyalakan TV dengan siaran N*****x."Nonton apa? Horor?" tawarnya.Melody menggeleng, dengan cepat dia menjawab. "Romance.""Mel, ayolah ....""Aku bilang romance bukan adult romance, loh, Kak!"Raga mengacak rambutnya, lalu melempar remote TV ke hadapan Melody. "Ya udah pilih aja sendiri!""Oke."Sementara Melody memilih tontonan. Raga berjalan menuju kulkas kecil di pojok kamar, mengambil air mineral, setelah itu meraih sebuah toples di kotak P3K dalam nakas samping ranjang.Melody yang sejak tadi diam-diam memerhatikan, akhirnya penasaran untuk bertanya."Obat apa itu, Kak?" tanya Melody begitu Raga selesai meminum obatnya."Obat kuat!" jawab Raga sekenanya."Kayaknya aku nggak jadi tidur di sini!" Perlahan Melody mulai beranjak dari ranjang, tapi buru-buru Raga tahan."Bercanda. Udah, ah. Buruan putar filmnya!"Melody mengurungkan niat, lalu kembali ke posisinya saat intro N*****x terdengar."Singkirin boneka serem itu dari hadapanku!" sentak Raga saat melihat boneka kesayangan Melody tergeletak di sisi lain ranjang bagiannya."Dia punya nama, Kak. Namanya Botan!""Wujud sama nama nggak kalah mengerikan. Apaan Botan? Boneka Penangkal Setan?" cibirnya."Ya, kan emang itu singkatannya. Lagian tanpa Botan aku nggak akan bisa tidur."Raga tertegun sejenak."Begitu juga aku tanpa kamu atau obat itu," gumam Raga yang samar masih bisa Melody dengar."Hah, gimana?" Melody memastikan. Namun, sayangnya Raga tak berniat mengulang."Nggak. Udah, diem! Filmnya baru mulai."Melody hanya bisa memutar bola mata, kemudian mulai fokus pada tontonan.Tanpa perempuan itu ketahui, sebenarnya Raga mempunyai gangguan insomnia, biasanya dia mengonsumsi obat dengan resep dokter atau olahraga berat untuk membantunya tidur. Namun, setelah menikahi Melody, dan menunaikan hasratnya, lelaki bisa lebih mudah terlelap.Gangguan tidurnya sudah terjadi sejak empat tahun lalu. Saat Raga kehilangan salah satu orang yang paling berharga sekaligus berjasa dalam hidupnya, hingga mengikat lelaki itu pada Raka dan Fiona.Hubungan Melody dan Raga memang rumit, tapi pada dasarnya mereka sama-sama saling membutuhkan....Bersambung."Kak ....""Kak Raga.""Bangun, Kak! Udah subuh."Melody mengguncang tubuh Raga yang masih terbaring lelap di ranjang, masih dengan mukena yang melekat di tubuh mungilnya.Alis tebal Raga bertaut, perlahan dia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, kemudian mengucek mata dan berdecak menatap istrinya."Iya, iya!" Dengan enggan Raga beranjak dari ranjang nyamannya."Ambil wudu, terus sholat dulu!" ingat Melody saat melihat suaminya berlalu begitu aja menuju kamar mandi."Udah mau siang ini, mana sempet?" dalih Raga masih dengan tubuh sempoyongan, karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya."Lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Makin banyak yang ibadah di rumah ini, makin setan takut buat mampir. Lagian ini baru jam lima lebih sepuluh menit. Buruan, Kak! Mandinya habis sholat aja, lagian semalem kita nggak ngapa-ngapain," desak Melody."Iya, iya, bawel!" Raga mendengkus, lalu berjalan menuju keran yang ada di samping bilik mandi.Beberapa saat kemudian, dia kembali
"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan."Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya."Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!""Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha."Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody."Ayah tahu pe
Besoknya, Raga celingukan saat turun ke ruang makan. Tak dia temukan sang istri yang biasanya lebih dulu sampai."Melody ke mana, Bi?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama pandangannya berkejaran."Non Mel udah pergi beberapa saat lalu, Pak!" sahut Bi Tuti menghampiri."Kok, dia nggak bilang saya, ya?" Raga bingung sendiri. Kalaupun memang ada urusan mendesak, biasanya Melody menunggu Raga pergi lebih dulu."Duh, kalau itu Bibi kurang tahu." Bi Tuti menggaruk rambutnya yang dicepol rapi.Raga menghela napas gusar sembari memeriksa ponsel di genggaman."Ck, mana nombernya nggak aktif lagi." Dia mulai khawatir ada yang terjadi, sebab apa yang baru kemarin Melody alami.Terdesak keadaan, dia memang langsung mengabarkan pada sang mertua saat Bi Tuti laporan kalau istrinya tiba-tiba teriak di kamar. Malamnya Raga juga diam-diam memerhatikan bagaimana istrinya ketakutan hingga meminta tidur bersama, belum lagi sosok 'dia' yang kembali diceritakan setelah cukup lama Raga tak
Lekat Oktaf menatap perempuan cantik yang tengah menyeruput es cappucino extra cream di hadapannya. Dari pagi sampai siang mengamati, bahkan setelah singgah di kedai kopi ini, dia masih belum juga menemukan letak 'kesalahan' dalam diri Melody. Kira-kira apa yang membuat seseorang yang terlihat senormal ini dikatakan 'sakit' hingga pernah ditangani rumah sakit jiwa?"Oktaf suka Americano?" Pertanyaan Melody yang tiba-tiba membuat Oktaf terhenyak dari lamunan yang menghanyutkan. Tanpa sadar dia menggeleng kemudian mengangguk secara beriringan."Jadi, suka atau enggak?" tanya Melody dengan alis yang bertautan."Sebenarnya cuma asal pilih aja, lagian ini yang paling murah, kan?" jawab Oktaf sekenanya."Kenapa pesen yang paling murah? Kan, aku yang bayar," protes Melody setelahnya."Bukan masalah lu yang bayar, kebetulan aja gue emang lumayan suka kopi pait, apalagi buat temen rokok. Keduanya kombinasi yang pas untuk melengkapi idup gue yang nggak kalah pait.""Emang hidup kamu pahit? Kena
"Dari mana aja kamu?" cetus Raga begitu Melody tiba. "Sejak kapan Kakak peduli?" Tak kalah ketus ia balik bertanya.Sejenak Raga memejamkan mata, lalu bangkit dari posisi duduk di sofa."Sekarang kamu tanggungjawabku, Mel. Wajar kalau aku bertanya istriku dari mana aja seharian ini?""Istri?" Melody tersenyum mencibir."Melody ...." Suara Raga merendah tanda memeringati. "Aku udah minta maaf tentang apa yang terjadi kemarin. Kuhubungi ayahmu karena memang khawatir. Nggak ada maksud lain!""Khawatir?" Sekali lagi Melody tersenyum mencibir. "Kakak tahu pasti apa yang pernah kualami. Diikat di ranjang tiga hari tiga malam, disuntik obat penenang dengan dosis tinggi, terus dikurung berhari-hari di ruang isolasi. Kakak tahu betapa menyakitkannya semua itu?"Raga terbungkam."Pernikahan ini adalah pelarian agar aku bisa lepas dari belenggu Ayah. Kalau memang ingin mendepakku dari sini, bukan begitu caranya, Kak! Kita bisa berkompromi tentang perpisahan yang baiknya terjadi."Raga menghela
Ada berbagai jenis depresi yang dialami seseorang dengan tekanan hidup yang tak terkendali. Mulai dari yang ringan sampai berat semua tergantung kemampuan diri.Tujuh belas tahun lalu Melody mengalami penculikan yang membuatnya menghilang selama dua pekan. Berbagai jenis penyiksaan selama penyekapan dia dapatkan hingga mengganggu kondisi psikisnya yang rentan di usia delapan tahunan.Ternyata tragedi tersebut bukan hanya mengganggu mental Melody, tapi ibunya juga. Nada Insani. Selama dua pekan, gadis biasa yang dinikahi anggota keluarga konglomerat berdarah Meksiko itu ditekan oleh berbagai pihak, khususnya keluarga sang suami. Dia disalahkan dan diremehkan, juga dinilai lalai menjadi istri sekaligus ibu hingga penculikan tersebut luput dari pengawasannya yang pada saat itu memang ditugaskan untuk mengantar jemput Melody.Bahkan setelah putrinya kembali, Nada tetap tak bisa sepenuhnya memulihkan diri, harta dan fasilitas yang dia dapatkan selama menjadi istri Hendrix bahkan tak pernah
Melody Nada Insani dan Lyric Alejandro adalah anak kembar dari pasangan Nada Insani dan Hendrix Alejandro. Keduanya lahir di Meksiko dua puluh lima tahun silam. Meskipun berbeda gender, tapi mereka selalu bersama-sama hampir di berbagai kesempatan yang ada. Lahir delapan menit lebih awal membuat Lyric menjadi kakak yang begitu penyayang pada adiknya yang manja dan keras kepala.Tumbuh menjadi cucu kebanggaan dalam keluarga Alejandro, membuat kehadiran Melody maupun Lyric menjadi batu loncatan bagi Nada agar diterima keluarga Hendrix yang sebelumnya tak pernah merestuinya karena berasal dari keluarga biasa serta yatim-piatu.Kehadiran anak kembar yang sama-sama menawan itu melengkapi kebahagiaan mereka sampai delapan tahun lamanya. Hingga tragedi penculikan yang terjadi mengubah semuanya. Berita menghebohkan itu pernah diliput dalam berbagai media dalam bahkan luar negeri.Kehidupan Nada yang nyaris sempurna, berubah seketika saat Melody berhasil ditemukan meski dalam keadaan mengenas
"Non, Pak Raga titip pesen katanya dia nggak pul--""Aku tahu." Melody menjawab cepat sembari menarik salah satu kursi di ruang makan. Datar, eskpresi perempuan itu saat mengatakan sesuatu yang seharusnya dikhawatirkan tiap wanita kala suaminya tak pulang semalaman.Bi Tuti menghela napas panjang, hampir lima tahun mengabdi sejak Raga pindah ke rumah ini, dia tak tahu pasti bagaimana hubungan majikannya dan perempuan ini. Semua berjalan baik, meski tak jarang Raga mengeluh karena sikap Melody yang merepotkan."Kalau gitu bibi permisi ke belakang.""Ya." Melody menjawab singkat, sembari mulai mengambil alas sarapan yang sudah Bi Tuti siapkan. Semangkuk besar nasi goreng itu terhidang di hadapan. Dalam diam dia menikmati, tetapi pikirannya melayang memikirkan. Segala hal berkecamuk menjadi satu, tentang tanya yang tak pernah berakhir jawab. Kenapa harus dia? Melody membatin.Kenapa harus Fiona di antara sekian banyak wanita di sekeliling Raga?Entah kenapa Melody merasa tak terima di
Pagi ini, Oktaf terlihat memarkirkan motornya di depan sebuah lapas tahanan perempuan untuk menemui seseorang. Sudah enam bulan sejak sidang pertama, baru hari ini lagi dia datang mengunjungi wanita yang seharusnya dia panggil 'Mama'Sidang putusan Harmoni yang didakwa dengan tiga tuduhan sekaligus, yaitu penculikan dan penggelapan dana, dan pembunuhan tak disengaja memang masih belum diputuskan. Pengadilan baru memberi keterangan bahwa wanita paruh baya itu mungkin terancam hukuman lima belas tahun penjara dengan semua kejahatan yang sudah dilakukannya. Sebagai seorang istri dan ibu dia memang merasa sudah gagal. Meski, begitu. Sebagai seorang wanita, dia tak merasa demikian, karena selama delapan belas tahun terakhir dia mampu mewujudkan beberapa keinginan dan terbebas dari hubungan toxic yang membuatnya dengan nekad menghilangkan nyawa Reffrain. Suaminya sendiri. "Gimana keadaan Raga sekarang?" Pertanyaan itu terlontar saat mulut Harmoni, saat melihat putra bungsunya duduk di rua
"Gue baru dapet kabar kalau dini hari tadi Ny. Luisa bawa Melody pergi ke luar negeri!" Jazz menghampiri Oktaf di rumah Raga."Jadi, hubungan mereka bener-bener nggak bisa diperbaiki?" tanya Harpa yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama."Gue nggak tahu. Ini seminggu, kayaknya Raga juga masih terintimidasi dengan ancaman Ny. Luisa. Btw keadaan kakak lo gimana sekarang, Taf?"Oktaf menghela napas sebelum mengambil tempat di samping Jazz. "Udah 3 hari dia susah makan. Tiap tidur selalu ngigau nama Melody. Gue bingung harus bertindak gimana kalau dia udah kayak orang depresi."Duk! Duk! Duk!Suara kaki koper yang terantuk dengan tangga, sontak menginterupsi mereka. Oktaf, Jazz, dan Harpa langsung menoleh ke arah yang sama saat melihat Raga buru-buru menuruni tangga dengan penampilan rapi dan barang bawaannya."Loh, kok kalian belum siap-siap? Bukannya kita mau nyusulin Melody ke Meksiko?" Raga menatap bingung ketiganya.Sementara Oktaf, Jazz, dan Harpa hanya bisa saling menatap sat
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Alejandro yang berada di kompleks perumahan elite pusat kota. Oktaf, Jazz, dan Harpa, yang kini seolah tak terpisahkan, sesekali memerhatikan Raga yang begitu antusias untuk pertemuannya bersama Melody. Dua pekan serasa dua tahun, jelas terlihat di matanya pancaran kerinduan pada sosok yang sebelumnya hanya dianggap sebagai pelampiasan. Perlahan Raga sadari, bahwa kehadiran Melody lebih dari berarti. Dan dia membutuhkan perempuan itu lebih dari siapa pun di dunia ini. "Taf!" Jazz tiba-tiba menepuk bahu Oktaf yang tengah menyetir, dari belakang. Wajah lelaki keturunan bule itu tampak memucat. "Ada apa, Bro?" "Kayaknya kita harus puter balik sekarang!"Kini, giliran alis Oktaf yang menyatu. Harpa pun Raga tak kalah kebingungan. "Kenapa? Rumahnya udah di depan!" "Gue nggak bisa jelasin sekarang, pokoknya puter balik dulu!""Iya, tapi apa alasannya? Setidaknya kita harus tahu sebelum memutuskan kembali pul--""Jalan aja terus, Kal! Apa p
Dua minggu sebelumnya, di Warmindo Oktaf. Raga dan Melody duduk bersisian, begitu Oktaf meninggalkan mereka. Sesekali pasangan suami-istri itu beradu pandang, lalu kembali saling menghindar. "Aku harap kalau sampai kita nggak ditakdirkan buat bersama. Kakak bisa dapet seseorang yang mengerti Kakak, yang bisa bikin Kakak bahagia. Tapi, jujur. Aku berharap orang itu bukan Mbak Fiona." Melody memilin jemarinya yang tertaut di atas paha. Kalimat itu keluar seiring dengan air mata yang lolos dari pelupuknya.Raga menghela napas panjang mendengarnya. Mata lelaki itu sesaat terpejam sebelum menimpali ucapan Melody yang sebenarnya tak ingin dia dengar sama sekali, apalagi hal itu menyangkut Fiona. "Aku dan Fiona terikat karena hutang nyawa, Mel. Karena Reyhan. Sampai detik ini nggak ada rasa lebih selain dari tanggung jawab dan prihatin melihat kondisinya. Kalau bisa meminta, aku cuma ingin mengulang waktu. Memperbaiki apa yang udah kumulai, agar hubungan kita bisa lebih baik dari sebelumn
"Bisa berhenti natap gue nggak? Gue nggak akan ke mana-mana!" protes Oktaf yang risi dengan tatapan Raga yang seolah mengulitinya."Gue cuma takut ini mimpi atau halusinasi. Beberapa waktu lalu gue bahkan ngerasa udah gila.""Bang ...." Tatapan Oktaf meredup, begitu mendengar pengakuan Raga. Dia menghela napas, lalu kembali merangkul bahu kakaknya. "Kok, bisa, ya kita tercipta dari dua manusia toksik?" Pandangan Raga tampak lurus ke depan saat mengatakannya. "Udahlah, Bang. Sekarang, kan ada gue. Kita cuma perlu saling menjaga. Berdua, selamanya.""Nggak." Raga menggeleng yang membuat Oktaf kebingungan melihatnya. "Masih ada Melody. Apa pun yang terjadi gue harus bawa dia pul--""NGGAK! LEPAS SIALAN! SAYA NGGAK MAU IKUT. RAGAAA!""LIAT AJA NANTI, REYHAN PASTI AKAN MENJEMPUTMU KE NERAKA! DASAR LELAKI NGGAK BERGUNA!!""KAMU BAHKAN NGGAK PEDULI SAMA RAKA. DIA ANAK KITA, RAGA! RAKA ANAK KITA!"Suara ribut-ribut dari bawah menginterupsi kakak-beradik yang masih melepas rindu setelah bela
Kasus penculikan Melody dan Lyric yang pernah menggemparkan tanah air, tujuh belas tahun lalu akhirnya menemukan titik terang berkat kesaksian Ny. Luisa dan Oktaf alias Kala. Semuanya diperkuat dengan tertangkapnya dua orang komplotan yang membantu Harmoni untuk melancarkan aksinya. Beritanya tersebar nyaris di seluruh media dalam dan luar negeri. Kasus yang dulu sempat menggantung dan tak terpecahkan itu, belakangan ini menjadi buah bibir di mana-mana. Tak terasa sudah dua hari sejak penangkapan Harmoni di kediamannya. Oktaf yang masih terpukul dan mencoba menerima kenyataan yang ada, perlahan mulai bangkit. Dikumpulkanya serpihan harapan yang hancur di tangan ibu kandungnya sendiri. Sesak bercampur nyeri itu ia rasakan, saat potongan-potongan puzzle yang selama ini berserakan mulai tersusun kembali. Kilas balik kejadian masa kecilnya muncul perlahan, dimulai dengan pertengkarannya bersama Lyric, mendapatkan donor darah, sampai kejadian di gedung terbengkalai hingga divonis amnesi
"Putra bungsu Miss Harmoni dinyatakan meninggal tak lama setelah Lyric menghilang, kami sudah mengikutinya seminggu belakangan, dia bolak-balik rumah rumah sakit tapi masuk ke ruangan yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Baru-baru ini kami melacak ponselnya dan ada pembelian tiket ke Bali untuk 2 orang."Nyonya Luisa berdiri di samping sebuah makam bertuliskan *Kala Anugerah Purnama* feelingnya terasa kuat, meski habis otopsi rumah sakit menyatakan bahwa yang bersemayam di bawah tanah ini adalah anak haram putranya."Gali sekarang!" titahnya.Beberapa orang suruhan menurut. Mereka mulai menggali, sampai jasad yang baru 3 hari disemayamkan itu diangkat ke permukaan.Hujan turun begitu deras mengiringi penggalian ilegal yang dilakukan wanita dengan status tinggi ini. Bahkan guntur yang bersahutan sama sekali tak mengurungkan niatnya untuk mengungkap kebenaran.Seketika tubuh Nyonya Luisa jatuh bersimpuh di tanah begitu peti yang menutupi jasad bocah belia di dalamnya dibuka perlahan.
Aku lelah meratapi mendung yang payungi sudut kalbu ketika tahu langit biru terkadang berselimut awan kelabu.Aku tak peduli pada fajar yang membawa harapan baru bila di antaranya masih ada malam kelam yang senantiasa menitipkan rindu-rindu yang menyiksaku.Meski gerimis datang sesekali membasahi tandusnya hati. Kemarau yang seolah tak pernah usai tetap berhasil mengubur mimpi-mimpi yang selalu malam bawa pergi.Aku tak bisa terus-menerus mengharapkan empati dari hidup yang dijalani. Ketika luka-luka yang berusaha ditutupi justru menganga dalam diri.Pada semesta yang membawaku sampai ke titik ini. Aku menyerah pada harap yang selalu berakhir ratap.Oktaf menutup catatan terakhir dari buku harian Melody. Matanya memerah, jejak basah meninggalkan bekas di atas kertas dengan sampul merah muda itu.Tarikan napas panjang menandakan betapa sesak dadanya saat ini. Dia tak pernah menyangka bahwa catatan yang ditinggalkan Melody bukan sisa daftar yang harus dia kerjakan, melainkan buku haria
"Suntikan ini bila Melody mulai menggila, tambahkan dosisnya kalau dia meracau tentang kejadian penculikan. Mama sudah melakukannya selama belasan tahun, sekarang giliranmu yang melanjutkan, karena beberapa tahun lagi dia akan menjadi istrimu."Harmoni menjelaskan pada Raga setelah perempuan berambut cepak itu keluar dari dalam ruang kamar Melody."Kenapa kita nggak biarin dia tinggal di rumah sakit jiwa aja, sih, Ma? Bukankah lebih mudah kalau dia ditangani dokter?""Nggak bisa, Sayang. Kamu ingat saat dia hampir lompat dari atap gedung tinggi? Hendrix nggak mau ambil risiko lagi, jadi dia minta kita yang tangani, sementara Melody rawat idap aja sampe batas waktu yang belum bisa dipastikan.""Tapi dokter mengatakan kalau tindakan yang dia lakukan dipicu sesuatu? Dia dipengaruhi seseorang.""Udah jelas dipicu sesuatu. Dia, kan halu.Udah, ya, Ga. Ini keputusan Om Hendrix, kamu cuma menjalankannya. Inget, masa depan kita terjamin karena keluarga Alejandro. Yang perlu kamu lakukan cuma