"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.
Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan."Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya."Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!""Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha."Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody."Ayah tahu pernikahan ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa lepas dari belenggu ayah. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, semua yang ayah lakukan semata-mata hanya demi kebaikanmu!" Pak Hendrix memulai percakapan sepeninggal istri, anak serta menantunya.Melody tersenyum sinis mencibirnya. "Kebaikan apanya? Mana ada demi kebaikan tapi mengekang kebebasan? Aku bukan anak kecil yang harus Ayah pantau 24 jam! Aku perempuan dewasa berusia 25 tahun! Aku juga mau menikmati dunia, aku juga mau bahagia!"Pria gagah dalam balutan kemeja dan celana bahan itu memejamkan mata. "Dunia nggak seperti yang kamu kira, Nak. Tempat ini menyeramkan untuk 'orang-orang sepertimu'. Semua akan terasa berbeda kalau kamu udah pulih sepenuhnya. Cuma karena Raga selalu ada di sampingmu, bukan berarti dia bisa bantu." Lembut dan perlahan, Pak Hendrix berusaha meyakinkan putrinya."Tapi aku udah nggak pernah mimpi itu lagi, Yah. Aku udah nggak pernah ketemu 'dia' lagi. Aku udah sembuh!" sentak Melody menggebu-gebu."Kalau kamu yakin udah pulih sepenuhnya, kenapa ada yang laporan ke ayah kalau kamu jerit-jerit di kamar tengah hari bolong?"Melody mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Sudah dia duga, tak mungkin ayahnya datang tiba-tiba bila tak ada maksud yang mendasarinya."Mel, sayang ...." Melody memalingkan muka saat Pak Hendrix berusaha meraih jemarinya. "Banyak hal yang udah ayah pertaruhkan sampe sekarang. Kamu adalah satu-satunya harapan keluarga, tapi kami nggak bisa menampik kalau kamu juga satu-satunya orang yang menjadi penghalang."Kuliah bisnismu berhenti di tengah jalan, sementara kuliah desain harus dibantu suntikan dana agar kamu bisa lulus dan dapat ijazah. Sampai butikmu kini berdiri semua ada andil ayah di dalamnya. Bila, pekerjaan yang menjadi satu-satunya keahlianmu saja penuh hambatan, bagaimana ayah bisa percaya kalau kamu nggak akan gagal, bahkan dalam pernikahan?!"Melody menengadahkan wajahnya, mati-matian dia tahan cairan hangat yang sudah menganak sungai di pelupuk matanya."Belum terlambat buat memulai. Ikut ayah, ya! 'Mereka' bisa bantu kamu buat sembuh. Setelah pulih sepenuhnya ayah yakin semua akan berjalan semestinya.""Kasih aku waktu, Yah! Ini bahkan baru sepuluh hari. Aku yakin Kak Raga bisa bantu aku pulih sepenuhnya. Aku nggak mau ke tempat itu lagi. Asal Ayah tahu, di sana lebih banyak setannya!"Pak Hendrix menghela napas panjang melihat bagaimana putrinya mengiba akan hidup yang tak pernah diinginkannya."Oke. Ayah kasih kamu waktu tiga bulan. Kalau sampai seratus hari belum ada perubahan, dan kondisimu semakin tak terkendalikan. Ayah nggak ada pilihan selain jemput kamu secara paksa, dan jadiin Jazz sebagai penggantimu."Jazz, walaupun bukan anak kandung Ayah, tapi dia sangat bisa diandalkan. Hampir semua pekerjaan ayah dia yang handle. Kalau terus begini, Ayah nggak punya pilihan selain mewarisi semua aset ayah sama Jazz, daripada bisnis keluarga kita hancur di tangan kamu!"Melody hanya bisa pasrah, mendengar penuturan sang ayah tentang nasib hidupnya. Sebagai satu-satunya anak yang diharapkan dia justru hanya bisa menyusahkan dibanding kakak tirinya yang baru-baru ini datang.Tanpa mereka sadari, di balik dinding penyekat ruang tamu dan ruang keluarga, ada sepasang telinga yang mendengarkan. Wanita paruh baya berambut merah panjang itu tersenyum penuh kemenangan menatap putranya yang seolah tak peduli hanya duduk bersandar di kursi.***"Ayah permisi dulu, ya, Ga. Entah berapa kali ayah harus bilang maaf dan terima kasih karena kamu udah bisa nerima Melody apa adanya. Lain kali kalau ada apa-apa lagi, jangan sungkan buat langsung mengabari!"Raga hanya bisa tersenyum kikuk sembari mengangguk pelan."I-iya, Yah.""Kontak ustad yang kemarin masih Tante simpen, kalau tiba-tiba si Mel ngereog lagi, kamu langsung hubungin aja, ya, Ga!" Clara, ibu tiri Melody itu bergumam saat melintas di hadapan Raga. Lelaki itu hanya bisa meringis menanggapinya.Sementara ayah tiri dan ibunya sudah pamit pergi, Jazz justru menghampiri Melody yang masih terjaga setelah percakapan dengan ayahnya tadi."Kamu dikasih makan, kan, Mel?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama.Melody mengangkat kepala, lalu memaksa sebuah senyum terbit di bibir tipisnya. "Apaan, sih pertanyaannya Bang Jazz? Ya, dikasihlah.""Soalnya kamu keliatan lebih kurus dari terakhir kita ketemu." Ada sorot hangat di balik tatapan datarnya."Ah, mungkin cuma perasaan Bang Jazz aja." Melody terkekeh sembari memukul pelan lengan kakak tirinya.Jazz tertegun menatap perempuan yang selama tujuh tahun seatap dengannya. Lekat lelaki yang mengecat rambutnya menjadi cokelat gelap itu menatap wajah cantik Melody yang menyisakan sedikit air mata di pipinya yang tirus dan mulus.Pandangannya tiba-tiba turun ke lengan kecil itu, tepat pada pergelangan tangan Melody yang kebetulan tersingkap."Ini, bukan gambar baru, kan?" Jazz menarik tangan Melody saat dia rasa motif garis-garis bekas sayatan di pergelangannya bertambah.Melody menggeleng pelan."Nggak, kok. Aku itung masih ada empat." Perempuan itu nyengir, lalu menarik lengan cardigannya untuk menutup pergelangan sampai setengah punggung tangan."Kenapa emang?" Raga yang sejak tadi memerhatikan tiba-tiba menghampiri dan menepis tangan Jazz yang masih menggenggam erat jemari istrinya. "Nggak usah khawatir, Melody udah di tempat yang lebih aman, daripada dia berada sebelumnya.""Oh." Jazz hanya menanggapi datar. Dia acak rambut Melody sebelum pamit pergi. "Pulang dulu, ya. Jaga diri kamu baik-baik!"Melody mengangguk pelan, kemudian melambaikan tangan."Siap, Bang."Sepeninggal mereka, hanya tinggal Melody dan Raga yang tersisa."Mel!" Raga memanggil istrinya yang sudah bersiap pergi.Melody menoleh. Dia mendongak menatap Raga yang menjulang dengan sorot mata yang sulit diartikan."Udah aku duga pasti Kakak yang bilang.""Maaf." Raga berusaha meraih tangan Melody, tapi langsung ditepisnya."Nggak apa-apa. Untuk sementara kasih aku waktu sendiri!" Melody pun berlalu meninggalkan Raga yang masih mematung di tempatnya....Bersambung.Besoknya, Raga celingukan saat turun ke ruang makan. Tak dia temukan sang istri yang biasanya lebih dulu sampai."Melody ke mana, Bi?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama pandangannya berkejaran."Non Mel udah pergi beberapa saat lalu, Pak!" sahut Bi Tuti menghampiri."Kok, dia nggak bilang saya, ya?" Raga bingung sendiri. Kalaupun memang ada urusan mendesak, biasanya Melody menunggu Raga pergi lebih dulu."Duh, kalau itu Bibi kurang tahu." Bi Tuti menggaruk rambutnya yang dicepol rapi.Raga menghela napas gusar sembari memeriksa ponsel di genggaman."Ck, mana nombernya nggak aktif lagi." Dia mulai khawatir ada yang terjadi, sebab apa yang baru kemarin Melody alami.Terdesak keadaan, dia memang langsung mengabarkan pada sang mertua saat Bi Tuti laporan kalau istrinya tiba-tiba teriak di kamar. Malamnya Raga juga diam-diam memerhatikan bagaimana istrinya ketakutan hingga meminta tidur bersama, belum lagi sosok 'dia' yang kembali diceritakan setelah cukup lama Raga tak
Lekat Oktaf menatap perempuan cantik yang tengah menyeruput es cappucino extra cream di hadapannya. Dari pagi sampai siang mengamati, bahkan setelah singgah di kedai kopi ini, dia masih belum juga menemukan letak 'kesalahan' dalam diri Melody. Kira-kira apa yang membuat seseorang yang terlihat senormal ini dikatakan 'sakit' hingga pernah ditangani rumah sakit jiwa?"Oktaf suka Americano?" Pertanyaan Melody yang tiba-tiba membuat Oktaf terhenyak dari lamunan yang menghanyutkan. Tanpa sadar dia menggeleng kemudian mengangguk secara beriringan."Jadi, suka atau enggak?" tanya Melody dengan alis yang bertautan."Sebenarnya cuma asal pilih aja, lagian ini yang paling murah, kan?" jawab Oktaf sekenanya."Kenapa pesen yang paling murah? Kan, aku yang bayar," protes Melody setelahnya."Bukan masalah lu yang bayar, kebetulan aja gue emang lumayan suka kopi pait, apalagi buat temen rokok. Keduanya kombinasi yang pas untuk melengkapi idup gue yang nggak kalah pait.""Emang hidup kamu pahit? Kena
"Dari mana aja kamu?" cetus Raga begitu Melody tiba. "Sejak kapan Kakak peduli?" Tak kalah ketus ia balik bertanya.Sejenak Raga memejamkan mata, lalu bangkit dari posisi duduk di sofa."Sekarang kamu tanggungjawabku, Mel. Wajar kalau aku bertanya istriku dari mana aja seharian ini?""Istri?" Melody tersenyum mencibir."Melody ...." Suara Raga merendah tanda memeringati. "Aku udah minta maaf tentang apa yang terjadi kemarin. Kuhubungi ayahmu karena memang khawatir. Nggak ada maksud lain!""Khawatir?" Sekali lagi Melody tersenyum mencibir. "Kakak tahu pasti apa yang pernah kualami. Diikat di ranjang tiga hari tiga malam, disuntik obat penenang dengan dosis tinggi, terus dikurung berhari-hari di ruang isolasi. Kakak tahu betapa menyakitkannya semua itu?"Raga terbungkam."Pernikahan ini adalah pelarian agar aku bisa lepas dari belenggu Ayah. Kalau memang ingin mendepakku dari sini, bukan begitu caranya, Kak! Kita bisa berkompromi tentang perpisahan yang baiknya terjadi."Raga menghela
Ada berbagai jenis depresi yang dialami seseorang dengan tekanan hidup yang tak terkendali. Mulai dari yang ringan sampai berat semua tergantung kemampuan diri.Tujuh belas tahun lalu Melody mengalami penculikan yang membuatnya menghilang selama dua pekan. Berbagai jenis penyiksaan selama penyekapan dia dapatkan hingga mengganggu kondisi psikisnya yang rentan di usia delapan tahunan.Ternyata tragedi tersebut bukan hanya mengganggu mental Melody, tapi ibunya juga. Nada Insani. Selama dua pekan, gadis biasa yang dinikahi anggota keluarga konglomerat berdarah Meksiko itu ditekan oleh berbagai pihak, khususnya keluarga sang suami. Dia disalahkan dan diremehkan, juga dinilai lalai menjadi istri sekaligus ibu hingga penculikan tersebut luput dari pengawasannya yang pada saat itu memang ditugaskan untuk mengantar jemput Melody.Bahkan setelah putrinya kembali, Nada tetap tak bisa sepenuhnya memulihkan diri, harta dan fasilitas yang dia dapatkan selama menjadi istri Hendrix bahkan tak pernah
Melody Nada Insani dan Lyric Alejandro adalah anak kembar dari pasangan Nada Insani dan Hendrix Alejandro. Keduanya lahir di Meksiko dua puluh lima tahun silam. Meskipun berbeda gender, tapi mereka selalu bersama-sama hampir di berbagai kesempatan yang ada. Lahir delapan menit lebih awal membuat Lyric menjadi kakak yang begitu penyayang pada adiknya yang manja dan keras kepala.Tumbuh menjadi cucu kebanggaan dalam keluarga Alejandro, membuat kehadiran Melody maupun Lyric menjadi batu loncatan bagi Nada agar diterima keluarga Hendrix yang sebelumnya tak pernah merestuinya karena berasal dari keluarga biasa serta yatim-piatu.Kehadiran anak kembar yang sama-sama menawan itu melengkapi kebahagiaan mereka sampai delapan tahun lamanya. Hingga tragedi penculikan yang terjadi mengubah semuanya. Berita menghebohkan itu pernah diliput dalam berbagai media dalam bahkan luar negeri.Kehidupan Nada yang nyaris sempurna, berubah seketika saat Melody berhasil ditemukan meski dalam keadaan mengenas
"Non, Pak Raga titip pesen katanya dia nggak pul--""Aku tahu." Melody menjawab cepat sembari menarik salah satu kursi di ruang makan. Datar, eskpresi perempuan itu saat mengatakan sesuatu yang seharusnya dikhawatirkan tiap wanita kala suaminya tak pulang semalaman.Bi Tuti menghela napas panjang, hampir lima tahun mengabdi sejak Raga pindah ke rumah ini, dia tak tahu pasti bagaimana hubungan majikannya dan perempuan ini. Semua berjalan baik, meski tak jarang Raga mengeluh karena sikap Melody yang merepotkan."Kalau gitu bibi permisi ke belakang.""Ya." Melody menjawab singkat, sembari mulai mengambil alas sarapan yang sudah Bi Tuti siapkan. Semangkuk besar nasi goreng itu terhidang di hadapan. Dalam diam dia menikmati, tetapi pikirannya melayang memikirkan. Segala hal berkecamuk menjadi satu, tentang tanya yang tak pernah berakhir jawab. Kenapa harus dia? Melody membatin.Kenapa harus Fiona di antara sekian banyak wanita di sekeliling Raga?Entah kenapa Melody merasa tak terima di
Sehari sebelumnya .... Raga baru saja tiba, saat ia melihat Fiona sudah menyambut di teras depan rumahnya. "Ngapain kamu diem di--" "Masih inget, nggak? Saat pertama kali kita bertiga ketemu secara nggak sengaja karena kamu dirundung habis-habisan sama temen-temen sekelasmu di minggu pertama sebagai anak SMA?" Raga mematung seketika, kala Fiona tiba-tiba membahas masa remaja mereka. Lembut dan halus cara perempuan itu bertutur kata, tapi entah kenapa mampu menusuk langsung ke dalam hatinya. "Pasti nggak gampang jadi anak orang berada, tapi dianggap di bawah standar orang biasa. Di-bully cuma gara-gara masih diantar-jemput Mamanya bahkan sulit beradaptasi dengan lingkungan barunya." Kedua tangan Raga terkepal. Mau tak mau dia mengingat kembali masa-masa sulit itu, apalagi di waktu yang sama dia masih harus mendampingi Melody dalam proses pemulihannya. "Masih ingat gimana cara aku dan Reyhan mengulurkan tangan? Menuntunmu untuk melangkah tanpa takut jatuh atau tersandung? Menghadap
Melody memeluk lutut sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya di atas pembaringan. Berbagai kecamuk perasaan menyerbunya tanpa ampun. Bisikan-bisikan setan itu kembali datang memberinya pilihan antara pergi atau bertahan. Ditatapnya kembali yang koper tergeletak di tepi ranjang. Dilema hebat perempuan itu rasakan. Antara bingung dan kesal. Tak ada alasan untuk bertahan, tapi ke mana ia harus melarikan diri, bila memang Raga bukan tempat yang tepat untuknya tinggal? Tak mungkin juga bila ia harus kembali ke rumah ayahnya. Risikonya jelas jauh lebih besar. "I am done!" Setelah lama menentukan pilihan, akhirnya Melody mengambil keputusan besar. Pergi lebih baik daripada bertahan dalam hubungan yang toxic apalagi harus seatap dengan wanita yang begitu dia benci. Bagiamana pun keadaannya nanti, Melody tak yakin bisa menang melawan Fiona. Koper berwarna biru itu dia pindahkan ke tengah pembaringan, lalu bergegas mengemasi pakaian yang sekiranya dibutuhkan. Tak lama suara derap langkah te
Pagi ini, Oktaf terlihat memarkirkan motornya di depan sebuah lapas tahanan perempuan untuk menemui seseorang. Sudah enam bulan sejak sidang pertama, baru hari ini lagi dia datang mengunjungi wanita yang seharusnya dia panggil 'Mama'Sidang putusan Harmoni yang didakwa dengan tiga tuduhan sekaligus, yaitu penculikan dan penggelapan dana, dan pembunuhan tak disengaja memang masih belum diputuskan. Pengadilan baru memberi keterangan bahwa wanita paruh baya itu mungkin terancam hukuman lima belas tahun penjara dengan semua kejahatan yang sudah dilakukannya. Sebagai seorang istri dan ibu dia memang merasa sudah gagal. Meski, begitu. Sebagai seorang wanita, dia tak merasa demikian, karena selama delapan belas tahun terakhir dia mampu mewujudkan beberapa keinginan dan terbebas dari hubungan toxic yang membuatnya dengan nekad menghilangkan nyawa Reffrain. Suaminya sendiri. "Gimana keadaan Raga sekarang?" Pertanyaan itu terlontar saat mulut Harmoni, saat melihat putra bungsunya duduk di rua
"Gue baru dapet kabar kalau dini hari tadi Ny. Luisa bawa Melody pergi ke luar negeri!" Jazz menghampiri Oktaf di rumah Raga."Jadi, hubungan mereka bener-bener nggak bisa diperbaiki?" tanya Harpa yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama."Gue nggak tahu. Ini seminggu, kayaknya Raga juga masih terintimidasi dengan ancaman Ny. Luisa. Btw keadaan kakak lo gimana sekarang, Taf?"Oktaf menghela napas sebelum mengambil tempat di samping Jazz. "Udah 3 hari dia susah makan. Tiap tidur selalu ngigau nama Melody. Gue bingung harus bertindak gimana kalau dia udah kayak orang depresi."Duk! Duk! Duk!Suara kaki koper yang terantuk dengan tangga, sontak menginterupsi mereka. Oktaf, Jazz, dan Harpa langsung menoleh ke arah yang sama saat melihat Raga buru-buru menuruni tangga dengan penampilan rapi dan barang bawaannya."Loh, kok kalian belum siap-siap? Bukannya kita mau nyusulin Melody ke Meksiko?" Raga menatap bingung ketiganya.Sementara Oktaf, Jazz, dan Harpa hanya bisa saling menatap sat
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Alejandro yang berada di kompleks perumahan elite pusat kota. Oktaf, Jazz, dan Harpa, yang kini seolah tak terpisahkan, sesekali memerhatikan Raga yang begitu antusias untuk pertemuannya bersama Melody. Dua pekan serasa dua tahun, jelas terlihat di matanya pancaran kerinduan pada sosok yang sebelumnya hanya dianggap sebagai pelampiasan. Perlahan Raga sadari, bahwa kehadiran Melody lebih dari berarti. Dan dia membutuhkan perempuan itu lebih dari siapa pun di dunia ini. "Taf!" Jazz tiba-tiba menepuk bahu Oktaf yang tengah menyetir, dari belakang. Wajah lelaki keturunan bule itu tampak memucat. "Ada apa, Bro?" "Kayaknya kita harus puter balik sekarang!"Kini, giliran alis Oktaf yang menyatu. Harpa pun Raga tak kalah kebingungan. "Kenapa? Rumahnya udah di depan!" "Gue nggak bisa jelasin sekarang, pokoknya puter balik dulu!""Iya, tapi apa alasannya? Setidaknya kita harus tahu sebelum memutuskan kembali pul--""Jalan aja terus, Kal! Apa p
Dua minggu sebelumnya, di Warmindo Oktaf. Raga dan Melody duduk bersisian, begitu Oktaf meninggalkan mereka. Sesekali pasangan suami-istri itu beradu pandang, lalu kembali saling menghindar. "Aku harap kalau sampai kita nggak ditakdirkan buat bersama. Kakak bisa dapet seseorang yang mengerti Kakak, yang bisa bikin Kakak bahagia. Tapi, jujur. Aku berharap orang itu bukan Mbak Fiona." Melody memilin jemarinya yang tertaut di atas paha. Kalimat itu keluar seiring dengan air mata yang lolos dari pelupuknya.Raga menghela napas panjang mendengarnya. Mata lelaki itu sesaat terpejam sebelum menimpali ucapan Melody yang sebenarnya tak ingin dia dengar sama sekali, apalagi hal itu menyangkut Fiona. "Aku dan Fiona terikat karena hutang nyawa, Mel. Karena Reyhan. Sampai detik ini nggak ada rasa lebih selain dari tanggung jawab dan prihatin melihat kondisinya. Kalau bisa meminta, aku cuma ingin mengulang waktu. Memperbaiki apa yang udah kumulai, agar hubungan kita bisa lebih baik dari sebelumn
"Bisa berhenti natap gue nggak? Gue nggak akan ke mana-mana!" protes Oktaf yang risi dengan tatapan Raga yang seolah mengulitinya."Gue cuma takut ini mimpi atau halusinasi. Beberapa waktu lalu gue bahkan ngerasa udah gila.""Bang ...." Tatapan Oktaf meredup, begitu mendengar pengakuan Raga. Dia menghela napas, lalu kembali merangkul bahu kakaknya. "Kok, bisa, ya kita tercipta dari dua manusia toksik?" Pandangan Raga tampak lurus ke depan saat mengatakannya. "Udahlah, Bang. Sekarang, kan ada gue. Kita cuma perlu saling menjaga. Berdua, selamanya.""Nggak." Raga menggeleng yang membuat Oktaf kebingungan melihatnya. "Masih ada Melody. Apa pun yang terjadi gue harus bawa dia pul--""NGGAK! LEPAS SIALAN! SAYA NGGAK MAU IKUT. RAGAAA!""LIAT AJA NANTI, REYHAN PASTI AKAN MENJEMPUTMU KE NERAKA! DASAR LELAKI NGGAK BERGUNA!!""KAMU BAHKAN NGGAK PEDULI SAMA RAKA. DIA ANAK KITA, RAGA! RAKA ANAK KITA!"Suara ribut-ribut dari bawah menginterupsi kakak-beradik yang masih melepas rindu setelah bela
Kasus penculikan Melody dan Lyric yang pernah menggemparkan tanah air, tujuh belas tahun lalu akhirnya menemukan titik terang berkat kesaksian Ny. Luisa dan Oktaf alias Kala. Semuanya diperkuat dengan tertangkapnya dua orang komplotan yang membantu Harmoni untuk melancarkan aksinya. Beritanya tersebar nyaris di seluruh media dalam dan luar negeri. Kasus yang dulu sempat menggantung dan tak terpecahkan itu, belakangan ini menjadi buah bibir di mana-mana. Tak terasa sudah dua hari sejak penangkapan Harmoni di kediamannya. Oktaf yang masih terpukul dan mencoba menerima kenyataan yang ada, perlahan mulai bangkit. Dikumpulkanya serpihan harapan yang hancur di tangan ibu kandungnya sendiri. Sesak bercampur nyeri itu ia rasakan, saat potongan-potongan puzzle yang selama ini berserakan mulai tersusun kembali. Kilas balik kejadian masa kecilnya muncul perlahan, dimulai dengan pertengkarannya bersama Lyric, mendapatkan donor darah, sampai kejadian di gedung terbengkalai hingga divonis amnesi
"Putra bungsu Miss Harmoni dinyatakan meninggal tak lama setelah Lyric menghilang, kami sudah mengikutinya seminggu belakangan, dia bolak-balik rumah rumah sakit tapi masuk ke ruangan yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Baru-baru ini kami melacak ponselnya dan ada pembelian tiket ke Bali untuk 2 orang."Nyonya Luisa berdiri di samping sebuah makam bertuliskan *Kala Anugerah Purnama* feelingnya terasa kuat, meski habis otopsi rumah sakit menyatakan bahwa yang bersemayam di bawah tanah ini adalah anak haram putranya."Gali sekarang!" titahnya.Beberapa orang suruhan menurut. Mereka mulai menggali, sampai jasad yang baru 3 hari disemayamkan itu diangkat ke permukaan.Hujan turun begitu deras mengiringi penggalian ilegal yang dilakukan wanita dengan status tinggi ini. Bahkan guntur yang bersahutan sama sekali tak mengurungkan niatnya untuk mengungkap kebenaran.Seketika tubuh Nyonya Luisa jatuh bersimpuh di tanah begitu peti yang menutupi jasad bocah belia di dalamnya dibuka perlahan.
Aku lelah meratapi mendung yang payungi sudut kalbu ketika tahu langit biru terkadang berselimut awan kelabu.Aku tak peduli pada fajar yang membawa harapan baru bila di antaranya masih ada malam kelam yang senantiasa menitipkan rindu-rindu yang menyiksaku.Meski gerimis datang sesekali membasahi tandusnya hati. Kemarau yang seolah tak pernah usai tetap berhasil mengubur mimpi-mimpi yang selalu malam bawa pergi.Aku tak bisa terus-menerus mengharapkan empati dari hidup yang dijalani. Ketika luka-luka yang berusaha ditutupi justru menganga dalam diri.Pada semesta yang membawaku sampai ke titik ini. Aku menyerah pada harap yang selalu berakhir ratap.Oktaf menutup catatan terakhir dari buku harian Melody. Matanya memerah, jejak basah meninggalkan bekas di atas kertas dengan sampul merah muda itu.Tarikan napas panjang menandakan betapa sesak dadanya saat ini. Dia tak pernah menyangka bahwa catatan yang ditinggalkan Melody bukan sisa daftar yang harus dia kerjakan, melainkan buku haria
"Suntikan ini bila Melody mulai menggila, tambahkan dosisnya kalau dia meracau tentang kejadian penculikan. Mama sudah melakukannya selama belasan tahun, sekarang giliranmu yang melanjutkan, karena beberapa tahun lagi dia akan menjadi istrimu."Harmoni menjelaskan pada Raga setelah perempuan berambut cepak itu keluar dari dalam ruang kamar Melody."Kenapa kita nggak biarin dia tinggal di rumah sakit jiwa aja, sih, Ma? Bukankah lebih mudah kalau dia ditangani dokter?""Nggak bisa, Sayang. Kamu ingat saat dia hampir lompat dari atap gedung tinggi? Hendrix nggak mau ambil risiko lagi, jadi dia minta kita yang tangani, sementara Melody rawat idap aja sampe batas waktu yang belum bisa dipastikan.""Tapi dokter mengatakan kalau tindakan yang dia lakukan dipicu sesuatu? Dia dipengaruhi seseorang.""Udah jelas dipicu sesuatu. Dia, kan halu.Udah, ya, Ga. Ini keputusan Om Hendrix, kamu cuma menjalankannya. Inget, masa depan kita terjamin karena keluarga Alejandro. Yang perlu kamu lakukan cuma