Thania menelan salivanya dengan pelan lalu menatap wajah Hans. "Baiklah. Aku akan menemuinya besok."Hans menerbitkan senyumnya dan mengusapi lengan perempuan itu dengan lembut. "Oke. Nanti aku akan antar. Kamu harus menemuinya dan melihat kondisinya. Agar tidak menyesal, andai nanti umurnya sudah tidak ada."Thania menelan salivanya lagi. "Kondisinya benar-benar buruk?" tanyanya kemudian.Hans mengendikan bahunya. "Namanya jantung bengkak, suatu hari nanti bica bocor. Kalau sudah bocor, sulit disembuhkan. Penanganan dokter saja tidak cukup. Juga, harus segera diganti dalam waktu dekat."Thania manggut-manggut dengan pelan. "Penyebab utamanya karena alkohol?""Ya. Karena terlalu banyak minum alkohol."Thania menghela napasnya. "Ya sudahlah, mau gimana lagi. Dia sudah terlanjur sakit dan kini harus dirawat di rumah sakit. Andai pun dia divonis hukuman mati, ajalnya tetap akan tiba."Andai memang dia harus pergi di ruang ICU, bukan di persidangan, takdirnya memang hanya sampai di sana.
Sidang cerai Thania dan William akan dilangsungkan hari ini. Thania dan Hans sudah berada di pengadilan untuk menyaksikan secara langsung sidang tersebut.Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian duduk di kursi depan bersama dengan kuasa hukum William sebagai saksi atas sidang tersebut."Baik. Sidang akan dimulai sekarang," ucap hakim kemudian membacakan surat permohonan yang diajukan oleh Thania kepada pengadilan."Apakah benar, Saudara William telah melakukan hubungan badan dengan wanita lain selain Anda, Saudari Thania?" tanya hakim kepada Thania.Perempuan itu mengangguk. "Benar, Yang Mulia. Bahkan perempuan itu sengaja mengirimkan video itu kepada saya.""Baik. Sesuai dengan bukti yang sudah kuasa hukum Anda berikan kepada kami."Thania menghela napas kembali lalu menoleh pada Hans yang dengan setia menunggunya di sana."Pengajuan penggugatan cerai oleh Saudari Thania kepada Saudara William didasari karena terjadinya perselingkuhan di dalam rumah tangga itu. Maka, hakim m
William sudah dibawa ke rumah duka setelah dokter menyatakan dia telah meninggal dunia. Thania dan Hans pun ikut mengantarkan jenazah William ke sana.Banyak anggota keluarga William berbondong-bondong mendatangi rumah duka tersebut untuk melihat William yang terakhir kalinya."Turut berduka cita ya, Mas. Semoga William diberikan ketenangan di sana," ucap salah satu anggota keluarga William kepada James yang tengah berdiri di samping peti mati anaknya.James menoleh dan menganggukkan kepalanya. "Ya. Terima kasih," ucapnya dengan pelan.Satu persatu orang menghampiri James dan juga kedua anaknya yang ada di sana. Thania dan Hans duduk di kursi yang sudah disediakan di sana menunggu upacara kematian dilangsungkan."Kamu bicara apa saja ke William sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya?" tanya Hans ingin tahu.Thania menghela napasnya. "Bahwa aku memaafkan semua kesalahan yang dia perbuat meskipun dia tidak akan pernah mengatakan hal itu. Setelah itu, dia langsung menitikan air matan
Hari ini Hans akan pergi ke Bandung untuk menemui kedua orang tuanya hendak memberi tahu bahwa Olivia bukanlah pembunuh Erald."Aku pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku aja," ucap Hans pada Thania.Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans. Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah sampai Bandung, jangan lupa kabarin aku."Hans mengangguk lalu mengecup kening perempuan itu. Tak lupa juga mengusap perut buncit Thania."Aku berangat." Hans melambaikan tangannya pada Thania lalu beranjak pergi dari apartemen.Ia harus segera memberi tahu hal ini kepada Maria tentang kematian Erald yang mana lelaki itu bukan dibunuh oleh istrinya sendiri.Melainkan oleh William karena menginginkan proyek bernilai triliunan itu jatuh ke tangannya. Dengan cara yang sangat licik hingga meregang nyawa dua orang sekaligus."Halo, Pi. Aku di jalan, menuju ke Bandung. Papi ada di rumah, kan?" tanya Hans menghubungi sang papa."Iya, Nak. Papi ada di rumah. Ada mami kamu juga di sini.""Kondisi Ma
Di sebuah tempat yang begitu luas, hanya cahaya putih yang ada di sana. Maria menoleh ke arah kanan dan kiri, atas dan bawah. Tidak ada satu orang pun yang ada di sana, hanya dirinya."Di mana ini? Aku ada di mana?" gumamnya sembari memutar badannya mencari pintu keluar dan pergi dari sana."Kenapa aku tersesat di tempat seperti ini? Tempat apa ini? Aku tidak pernah ke sini sebelumnya," ucapnya lagi kemudian mengedarkan matanya kembali."Mami?"Maria menoleh cepat ke belakang. Mulutnya menganga menatap Erald yang tengah menggenggam tangan Olive."Erald?" ucapnya dengan pelan.Erald menerbitkan senyum kepada maminya itu. "Mi. Berhenti menangisi kepergianku. Jangan buat Hans dan Cyntia sedih karena kondisi Mami. Olive bukan pembunuh, dia juga korban."Selama ini Hans selalu mencari bukti tentang kematianku yang sebenarnya. Apa yang disampaikan oleh Hans itu benar. Mami harus sembuh, biarkan mereka bahagia. Hans ingin menikah, dia sudah dewasa."Olive tidak salah. Dia tidak pernah membun
Usia kandungan Thania sudah memasuki sembilan bulan. Perkiraan lahiran pun sudah disampaikan oleh dokter kandungan."Kami akan segera menjadwalkan operasinya," ucap dr. Lisa memberi tahu.Thania menghela napasnya dan menoleh pada Hans. Lelaki itu kemudian menggenggam tangan Thania, menguatkan perempuan itu seraya mengulas senyumnya."Jangan takut. Aku akan menemani kamu saat lahiran nanti. Aku akan ikut masuk ke dalam dan memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja," ucap Hans kemudian menghela napasnya.Thania dibawa ke ruang rawat sebelum nanti dibawa ke ruang operasi setelah sudah jadwalnya. Ia tidak bisa melahirkan secara normal sebab kondisinya yang tidak memungkinkan untuk lahiran secara normal."Hans. Jangan ke mana-mana. Ayah dan Ibu juga. Aku mohon, kalian temani aku," mohon Thania.Hans mengusapi lembut punggung tangan wanita itu dan mengangguk. "I'm here, Thania. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja."Thania mengulas senyumnya kepada lelaki itu. Ia lalu menoleh ke a
Cyntia mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan maminya itu. "Nggak kok. Belum. Nggak langsung nyusul kalau nanti Kak Hans dan Kak Thania udah nikah."Maria mencebikan bibirnya. "Masa? Kenapa mesti ditunda? Biar sekalian aja, nanti.""Tahun depan deh." Cyntia kemudian menerbitkan cengiran kepada Amar yang hanya bisa mesem-mesem salah tingkah lalu mengangguk."Nyari waktu yang tepat dulu, Tante. Dan tabung uang juga buat biaya pernikahannya," ucap Amar kemudian mengulas senyumnya.Maria kemudian mengusapi lengan calon menantunya itu dan tersenyum kepadanya. "Kapan pun itu, asalkan kamu sudah siap. Karena sama saja kalau buru-buru tapi belum siap.""Iya, Tante. Terima kasih, sudah memberikan saya waktu untuk menyiapkan semuanya."Maria mengangguk dan tersenyum kepada lelaki itu. Keduanya kembali duduk di sofa menunggu sampai Thania siuman.Sementara Cyntia menghampiri keranjang bayi untuk melihat bayi mungil jenis kelamin laki-laki yang sudah ditunggu oleh banyak orang akan kehadirannya
Esok harinya, Thania sudah diperbolehkan pulang oleh dokter setelah kondisinya dirasa sudah membaik."Baby-nya biar aku aja yang gendong. Kamu masuk mobil duluan aja, yaa," ucap Hans yang baru saja mengurus administrasi pembayaran biaya Thania selama di rumah sakit.Thania mengangguk. "Iya, Hans." Ia kemudian berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di depan loby menunggunya dan juga Hans.Thania masuk ke dalam mobil, disusul oleh Hans dan keduanya pun meninggalkan rumah sakit.Thania kemudian mengusapi kepala anaknya yang tengah digendong oleh Hans lalu mengulas senyumnya."Anteng banget yang habis minum susu," ucap Thania lalu mengadahkan kepalanya menatap Hans."Masih anteng karena masih bayi. Kalau udah gede, jangankan tidur, suruh mandi aja pasti susahnya minta ampun."Hans terkekeh pelan. "Akan melewati masa-masa itu, Hans. Kamu akan menemaninya, kan?"Hans mengusap sisian wajah perempuan itu dan mengangguk. "Tentu saja. We are get married. Tentu, akan menemani kamu menjaga Ba
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani