Di sebuah tempat yang begitu luas, hanya cahaya putih yang ada di sana. Maria menoleh ke arah kanan dan kiri, atas dan bawah. Tidak ada satu orang pun yang ada di sana, hanya dirinya."Di mana ini? Aku ada di mana?" gumamnya sembari memutar badannya mencari pintu keluar dan pergi dari sana."Kenapa aku tersesat di tempat seperti ini? Tempat apa ini? Aku tidak pernah ke sini sebelumnya," ucapnya lagi kemudian mengedarkan matanya kembali."Mami?"Maria menoleh cepat ke belakang. Mulutnya menganga menatap Erald yang tengah menggenggam tangan Olive."Erald?" ucapnya dengan pelan.Erald menerbitkan senyum kepada maminya itu. "Mi. Berhenti menangisi kepergianku. Jangan buat Hans dan Cyntia sedih karena kondisi Mami. Olive bukan pembunuh, dia juga korban."Selama ini Hans selalu mencari bukti tentang kematianku yang sebenarnya. Apa yang disampaikan oleh Hans itu benar. Mami harus sembuh, biarkan mereka bahagia. Hans ingin menikah, dia sudah dewasa."Olive tidak salah. Dia tidak pernah membun
Usia kandungan Thania sudah memasuki sembilan bulan. Perkiraan lahiran pun sudah disampaikan oleh dokter kandungan."Kami akan segera menjadwalkan operasinya," ucap dr. Lisa memberi tahu.Thania menghela napasnya dan menoleh pada Hans. Lelaki itu kemudian menggenggam tangan Thania, menguatkan perempuan itu seraya mengulas senyumnya."Jangan takut. Aku akan menemani kamu saat lahiran nanti. Aku akan ikut masuk ke dalam dan memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja," ucap Hans kemudian menghela napasnya.Thania dibawa ke ruang rawat sebelum nanti dibawa ke ruang operasi setelah sudah jadwalnya. Ia tidak bisa melahirkan secara normal sebab kondisinya yang tidak memungkinkan untuk lahiran secara normal."Hans. Jangan ke mana-mana. Ayah dan Ibu juga. Aku mohon, kalian temani aku," mohon Thania.Hans mengusapi lembut punggung tangan wanita itu dan mengangguk. "I'm here, Thania. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja."Thania mengulas senyumnya kepada lelaki itu. Ia lalu menoleh ke a
Cyntia mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan maminya itu. "Nggak kok. Belum. Nggak langsung nyusul kalau nanti Kak Hans dan Kak Thania udah nikah."Maria mencebikan bibirnya. "Masa? Kenapa mesti ditunda? Biar sekalian aja, nanti.""Tahun depan deh." Cyntia kemudian menerbitkan cengiran kepada Amar yang hanya bisa mesem-mesem salah tingkah lalu mengangguk."Nyari waktu yang tepat dulu, Tante. Dan tabung uang juga buat biaya pernikahannya," ucap Amar kemudian mengulas senyumnya.Maria kemudian mengusapi lengan calon menantunya itu dan tersenyum kepadanya. "Kapan pun itu, asalkan kamu sudah siap. Karena sama saja kalau buru-buru tapi belum siap.""Iya, Tante. Terima kasih, sudah memberikan saya waktu untuk menyiapkan semuanya."Maria mengangguk dan tersenyum kepada lelaki itu. Keduanya kembali duduk di sofa menunggu sampai Thania siuman.Sementara Cyntia menghampiri keranjang bayi untuk melihat bayi mungil jenis kelamin laki-laki yang sudah ditunggu oleh banyak orang akan kehadirannya
Esok harinya, Thania sudah diperbolehkan pulang oleh dokter setelah kondisinya dirasa sudah membaik."Baby-nya biar aku aja yang gendong. Kamu masuk mobil duluan aja, yaa," ucap Hans yang baru saja mengurus administrasi pembayaran biaya Thania selama di rumah sakit.Thania mengangguk. "Iya, Hans." Ia kemudian berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di depan loby menunggunya dan juga Hans.Thania masuk ke dalam mobil, disusul oleh Hans dan keduanya pun meninggalkan rumah sakit.Thania kemudian mengusapi kepala anaknya yang tengah digendong oleh Hans lalu mengulas senyumnya."Anteng banget yang habis minum susu," ucap Thania lalu mengadahkan kepalanya menatap Hans."Masih anteng karena masih bayi. Kalau udah gede, jangankan tidur, suruh mandi aja pasti susahnya minta ampun."Hans terkekeh pelan. "Akan melewati masa-masa itu, Hans. Kamu akan menemaninya, kan?"Hans mengusap sisian wajah perempuan itu dan mengangguk. "Tentu saja. We are get married. Tentu, akan menemani kamu menjaga Ba
Tidak terasa, satu minggu sudah, usia Devandra saat ini. Thania ditemani oleh sang ibu merawat bayinya, juga Hans yang selalu menemaninya di sana."Kamu mandi dulu aja. Biar Devandra Ibu mandikan," ucap Ima kepada Thania yang baru bangun dari tidurnya."Bentar dulu, Bu. Mau lihat bayiku yang udah bangun lebih dulu dari mamanya," ucapnya kemudian menerbitkan senyumnya kepada anaknya itu. "Selamat pagi, baby boy.""Udah, sana. Mandi dulu. Kalau sudah mandi, seger nanti.""Iya, iya. Ini mau mandi." Thania kemudian beranjak dari tempat tidur kemudian menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan Hans."Hans di mana, Bu?" tanya Thania kemudian."Ada meeting mendadak katanya. Makanya langsung pergi, sekitar lima belas menitan lah."Thania manggut-manggut dengan pelan kemudian mengambil ponselnya. Ia tahu, Hans selalu mengirim pesan padanya jika tidak berpamitan terlebih dahulu.Thania lalu menerbitkan senyumnya kala melihat beberapa pesan masuk dari calon suaminya itu. Sudah dipastikan, dia
Hari di mana yang dinanti-nanti oleh Hans dan Thania telah tiba. Keduanya akan mengikrarkan janji suci di depan imam dan para saksi yang akan menyempurnakan kisah cinta mereka berdua."Thania ...." Winda menghampiri perempuan itu yang tengah duduk di tepi tempat tidur yang sudah dibalut oleh gaun pengantin berwarna putih, menunggu waktunya tiba.Thania menoleh kemudian menerbitkan senyumnya. "Wind."Winda memeluk perempuan itu dan mengulas senyumnya. "Congrats, ya. Akhirnya elo dan Hans udah mau nikah, bentar lagi. Dalam hitungan menit."Thania mengangguk. "Iya, Wind. Gue nggak pernah nyangka juga, kalau ternyata pilihan terakhir gue adalah sahabat gue sendiri.""Nggak apa-apa. Wajar aja, mau siapa pun juga. Yang penting elo nyaman, sayang dan tentunya diperlakukan dengan baik."Thania mengangguk dan menghela napasnya dengan panjang. "Hans lebih dari sekadar baik, Wind. Dia udah buat gue yakin untuk melangkah dan menikah lagi. Gue yakin, Hans akan jadi pelabuhan terakhir gue.""Amin.
Dua minggu kemudian ….Hari yang ditunggu oleh Hans akhirnya tiba. Ia sudah tidak sabar ingin menikmati hal yang sudah bisa dia lakukan sejak pertama kali mereka mengikat janji suci.Sayangnya, Thania yang baru melahirkan tidak dapat ia sentuh dan harus menunggu waktu tersebut.“Hans?” panggil Thania yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.Lelaki itu menoleh kemudian mengulas senyumnya. Lingerie merah cerah transparan, memperlihatkan lekuk tubuh indah Thania membuat hasrat Hans semakin menggelora.Perempuan itu menghampiri suaminya lalu duduk di samping lelaki itu.“You look so beautiful, Sayang,” ucap Hans dengan suara lembutnya. Tangannya mengusapi sisian wajah perempuan itu. “Ready, hm?” bisiknya kemudian.Thania mengangguk dengan pelan. “Ya. I’m ready.”Hans kemudian meraup bibir perempuan itu penuh. Tangannya meremas gumpalan kenyal itu dengan gemas. Tidak ingin satu pun anggota tubuhnya menganggur, Hans melakukan permainan itu dengan sangat riang dan lincah.Meski baru per
Thania terkekeh pelan. “Candu banget, yaa?”Hans mengangguk. “Udah sah juga. Ngapain harus nolak? Kecuali kamu lagi sakit, halangan dan sebagainya.”“Hemm!”Hans kemudian mencium kening perempuan itu dengan tangan mengusapi dada Thania.“Besok, aku harus ke Amerika. Ada beberapa dokumen yang harus aku tanda tangani dan tidak bisa diwakilkan.”Thania menoleh dan menatapnya. “Berapa lama?” tanyanya ingin tahu.“Hanya satu minggu. Setelah itu, aku langsung pulang. Dan ….”“Dan apa?” ucap Thania.Hans menerbitkan senyumnya kepada istrinya itu. “Wanna play with you, Honey!” ucapnya lalu meraup bibir perempuan itu dengan penuh.Thania menatap wajah Hans lalu mengulas senyumnya. Memegang tangan lelaki itu dan menghela napasnya."Masih belum puas, hem?" tanya Thania dengan lembut.Hans kemudian menenggelamkan wajahnya di dada Thania hingga membuat perempuan itu terkekeh pelan."Satu minggu di Amerika, dan baru main ini sama kamu. Rasanya nggak bisa fokus, Sayang," ucapnya kemudian mencium dad
Hans kemudian mengecup kening perempuan itu lalu mengusapinya dengan lembut. Menatap wajah Thania penuh dengan cinta."Jauh dari kamu itu aku gak bisa. Apalagi di saat-saat seperti ini. Aku akan selalu ada di samping kamu, Sayang. I'm promise."Thania menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans.""Kalian ini. Udah mau punya anak dua pun masih saja romantis-romantisan. Bener-bener pasangan romantis," celetuk Maria menggoda anak dan menantunya itu yang menebar keromantisan di depan mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.Hans menerbitkan senyumnya. "Anak itu pelengkap rumah tangga. Untuk romantis pada pasangan itu wajib. Supaya tetap harmonis dan langgeng.""Amin. Memang kamu ini dari dulu pun sangat peduli pada Thania. Apalagi sekarang, sudah jadi istrinya.""Itu Mami tahu. Masih aja komentar kalau lihat aku memperlihatkan kepedulian aku pada Thania."Maria terkekeh pelan. "Nggak nyangka aja. Kamu akan tetap seperti ini kepada Thania. Tidak pernah malu memperlihatkan keromantisan di mana pun d
Hans mengangguk dan mengulas senyumnya. "Pasti! Terima kasih, sudah mempercayakan aset ini kepada Devan, Kak Thomas. Aku akan menjaga rumah sakit ini dengan baik sampai Devan dewasa dan berhak tahu akan hal ini." "Terima kasih, Hans. Jaga Thania dan Devan dengan baik, sayangi mereka. Jangan pernah mengecewakan mereka. Kamu sudah Tuhan takdirkan untuk menjaga keponakan kami." Hans kembali tersenyum dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku akan memegang teguh janjiku pada Tuhan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindungi mereka. Aku pastikan, mereka selalu bahagia." Thomas menganggukkan kepalanya. "Jangan pernah lupakan kami, Thania. Kami akan selalu menyayangi kamu juga menganggap kamu sebagai keluarga kami. Jangan pernah lupakan itu." "Iya, Kak. Kakak jaga diri, ya. Semoga keluarga Kakak selalu dalam lindungan Tuhan. Dan sekali lagi terima kasih untuk aset yang diwariskan kepada Devan. Seharusnya kalian tidak usah repot-repot memberikan ini." "No problem. Sudah seharusnya Devan mendapatka
Pukul 07.00 Pagi.Thania mengikuti saran dari Hans untuk memeriksa kehamilannya menggunakan alat tes kehamilan. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan menunggu hasil tersebut.Tampak perempuan itu menghela napasnya dengan panjang sembari menunggu hasilnya keluar. Setelah lima menit, Thania mengambil alat tersebut dan melihat hasilnya.Thania tersenyum kala melihatnya. Ia pun keluar dari kamar mandi dan menghampiri Hans yang tengah mengenakan kemeja kerjanya."Hans?" panggil Thania dengan suara lembutnya."Hows, Honey?" tanya Hans yang sudah tidak sabar ingin tahu hasilnya.Thania menerbitkan senyum kepada suaminya itu. "Seperti yang kamu duga. Dua garis.""Serius?" tanya Hans begitu antusias.Thania mengangguk. "Ya! You're gonna be a father."Spontan lelaki itu memeluk sang istri. Betapa senang ia rasakan karena hasil yang memang sangat ia harapkan."Kita ke rumah sakit sekarang, ya," ucap Hans dengan lembut.Thania mengangguk. "
Ia lalu duduk kembali dan menatap sang anak yang tengah menatap paman yang tidak ia ketahui itu."Baik. Kamu apa kabar? Ini, anak kamu?"Thania mengangguk. "Aku baik. Dan ya, dia Devan. Zayden Devandra. Anakku."Thomas tersenyum lirih kemudian menatap sayu wajah keponakannya itu. "Kamu tampan sekali, Nak. Matamu, mirip sekali dengan ayahmu."Thania tersenyum tipis. Memang, mata Devan sangat mirip sekali dengan William. Dan itu tidak bisa dia pungkiri."Maafkan kami, karena tidak pernah mengunjungi kamu. Semenjak ditinggal Mami, kondisi Papi semakin drop. Sakit-sakitan."Thania menutup mulutnya. "Kak. Kakak serius?"Thomas mengangguk. "Iya. Bukannya kami tidak ingin menjenguk kamu dan melihat anak kamu. Tapi, aku tidak punya waktu, Papi sakit dan Andrew sedang ada masalah dengan istrinya."Kami hancur, Thania. Perusahaan yang dipegang oleh William ditutup karena banyak kasus di dalamnya termasuk kematian Erald, kakaknya Hans. Me
Hans lalu menarik wajah perempuan itu dan kembali meraup bibirnya dengan lembut. Menyesapnya penuh dengan nafsu dengan tangan bergelirya di atas gundukan kenyal nan padat itu hingga membuat Thania membusung spontann merasakan tangan kekar itu menyentuhnya.Tubuhnya kini dibawa di atas tempat tidur. Merebahkan tubuh perempuan itu kemudian menurunkan kepalanya dan kini tengah berada di depan kedua gundukan itu dan menyesapnya satu persatu dengan lembut.“Euumpphh!” lenguhnya seraya mencengkeram erat sprei yang ada di sampingnya.Isapan yang penuh itu membuat gairah Hans semakin bangkit. Telinganya yang sedari tadi mendengar desahan dari mulut Thania semakin membuatnya tak karuan.Ia lantas menyelesaikan permainan di atas gundukan kenyal itu. Hendak membawa masuk miliknya ke dalam goa yang pernah terbawa mimpi karena ingin merasakannya lagi.Hans menyatukan dirinya di bawah sana dengan mata menatap wajah Thania yang sudah bersiap merasakan gempuran
Satu tahun kemudian ....Hari ini adalah hari ulang tahu Devan yang kesatu. Perayaan yang begitu mewah dan megah di sebuah hotel yang ada di kota tersebut.Para tamu undangan sudah hadir memberikan selamat kepada Devan yang kini sudah menginjak satu tahun."Selamat ulang tahun untuk anaknya, Pak Hans," ucap salah satu tamu memberikan selamat kepada Hans untuk Devan."Terima kasih, Pak. Terima kasih juga sudah hadir di acara ulang tahun anak kami," ucapnya sembari tersenyum kepada lelaki itu.Sebuah lagu dinyanyikan dalam acara yang sudah dimulai itu. Thania tampak bahagia menyanbut hari ulang tahun anaknya tersebut."Nggak kerasa ya, udah satu tahun aja usia Devan. Perasaan baru kemarin, masih merangkak. Sekarang udah mulai bisa jalan," ucap Maria kepada anaknya itu.Hans menganggukkan kepalanya. "Iya, Mi. Dan bentar lagi Cyntia mau punya anak. Nanti disusul Thania satu tahun lagi.""Mau kasih adek buat Devan ceritanya?" tanya Maria kemudian.
Makan malam pun sudah tidak berselera lagi. Hans pun beranjak dari duduknya dan menghampiri Thania yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.Tampak perempuan itu tengah melipat pakaian milik Devan sembari duduk di sofa dekat lemari anaknya itu.Hans lalu menghampirinya. Duduk di samping perempuan itu sembari menghela napasnya dengan panjang."Maaf, karena sudah buat kamu jadi emosi dan marah padaku. Tapi, sumpah demi Tuhan aku tidak punya pikiran seperti itu. Jangan marah lagi. Kita cari solusi sama-sama, ya."Thania hanya menelan salivanya. Masih belum mau mengeluarkan satu kata pun kepada suaminya itu."Thania. Berapa pun biaya yang mesti kita keluarkan, aku akan menyanggupinya. Jangan marah lagi, yaa. Apalagi berpikir seperti ini. Aku mohon, Thania."Hans menggenggam tangan Thania agar dia mau bicara dengannya. Menaruh baju Devan di depan lalu menatap perempuan itu dengan lekat."Please!" ucapnya dengan pelan.Thania menelan salivanya dengan pelan. "Aku bingung, Hans. Aku takut.
Tiga hari kemudian, ada panggilan telepon dari dr. Fahmi di ponsel Hans. Ia lalu segera menerima panggilan tersebut sebab sudah tahu, bila lelaki itu akan memberi kabar tentang diagnosa Devan."Selamat siang, Dok.""Selamat siang, Pak Hans. Maaf, mengganggu waktunya. Saya ingin memberi tahu kalau hasil scan Nak Devan sudah keluar. Apakah bisa bertemu sekarang?""Bisa, Dok. Bisa. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang juga.""Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kedatangannya, Pak Hans. Terima kasih."Hans kemudian menutup panggilan tersebut hendak menghubungi Thania memberi tahu hal ini."Halo, Sayang. Kamu lagi apa?" tanyanya setelah Thania menerima panggilan tersebut."Lagi menyusui Devan. Kenapa, Hans?"Lelaki itu menghela napasnya dengan panjang. "Hasil scan Devan sudah ada, Than. Hari ini, dr. Fahmi mengajak kita untuk bertemu di sana."Thania menelan salivanya dengan pelan. "Ya sudah. Kamu sibuk nggak, hari ini? Kalau sibuk, biar aku saja yang ke sana.""Nggak. Aku jemput kamu se
Usai pulang dari rumah sakit, meski belum mendapatkan hasilnya, tetap saja membuat hati Thania tidak tenang karena ucapan dr. Fahmi tadi.Thania kemudian menghela napasnya dengan pelan. Hans menghampiri perempuan itu dan duduk di sampingnya.Mencium bahu istrinya itu lalu menatapnya dengan lembut."I'm here, Thania. Jangan takut, menghadapi ini sendirian. Ada aku yang akan menemani kamu menghadapi ini semua. Andai pun memang harus menderita penyakit seperti ayahnya, kita akan menyembuhkannya sampai sembuh. Oke?"Thania tersenyum tipis dan mengangguk dengan pelan. "Iya. Aku akan mencari cara apa pun itu. Bantu aku membesarkan dan menyembuhkan Devan, Hans."Lelaki itu mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya, Sayang. I'm promise." Hans mengusapi sisian wajah perempuan itu lalu mengecup keningnya dengan lembut."Aku nggak pernah menganggap Devan anak tiriku, Thania. Dia sudah aku rawat sejak masih dalam kandungan. Bahkan yang menemani saat dia keluar dari rahim kamu pun aku, yang menemani