[Pagi Manis bagaimana kabarmu?]
[Aku mau telfon, angkat ya]
Ada dua pesan masuk dari nomor baru saat Nayla membuka aplikasi pesan. Dia bergeming, tidak tahu dari siapa. Jika melihat foto profil si pengirim sepertinya pernah melihat, tapi lupa dimana-nya dan siapa.
Ketika baru selesai membaca, nomor baru yang sudah satu jam lalu kirim pesan tiba-tiba melakukan panggilan vidio. Meski belum tahu siapa orang di seberang sana, Nayla tetap mengangkat panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, Manisnya Dimas," sapa seseorang itu.
"W*'alaikumsalam." Menyerngit, merasa kenal, tapi lupa siapa perempuan yang sedang melakukan panggilan vidio dengannya.
'Siapa orang ini? Kok mengatakan aku manisnya Dimas?' batinnya menerka-nerka.
"Ngapain aja sih Say di rumah?" tanya Mita penasaran.
Nayla hanya sedikit
Agus melambatkan laju motornya, lalu detik berikutnya menepi,"mampir ke Sunn Mall dulu mau ndak?" tanyanya sembari menoleh belakang. Yang ditanya hanya tersenyum, "manut (ikut) Mas saja." 'Yes,' sorak Agus dalam hati. Sejuk rasanya hati Agus, melihat senyum manis Nayla dari jarak sedekat ini. Pikirannya dipenuhi rasa ingin segera memiliki gadis ayu yang ada dalam boncengannya. Agus hari ini sedang tidak ada kerjaan alis libur dari rutinitas kesehariannya sebagai seorang supir. Dari semalam sudah berencana ingin mengunjungi calon istri serta mengajak ke rumah orang tuanya, tapi di tengah perjalanan muncul ide dadakan untuk mengajak Nayla mampir ke Sunn Mall, pusat tempat belanja terbesar di kota kelahira Nayla, sekedar untuk jalan-jalan sembari melakukan pendekatan. Setelah mendapat jawaban dari calon istri, Agus kembali melanjutkan perjalan ke Sunn Mall yan
Hatinya terasa berbunga-bunga,senyum pun senantiasa merekah disepanjang perjalanan. Keinginan untuk berdua dengan gadis ayu nan manis yang sudah empat hari terakhir ini terus saja membayangi pikirannya hingga sulit untuk memejamkan mata telah kesampain l. Pagi ini, dia mendapatkan izin dari calon mertua untuk membawa calon istri manisnya ke rumah dengan alasan orang tuanya kangen ingin jumpa, padahal dirinya yang sudah sangat rindu ingin terus berdekatan serta memandang wajah ayu itu. Tin ... tin ... tin ... Bunyi klakson motor yang Agus kendarai mewakili sapaannya kepada segerombolan pemuda yang sebagian adalah teman-temannya sedang nongkrong di warung kopi pinggir jalan sebelah kiri sebelum pertigaan menuju ke rumah orang tuanya. Kompak segerombolan pemuda yang tengah duduk di luar warung ditemani segelas kopi hitam menoleh ke asal suara motor yang sedang lewat. "Agus?" ucap mereka serempak.
Saat Nayla baru ke luar dari kamar mandi dengan menenteng ember dan kain pel, samar-samar terdengar ketukan di pintu depan. Dia melangkah lebar setelah menaruh barang bawaannya karena ketukan di luar tak kunjung ada yang menemui. "Pantesan," gumamnya, melirik Agus yang tengah tidur di sofa ruang tengah. "Nganggur gak? Eh." Terlihat kaget saat Nayla yang muncul di balik pintu."Anu, A-Agusnya ada?" ucapnya terlihat kikuk. "Ada." Melanjutkan membuka pintu, lalu mempersilakan seseorang itu untuk masuk, tapi ditolak dan hanya memintanya untuk memanggil Agus. "Untung nggak langsung nyelonong," gumamnya. Basanya kalau ada perlu dengan Agus, dia langsung masuk, tapi kali ini tidak karena saat melepas sandal, melihat ada sandal perempuan. 'Siapa ya? Kok baru lihat,'batin Anton. "Mas, ada tamu," ucapanya pelan dengan menggoyang-goyangkan lengan Agus. "Hem ...." Yang dibangunkan hanya mengeluarkan suara khas orang masih ngantuk berat.
Sinar Mentari telah digantikan Sang Rembulan. Aktivitas Dimas pun tlah berganti tempat. Halaman sebuah toko material menjadi lokasinya berjualan, seperti biasa. Sebelumnya berkali-kali pindah posisi, tapi semenjak dirinya dan Dian ikut berjualan, pak Wawan memilih lokasi itu hingga sekarang. Selama Dimas dan Dian ikut membantu berjualan hampir tidak pernah sepi pembeli, selalu saja ada sepasang, dua pasang bahkan segerombolan muda-mudi maupun satu keluarga berdatangan, tidak seperti saat pak Wawan masih berjualan bersama istrinya, cukup sepi. Tak lupa juga keduanya merekomendasikan kepada teman-teman kampus, serta lokasi yang dipilih saat ini cukup dekat dengan tempat kost baru yang setahun lalu selesai dibangun, dan penghuninya sudah menjadi pelanggan nasi goreng pak Wawan. "Mas, 2 porsi yang pedes ya," kata seorang pembeli kepada Dian. "Ditunggu ya Mas," jawab Dian diiri
Matahari saja baru perlahan muncul dari persembunyiannya, tapi di salah satu kamar kost di lantai dua milik pak Wawan sudah ada hati yang gelisah tanpa tahu sebabnya. Tidak hanya hati, pikirannya pun tidak tenang, entah karena apa, yang mengalami pun bingung. Bukannya merasa tenang selesai menunaikan kewajiban Subuh, melainkan kegelisahan tanpa sebab. 'Ini akan ada apa lagi ya? Ya Allah, mohon beri ketenangan di hati ini,' lirihnya, semakin gelisah. Sudah beristigfar berulang, bermohon pada Yang Maha Kuasa, tapi tetap saja rasa gelisah tak kunjung mereda membuat pikirannya semakin menerka ini-itu. Biasanya disetiap hari minggu pagi, selesai menunaikan kewajiban dia langsung pulang dan pagi ini tidak, ada rasa khawatir kalau terjadi hal yang tidak diinginkan di jalan karena rasa gelisah yang tanpa sebab ini. Sudah lebih dari
"Nih lihat. Nunik sudah menunggu di rumah." Menyodorkan handphonenya. Nayla pun melihat layar handphone yang tengah menyala itu. Ternyata benar, Agus kali ini tidak berbohong. Tadinya dia ragu serta ingin menolak saat diajak ke rumah calon mertua. Khawatirnya kejadian kemarin terulang lagi. "Maaf Mas," lirihnya, merasa tak enak. "Ndak papa. Bapak dan ibu masih lama?" "Ninggal pesan ke Novi saja, pulangnya mungkin menjelang bedug," jawab Nayla. Meski Agus saat ini tidak beralasan seperti kemarin. Entah kenapa Nayla tetap merasa gelisah, ditambah lagi di sana ada saudaranya. Walau banyak pertanyaan di kepala, ia tetap diam dan menurut. Tak hanya gelisah yang Nayla rasakan untuk saat ini, apalagi ketika penglihatannya menangkap dua orang tengah duduk, seolah sedang menunggu kedatangannya di teras depan. Dadanya berdebar keti
Hardi mengepalkan kedua tangan, giginya saling menyatu, geram. Helaan nafasnya pun memburu serta dadanya bergemuruh dengan tatapan tajam tertuju pada keponakan yang tengah duduk menyendiri di bangku panjang teras samping. Tanpa mendekat, ia sudah tahu kalau Nayla tengah bersedih. Beberapa hari yang lalu hatinya sedikit lega saat melihat Nayla telah kembali tersenyum, meski tidak sempurna karena sudah ada keceriaan dengan menyibukkan diri ikut orang tuanya ke kebun belakang rumah maupun yang di pembatas desa. Tapi, seharian tadi dia berulang kali mendapati keponakannya kembali seperti sebelumnya, menyendiri serta melamun dengan tangis tanpa suara. Setelah menetralkan gemuruh di dada, dia beranjak masuk melewati pintu depan. Tanpa memperdulikan beberapa saudara pak Supri yang jumpai tengah berbincang-bincang di ruang tamu, dia langsung masuk mencari keberadaan Novi. "Hp Mbak Ela ada dikamar ndak Nov?" Langsung mengutarakan maksudnya saat sudah menjumpai N
"Mau kemana Kak?" Bingung saat Dimas menariknya dan entah akan diajak kemana. "Ikut aja ya, Yank." Menarik tangan Nayla lalu mengajak pergi dengan langkah lebar. Nayla tetap menurut mesti hatinya bertanya-tanya. "Naik dan pakai ini." Menyodorkan helm. Nayla menerima helm tersebut, lalu memakainya tanpa bersuara. 'Maafkan aku yank, terpaksa aku lakukan ini karna aku tak ingin jauh darimu.' 'Aku mau di ajak ke mana ya?' Batinnya bertanya-tanya. Setelah satu jam perjalanan, kini keduanya sampai tujuan. Tapi, Nayla sama sekali tidak tahu dengan tempat yang ada di depannya saat ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, tapi urung untuk masih diucapkannya. Dimas meraih tangan Nayla, lalu di genggamnya. Kemudian berucap pelan, setelahnya melangkah
"Baru pulang?" tanya pak Kusdi yang baru berhenti, lalu turun dari motor."Nggeh Pak. Ngisi juga," jawab Agus sembari melihat jok motor pak Kusdi yang langsung dibuka.Pak Kusdi mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam toko, mungkin ingin membeli sesuatu sekalian mengisi bahan bakar kendaraannya."Pantesan yang di rumah keenakan ketemuan setiap pagi, tambah lengket juga ke adiknya. Lha ditinggalnya seharian sih, tiap hari pula. Ck." Berdecak dan menggeleng, lalu melanjutkan gumamannya. "Ndue bojo seh bocah yo ngonolah, seh kakean polah (punya istri masih remaja ya begitulah, pastinya kebanyakan tingkah). Hn, begituhlah kalau sudah menampik yang sudah jelas tahu ini-itu, tapi yang didapat malah bocah. Bocah ngono wae ko nggolekine adoh-adoh." Bu Wati dengan sengaja bergumam seperti itu serta sekilas melirik sinis saat Agus tengah memundurkan motor sebelum meninggalkan lokasi karena masih menunggu kembalian dari si penjual bensin. Meski hanya gumaman, tapi Agus sebenarnya mendengar se
"Kenapa bisa tumpah?" tanya Nayla sembari membalikkan panci berisi mie rebus yang telah tumpah diatas kompor. "Bisalah," sahut Andi sembari terus meniup jari tangannya yang masih terasa panas akibat memegang panci tanpa alas."Kok sampai pancinya tengkurep seperti ini," gumam Nayla pelan, tapi masih bisa didengar oleh Andi yang memang masih berdiri tak jauh jadi tempat Nayla berdiri. "Bisalah, kan tadi panas banget Nay," sahut Andi cepat.Mendengar sahutan Andi, Nayla langsung menoleh. "Ngangkatnya ndak pakai lap? Trus karena panas langsung pancinya kamu lempar?"Andi langsung mengangguk, sedangkan Nayla menggeleng. "Kan ada lap di dekat kompor. Kalau langsung kamu pegang emang panas banget. Ap .…""Ndak kepikiran, keburu laper Nay," sahut Andi cepat, memotong ucapan Nayla sembari melangkah, sepertinya ingin duduk. Nayla menghela nafas dan menggeleng mendapati tindakan ceroboh iparnya yang kini sudah mulai duduk. Lalu, mengambil segelas susu coklat yang sudah dibuat sendiri di ata
Dimas menghela nafas dan menggeleng ketika masuk kamar karena kembali mendapati pemandangan yang sama. Dian masih saja setia rebahan dari sebelum ia mandi hingga sekarang. Sudah jadi kebiasaan teman satu kamarnya itu kalau hari libur. Seperti pagi ini, bermalas-malsan sembari mendengarkan musik dari aplikasi Yu Kub. Walau menangis pilu hati ini Sayangku akan tetap abadi Sampai akhir masa kan kunanti Hanya kau yang aku sayangiPemuda yang sedang tengkurap di pembaringan itu ikut menyanyikan lagu yang sedang terputar. Sumpah mati bukan maksud di hati Tuk meninggalkan dirimu oh kasih Kumelangkah pergi karna janji Usah kasih engkau bersedih Cintaku suci … hanya satu untuk dirimu Ku percaya padamu … kasih ku akan menunggumuLanjutnya diikuti gerakan menikmati musik. Namun, Dimas justru diam ditempat begitu mendengar lirik, 'cintaku suci … hanya satu untuk dirimu.' Bibirnya pun siap bergetar andaikan tidak segera digigitnya kuat.Entah kenapa dengan hatinya yang begitu sensitif sa
'Katanya sudah dapat menantu cantik, rajin, baik, ini-itu ada semua, tapi anaknya kok masih jalan sama mantan. Itu si mantu masih ada yang kurang atau justu anaknya yang masih menginginkan mantan?''Mantunya tetangga yang sering kalian banggakan itu.'Ucapan bu Wati tadi, sebelum acara Istigosah yang rutin diadakan setiap hari Sabtu dimulai kembali berputar. Entah kenapa kalimat itu seolah-olah ditunjukkan padanya, sebab setelah perempuan paruh baya itu berucap, ibu-ibu yang lain pun saling berbisik dan bersusulan meliriknya. Bermacam ekspresi pun menghiasi wajah mereka. 'Sudah dapat menantu cantik, rajin, baik, serta ini-itu, ta-pi anaknya masih jalan sama mantan? Itu siapa ya?' Nayla bertanya-tanya dalam hati. Ia termenung dan mencoba mencerna maksud dari ucapan tetangganya itu.'Siapa yang sudah punya menantu sesuai yang diucapkan, tapi anaknya masih menjalin hubungan dengan mantannya?' Masih diulang karena tak kunjung menemukan jawabannya.'Kok setelah ibu yang tadi mengatakan ma
Ketiga pria dewasa itu saling pandang ketika teman satu profesinya turun dari kendaraan yang beberapa detik tadi berhenti, lalu disusul seorang perempuan.'Sama siapa dia?' Satu pertanyaan yang sama mewakili benak masing-masing. Mereka juga kompak mengernyit saat mengetahui siapa perempuan itu. "Siap-siap ada kehebohan," gumam Heri sembari melirik perempuan itu. "Lupakah kalau sekarang udah ada yang menanti," timpal Imron. "Kasihan, ban motornya bocor," ucap Agus sembari berlalu. "Kira-kira bakal ada kehebohan gak setelah ini?" tanya Heri setelah Agus benar-benar meninggalkan lokasi. "Entah," sahut Imron yang masih menatap laju motor Agus yang sudah sampai pinggir jalan. "Menurut kalian seandainya Agus beneran jadi sama ponakannya Budhe cocok gak?" tanya Heri lagi sembari melirik kedua temannya yang masih menatap ke jalan. Kedua pria dewasa di hadapannya kompak menggeleng. "Cocok sama yang sekarang sih, meski masih bocah, tapi tingkah laku dan pikirannya terlihat lebih dewasa.
[Lagi apa Na] [Sibuk gak][Balas dong Na][Pasti lagi sibuk, maaf kalau ganggu]Empat chat dari Faiz terkirim tiga puluh menit yang lalu baru Nayla buka. Ia menghela nafas setelah membaca. Sejak pertemuan mereka disuatu pagi, pemuda yang sampai saat ini masih menyimpan rasa cinta untuknya, serta belum tahu akan status yang sudah hampir empat bulan disandangnya ini telah ganti. Hampir setiap hari pemuda itu mengirim pesan padanya, entah tanya kabar atau aktivitas. Tak hanya itu, karena tlah berulang kali ingin melakukan panggilan vidio, namun untuk ajakan itu berhasil ditolak dengan berbagai alasan yang sekiranya bisa meredam rasa penasaran.Mungkin kesempatan bertemu yang memang hanya sebentar bagi pemuda itu terasa belum cukup, serta beberapa pertanyaan khusus untuknya masih menggantung jawabannya. Maka dari itu, Faiz selalu saja meluangkan jarinya beberapa detik untuk mengetik sesuatu yang sepele tapi mampu membuatnya berdebar kala langsung mendapat tanggapan dan merasakan sensasi
'Dimana ya?' Meneliti jejeran barang yang tertata rapi pada rak di hadapannya.Siang ini Nayla tengah belanja di toko Sedanten, toko yang paling besar dan serba ada di desa suami untuk kedua kalinya. Bukannya toko terdekat tidak ada barang yang dituju, tapi sekalian nebeng Andi yang ingin ke counter beli paket data, serta di sini lebih lengkap.Apa yang ingin dibeli sebenarnya sudah semua, tinggal satu pesanan Andi yang belum ketemu. 'Di situ ternyata.' Terlihat lega setelah menemukan apa yang tengah dicarinya. Namun, saat tangannya terulur, hendak mengambil barang yang sejak tadi dicarinya seketika sudah dalam genggaman tangan orang lain. Setelah diam di tempat beberapa detik, tangannya yang masih terulur itu ditarik. Menyempatkan diri menoleh dan mengulas senyum pada seseorang yang ada di dekatnya. "M-mbak, kasir yang kemarin ya?" tanya Nayla pada seseorang itu. Yang bersangkutan perlahan mengangkat wajah, tapi diam saat bertemu tatap dengannya."Sampean itu yang jadi kasir di tok
'Ternyata cocok juga pakai kemeja ini, kelihatan lebih muda, balik lagi kaya dulu,' batin Agus memuji diri sendiri. 'Pinter tenan istriku milihin baju,' lanjutnya sembari terus menatap pantulannya pada cermin sembari jemarinya memasukkan kancing pada lubangnya. "Eh, samaan ternyata. Sengaja ya?" ucapnya ketika Nayla sudah berdiri di dekatnya, sedang menyisir rambut. 'Eh. Kok malah kembaran begini ya?' Melirik pakaian yang tadi dipilihnya untuk sang suami ternyata warnanya sama-sama biru muda dengan yang dipakai. Ia menghembuskan nafas lega saat melirik bawahan yang dipakai beda warna. "Dek. Mas, pakai pakaian begini kelihatan seperti anak muda lagi kan?" Membusungkan dada serta menirukan gaya ala anak remaja sedang tebar pesona. "Selama ini merasa udah tua? Atau Mas pakai baju seperti mbah-mbah," sahut Nayla asal tanpa melihat suaminya."Sudah ndak malu lagi ya?" bisik Agus tepat di samping Nayla diiringi senyuman. "Mau mulai lagi? Nanti ndak jadi pergi lho." Memundurkan waja
Tangannya bergerak ingin merekatkan dekapannya, namun yang terjadi selanjutnya tangan itu seketika berhenti meraba-raba tempat pembaringan di sebelahnya yang ternyata sudah kosong. 'Deg' suara degub itu seketika memaksa penglihatannya untuk terbuka dan menepis jauh-jauh rasa kantuk yang masih ingin menguasai. Seklebatan kejadian dua malam berturut-turut membuatnya buru-buru bangun dari pembaringan.Ada rasa yang entahlah dan sedikit sulit dijelaskan jika mengingat kejadian yang telah membuatnya terjaga selama dua malam berturut-turut.Kejadiannya ketika baru beberapa menit memejamkan mata, ia samar-samar mendengar segukan Nayla yang dilanjutkan ucapan maaf berulang kali dengan diiringi lelehan yang telah membasahi wajah ayunya. LDia sempat panik dan bingung karena istri kecilnya tak kunjung membuka mata walau sudah dibangunkan. Syukur alhamdulillah pada akhirnya terucap walau dalam hati saat Nayla benar-benar berhenti segukan bersamaan dengan si penyiar radio yang sudah kembali memut