Bukan bermaksud untuk pamer saat berulang kali Handa mengeluarkan ponsel barunya. Karena tidak memiliki jam tangan akhirnya Handa harus mengeluarkan ponsel pemberian Satria yang merupakan ponsel canggih keluaran terbaru hanya untuk melihat jam, hingga membuat beberapa teman kuliah memperhatikannya.Terdengar suara ponsel berdering, Handa bergegas mengangkat saat mengetahui Satria telah menghubunginya. Sambil berbincang Handa memperhatikan sekitarnya hingga dilihatnya mobil yang disewa Satria selama di Semarang.Kemana Handa melangkah tampaknya menjadi perhatian beberapa teman kuliahnya. Dan mereka pun hampir tidak percaya saat Handa memasuki sebuah yang bisa dibilang termasuk dalam golongan mobil mewah.Dari dalam mobil, Satria terus memperhatikan binar bahagia di wajah Handa, hingga saat wanita yang telah dia nikahi itu kini telah duduk di sampingnya, senyum itu tidaklah pudar justru terlihat semakin merekah.“Bahagia sekali habis bertemu dengan Pak Alim,” ujar Satria dengan wajah m
Handa terdiam saat melihat ranjang berukuran king size yang tertutup rapi oleh sprei berwarna putih. Dengan susah payah Handa meneguk ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang secara tiba-tiba terasa kering saat mendengar suara pintu ditutup. Dan tak lama kemudian sepasang lengan kekar sudah melingkar di pinggangnya.Yang kini terbayang di benak Handa adalah sesuatu yang sudah lama dia tunggu-tunggu, tetapi tidak bisa dipungkiri jika ada rasa takut yang masih menghantuinya. Takut karena dia belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, takut jika dirinya tidak bisa memuaskan sang suami, dan hal yang paling menakutkan bagi Handa adalah jika ternyata hati Satria belum sepenuhnya untuk dirinya dan masih ada sang kakak di sudut hati sang suami.“Aku harap kau sudah siap hari ini,” bisik Satria tepat di telinga Handa. “Sudah lama kita menunggu … dan malam ini aku akan memberikan pelunasan atas nafkah yang tertunda,” lanjut Satria dengan suara serak tangan yang sudah mulai bergerilya.Debar
“Kenapa rambutnya dipotong, Mas?” tanya Handa yang terlihat sedikit kecewa. “Padahal kalau gondrong cakep lho,” sambung Handa dengan gaya bicara yang genit.“Memangnya sekarang tidak cakep?” tanya Satria, tangannya langsung merengkuh pinggang Handa hingga membentur tubuhnya, seakan tidak terima dengan statement yang baru saja Handa ucapkan.“Cakep sih, Mas! Cuma ….”Handa tidak melanjutkan kalimatnya karena tidak berani untuk jujur mengatakan alasan yang sebenarnya. Menjambak rambut Satria adalah salah satu cara Handa melampiaskan rasa puas akibat perbuatan Satria.Sebenarnya Satria sudah lupa dengan janjinya yang akan memangkas rambut jika dirinya sudahn memberikan nafkah batin kepada sang istri. Tetapi saat terbangun Satria melihat ada banyak rambutnya yang rontok karena dijambak Handa sambil menjerit saat mereka mencapai puncak kenikmatan.“Mas Satria pernah dengar kisah Samson?”“Pernah, pria perkasa yang kehilangan kekuatannya karena rambutnya dipotong.”“Iya, takutnya … argh!” T
Handa berdiri tak bergeming dengan mulut yang menganga lebar, beruntung dia berada di tempat yang bersih, jika tidak mungkin sudah ada lalat yang masuk ke dalam mulutnya. Handa benar-benar tidak percaya dengan apa yang ditangkap oleh matanya yang baru saja dibuka oleh Satria. Kini Handa sudah berada di dalam sebuah rumah mewah yang sudah lengkap dengan furniture dan perabotnya.“Harga sebuah keperawanan,” bisik Satria tepat di telinga Handa, lalu dipeluknya dengan erat tubuh mungil wanita yang telah dia nikahi.“Apa ini tidak berlebihan?”“Seharusnya lebih,” ucap Satria sambil menghidu wangi rambut Handa yang baru saja selesai menjalani perawatan kecantikan secara paripurna.“Bolehkah Handa minta lebih?” tanya Handa sambil memejamkan matanya, seolah tidak ingin kebahagiaan ini berlalu begitu saja.“Katakan!” Untuk urusan yang berhubungan uang, sudah tentu bukanlah masalah besar bagi Satria, apapun yang diinginkan Handa semudah menjentikkan jari.“Handa hanya minta, Mas Satria lebih la
Terlihat jelas gurat lelah di wajah Satria, tetapi senyum sumringah terbit di bibir Satria saat dia berbalas pesan dengan Handa. Kalimat-kalimat nakal yang menggoda membuat Satria merasakan rindu yang semakin dalam pada sang istri. Ingin rasanya segera bertemu untuk melepas rindu.Suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian Satria, karena memang masih menunggu laporan dari salah satu stafnya yang terpaksa harus lembur, Satria pun segera menyuruh masuk kepada sosok yang mengetuk pintu.Betapa terkejutnya Satria saat melihat Hanin yang datang. Tidak bisa dipungkiri jika mantan kekasihnya memang sosok wanita yang penuh pesona, dress longgar selutut dan tanpa lengan mampu menutupi perutnya yang sudah mulai membuncit, tetapi tetap terlihat elegan dan seksi.“Lama tidak bertemu, sepertinya kau baik-baik saja tanpa diriku,” ucap Hanin kala melangkahkan kakinya dengan anggun mendekat ke arah Satria.“Ya! Terima kasih karena kau mengenalkan aku dengan Handa, dia istri yang baik.”Satria mer
Pukulan yang mendarat tepat di wajah Asta membuat wajah tampan yang mirip Satria itu penuh lebam dan berdarah. Tak ada tangis dan derai air mata, pria muda itu hanya bisa pasrah, karena tahu dan sadar kesalahan yang dilakukan. Di vila milik keluarga Argawinata ini, tidak hanya sekali Asta harus menerima hukuman dari Harris, dan biasanya itu terjadi tanpa sepengetahuan Satria maupun Lisa.Asta memejamkan matanya saat melihat Harris mengayunkan kakinya, bukan tendangan yang dia rasakan tetapi sebuah tubuh besar yang menimpanya. Ya, tubuh yang tiba-tiba harus tersungkur jatuh untuk melindunginya.“Minggir!” teriak Harris meminta agar Satria tidak melindungi Asta. “Anak iblis itu harus mendapatkan ganjaran yang setimpal,” lanjutnya dengan emosi yang sulit untuk dikendalikan.“Tapi yang kau sebut anak iblis itu anakmu, Pa! Darah dagingmu!” seru Satria dengan tampang kusut karena kurang istirahat, dan terlihat jelas matanya habis menangis.“Dia bukan anakku, karena aku tidak ingat telah men
Handa tak bisa menahan lagi air matanya kala kata “sah” menggetarkan gendang telinganya. Tidak bisa dijabarkan lagi rasa hatinya saat ini, sedih, haru, tapi rasa bahagia pun tetap ada. Di sebuah ruang VIP sebuah rumah sakit telah dilaksanakan sebuah pernikahan, untuk kedua kalinya Dharma mengucap akad nikah dengan menyebut nama Hanindya Maheswari Gunadi binti Gunadi. Yang pertama adalah saat Hanin masih dalam keadaan mengandung, Dharma menikahi Hanin secara hukum negara, agar anak Hanin bisa memiliki akta dengan nama orang tua yang lengkap. Hari ini Dharma harus mengucapkan akad kembali untuk mengesahkan pernikahannya secara agama, setelah Hanin melahirkan putranya. Semua ini terjadi merupakan keinginan dari Damayanti, yang mengetahui jika Hanin adalah cinta pertama suaminya. Setelah sah menjadi suami istri secara hukum negara dan juga agama, Dharma dan Hanin mendekat ke brankar di mana Damayanti terbaring tak berdaya. Sebuah senyum coba Damayanti berikan kepada suami dan madunya.
“Harus bulan madu?” tanya Handa sambil merapikan dasi Satria. “Kalau hanya mau gituan di rumah juga bisa, di apartemen juga bisa ….”“Gituan apa?” tanya Satria dengan nada menggoda.Direngkuhnya tubuh sang istri hingga membuat pasangan suami istri hanya terpisahkan oleh pakaian yang mereka kenakan. Seolah sedang mencari energy tambahan di pagi hari, Satria langsung menyatukan bibirnya dengan Handa. Sesaat, Handa dan Satria terlena dalam keintiman yang mereka ciptakan.“Kamu pernah ke luar negeri sebelumnya?” tanya Satria sambil mengatur napasnya, sesaat setelah melepas bibirnya.“Belum,” jawab singkat Handa, jujur apa adanya.Bagaimana mungkin ke luar negeri, kalau jalan-jalan ke mall saja Handa harus berpikir berulang kali. Tetapi bukan berarti Handa tidak pernah ke mall, karena Dharma memiliki counter di sebuah mall, membuat Handa sering berkunjung ke mall saat harus membantu sepupunya itu saat counternya ramai, biasanya pada saat akhir pekan. Dan sudah tentu rasanya jalan-jalan di
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
“Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora
“Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad
“Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i
“Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng
“Saat ini kami sedang butuh modal, jadi saya akan menjual rumah itu,” ucap Hanin di hadapan kedua orang tuanya.Setelah menikah dengan Dharma Hanin menetap di Semarang, dan hanya sesekali mendatangi kedua orang tuanya di Jakarta. Bahkan jika Marini merasakan rindu yang sangat pada cucunya, dia dan Gunadi yang berkunjung ke Semarang.“Kenapa tidak pinjam bank saja, kan bisa dicicil?” tanya Marini yang merasa sayang untuk menjual rumah milik Hanindya.Sedangkan Gunadi baru mengetahui jika selama ini putrinya memiliki rumah di pinggiran kota Jakarta. Padahal rumah itu sudah lama dimiliki oleh putri sulungnya, bahkan sejak mereka masih tinggal bersama. Ingin rasanya bertanya kepada Hanin, tetapi tampaknya Gunadi lebih memilik untuk menunggu kejujuran dari putri sulungnya tersebut.“Sebenarnya Mas Dharma juga berpikiran seperti itu, tetapi kebutuhan kami sudah terlalu banyak. Anak-anak sudah sekolah semua, kalau kami mengajukan pinjaman lagi, takutnya justru membuat kami tidak bisa fokus d
“Mbak Dia!” panggil Handa kepada wanita yang sudah hampir memasuki mobilnya. “Maafkan, Mas Satria! Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya,” sambung Handa berusaha untuk menenangkan hati salah satu tamunya.Wanita yang bernama Nadia itu hanya menganggukkan kepala sambil memeluk erat Rio, seolah takut kehilangan putranya. Bukan untuk pertama kalinya dia mendengar jika Satria ingin mengadopsi Rio. Apalagi setelah Nadia hamil anak ke tiga, Satria semakin dekat Rio.“Tidak apa-apa.” Nadia terlihat berat untuk berbicara di depan Handa. “Semoga kalian segera diberi momongan,” sambung Nadia dengan wajah yang sendu.“Amin, terima kasih atas doanya.” Handa hanya bisa mengaminkan doa baik yang terucap dari mulut Nadia, meskipun terdengar tidak tulus.Handa merasa, Nadia mengucapkannya sebagai bentuk rasa tidak sukanya dengan Satria yang terlalu dekat dengan putra sulungnya. Dan juga sikap Satria yang secara terang-terangan ingin mengadopsi Rio.“Kami pamit dulu, terima kasih atas undangannya
“Tidak!” jawab Satria dengan tegas. “Aku yakin kau akan memberi keturunan kepada keluarga Argawinata, jangan kau bunuh keyakinanku itu!” sambung Satria di akhiri dengan kecupan lembut di kening Handa.Satria memiliki alasan lain tidak ingin mengadopsi Arjuna Palguna Gunawan. Meskipun sudah tidak memiliki rasa cinta kepada Hanindya, tetapi tidak mudah bagi Satria untuk melupakan begitu saja kebersamaan mereka yang pernah terjalin dahulu.Mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Hanin membuat Satria merasa bersalah kepada Handa. Hubungannya dengan Hanin yang sudah melampaui batas kadang membuatnya merasa menjadi lelaki yang tidak layak untuk Handa, apalagi saat dia teringat dengan rencananya bersama Hanin untuk menghancurkan hidup Handa kala itu, benar-benar membuat Satria merasa menjadi lelaki yang jahat karena memiliki niat untuk menghancurkan hidup istrinya.“Ayo bangun! Mama dan papa pasti sudah menunggu kita untuk sarapan bersama mereka!” ajak Satria kepada istrinya. “Apa mau dige