“Kamu salah kalau meminta Nadia menggugurkan kandungannya! Sama aja kamu pembunuh, Risa!” teguran Arkana tidak main-main, ia begitu tidak menyangka istrinya bisa berpikir seperti itu. “Lalu, aku tidak bisa membiarkan Nadia hidup seperti aku, Arkana! Tidak bisa!” Risa segera duduk, tubuhnya terasa lemas dengan semua tekanan yang datang kepadanya. Arkana berlutut di depan Risa, menggenggam kedua tangan istrinya begitu erat. “Berarti, kamu menyesal kita menikah? Saling mencintai dan hidup bahagia sampai detik ini?” lirihnya begitu sendu. Risa terhenyak, ia membingkai wajah suaminya dengan kedua tangan. “Bukan, bukan… bukan begitu. Aku… aku tidak mau Nadia menjadi ibu diusia muda seperti ku, dia bahkan masih delapan belas tahun Arkana, satu tahun lebih muda dariku saat mengandung dia. Apa… apa… Nadia bisa bertanggung jawab atas anaknya?! Apa–”“Untuk itu, kita cari Deva, Sa. Kita nikahkan mereka,” sela Arkana yang bicara dengan nada begitu pelan, ia tak mau membuat Risa semakin tegang
Deva tak sadarkan diri, kondisinya mendadak menurun dan itu menyebabkan jantungnya berhenti memompa darah ke paru-paru. Masih dirundung rasa khawatir, Devinta tak henti berdoa sambil menunggu kabar dokter yang menangani putranya di ruang operasi. Harus ada prosedur medis yang dilakukan. Raka juga saa, ia terus terjaga, tak pergi barang sedetik dari sisi Devinta. Bahkan perawat membawakan mereka minum dan makan. “Semua akan baik-baik saja, Tuan, Nyonya, jangan khawatir,” lirih perawat wanita berkulit hitam dengan pembawaan yang sangat ramah. “Terima kasih,” balas Raka juga Devinta yang menganggukkan kepala. Mereka duduk di depan ruang operasi, Raka begitu menyayangi Deva. “Kenapa takdir begitu menyiksa hidupku, Raka?” Devinta menengadah kepala menatap suaminya dengan raut wajah sangat sedih. Raka mencium kening Devinta begitu lama. “Apa hukumanku akan terus berjalan seumur hidup? Berdosakah aku atas semua yang terjadi?” Devinta meremas kemeja yang dikenakan suaminya, hatinya menjadi
Sekembalinya Nadia dari rumah sakit, ia ingin berbicara dengan Risa, setidaknya sekali lagi. Risa yang sedang bermain dengan Calvin tampak malas melihat ke Nadia. Arkana meminta pengasuh membawa Calvin ke kamar karena ia akan bicara tentang kondisi keluarganya. "Bunda, kandungan Nadia sehat, dan calon anak Nadia laki-laki," ucapnya tanpa menunda. Risa menatap dengan ekspresi datar ke arah putrinya. "Bunda, mau sampai kapan Bunda abaikan Nadia. Nadia--" Ia menggigit bibir bawahnya. "Kamu tanya begitu ke Bunda, Nad?" pelotot Risa. "Bukannya kamu tau kalau Bunda tidak suka dengan semua hal yang berhubungan dengan Devinta. Mereka masa lalu kelam Bunda dan kamu. Kamu sadar tidak, sih, kalau dunia kita tidak lepas dari mereka. Ini yang jadi ketakutan Bunda, ternyata benar terjadi, terlepas dari status kamu dan Deva yang tidak ada hubungan darah. Kenapa kamu tidak berpikir untuk berhenti sebelum ini terjadi. Kenapa kamu tidak--"Nadia berlutut di kaki Risa, menangis seraya meminta ampun da
Nadia dan Arkana tiba di bandara Boston, Massachusetts. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Arkana mengajak Nadia menikmati jajanan yang ada di bandara. Kondisi Nadia baik-baik saja, tapi sebagai Ayah, ia tetap saja khawatir. Arkana memesan coklat hangat dan donut setengah lusin. Wanita hamil mudah lamar, ia ingat bagaimana dulu Risa saat hamil Calvin banyak meminta makanan manis. "Ayah tidak makan?" Nadia meneguk sedikit coklat hangatnya. "Kopi, cukup, Nak," jawabnya. Padahal, ia khawatir akan apa yang terjadi beberapa waktu ke depan. Arkana mengusap lembut kepala Nadia yang sedang mengigit donut. "Anak Ayah kuat, dewasa dan bertanggung jawab, jangan sampai hal buruk ini terjadi lagi di masa depan, ya. Kamu harus jaga anakmu dengan baik. Kesalahan Bunda dan Ayah, terlalu tidak mempedulikan perasaan kamu, dan kita jarang bercerita semenjak Calvin lahir. Ayah sadar akan hal itu, Nadia. Maafkan Ayah dan Bunda, ya," tatapan Arkana begitu nanar, ia sudah membahas hal ini deng
Nadia tidak percaya saat Devinta memberitahunya jika Deva enggan bertemu dengannya karena Deva merasa tidak pantas bagi Nadia dan apa yang sudah terjadi sebelumnya adalah kesalahan. Kesalahan berbuah janin tak bersalah yang harus hadir diantara mereka. "Deva dimana sekarang, Nadia mau bertemu." berang Nadia sambil menatap tajam ke tiga orang tua di dekatnya. "Tapi, Sayang, Nadia kamu jangan memaksa, Deva tidak mau." Devinta kembali meyakinkan Nadia yang menggelengkan kepala tidak percaya dengan ucapan mama dari lelaki yang ia cintai. Napas Nadia memburu cepat, lalu mendadak ia meringis merasa tidak nyaman di perutnya. Arkana panik, ia beranjak lalu mendekat ke sang putri. Mengusap perut Nadia begitu penuh sayang. "Tidak boleh begini, kita harus jujur. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk dengan cucuku dan Mamanya." Arkana begitu menatap tegas Raka dan Devinta. "Ada apa, Ayah, ada apa?" tuntut Nadia. Raka dan Devinta menatap penuh rasa sedih ke Nadia yang menanti jawaban. ***
Nadia berdiri di depan pintu masuk gedung apartemen, menunggu Devinta yang berniat mengajaknya ke suatu tempat. Tak lama, mobil sedan mewah warna merah berhenti di depannya. "Nadia, ayo," ajak Devinta. Nadia segera masuk ke dalam mobil. Devinta mencium kedua pipi Nadia lalu mengusap perut buncitnya. "Kita mau kemana, Tante?" tanyanya sambil menatap ke Devinta yang anggun dan begitu feminim. Pembawaannya memang bak ibu-ibu sosialita tapi aslinya sederhana. "Ke mal," jawab Devinta sumringah. Nadia tersenyum tipis. Sementara, Arkana dan Raka sibuk mencari donor jantung sambil Arkana memantau pekerjaannya. Raka pun sama, ia sibuk memantau bisnisnya di Jepang. Kedua lelaki itu duduk di kedai kopi dekat rumah sakit. "Zenya apa kabar? Saya senang Devinta bisa melahirkan anak perempuan," tutur Arkana tulus."Ya, Zenya baik. Dia sekolah di sini, tapi home schooling karena kami harus lebih sering di rumah sakit," jawab Raka. "Risa apa kabar? Masih marah ke Nadia?" "Baik dan ya ... masih, k
"Dimakan buahnya, Dev, jangan malas," omel Nadia yang menyuapi Deva potongan buah apel sambil duduk di tepi ranjang kamar rawat yang sudah beberapa waktu Deva tinggali. Calon ayah itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tangannya yang terpasang infusan juga selang obat, meraih jemari tangan Nadia. "Maafkan aku, sempat bertindak konyol." Ia mengecup jemari tangan Nadia begitu lembut, penuh perasaan bahkan hingga kedua matanya terpejam. "Aku paham, dan tidak perlu dimaafkan, karena kamu tidak salah juga, Dev." Nadia begitu berpikir dewasa, usianya masih 19 tahun, tapi tidak bisa dianggap labil. Mentalnya ditempa begitu hebat melalui jalan hidup saat kecil bahkan kini, saat ia diabaikan Risa karena mengecewakan wanita yang sudah melahirkannya. Deva menggeser posisi tidurnya, ia menepuk sisi tempatnya semula. Nadia meletakkan piring ke atas meja dengan roda kaki, ia dorong sedikit menjauh. Nadia merebahkan diri di samping Deva, sudah tiga malam ia di sana, menemani kekasih h
Satu minggu setelah mereka tinggal di sana, pernikahan dilangsungkan. Tidak megah apalagi mewah. Deva memakai setelan tuxedo warna hitam sedangkan Nadia brokat warna puting tulang sepanjang telapak kaki dengan aksen pita kecil di tengah, yang membuat perut buncitnya terlihat.Devinta sendiri yang mendandani calon menantunya, ia begitu tampak bahagia. "Udah cantik, Deva pasti terharu lihatnya," bisik Devinta. Nadia tersenyum, walau sesungguhnya, hatinya sedih karena tidak ada Risa dan Calvin, tak lengkap rasa bahagianya.Di ruang tengah, para pria sudah bersiap, terlihat Deva tampak gugup yang coba ia tutupi dengan senyuman ke Arkana juga Raka."Kamu baik-baik aja, Dev, tidak sesak atau merasakan sesuatu?" tanya Raka sambil merangkul Deva."Tidak, Pa," jawabnya santai tapi beberapa kali menarik napas dan menghebuskannya pelan, ia juga beberapa kali tampak berdeham.Devinta dan Nadia berjalan bersama, Deva mematung ditempat, begitu terkesima dengan cantiknya Nadia yang juga tersenyum ke
Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "
Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo
Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.
Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin."Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl
Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah
Kenan menatap jutek ke Arlan yang duduk menikmati sarapan pagi di rumah Nadia. Dengan mulut penuh mengunyah sereal coklat dengan susu putih, Kenan sepertinya lupa semalam ia tidur dengan lelaki yang dipanggilnya Papa. Arlan tesenyum, lalu meneguk kopi, setelahnya ia bertopang dagu.“Nan, tidurnya nyenyak?” pertanyaan itu membuat Nadia melirik cepat. Ia takut masih pagi sudah terjadi perang dingin.“Hm.” Kenan menjawab dengan enggan.“Kamu tidur sama Om Arlan, Nan,” sambar Nadia dari pada Arlan yang bicara.“Kenan tau,” sambung bocah itu.“Kamu ingat?!” Alran memekik.“Ingat. Terus kenapa?” lirikan Kenan masih menunjukkan ketidak sukaannya.“Kenapa kamu sekarang judes banget. Semalam aja … minta panggil Om, Papa.”“Nggak boleh?” sinis Kenan lagi. “Kenan kenyang. Mama, Kenan mau nonton di kamar, ya.”“Nonton di sini aja, jangan di kamar,” larang Nadia.“Oke, Ma.” Dengan langkah enggan, Kenan menuju ke sofa yang semalam ditiduri Arlan. Lelaki itu menoleh ke Nadia.“Kenan gengsi, Lan, sab
Arlan menggendong Kenan yang tertidur di dalam mobil menuju ke dalam rumah Nadia. Wanita itu menyambut dengan senyuman."Hai," lirih pelan Arlan lalu mencium pipi Nadia. Wanita itu tersenyum seraya menutup pintu rumah. Harum masakan membuat air liur Arlan mengumpul di rongga mulut, ia melirik ke atas meja makan, benar-benar calon istri idaman.Nadia membuka pintu kamar Kenan, Arlan merebahkan perlahan tubuh bocah kecil itu, tak lupa melepaskan sepatu."Jangan dibangunin, biar aja," bisik Arlan."Kamu kemalaman, anakku tidur pake baju sekolah, jorok, Lan," keluh Nadia yang juga berbisik."Udah ... nggak papa, sesekali, kasihan capek banget. Sibuk gambar sama makan di ruang rapat. Terus sama Bu Ratu dibeliin pizza, kenyang banget Kenan."Nadia mengangguk. Arlan menarik pinggang Nadia, ia peluk erat dengan posisi dirinya duduk di kursi meja belajar Kenan."I Miss you," bisik Arlan seraya mengulum senyum. Nadia menangkup wajah Arlan."Aku juga," jawab Nadia. Ia mengecup kening Arlan lama.
Gerakan Arlan guna meluluhkan hati Kenan terus dilakukan. Ia bahkan menyempatkan diri datang ke sekolah bocah itu. Padahal Nadia sudah melarang karena ia yang akan menjemput. Arkana keras kepala dan memaksa ke sekolah. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Kenan sudah masuk pekan ke dua sekolah dan info dari Nadia, jika Kenan lanjut les calistung juga drum band cilik hingga pukul tiga sore. Anak TK jaman sekarang, sekolahnya lama. Namun, asiknya di sekolah Kenan, ada jam tidur siang, jadi mirip day care. Arlan masih duduk di dalam mobil, ia memangku laptop, bahkan dirinya melakukan pekerjaan tapi tetap usaha dekat dengan Kenan. "Ya, halo," jawabnya sambil menjepit ponsel dengan bahu di telinga kanan. "Pak Arlan dicari Bu Ratu, apa bisa ke kantor lagi?" Duh, lupa. Arlan ada meeting jam empat dengan Ratu. Sekarang jam tiga kurang, jarak sekolah ke rumah Nadia lalu ke kantor lagi akan memakan banyak waktu. "Bisa," jawab Arlan sambil menggigit bibirnya, ia khawatir pa