Tsabi tidak jadi repot di dapur, selebihnya ia mengganjal perutnya yang lapar dengan kue kering yang tersimpan di toples. Ditambah teh hangat, syahdu sekali rasanya. "Mas Shaka lagi apa ya? Apa dia bisa tidur semalam? Kasihan pasti kedinginan," gumam Tsabi mengingat suaminya. Ternyata satu hati sekali. Di saat yang bersamaan, orang yang tengah Tsabi pikirkan baru saja selesai menunaikan sholat subuh. Dia juga mengingat istrinya dan segala kerepotannya tadi malam. "Apa kabar kamu sayang, maaf membiarkanmu repot sendirian," gumam pria itu lalu mengirim pesan. Sebenarnya hendak menelpon, tetapi takut mengganggu barang kali belum bangun. Mengingat hari ini hari libur. [Assalamu'alaikum ... cantik, apa sudah bangun?]~Tsabi yang mendapati WA dari hubby tersayang langsung tersenyum menatap layar ponselnya. Dia tidak membalas dengan pesan, melainkan langsung menelponnya saja. "Sudah bangun sayang?" tanya Shaka begitu Tsabi menyapa dengan salam. "Udah dari tadi, aku kelaparan Mas, niat
Shaka mengangguk membenarkan. Ada kesedihan di matanya. Biar bagaimanapun, paman adalah orang yang dulu merawatnya dari kecil. "Selamat jalan paman, semoga engkau di tempatkan di sisiNya. Ammin," batin Shaka penuh doa. Ia langsung mengurus perihal kepulangan dan semua administrasi paman. Agar bisa langsung dibawa pulang ke rumah duka. Dikebumikan dengan layak. Tsabi mengusap-usap lengan Shaka. Menenangkan tanpa kata. Dia tahu suaminya tengah berduka. Sampai kabar meninggalkan paman, Angel masih belum juga bisa dihubungi. Shaka dan keluarganya langsung membawa ke rumah duka setelah urusan administrasi selesai. "Mas, aku izin pulang dulu ya, sekalian lihat Zayba. ASIku penuh, aku tidak membawa alat pumping. Nanti aku langsung ke rumah paman dengan keluargaku," kata Tsabi sekaligus ingin mengabari kedua orang tuanya untuk melayat. "Iya sayang, biar aku pesankan taksi untukmu," kata Shaka memastikan istrinya pulang dengan aman. Pria itu bahkan mengantarnya sampai istrinya masuk ke m
"Mom, Shaka pulang dulu ya," pamit pria itu sekaligus mewakili istrinya."Ya," jawab Nyonya Jesy berat hati. Kalau sudah urusan hati, memang susah dibujuk sedemikian rupa. Kesal, tapi tak juga bisa merubah keputusan putranya. Nyonya Jesy sengaja menginap untuk menemani Angel. Sementara Shaka pulang bersama istrinya. Rencananya besok baru akan ke sana lagi. Mereka pulang setelah acara ngaji dan tahlil selesai. Sampai rumah, Tsabi langsung bersih-bersih. Begitupun dengan Shaka. "Maaf ya Mbok, kami agak kemalaman," ucap Tsabi pada Bik Tini artnya. Dia sengaja memberikan yang saku untuk pulang. "Terima kasih Buk, pamit dulu," ujar wanita kisaran empat puluh tahun itu. Tsabi juga memesankan ojol guna mengantarkan Mbok Tini. "Mas, mandi dulu, aku siapin makan. Kamu belum makan kan?" ujar Tsabi pengertian. Shaka memang sedari siang tidak sempat makan. Dia hanya sarapan di rumah dan bahkan tidak makan lagi saking sibuknya mengurus ini itu. "Iya sayang," jawab Shaka beranjak. Pria itu
"Kamu ngapain sih Mas ngikutin mulu, tidur sana!" omel Tsabi melihat suaminya mengekor dirinya. "Ya itu Zayba rewel, mana tahu kamu butuh bantuan.""Nggak, aku pikir kamu malah nggak ingat pulang," jawabnya ketus. Efek lelah dan juga tubuhnya sedikit tidak enak badan, membuat Tsabi sewot sendiri. "Kok ngomongnya gitu, aku pasti pulang lah. Ya walaupun akhirnya malam. Maaf, tadi ikut ngaji dulu.""Ya nggak pa-pa kan, aku juga nggak pernah ngelarang juga. Kamu mau ngapain aja terserah kamu. Lagian ada Khalif kok yang bisa bantuin ke mana-mana.""Memangnya tadi ke mana? Kamu nggak telpon kan?""Seharusnya kamu ingat memberi kabar. Bukannya nungguin aku hubungi kamu. Memangnya aku sempat apa telpan telpon terus Zayba sakit begini.""Zayba masih sakit?" Tsabi tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan merotasi matanya jengah. Bukankah pria itu tahu tadi pagi juga Tsabi sudah mengeluh kalau bayinya sakit. Apa seorang pria tidak sepeka itu. Perempuan itu kembali masuk ke kamar seraya me
"Nggak bisa Mas, aku kan kemarin sudah izin. Kamu sarapan dulu ya, terus minum obat. Nanti biar Zayba sama Mbok Tini. Kemarin juga seharian sama Mbok Tini."Shaka yang tengah rebahan meraih pinggang istrinya agar duduk makin dekat. Pria itu memposisikan kepalanya tepat di pangkuan istrinya dengan manja. "Obatnya kamu," katanya sembari menenggelamkan wajahnya ke perut Tsabi. Tangan kanannya memeluk erat. Seolah tidak mengizinkan wanita itu untuk beranjak dari sisinya."Aku bikinin sarapan ya, terus minum obat.""Pingin sarapan kamu, yank, aku tidak semangat," kata pria itu mode rewel. Bisa begini juga ternyata cowok yang super dominan itum"Dih ... aku belum bersih lah. Tapi udah mau sembuh kok. Kamu kenapa jadi manja gini sih Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai.""Kangen, namanya juga kangen ya gini. Kamu cuek banget dari kemarin."Repot kalau suaminya mode rewel. Sakit sedikit manjanya ngalahin bayi. Tsabi tidak leluasa bergerak sama sekali. Tiba-tiba Zayba juga merengek. Tsab
"Ide menarik, boleh dicoba kalau nanti gagal.""Maaf ya, belum bisa bahagiakan kamu," ucap Shaka tiba-tiba. Baru saja mau bangkit, sepertinya ada saja halangannya. "Aku nggak ngerasa gitu kok, maaf juga kalau masih banyak mengeluh selama jadi istri kamu." Tsabi mencoba menerima dan bersabar dengan ujian yang datang dari keluarga Shaka. Dia juga harus bisa menerima keluarganya juga bukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hampir satu purnama Angel menumpang di rumah mereka. Semua Tsabi lalui dengan tidak mudah. Karena wanita itu sering berulah dengan sengaja. Beruntung Shaka yang pengertian memperlakukan Tsabi dengan penuh perhatian. "Sayang, kamu pucet sakit?" tanya Shaka memperhatikan istrinya yang sepertinya kurang enak badan. "Agak pusing Mas, perlu minum obat kayaknya." Beruntung ini hari libur, jadi Tsabi tidak harus berangkat mengajar. "Ya sudah tiduran saja, mumpung libur juga. Tidak usah mengerjakan apa pun. Zayba hari ini full sama abi.""Makasih Mas," jawab
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah