Hello, aku baru baca-baca balesan komen di episode sebelumnya ya... Tapi aku cuma bisa bilang ini untuk ke 'sekian kali' ya, Sayang-sayangku Readers. Ini baru mulai loh, jalannya masih panjang ya (✿❛◡❛) Nantikan kelanjutannya!
"Ya gaklah Sayangku! Haha!" Juna malah tertawa menanggapi pertanyaan dari istri kecilnya itu. Ada saja ide Dea dalam membalas perkataannya. Kalau salah jawab, bisa mati dia. "Ada-ada aja kamu." Dea pun mendengus, "Lagian alesannya gak memuaskan." "Kan kamu gak ngasih jatah gimana mau puas?" Dea bengong mendengar itu, ingin protes tapi Juna sudah menarkirkan mobilnya di parkiran mansion keluarganya. Seolah menghindari pertengkaran dengan sang istri, ia pun segera keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. Berlanjut ia menyambut tangan istrinya layaknya Princess yang turun dari kereta kuda. "Silahkan, My Queen," sambil Juna dengan senyum menawannya. 'Sial! Gantengnya gak bisa ditolak!' teriak Dea dalam hati. Ia kemudian menerima sambutan itu, terlebih banyak yang menonton, tak mungkin ia misuh-misuh padanya. Tak hanya itu, Juna meminta tas Dea dan membawakannya, padahal isinya hanya HP, dompet, dan tempat make up yang ukurannya kecil karena tak banyak ya
Salah satu tante yang terlihat duduk di samping Pevita itu terlihat sangat percaya diri. "4 bulan Tante," jawab Dea ekspresi yang sopan. Ia agak ragu, tapi sepertinya memang kata-kata orang itu menjurus ke memojokkannya. "Kayaknya baru aja ada berita kalian nikah deh," lanjut yang lain. Dea terbengong, ia ingin positif thinking tetapi orang-orang itu terus memancingnya. Namun tiba-tiba, Juna membalasnya dengan lantang. "Ooooh! Berarti Tante tidak membaca berita lengkap. Atau kalau males bacaa, tuh nonton aja di YouTube beritanya, ada kok," balas Juna tanpa rasa bersalah. Hal itu membuat para tante yang tadi julid akhirnya merasa agak takut untuk menjawab. Ia memang terlatih untuk tidak mudah diremehkan dari pendidikan ibunya, ia dilatih untuk menjadi pribadi yang kuat. Namun, espektasi Juna salah. Didikan itu ternyata salah bagi yang mendidiknya. "Juna!!! Apaan sih kamu?! Di sini malah bikin suasana enggak enak banget, gak usah bikin gara-gara deh," bentak Pevita.
"Amazing!" ujar Juna. "Hah?!" Kini giliran Dea yang terkejut, "Kamu gak marah?" "Kenapa harus marah? Bagus, aku juga suka balapan kok waktu masih seusiamu," jawab Juna. Melihat ekspresi Dea yang kaget, Juna pun mengerti ternyata Dea mungkin mengira bahwa ia kaget karena tidak suka dengan cewek yang suka balapan. Jadi sepertinya Juna harus menjelaskan agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Aku udah lama temenan sama Papi kamu, di beberapa kesempatan Papi kamu juga mengeluh karena kamu suka balapan. Apalagi kamu perempuan kalau dari sudut pandang aku sih, aku nggak sekolot Papi kamu ya. Memang gak bagus kalau balapan, tapi... kalo kamu suka dengan kebiasaan kamu itu, aku mewajarkan aja. Aku nggak papa kalau kamu tetep mau balapan," ujar Juna.Dea tampak masih belum percaya, mungkin ia mengira orang seusianya akan mempermasalahkan hobinya itu."Aku dulu juga bagian dari orang-orang yang suka balapan. Jadi aku paham di posisi itu, orang lain nganggep kita berandal,
"Siapa?" tanya Juna. "Siapa lagi kalo bukan Mira?" Juna agak bingung dengan permusuhan Mira dan Dea, seperti ada sesuatu yang mencurigakan Maksudnya, alurnya tidak tepat. Saat ia mencoba menggali dari sisi Aron, Aron juga memilih bingkam. "Kenapa?" tanya Dea melihat ekspresi suaminya yang serius. "Gak ada. Aku cuma punya ide, gimana kalo kita bikin ayam bakar?" Dea mengeryit, "Emang kamu bisa?" "Bisa dong, mantan anak kost," ujar Juna pamer. Dea hanya tersenyum geli, kadang suaminya bertingkah seperti anak muda seusianya. Setidaknya Juna lebih bisa diajak kompromi daripada ayahnya. "Aku juga pingin merantau," gumam Dea. "Pingin kuliah di luar negeri," lanjutnta. Juna pun terkejut, ia tak tahu kalau Dra mulai banyak terbuka dengannya. Semoga asumsinya benar kalau Dea mulai nyaman dengannya. Ia baru dikasih wejangan oleh Dokter pribadi Dea, kalau ia harus bisa menjadi tempat curhat yang nyaman. Jangan sampai Dea merasa kesepian, ia harus terus merespon hal-hal
"Kita sama-sama capek, Sayang. Udah ya, gak usah merhatiin omongan orang, ini hidup kita, kita yang jalanin. Jadi skip dengerin kata-kata orang yang berpotensi bikin mood kamu rusak." Dea pun mengangguk. "Aku cuma iri, kadang pas liat Mira ngelayanin Papi, dia istri idaman banget." 'Mira lagi...' batin Juna. Ia jadi curiga, sebenarnya Mira itu musuh Dea atau sosok ibu baginya? Maksudnya, Dea terlalu memandang dia sebagai patokan. Kalau musuh, harusnya Dea tak perlu menjadikannya patokan dalam setiap hal. "Tipe orang beda-beda, termasuk aku. Aku gak mau istriku kecapean sendiri ngurus rumah. Kalaupun kita hidup sederhana dan gak ada pembantu, aku juga bakal bantuin kerjaan rumah. Tapi, apa Papi kamu pernah andingin kamu sama Mira?" "Gak sih," ujar Dea. "Nah kan, mungkin cuma pikiranmu aja. Dan apa kamu pernah liat Papi kamu nyuruh istrinya ini atau itu?" "Gak sih," gumam Dea sambil berpikir. "Pastilah, Pspi kamu juga orang yang terbuka. Mungkin itu karena Mira aja yang mau ngel
"De!" Panggil Olive saat mereka di Toilet untuk touch up, Dea malah melamun dengan wajah yang serius. "Kenapa, Liv?" "Enggak, lu kek ngelamunin sesuatu, ngelamunin apa?" tanyanya usai mengoleskan lipstik di bibirnya. "Gue cuma agak kurang nyaman pas liat Aji kek makin intens merhatiin gue." "Ya elah, banyak yang merhatiin lo, orang lu cantik banget," balas Echa santai. "Bener sih, tapi bukan itu. Gue juga ngerasa Aji suka ama lo, keliatan banget," sahut Olive. "Emang boleh suka ama orang bersuami?" ucap Echa dengan suara imutnya. Olive dan Dea hanya terkekeh, Echa ada-ada saja, ia selalu mencairkan suasana ketika dirasa tidak nyaman. "Intinya De, selama Aji cuma jadi secret admirer lo, mending biarin aja. Lo gak berkewajiban ngurusin perasaan orang. Lagian konsekuensi orang yang suka sama istri orang ya, harus siap untuk stuck jadi pengagum. Ya kan?" Untunglah kata-kata Olive itu bisa membuat Dea lebih nyaman dan tidak memikirkannya lagi. Pantas Aji begitu bai
"Hai semuanya!" Hampir saja Dea akan melemparkan kata-kata menyebalkan, sebelum ia melihat siapa pemilik suara itu. "Tante Lina?!" Tante Lina adalah seorang artis berusia 40 tahun, tak jauh usianya dari sang ayah. Ialah yang menggantikan posisi Mira saat Dea merasa dikhianati sahabatnya waktu itu. Makanya ia berharap, Tante Lina itu akan menjadi ibu tirinya, bukan Mira "Kok bengong? Sini peluk dulu...." Dea melemparkan stik gamenya dan langsung berlari menghambur ke pelukan wanita cantik itu. "Tante, kangen!" ujar Dea langsung memeluknya. Juna hanya berdiri melihat mereka. Ia ikut bahagia saat melihat bagaimana Lina mampu memberikan senyum bahagia untuk istrinya. Dea tipe yang sulit ditaklukkan, tapi kalau sudah percaya, mudah menyenangkannya. "Gimana kabarnya Ibu hamil ini? Sorry ya, Tante harus ke Berlin selama 7 bulan kemarin sampe gak bisa ngurusin apapun selain kerjaan, soalnya bisnis Tante juga lagi bermasalah." Dea pun tersenyum dengan tulus, "Gak papa, T
"Jangan banyak drama dan lakukan tugasmu." "Apa mereka mau ngewong, tapi Mira nolak ajakan Papi?" tanya Dea pada diri sendiri. Ia malah berpikir macam-macam, rasa penasarannya yang membuncah membuatnya tak beranjak dari pintu ruang kerja Papinya yang bersebelahan dengan kamar Papi dan ibu tirinya itu. "Mungkin Anda tidak pernah berpikir tentang ini, tapi Anda telah menghancurkan hidupnya. Tindakan Anda, semuanya persis seperti itu!" Tidak ada balasan dari Aron, tetapi isak tangis Mira jelas itu pertengkaran yang cukup serius. "Lalu sekarang dengan semua pengaturan Anda, saya harus bagaimana lagi? Selama ini saya sudah hidup dengan tenang tanpa protes di bawah kendali Anda, bahkan saya tidak pernah membocorkan situasi yang sebenarnya terjadi. Kemudian semua orang membenci saya. Apakah itu masih kurang untuk Anda? Masih saya yang salah?" Lagi, Aron tidak menanggapinya, membiarkan Mira mengeluarkan semua kata-katanya. "... lalu, saya harus memakai topeng penjahat mana lagi,
"Adam Victorius Sanjaya," jawab Juna. "Gak nyambung," ujar sang ayah. "Aku pingin Adam nanti tau bahwa dia terikat oleh dua keluarga yang bahagia," ujarnya. Tanpa mereka sadari, itu sindiran untuk orang tuanya agar lebih perduli lagi padanya dan Dea, bahwa ia memilih Dea bukan untuk dinilai oleh kedua orang tuanya. "Bagus," ujar Aron. "Ya, keren banget sih," ujar Mira mendukung. Sementara itu Baby Adam terlihat menggeliat di pelukan sang nenek--ibu Juna. "Keliatannya Baby Adam setuju?" ujar Dea terkekeh. "Iya dong, jagoan Papa gitu!" ujar Juna. Ia langsung mencium pipi outranya dengan sayang, tetapi ditegur oleh ibunya karena ia terlalu brutal. "Masih bayi, Juna. Kamu tuh, kek bocil." "Maaf, Ma... gemes soalnya." Mereka semua tertawa melihat itu. Di balik kebahagiaan itu, Mira merasa harus keluar karena ia tak ingin orang-orang melihatnya menangis. Ia sangat senang, tapi juga sedih. Perasaan bercampur itu membuatnya merasa tak karuan. ••• Keesokan harinya,
Dea langsung dilarikan ke rumah sakit untuk melakukan persalinan, Aron dan Mira juga ikut ke rumah sakit mendampingi. Juna ikut masuk ke dalam untuk menjaga Dea, lalu Mira dan Aron duduk di kursi tunggu yang ada di luar. "Sepertinya, ini udah selesai ya Pak," gumam Mira. Aron terkejut dengan kata-kata Mira, ia tersenyum menatap ruangan tertutup itu. "Selesai apa maksud kamu?" "Kontrak kita sudah selesai kan? Dua minggu lagi," ujarnya. Aron yang awalnya mengkhawatirkan putrinya, jadi teralihkan. Ia diam tidak menanggapi, entah kenapa ada bagian dari hatinya yang sakit mendengar pernyataan itu. Betapa ia tak pernah membayangkan ini terjadi dementara hatinya sudah tertambat untuknya. . Di dalam sana, Dea sedang berjuang, mempertaruhkan nyawa demi seorang makhluk yang akan memanggilnya Ibu atau Mama. "Sakiiiiit!" teriaknya lemas. Anak mereka belum juga keluar, melihat bagaimana Dea yang sudah lemas, maka dokter menyarankan untuk Caesar. Dea menolak, tetapi Juna sa
Yuni berusaha mengintip tapi Mira menyembunyilannya, ia membacanya sendiri setelah berhasil ngumpet di salah satu pohon. _ ' _ Dear, Istriku. Hadiah ini untukmu, selamat ya sudah berjuang sejauh ini. Kamu hebat banget! Dari, Mr. M alias suamimu _'_ Mira mendelik, "Dari Pak Aron? Kok Mr. M?" gumamnya. Kemudian ia berpikir, tulisannya terlalu romantis untuk seorang Aron yang kaku. "Oh pasti Dea yang mesen," ujarnya langsung paham. Ia segera mengantongi surat ucapan itu dan keluar dari persembunyiannya. Yuni kesal karena kepo yang memuncak, tapi akhirnya melupakannya dan memilih untuk foto-foto bersama teman-temannya. Saat Mira akan pulang dengan jemputan mobil seperti biasa, ia terkejut ketika sang sopir mengirim pesan kalau ia akan pulang bersama Aron dan Dea. Tak lama kemudian, di seberang jalan tempat ia berdiri terlihat mobil sport milik suaminya dan masuklah pesan dari Dea, kalau mereka sedang menunggu di sana. Mira terkejut, tetapi ia langsung menatap se
"Sayang," panggil Juna. Dea pun berbalik dan meyakinkan suaminya. "Aku sama Papi, oke?" Juna pun akhirnya setuju, ia tak bisa apa-apa kalau Dea sudah sesenang itu. . Dea dan Aron datang ke kampus dan membuat semua orang langsung menatap mereka. Tentu saha, siapa yang tidak tahu Dea dan Aron, donatur terbesar kampus dan anaknya yang merupakan influencer. Apalagi tampilan Dea yang sedang hamil besar, ia memakai dress baby pink dan Aron menggunakan batik coklat tua dan hitam yang kelihatan sekali mahal. "Ini akan jadi berita ngawur Sayang," ujar Aron berbisik. "Ssstttt, Papi ikut aja gak usah bawel." "Padahal kamu yang bawel," balas Aron. "Papiiiii...." Aron pun rekekeh dan membiarkan Dea menggandengnya menuju ke ruangan yang katanya ruang sidang. Namun sebelum mereka sampai, di tikungan koridor fakultas, mereka malah ketemu dengan Rektor dan dihentikan di sana. "Selamat Pagi, Pak Victorius. Apakabar?" sapanya. Pria bertubuh gemuk dengan kacamata bulat itu c
Aron menoleh ke arah suara, siapa lagi kalau bukan putrinya? "Kamu juga, tuh!" Ia menunjuk leher putrinya dengan dagunya, itu kissmark. Dea langsung membuka ponselnya dan berkaca, ternyata benar ada kissmark. "Hem, biasa... btw, Papi udah begituan kan sama Mira?" Deg! Aron terdiam, jangankan begituan, dipeluk saja Mira kakunya minta ampun. Bisa-bisa ia marah kalau sesekali meminta jatah. Lagipula, tujuan mereka menikah bukan untuk bisa begituan, artinya ia harus bersahabat dengan sabun selamanya. "Dari muka Papi sih belom, ngenes banget." Aron menatap putrinya dengan kesal, ia sudah terbiasa dengan itu tapi pembahasan ini melukai harga dirinya. "Mau aku bantu?" goda Dea. Namun, ia serius menawari ayahnya. Kini tatapan Aron menjadi tatapan penuh harap. "Aku bakal bikin kalian jadi pasangan so sweet tiap hari. Tapi ada harganya...." ••• Tentang masalah berita itu, Aron seperti biasa membereskannya. Akan tetapi Dea masih melihat bahwa Juna tak lagi bisa b
Mira tertidur di sofa ruang keluarga usai mengobrol dengan Dea, untunglah tak lama kemudian Aron pulang. "Mira!" panggilnya pelan. Akan tetapi, Mira tidak bangun. Ia seperti terlihat sangat nyaman dengan tidurnya, padahal tidur di sofa tanpa adanya selimut. Tak tega melihat itu, Aron pun ke kamar mengambil selimut untuk Mira. Kemudian ia duduk di samping Mira, entah kenapa ia melakukan itu, jelas bukan terlihat seperti ia yang biasanya. Hari ini, rasanya terasa lebih berat dari biasanya dan ketika melihat Mira, hatinya terasa tenang. Apakah ini yang dinamakan istri solehah yang membawa ketenangan? Ia jadi teringat dengan percakapannya tadi dengan Juna. Juna memutuskan untuk menjadikan bukti yang dibawa olehnya sebagai salah satu opsi, tetapi ia masih akan berhati-hati dengan Mira. Maka Aron juga tidak bisa memaksa Juna untuk percaya pada Mira, itu keputusannya. Saat ini pun, ia tidak yakin dengan apa yang ia lakukan. Entah alasan apa yang membuatnya sangat mempercay
Siang yang cerah itu nyatanya terasa mendung bagi Dea, ia sangat emosi dengan apa yang ia lihat di berita. Di berita itu tertuls, tentang fakta kalau Dea diteror telah bocor ke publik dan diduga pelakunya adalah Mira. "Lo gila sih kalo masih biarin dia ada di rumah lo, lo melihara musuh!" ujar Rani. Jadi Dea menemui Rani untuk informasi itu, kini namanya tengah trending, sementara selama 3 bulan ini ia jarang membuka media sosial, lebih banyak main game atau melakukan kelas kehamilan yang membuat kegiatannya berkutat hanya pada kehamilan dan Skripsinya. Ia sangat kecewa, tapi apa ia harus menanyakan itu pada Mira. "Gue pulang sekarang!" "Tunggu, De!" Dea menghentikan langkahnya, "Gue cuma mau peringatin lo sekali lagi karena gue pure perduli ama lo. Gue harap, lo jangan masuk ke lubang yang sama lagi. Percaya sama orang yang salah." Setelah itu, Dea benar-benar pergi dari sana dengan pikiran yang penuh dengan kecemasan. Saat ia sampai di rumah, ia melihat Mira seda
"Em... ya gaklah. Aku cuma tiba-tiba kepikiran, kamu tau kan latar belakangku?" Dea mengangguk saja. "Wajar, tapi jangan dipelihara.""Iya.""Btw, Papi bener-bener cinta sama lu. Sayang banget, cuma... dia emang orangnya gitu gak bisa menunjukkan kecintaannya."Mira agak ragu, ia hanya tersenyum tipis. Ia tak punya waktu untuk membicarakan hal yang bernama cinta.Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan keluarga, pekerjaannya, dan juga misi utamanya di sana."Dia bahkan minta gue buat nemenin lo ke toko perhiasan, karena kemarin dia gak beliin buat lo."Mira terkejut, "Masa sih?" "Kok lu keliatan pesimis gitu? Beneran! Makanya aku baru kepikiran, kenapa gak beli custom aja?"Mira tak mengerti, "Gimana maksudnya?""Papi biasanya ngebiarin Mami beliin perhiasan yang cuma dibuat 1 kali aja, itu khusus.""Pasti mahal.""Lagi dan lagi, omongan lu gak jauh-jauh dari mahal. Lagian ya... wajar kali seorang Nyonya Victorius punya barang limited edition. Bahkan kalo gak punya, aneh banget
"Dia cuma bilang agar aku hati-hati aja kalo pergi sama kamu, gitu." Dea terkejut, "Dia segitunya..." "Memang ada apa sih?" tanya Mira balik. "Gue semalem ijin mau pergi sama lu, atas permintaan Papi. Eh malah dia bilang gitu ke elu?" Mira mengangguk ragu, ia harus bilang apa. Ia hanya asal mencari alasan tadi. Setelah itu mereka melanjutkan percakapan lain, karena tidak enak dengan suasananya. "Gue nggak tahu kenapa semuanya jadi rumit kayak gini, tapi karena emang udah terlanjur kayak gini, nggak ada hal lain yang perlu gue takutin kan?" Mira mengangguk ragu lagi, ia tak paham arah pembicaraan Dea ke mana. "Setidaknya ada lu, Papi, dan Juna, menurut gue udah cukup sih, nanti ditambah anak kami." Mira mengalihkan pandangannya dengan senyum tipis menatap kolam. Tatapannya sendu seolah tak berujung. Dea jadi tak enak, apa kata-katanya membebaninya? "Pokoknya, gue seneng akhirnya Papi bisa buka hati buat orang lain. Gue juga udah relain kok kalo Nyokap Tiri gue buk