Semoga suka ;)
Dea mendengus kesal karena harus dijaga oleh Mira, ayah dan suaminya bekerja. Sementara itu, Mira sibuk mengerjakan laporan Magangnya yang hampir selesai. Tentu Mira lebih cepat selesai dibandingkan dirinya karena ia sempat berhenti akibat kejadian waktu itu. Ia merasa bosan, hingga akhirnya mengundang sahabatnya untuk main ke sana. Untunglah kedua sahabatnya mau diajak bertemu di rumah sakit, sehingga ia lega. Hanya saja ia tak mengerti kenapa salah satu sahabatnya hampir tak bisa ditemui, ia akan bertanya dengan kedua sahabatnya tentang kabarnya karena anak itu susah sekali ditanyai. Saat kedua sahabat Dea datang, Mira pun keluar dengan sikap tahu dirinya. Dea tentu tak perlu mengusirnya kali ini. "Ey, kenapa sih si Uyul gak dateng?" tanya Dea. Uyul panggilan kesayangan mereka untuk temannya itu. "Sebenernya...." ujar Rani ragu. Angel pun ikut bingung, tetapi seperti biasa mulut cerobohnya melangkahi logikanya. "Kenapa?" tanya Dea lagi. Ia mendesak karena ini pers
'Masa sih Papi jijik sama Mira?'Dea pun mengamati tap gerak-gerik Mira, mereka hidup baai orang asing. Dea selalu mengabaikan Mira, sementara itu Mira terus terlihat canggung.Ia mungkin merasakan tatapan menyelidik dari Dea."Mau bubur ayam?" tanya Mira. "Aku mau beli di depan RS.""Enggak, terima kasih," jawab Dea."Aku beliin dumplingnya aja ya," lanjut Mira."Enggak usah, lu beli buat lu aja.""Oke, mau titip sesuatu?" Dea berpikir sejenak, Bi Asih biasanya datang jam 8, ini baru jam 7, jadi ia sepertinya bisa minta bantuan Mira."Beliin Topokki," pintahnya."Emang boleh makan Topokki?" tanya Mira."Boleh, beliin aja sih....""Oh, oke."Mira pun pergi keluar membawa tas kecilnya, lalu ia diam-diam memerintahkan orang untuk menyelidiki Mira. Tentu saja, Mira terlihat mencurigakan. Selain tentang perselingkuhannya dan Reza, dia tampak memiliki rahasia lain.Sampai siang harinya, orang yang ia perintah menelponnya dan memberikan informasi terkait Mira. Laporan itu mengatakan kala
Aron sedang menyuapi putrinya, tapi Dea terlihat murung. "Ada apa kok murung, Sayangku?" "Kapan aku pulang?" tanya Dea. "Kamu pingin pulang?" tanyanya. "Ya iyalah," jawab Dea cepat. Aron pun terkekeh mendengarnya, "Oke, siap. Nanti Papi bilang ke Perawat ya." "Iya, Pi. Makasih ya." "Iya, Sayangku." Tak lama, Mira terlihat datang membawa totebag besar, entah apa isinya. Dea jadi penasaran, apa itu wadah yang ia gunakan untuk bagi-bagi kue? "Papi pasti seneng kan, punya istri dermawan?" Aron mengeryit tak paham. Ia sedang merapihkan alat makan Dea, tapi tiba-tiba ditanyai begitu. Mira juga terlihat binging, ia duduk di sofa dengan posisi agak tegang. Jadi Dea berasumsi kalau Mira mungkin takut ia mengungkapkan kebusukannya. "Maksudnya?" tanya Aron mendekati putrinya. "Itu kotak di totebag gede bekas kue yang dibagiin kan?" tanya Dea menunjuk totebag yang dibawa Mira. Mira dan Aron saling pandang seolah berkomunikasi lewat mata. "Bukan, itu tuh karena hobi
"Jawab, bangsat!" bentak Juna. Bentakannya membuat semua yang ada di ruang introgasi itu berjingkat kaget. Juna seperti akan membalikkan meja jika ia tidak berusaha menahan diri. Ia sangat membenci perilaku orang yang ada di depannya, orang itu hampir mencelakai istrinya atas perintah orang lain.Sayangnya, orang itu belum mau membuka mulut, siapa dalang di balik semua itu.Andai tidak ada Aron siang tadi, Juna pasti sudah menghabisi pria yang sudah babak belur itu. Pelaku hampir saja mati kalau tidak langsung dibawa ke UGD.Maka Sore harinya, sekitar 2 jam setelah pria itu sadarkan diri, ia dibawa ke kantor polisi dalam keadaan masih menggunakan kursi roda. Setelah itu dimasukkan ke ruang isolasi.Sebenarnya bisa saja diintrogasi di rumah sakit, tetapi Juna memerintahkan polisi untuk bersikap tegas pada pelaku yang satu ini, atau kalau tidak ia akan membunuhnya.Setelah sampai di ruang introgasi, ia pun terus mencecar banyak pertanyaan pada pria itu. Sampai 2 jam berlalu, tapi pri
"Hah?!" kaget Dea. Bi Asih juga terlihat kagt sampai tersedak. "Uhuk uhuk!" Mira juga terlihat diam sejenak, sebelum ia memberikan minum pada Bi Asih yang kesulitan menelan makanannya. Sementara itu Dea terus memberikan tatapan membunuh seolah tiada hari esok untuk menatap Mira. "Maksudnya gimana?" tanya Dea. Mira terlihat senyum lagi, tapi kali ini terlihat lebih alami. "Ya kalo mau buka warteg gak di Mansion kan, harus keluar," jawabnya nyengir. Dea merasa kesal dengan jawaban itu, "Jawaban bego macam apa itu?" "Ahahaha, bisa aja Nyonya!" Bi Asih merespon sebagai candaan, itu membuat Dea agak ragu dengan analisisnya. Namun ketika ia melihat bagaimana ayahnya memanggil Mira di telepon, ayahnya jelas sangat menyayangi Mira. Ia harap tidak ada yang disembunyikan darinya. Pun ia sedang sibuk dengan masalahnya sendiri terkait keselamatannya dan sang bayi. Kalau dipikir-pikir, kenapa hidupnya penuh dengan misteri. Ada banyak yang tidak ia tahu tetapi ia terkena dampak dari ke
Tidak banyak yang tahu siapa Juna sebenarnya, di balik dirinya yang seorang pengusaha ia juga tidak kalah di dunia gelap. Ia punya backing yang bisa menyelamatkannya dari bahaya, ia akan melindungi istrinya sebisa mungkin. Pulang dari kantor Aron, Juna langsung ke kamar dan mendapati Dea sedang tidur dengan posisi miring membelakangi pintu. Ingin rasanya menerjangnya untuk memeluknya barang sejenak, tetapi ia tak punya banyak waktu. Namun tiba-tiba saat ia membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang. "Jangan pergi...." pintahnya. Juna langsung berbalik dan membalas pelukan istrinya, ia mengelus kepala istrinya yang tenggelam di dada berototnya. "Kenapa bangun, Sayang?" tanyanya lembut.Dea mendongak dan memperlihatkan wajahnya yang seperti sudah menangis lama sekali. "Aku gak bisa biarin kamu dalam masalah karena aku, kalo kamu mati gimana?" tanya Dea.Juna langsung tertawa kencang, kemudian melihat Dea yang cemberut karena kekhawatirannya ditert
No.Name || Hi, gimana kabarnya? Semoga Dede bayinya cepet mati! No.Name || Cie pasti lagi ketakutan, dikiranya iseng tapi kejadian. Ya gak sih? No.Name || Puas-puasin ya lo sekarang, sayangnya... ada orang yang bikin gue leluasa ganggu lo. Namun di balik semua itu, ada satu teror yang membuatnya bingung. Ada dua nomor tak dikenal yang membuat ancaman, tapi menurutnya keduanya adalah orang yang sama karena kalimatnya hampir sama. No.Name2 || Hello! No.Name2 || Gue sih cuma nonton sambil ketawa, lo rasain dah tuh dihantui oleh maut. No.Name2 || Btw, gue pingin liat sejauh mana lo bertahan Dea. No.Name2 || Gue gak akan biarin lo seneng dalam waktu yang lama. Lo harus merasa terancam dan hidup dalam bayang-bayang kesedihan. No.Name2 || Tapi sekarang, gue cuma bisa nonton dulu sih.... Dea tidak menjawab dua pesan itu, ia mendapat informasi dari ayahnya kalau Juna akan beraksi melakukan pencegahan pada pelaku kejahatan yang sudah ia ketahui berpusat pada Melka. Namun Aron menje
"Bukan aku, Ar!" teriak Melka. Ia diculik oleh Juna untuk memancing orang-orang di baliknya. "Udah ketahuan masih aja gak mau ngaku, lu kira gue bego?" "Hiks!" isak tangisnya terdengar memilukan. Juna tidak memperdulikan isak tangis Melka. Ia sudah biasa dengan berbagai drama yang Melka buat. Lucunya, setiap drama itu menempatkan semua orang senagai penjahat dan Melka sendiri yang menjadi protagonis atau korban. Drama seperti ini adalah salah satu drama paling ringan yang Melka buat, karena drama lainnya sudah ia lakoni. Selamanya jika ia masih bersama Melka, ia akan selalu menjadi antagonis dalam hidup mereka. Harusnya perpisahan adalah jalan terbaik untuk mereka daripada memaksakan persatuan, sementara Melka merasa tidak bahagia. Obsesi Melka yang terlalu dalam mencintai Juna justru melukainya dan membuatnya tertekan. Juna memang sabar, tapi ia punya batas. Ia tak perduli jika publik menghinanya, karena telah lama pacaran dan bertunangan dengan Melka tapi nikahnya d
"Adam Victorius Sanjaya," jawab Juna. "Gak nyambung," ujar sang ayah. "Aku pingin Adam nanti tau bahwa dia terikat oleh dua keluarga yang bahagia," ujarnya. Tanpa mereka sadari, itu sindiran untuk orang tuanya agar lebih perduli lagi padanya dan Dea, bahwa ia memilih Dea bukan untuk dinilai oleh kedua orang tuanya. "Bagus," ujar Aron. "Ya, keren banget sih," ujar Mira mendukung. Sementara itu Baby Adam terlihat menggeliat di pelukan sang nenek--ibu Juna. "Keliatannya Baby Adam setuju?" ujar Dea terkekeh. "Iya dong, jagoan Papa gitu!" ujar Juna. Ia langsung mencium pipi outranya dengan sayang, tetapi ditegur oleh ibunya karena ia terlalu brutal. "Masih bayi, Juna. Kamu tuh, kek bocil." "Maaf, Ma... gemes soalnya." Mereka semua tertawa melihat itu. Di balik kebahagiaan itu, Mira merasa harus keluar karena ia tak ingin orang-orang melihatnya menangis. Ia sangat senang, tapi juga sedih. Perasaan bercampur itu membuatnya merasa tak karuan. ••• Keesokan harinya,
Dea langsung dilarikan ke rumah sakit untuk melakukan persalinan, Aron dan Mira juga ikut ke rumah sakit mendampingi. Juna ikut masuk ke dalam untuk menjaga Dea, lalu Mira dan Aron duduk di kursi tunggu yang ada di luar. "Sepertinya, ini udah selesai ya Pak," gumam Mira. Aron terkejut dengan kata-kata Mira, ia tersenyum menatap ruangan tertutup itu. "Selesai apa maksud kamu?" "Kontrak kita sudah selesai kan? Dua minggu lagi," ujarnya. Aron yang awalnya mengkhawatirkan putrinya, jadi teralihkan. Ia diam tidak menanggapi, entah kenapa ada bagian dari hatinya yang sakit mendengar pernyataan itu. Betapa ia tak pernah membayangkan ini terjadi dementara hatinya sudah tertambat untuknya. . Di dalam sana, Dea sedang berjuang, mempertaruhkan nyawa demi seorang makhluk yang akan memanggilnya Ibu atau Mama. "Sakiiiiit!" teriaknya lemas. Anak mereka belum juga keluar, melihat bagaimana Dea yang sudah lemas, maka dokter menyarankan untuk Caesar. Dea menolak, tetapi Juna sa
Yuni berusaha mengintip tapi Mira menyembunyilannya, ia membacanya sendiri setelah berhasil ngumpet di salah satu pohon. _ ' _ Dear, Istriku. Hadiah ini untukmu, selamat ya sudah berjuang sejauh ini. Kamu hebat banget! Dari, Mr. M alias suamimu _'_ Mira mendelik, "Dari Pak Aron? Kok Mr. M?" gumamnya. Kemudian ia berpikir, tulisannya terlalu romantis untuk seorang Aron yang kaku. "Oh pasti Dea yang mesen," ujarnya langsung paham. Ia segera mengantongi surat ucapan itu dan keluar dari persembunyiannya. Yuni kesal karena kepo yang memuncak, tapi akhirnya melupakannya dan memilih untuk foto-foto bersama teman-temannya. Saat Mira akan pulang dengan jemputan mobil seperti biasa, ia terkejut ketika sang sopir mengirim pesan kalau ia akan pulang bersama Aron dan Dea. Tak lama kemudian, di seberang jalan tempat ia berdiri terlihat mobil sport milik suaminya dan masuklah pesan dari Dea, kalau mereka sedang menunggu di sana. Mira terkejut, tetapi ia langsung menatap se
"Sayang," panggil Juna. Dea pun berbalik dan meyakinkan suaminya. "Aku sama Papi, oke?" Juna pun akhirnya setuju, ia tak bisa apa-apa kalau Dea sudah sesenang itu. . Dea dan Aron datang ke kampus dan membuat semua orang langsung menatap mereka. Tentu saha, siapa yang tidak tahu Dea dan Aron, donatur terbesar kampus dan anaknya yang merupakan influencer. Apalagi tampilan Dea yang sedang hamil besar, ia memakai dress baby pink dan Aron menggunakan batik coklat tua dan hitam yang kelihatan sekali mahal. "Ini akan jadi berita ngawur Sayang," ujar Aron berbisik. "Ssstttt, Papi ikut aja gak usah bawel." "Padahal kamu yang bawel," balas Aron. "Papiiiii...." Aron pun rekekeh dan membiarkan Dea menggandengnya menuju ke ruangan yang katanya ruang sidang. Namun sebelum mereka sampai, di tikungan koridor fakultas, mereka malah ketemu dengan Rektor dan dihentikan di sana. "Selamat Pagi, Pak Victorius. Apakabar?" sapanya. Pria bertubuh gemuk dengan kacamata bulat itu c
Aron menoleh ke arah suara, siapa lagi kalau bukan putrinya? "Kamu juga, tuh!" Ia menunjuk leher putrinya dengan dagunya, itu kissmark. Dea langsung membuka ponselnya dan berkaca, ternyata benar ada kissmark. "Hem, biasa... btw, Papi udah begituan kan sama Mira?" Deg! Aron terdiam, jangankan begituan, dipeluk saja Mira kakunya minta ampun. Bisa-bisa ia marah kalau sesekali meminta jatah. Lagipula, tujuan mereka menikah bukan untuk bisa begituan, artinya ia harus bersahabat dengan sabun selamanya. "Dari muka Papi sih belom, ngenes banget." Aron menatap putrinya dengan kesal, ia sudah terbiasa dengan itu tapi pembahasan ini melukai harga dirinya. "Mau aku bantu?" goda Dea. Namun, ia serius menawari ayahnya. Kini tatapan Aron menjadi tatapan penuh harap. "Aku bakal bikin kalian jadi pasangan so sweet tiap hari. Tapi ada harganya...." ••• Tentang masalah berita itu, Aron seperti biasa membereskannya. Akan tetapi Dea masih melihat bahwa Juna tak lagi bisa b
Mira tertidur di sofa ruang keluarga usai mengobrol dengan Dea, untunglah tak lama kemudian Aron pulang. "Mira!" panggilnya pelan. Akan tetapi, Mira tidak bangun. Ia seperti terlihat sangat nyaman dengan tidurnya, padahal tidur di sofa tanpa adanya selimut. Tak tega melihat itu, Aron pun ke kamar mengambil selimut untuk Mira. Kemudian ia duduk di samping Mira, entah kenapa ia melakukan itu, jelas bukan terlihat seperti ia yang biasanya. Hari ini, rasanya terasa lebih berat dari biasanya dan ketika melihat Mira, hatinya terasa tenang. Apakah ini yang dinamakan istri solehah yang membawa ketenangan? Ia jadi teringat dengan percakapannya tadi dengan Juna. Juna memutuskan untuk menjadikan bukti yang dibawa olehnya sebagai salah satu opsi, tetapi ia masih akan berhati-hati dengan Mira. Maka Aron juga tidak bisa memaksa Juna untuk percaya pada Mira, itu keputusannya. Saat ini pun, ia tidak yakin dengan apa yang ia lakukan. Entah alasan apa yang membuatnya sangat mempercay
Siang yang cerah itu nyatanya terasa mendung bagi Dea, ia sangat emosi dengan apa yang ia lihat di berita. Di berita itu tertuls, tentang fakta kalau Dea diteror telah bocor ke publik dan diduga pelakunya adalah Mira. "Lo gila sih kalo masih biarin dia ada di rumah lo, lo melihara musuh!" ujar Rani. Jadi Dea menemui Rani untuk informasi itu, kini namanya tengah trending, sementara selama 3 bulan ini ia jarang membuka media sosial, lebih banyak main game atau melakukan kelas kehamilan yang membuat kegiatannya berkutat hanya pada kehamilan dan Skripsinya. Ia sangat kecewa, tapi apa ia harus menanyakan itu pada Mira. "Gue pulang sekarang!" "Tunggu, De!" Dea menghentikan langkahnya, "Gue cuma mau peringatin lo sekali lagi karena gue pure perduli ama lo. Gue harap, lo jangan masuk ke lubang yang sama lagi. Percaya sama orang yang salah." Setelah itu, Dea benar-benar pergi dari sana dengan pikiran yang penuh dengan kecemasan. Saat ia sampai di rumah, ia melihat Mira seda
"Em... ya gaklah. Aku cuma tiba-tiba kepikiran, kamu tau kan latar belakangku?" Dea mengangguk saja. "Wajar, tapi jangan dipelihara.""Iya.""Btw, Papi bener-bener cinta sama lu. Sayang banget, cuma... dia emang orangnya gitu gak bisa menunjukkan kecintaannya."Mira agak ragu, ia hanya tersenyum tipis. Ia tak punya waktu untuk membicarakan hal yang bernama cinta.Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan keluarga, pekerjaannya, dan juga misi utamanya di sana."Dia bahkan minta gue buat nemenin lo ke toko perhiasan, karena kemarin dia gak beliin buat lo."Mira terkejut, "Masa sih?" "Kok lu keliatan pesimis gitu? Beneran! Makanya aku baru kepikiran, kenapa gak beli custom aja?"Mira tak mengerti, "Gimana maksudnya?""Papi biasanya ngebiarin Mami beliin perhiasan yang cuma dibuat 1 kali aja, itu khusus.""Pasti mahal.""Lagi dan lagi, omongan lu gak jauh-jauh dari mahal. Lagian ya... wajar kali seorang Nyonya Victorius punya barang limited edition. Bahkan kalo gak punya, aneh banget
"Dia cuma bilang agar aku hati-hati aja kalo pergi sama kamu, gitu." Dea terkejut, "Dia segitunya..." "Memang ada apa sih?" tanya Mira balik. "Gue semalem ijin mau pergi sama lu, atas permintaan Papi. Eh malah dia bilang gitu ke elu?" Mira mengangguk ragu, ia harus bilang apa. Ia hanya asal mencari alasan tadi. Setelah itu mereka melanjutkan percakapan lain, karena tidak enak dengan suasananya. "Gue nggak tahu kenapa semuanya jadi rumit kayak gini, tapi karena emang udah terlanjur kayak gini, nggak ada hal lain yang perlu gue takutin kan?" Mira mengangguk ragu lagi, ia tak paham arah pembicaraan Dea ke mana. "Setidaknya ada lu, Papi, dan Juna, menurut gue udah cukup sih, nanti ditambah anak kami." Mira mengalihkan pandangannya dengan senyum tipis menatap kolam. Tatapannya sendu seolah tak berujung. Dea jadi tak enak, apa kata-katanya membebaninya? "Pokoknya, gue seneng akhirnya Papi bisa buka hati buat orang lain. Gue juga udah relain kok kalo Nyokap Tiri gue buk