"Huwaaaaa!" Bayangkan bagaimana mental Dea menghadapi dua manusia tukang selingkuh itu. Ia menelpon ayahnya tapi ayahnya ada di panggilan lain, mungkin sang ayah sedang memarahi istrinya. Namun apakah ayahnya akan selalu ada di posisi satu suara dengannya, mengingat waktu itu ayahnya pernah memarahinya hanya karena Mira. Ia kemudian curhat dengan teman-temannya dan mereka pun mendengarkan dengan baik. Mereka sudah jampir 4 tahun ini sebagai sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka. Meskipun mereka tidak memberikan solusi waras tapi Dea dihibur oleh mereka. Mereka merupakan satu keberkahan, karena mereka yang membuat perasaannya mulai kembali lagi. . Sementara di lain sisi, Juna sedang mencoba untuk membereskan masalahnya dengan Melka. Ia membuat sebuah postingan di media sosialnya berupa video kalau ia dan Melka sudah tidak memiliki hubungan lagi. Ia sampai menyinggung tentang branding baru Melka yang membranding diri sebagai wanita independen yang tidak but
Dea sudah lelah, jadi ia pergi saja sebelum Bara membubarkan orang-orang yang menonton adegan itu. Naomi sendiri mengikutinya, ia sangat khawatir pada istri bosnya. Bukan rahasia lagi kalau Dea adalah istri bosnya dan sedang hamil, tapi orang-orang terkecoh dengan drama yang dibuat Melka. "Nona, Anda gak papa kan?" tanyanya. Mereka sudah sampai di ruangan Dea yang bersebelahan dengan ruangan Juna. "Kak Naomi kenapa iku ke sini?" tanya Dea agak kesal. "aku khawatir sama kamu, Dea." "Kakak diperintah sama Juna buat jagain aku ya?" tanyanya curiga. Naomi pun langsung terkejut dan itu sangat terlihat sekali di wajahnya. "Hem, Kak Naomi itu mudah ketebak dari mukanya. Seolah-olah, muka Kakak tuh kayak langsung ada translatenya gitu," ujar Dea. "Apaan sih!" balas Naomi cemberut. "Kamu dalam keadaan kayak gini, masih aja bercanda." "Aku nggak bercanda, aku serius. Muka kakak tuh kelihatan banget kalau lagi mikir apa gitu. Kayak langsung terbaca." Naomi malah terlihat sed
Apa sebenarnya Juna memang masih mencintai Melka? Saat Dea berpikir keras, tiba-tiba datanglah seorang tak dikenal dan berpenampilan seperti kurir membawa buket bunga Lily putih yang indah. Semua orang yang melihatnya seolah berharap bahwa itu untuknya, tetapi ia datang ke arah Dea dan teman-temannya. "Eh liat!" ujar Echa heboh. Keempat temannya pun langsung melihat ke arah kurir yang sedang berjalan ke sana, termasuk Dea. Setelah sampai di samping meja mereka, sang kurir pun menyapa. "Selamat siang! Apakah Anda yang bernama Dea Ryn Victorious?" Dea agak ragu, tapi ia membenarkan. "Hem, betul itu nama saya. Kenapa ya, Pak?" tanya Dea. "Ada kiriman bunga untuk Anda dari Bapak Arjuna Tirtanegara, di sini tertulis untuk istrinya yang bernama Dea Ryn Victorious," ujar si kurir sambil belepotan menyebut nama Dea dan Juna. Echa dan Olive terlihat sudah ancang-ancang ingin menggodanya, sementara Dea dengan bingung menerimanya. 'Tiba-tiba banget.' "Oh iya bener. Terima
Dea mencari tentang Lily Putih, artinya apa. Itu yang disebutkan Aji tadi, ia harus mencari artinya. Ia lalu mencari di internet, dan tak sengaja menjatuhkan kartu ucapan yang awalnya ada di buket bunga Lily itu. -- Dear, Sayangku Dea ❤ Ini aku, Juna--suamimu. Aku tau, aku terlalu tak tau diri untuk mengatakan ini, tapi... aku dengan tulus, minta maaf padamu. Aku minta maaf ya, Sayang. Setelah semuanya selesai, aku akan menjelaskan padamu. -- Btw, I miss you sooooo much T_T Dea meremas kartu ucapan itu, tentu ia tidak puas dengan itu, lalu ia merobeknya. Srek! Ia sangat membenci perasaan luluh yang tiba-tiba hinggap di hatinya. Juna selalu bisa membuatnya yakin, tapi dalam waktu bersamaan membuatnya ragu. "Dasar bajingan!" Saat ia sedang kesal, ayahnya pun menelpon. "Sayang!" panggil sang ayah. "Papi pasti begadang ya!" "Bilang Papi begadang tapi kamu juga, kenapa belum tidur jam segini. Kalo Papi kan jelas kerja," ujarnya berusaha membuat suasana menyenang
Juna baru pulang di jam 02.00 dini hari, sebenarnya ia pesimis kalau istrinya mau membukakan pintu untuknya. Akan tetapi, ia tetap saja menuju ke lantai 2 untuk memastikan. Selama dua malam ini, pintu kamar istrinya yang kini menjadi kamar mereka berdua pun dikunci. Ia tak boleh masuk dan akhirnya tidur di sofa ruang keluarga. Namun kali ini, ketika ia membuka pintu kamar itu, ternyata terbuka dengan mudah dan ia sangat bahagia. "Yes!" Apakah istrinya sudah memaafkan ya? Juna langsung melangkah ke dalam, ia terkejut ketika istrinya masih sibuk di depan laptopnya. Apa jangan-jangan sebenarnya pintunya tidak dikunci karena istrinya masih sibuk? "Hai, Sayang! Aku pulang," sapanya. Ia berusaha mati-matian agar tetap tegar dan bersiap atas semua respon yang akan dia berikan padanya. Akan tetapi, tidak ada jawaban seperti biasa. Meski begitu, ia sudah merasa lega karena diperbolehkan masuk ke kamarnya. Sebenarnya ia bisa saja pulang ke apartemen dan tidur di sana dengan
Di kantor, Dea seperti biasa langsung berkutat pada pekerjaannya. Setelah membacakan jadwal suaminya, ia menerima pekerjaan untuk membantunya mengurus beberapa dokumen untuk dikirim ke pihak luar. Siangnya, Dea diajak oleh Juna untuk menemui klien di salah satu hotel terkenal. Hotel itu adalah salah satu Hotel milik ayah Dea, sehingga ia dengan alami masuk dan disambut secara khusus oleh para pegawai di sana. Alkan tetapi, ia bilang. "Jangan kayak gitu, Kak. Aku di sini lagi kerja sebagai karyawannya, Pak Juna. Jadi kalian bersikap seperti aku tamu biasa, oke?" "Oke, Non." Mereka pun menurutinya dan mulai menawarkan beberapa pelayanan bagi mereka sambil menunggu klien. Juna menelpon beberapa orang sebelum meeting. Ia sepertinya sangat serius menelepon orang itu yang dipanggil, Wiwi. Ia pernah bertemu dengannya, ia sekretaris Juna yang lain dan sedang cuti panjang setelah istrinya melahirkan anak kedua. Tak lama, klien pun datang. Klien itu adalah seorang pria dengan rambut pira
"Sebenarnya aku baru putus dengan tunanganku." Juna terkejut, "Oh my God! Kau putus dari Garcia?! Bagaimana bisa kamu melepaskan orang yang sudah menjadi pengendalimu?!" heboh Juna. Ia sampai memeluk Dea semakin erat, sampai Dea tidak betah dan mencubit pipinya. Juna pun melepaa Dea untuk kembali berdiri, karena saking fokusnya mulai membicarakan hal lain selain bisnis. "Hah?! Pengendali apa maksudnya?" "Ya, yang bisa membuatmu menetap lama. Bukankah jarang-jarang ada seseorang yang bisa mengendalikanmu dan membuatmu akhirnya menatap di satu perempuan saja?" jelas Juna. "Haha! Aku harusnya tau, kau selalu menyindirku." "Ya bagaimana lagi, kau memang seperti itu kan?" Pria yang dipanggil John itu tertawa ngakak, ia terlihat sangat alami bercanda dengan Juna bahkan membicarakan hal yang sangat pribadi. Juna bahkan tau nama tuangannya, apakah hubungan mereka sebaik itu? Dea tidak tahu kalau Juna bisa seakrab itu dengan rekan bisnisnya, yang ia lihat bebetpa kalia ia s
Dea pulang dengan mood yang tidak baik-baik saja. Entah karena hormon atau karena ada alasan yang membuatnya seperti itu. Hal itu membuat Bi Asih langsung paham dengan mood Nona Mudanya itu. Bagaimanapun, Bi Asih adalah orang yang paling tau tentang Dea. "Nona kenapa cemberut gitu?" tanyanya sambil menaruh segelas air putih di depan Dea. "Nggak tahu nih, mood+ku tiba-tiba hancur banget. Apa gara-gara hormon ya Bi?" "Hah? Hormon apa?" tanya Bi Asih bingung dengan istilah itu. "Maksudnya hormon bayi," balas Dea. "Oh ya ya, bisa jadi sih. Dulu Bibi juga kayak gitu, yang jadi target amarah ya suami," balas Bi Asih bercerita. "Ya tapi kan suaminya Bi Asih orangnya nggak nyebelin." "Emangnya Tuan Juna nyebelin, Non?" tanya Bi Asih lagi dengan polos. Dea pun nenghela nafas dan mengabaikan pertanyaan Bi Asih, sebelum akhirnya pamit pergi dari sana. Ia ingin hangout bersama temannya. Tak lama, ia sudah rapih dan akan makan ke meja makan. Di sana sudah ada makanan kesukaannya. Hal i
Mira keluar dari kantor saat tiba-tiba mobil mewah yang sangat ia kenali, berhenti di depannya, membuatnya dan orang di sekitarnya kaget. Lalu, kaca mobil dibuka dan memperlihatkan Yuda--sopir Aron yang tersenyum padanya. "Silahkan naik, Nyonya." "Lah Evi (opir Mira) kemana?" tanya Mira. "Sudah pulang, Tuan yang nyuruh." Mira kemudian mendekat dan melihat ada Aron yang duduk di kursi penumpang dengan ekspresi datar. Hal itu membuatnya bingung, tapi ia juga tak bisa menolaknya. Dibukanya pintu samping sopir dan ia duduk di sana, mengabaikan tatapan Aron yang jelas tak suka ia duduk di samping Yuda. "Nyonya... itu..." "Sssstttt, jalan!" perintah Mira. Yuda melirik Aron dari kaca tenah dan melihat sang majikan mengangguk parah. Sepertinya mereka sedang ada masalah, yang membuat Nyonyanya tak mau duduk bersama sang Tuan. Padahal biasanya mereka sangat menempel, tapi sebagai sopir Ia hanya bisa fokus menyetir dengan kondisi tertekan. Bagaimana tidak tertekan? B
"Kita harus kerja sekarang kan?" Aron mengeryit, "Di situasi ini?" Ia sungguh kaget, pembicaraan ini amat penting, dan sekarang Mira masih memikirkan kerja? "Aku akan teat dan akan dapat masalah," ujar Mira panik. Alih-alih menunggu suaminya bicara, ia segera masuk ke kamar mereka dan mengambil batang-barang yang harus ia bawa ke kantor. Aron kebingungan, tapi Mira terlanjur heboh sendiri dan minta dintarkan ke kantor pada sopirnya. Pada saat itulah, Aron merasa apa yang ia lakukan tidak mempan untuk Mira. Yah, Mira bukan perempuan bodoh, tapi ia hanya belum bisa menerima. Ia pun akan mencoba mengerti, jika seperti itu hasilnya. ••• Dea tadi malam memang sudah memberikan testimoni pada Mira tentang ayahnya Ia bukannya mau ikut campur, tapi ia ingin membantu ayahnya sedikit-sedikit. Makanya ia cukup banyak menceritakan tentang ayahnya pada Mira. Saat ini, Dea sudah agak senggang dan membuka ponselnya karena Baby Adam sudah tidur. Akan tetapi, ayahnya menelpon dan
"Jangan tinggalin aku!" gumam Aron dengan isak tangisnya. Mira tambah bingung, "Apa yang kamu maksud? Ninggalin apa?" tanyanya. Aaron kemudian melepas pelukannya pada Mira dan menatapnya. "Kamu nggak ninggalin aku kan?" Mira mengeryit bingung, "Maksud kamu? Lah aku kan cuma nginep di tempat Dea." "Kukira kamu gak bakal pulang karena masih marah sama aku. Aku takut kamu pulang lagi ke kampung," ujarnya dengan suara yang agak kekanakan. Jujur di sini Mira merasa bingung, apakah ini suaminya yang biasanya berwibawa, ia tampak seperti Kucing manja sekarang. Mira pun menghela nafas dan menggeleng. "Enggak kok, aku gak akan pergi sebelum nyelesein masalah kita." "Tapi kamu tetep pergi?" "Tergantung kamu," balas Mira sok cuek. Padahal ia hampir kelepasan ketawa gara-gara kondisi muka Aron terlihat seperti balita yang takut ibunya pergi. Saat Aron ingin membalas lagi, Oma menyarankan agar mereka duduk dulu. Lalu, mereka pun menurut dan berjalan menuju sofa. Mira dud
Mira merasa hatinya mulai mengeras, ia sulit percaya pada suaminya lagi. Ia takut, bahwa cintanya juga akan pudar. Ia mengirimkan pesan pada suaminya karena ingin menginap di Mansion milik Dea. Mira || Mas, ijin nginep di tempat Dea ya Aron || Kenapa? Aku mau ngobrol loh Sayang Mira || Besok aja, sekarang aku mau sama Baby Adam Menunggu cukup lama selama 5 menit, baru Aron membalas lagi. Aron || Ya udah gak papa, semoga mimpi indah Mira mendengus, "Manis banget kamu Mas," gumamnya kecewa. Ia masih kecewa dengan keadaan ini, di mana ia bahkan tidak bisa membayangkan kalau suaminya memang berselingkuh dengan Julia. Dea menatap Mira dengan prihatin, "Papi bilang apa?" "Dia mau ngobrol sama ku, tapi aku mau sama Baby Adam dulu." Dea pun mengangguk-angguk saja. Ia tak ingin membuat mood Mira turun. Ia yakin Mira dalam kondisi yang tidak membutuhkan nasihat, ia hanya butuh jeda jntuk bertemu Aron sebelum menghadapinya lagi. Menghadaoi orang yang membuat kita kecewa
Mira akan tetap berada di sendiri aja bahwa suaminya harus berusaha membuktikan bahwa ia tidak bersalah Ia merasakan trust issue dengan orang kaya seperti suaminya. Awalnya ia berharap bahwa ada titik terang, tapi ternyata Aaron juga berpotensi untuk menuju ke arah suami tidak setia. Lagian wajar sih, banyak cewek di luaran sana yang tertarim dengan Aron, tertarik untuk menikmati uang atau bahkan tubuhnya. Ia pernah diberitahu Dea, bahwa ayahnya pernah hampir diperkosa, ada juga yang terang-terangan meminta disetubuhi oleh suaminya secara gratis. Ia jadi merasa tambahsesak ketika mengingat fakta itu, ingin rasanya menangis. Ia tidak rela kalau harus membayangkan suaminya bercinta dengan perempuan lain, bayangkan kalau tangannya menyentuh entah bagian tubuh perempuan yang mana, atau perempuan mana saja yang ia sentuh. Ia tidak rela, dan terus merasa frustasi dengan itu. ••• Hari ini katanya Aron akan bertemu dengan Julia, sementara dirinya memilih pergi ke tempat Dea
Mira begadang semalaman, dan memikirkan apa yang dikatakan Dea. "Masuk akal...." gumamnya. Apakah mungkin aktivitas yang dilakukan Aron dan mantan istrinya itu, dilatarbelakangi dari kebutuhan batinnya yang tidak terpenuhi dari istrinya sendiri? Itu bisa sejalan sih, tapi Mira tidak yakin kalau Aron orang yang seperti itu. Jika memang Aron ternyata orang seperti itu, dan ia tidak tahu aslinya. Ia akan sangat hancur. Ia merasa bodoh, atau bisa jadi Aron terbiasa dengan itu dan tidak bisa sembuh. Suaminya bisa saja terbiasa melampiaskan kebutuhannya itu, pada para pelacur atau orang-orang random yang mau berhubungan badan dengannya, yang sama-sama terbiasa dengan aktivitas seperti itu. Ditambah lagi, Aron punya modal fisik yang sulit ditolak. Sangat langka untuk ukuran pria yang tampan tapi tidak doyan selingkuh, presentasenya sekitar 1 banding 10? Mira tidak tau. Biasanya perilaku playboy itu tidak bisa sembuh. Lalu, karena mereka sudah menikah, bisa saja seumur hid
Masalah antara Aron dan Mira tentu saja belum selesai, mereka masih saling diam tapi, Oppa kemudian bicara pada Aron. Mereka bicara di taman belakang, sambil ngopi dan menikmati sore yang tenang. Hari itu, Aron memang pulang lebih awal seperti biasa, ia tak tenang pergi ke kantor ketika istrinya marah padanya. Ia merasa dihantui rasa bersalah, dan merasa tak berguna. Ia merindukan Mira meski ia bisa melihatnya tiap hari, tapi tak bisa menyentuhnya, memeluknya dan menatapnya dati dekat. Mira selalu menjaga jarak, mengabaikannya dan mencoba mengurangi interaksi. Ini adalah siksaan terbesar untuknya. "Ini tidak boleh diteruskan, Aron," ujarnya. "Aku tau, hanya saja Mira tidak mau bicara padaku Yah," keluh Aron merasa frustasi sendiri. "Aku menerti, kamu kan bisa cari cara agar Mira bisa mendengarkan penjelasanmu. Bukan malah membiarkan dia menghindarimu seperti itu, perempuan memang punya ego sendiri, seperti kita parah laki-laki, sama. Tapi memang, mereka harus dibujuk deng
Malam harinya tiba, Aron menagih apa yang ditanyakan pada istrinya tadi siang. "Sayang, sekarang kamu udah mau cerita kan apa yang tadi aku tanyain ke kamu?" tanyanya. Mira yang baru naik ke ranjang dan bergabung di satu selimut yang sama dengan suaminya pun menghela napas. Ia seolah mempersiapkan semuanya untuk menjelaskan pada suaminya. Mempertimbangkan reaksinya atau akibat dari apa yang ingin ia sampaikan. "Gini..." Aron sebenarnya merasa gemas dengan istrinya yang seolah tarik ulur, tetapi ia paham bahwa ia juga butuh waktu untuk siap, jadi ia sabar menunggu. "Aku... liat waktu itu, kamu sama Maminya Dea ciuman di ruang tamu pas aku baru pulang dari rumah Dea." Deg! Wajah Aron langsung pias, seoolah baru saja ketahuan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan, setidaknya itu yang Mira pikirkan. Ia sempat merasa khawatir kalau ternyata itu benar, akan tetapi Aron kemudian langsung berkata. "Maaf, itu salahku. Aku kira kamu gak tau?" tanya Mira langsung. Ia tak bisa men
"Maksudnya, Mami merasa nggak nyaman sama Mira dalam artian karena dia pasangan dari mantannya Mami. Eh... tapi aku paham kok kalau Mami ngerasain hal itu, karena itu kecemburuan yang wajar." Julia terlihat diam saja, seolah ingin menghindari percakapan dengan menatap ke luar jendela yang memperlihatkan taman samping Mansion. "Masalahnya kalau Mami takut aku lebih condong pada Mira, itu salah besar. Karena aku akan selalu menempatkan Mami di tempat utama, sementara Mira meskipun Ia sekarang ibu tiri aku, dia tetaplah sahabat aku. Setidaknya itu yang aku lihat, di mata aku dia adalah sahabatku. Jadi Nami nggak perlu khawatir tentang itu," ujar Dea meyakinkan. Julia masih diam, tapi kali ini terlihat mengangguk pelan. "Hem... coba deh Mami kenali Mira lebih jauh lagi. Dia asik kok orangnya," lanjut Dea meyakinkan sang ibu. Julia pun mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa. Dea pun mengerti, mungkin Julia sedang memikirkan atau mempertimbangkan apa yang ia sarankan. . Sem