Oma nih support system banget yak ヾ(^-^)ノ
"Masyaa Allah, kamu jarang dandan, sekali didandani cantik banget, Mir." "Makasih, Sri," ujar Mira pada sang penata rias. Sri adalah teman SD Mira, ia sudah menikah taoi berkarir di bidang MUA. Mereka sudah lama tak bertemu sejak ia ke Jakarta, bertemu hanya saat lebaran saja. Jadi, Mira merasa antara rindu dan sekaligus malu, karena tiba-tiba mengundangnya menjadi penata rias sekaligus mengundangnya di pernikahannya."Sama-sama, kamu akhirnya menemukan jodohmh, Mir," ujar Sri tersenyum tulus."Haha, makasih Sri. Btw, mana anakmu?" "Di luar sama Mbahnya, kamu mau ketemu?""Boleh, biar aku gak gugup," jawab Mira.Sri kemudian pergi, dan datanglah Nenek Mira yang tinggal di desa sebelah bersama Budenya yang janda."Mira, kamu kok mau nikah gak bilang-bilang sih, Nduk?" ujar sang Nenek sambil memeluknya."Maaf, Mbah. Aku juga gak nyangka akan secepat ini dilamar."Mereka melepaskan pelukan mereka, ia berganti memeluk Budenya."Owalah Mir, gak pernah keliatan sama cowok, tiba-tiba d
Mira dan rombongan berjalan di belakang Aron dan para Bapak-bapak di depan menuju Masjid. Sepertinya Aron juga merasa gugup dan malu untuk melihatnya. Di antara para Bapak-bapak itu, Aron benar-benar menonjol, memperlihatkan perawakannya yang tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot. Sangat proporsional di usianya yang tak muda lagi. Mira jadi memperhatikan lingkungan sekitar, banyak orang yang menonton perjalanan mereka ke Masjid, bahkan ada yang mengiring mereka dengan suka cita. Dari anak-anak, sampai orang dewasa. Ia tidak tahu kau pernikahan yang mendadak ini, ternyata banyak yang antusias untuk mendukungnya. Ia sangat terharu. Andai ia tidak memikirkan make up-nya, ia mungkin akan menangis, ia sangat bersyukur atas keberkahan itu. Kemudian ketika melihat kembali calon suaminya di depan sana, ia mulai memikirkan fakta bahwa ia dulu begitu mengaguminya, bahkan hanya ada dia di hatinya sampai saat ini. Namun, itu tidak mungkin waktu itu, karena jarak usia yang sangat j
Mira maju ke depan untuk duduk di samping Aron, menyalaminya, dan Aron mencium keningnya dengan hikmat. Lanjut Aron mendoakan istrinya, mendengar ceramah Pak Penghulu, terakhir menandatangani surat nikah. Setelah proses itu selesai, mereka kembali pulang ke rumah keluarga Mira, dan ternyata Aron sudah menjadikan sopirnya sebagai fotografer, jadi semua proses dari iring-iringan sampai selesainya Akad, divideo dengan baik. Di sinilah yang membuat Mira gugup, setelah sampai rumah mereka menyambut tamu, sampai jam 23.00 WIB, akhirnya Opa menyuruh mereka istirahat. Maka keduanya pun pamit ke kamar Mira. Di sana, mereka duduk di tepi ranjang bagian ujung bersebelahan. Meski keduanya sudah pernah tidur di kasur yang sama, kali ini berbeda, yang mendasarinya bukan bisnis, melainkan cinta. "Mira!" panggil Aron dengan lembut. "Iya, Pak?" tanya Mira gugup. "Mas gitu, jangan Pak," tegur Aron terkekeh. "Saya nikahin kamu bukan buat jadi anak saya, Mira." "Iya... terus apa?"
"Tapi kamu juga bisa sama yang lain kan?" "Gak bisalah, aku nggak bisa membiarkan itu terjadi." "Hem kenapa?" "Ya karena hatiku udah terbawa ke kamu. Aku mungkin masih bisa hidup, tapi tanpa cinta ...." "Lebay banget, lagian ada Dea dan Adam yang bisa menjadi alasan kamu mencintai mereka." "Cinta untuk mereka berbeda, Sayang. Cintaku padamu, cintaku pada mereka itu sangat berbeda. Cintaku padamu buat aku kembali bersinergi, ada rumah yang jadi alasanku pulang." "Kamu udah punya rumah, gede banget lagi kayak lapangan Golf." Sumpah Mira kadang memang sangat lucu, antara polos dan oon. Memang perss seperti yang Dea katakan, meski begitu, itulah daya tariknya, tidak membuat orang-orang di sekelilingnya bosan. "Haha... Sayang, maksudku rumah sebagai kiasan, bahwa ada seseorang yang jadi alasan aku kembali sejauh apapun aku pergi," ungkap Aron. Ia gemas sekali dengan Mira yang kadang lemot, tapi bagaimana lagi, ia begitu mencintainya. Lihat sekarang, wajahnya kembali mem
Postingan itu berisi buku nikah, di mana Aron memotret dua buku nikah itu dengan latar belakang Mira yang sedang mengobrol dengan yang lain pasca acara Akad selesai. "Ada apa, Sayang?" tanya Aron mendekatinya. "Nih!" ujar Mira menyodorkannya. Bukannya mengonfirmasi atau menjelaskan alasannya, Aron malah tersenyum puas. "Bagus kan hasil fotonya?" tanyanya. Mira tambah dongkol dengan reaksi itu, "Mas, please! Ini serius." Aron mengeryit, "Loh siapa yang bilang becanda? Aku serius juga dan emang ini niatku." "Tapi nanti kalo semua orang tau?" tanya Mira. "Justru itu, aku pengen memberitahu kepada semua orang.""Tapi mereka jadi menduga-duga.""Biarin aja, emang kenapa?""Semua orang bahkan menebak beberapa orang yang pernah jalan sama kamu," balas Mira kesal.Melihat wajah Mora, Aron malah terkekeh."Oooh, jadi kamu cemburu?" tanyanya menggoda. "Ayo coba aku tanya sekarang, apa kamu siap untuk go publik?"Mira merasa ragu, "Aku bingung aku nggak siap untuk jadi pasangan k
Sesampainya di sana, benar saja, pemandangannya sangat indah. Pemandangan yang menjadi ikon utamanya adalah, danau yang terhubung dengan bendungan. Konon katanya, di bawah sana ada banyak Buayanya, dan sangat dalam sekali sehingga kalau kecebur tidak ada yang bisa selamat kecuali kehendak Tuhan. Di tempat yang sangat bersejarah itu, mereka menaiki Bebek Ontel dan juga Perahu Naga panjang yang membawa mereka keliling Danau. Memang agak mengerikan bagi Mira yang takut pada danau itu, tetapi Aron justru menikmatinya. Begitu juga dengan Oma dan Opa, juga seluruh keluarganya juga ikut. Bahkan Sri, suaminya dan anaknya juga ikut, bersama ibunya, lalu beberapa teman Mira di Desa juga ikut membersamai mereka. Jadi, Perahu itu penuh dengan rombongan mereka. Setelah itu, mereka istirahat dan makan sate yang sangat terkenal di sana, tentu saja ditraktir oleh Aron yang kaya raya itu. Mereka menikmati waktu bersantai dengan mengobrol dan mendengar cerita tentang latar belakang Aron yang luar
"Mira, Sayang?!" teriak Aron. Tiba-tiba lampu mati saat ia sedang membaca buku di kamar, dan Mira sedang ke kamar mandi tadi. Saat ia berdiri dan meraba-raba tmbok untuk keluar kamar, tiba-tiba ada cahaya terang yang mengagtkannya. "Astagfirulloh!" Si pembawa senter itu ternyata adik laki-laki Mira, ia terkekeh melihat kakak iparnya panik. "Hehe... maaf ya Mas, mau saya senterin ambil HP?" Aron ngelag sebentar, lalu mengangguk. "Iya, saya lupa naruhnya di mana boleh minta tolong senterin dulu?" "Oke," ujar si Dimas. Setelah ketemu, Aron berterima kasih dan segera mencari Mira yang ternyata baru kekuar dari kamar mandi. "Kok kamu bawa HP ke kamar mandi?" "Oh iya, soalnya kalo hujan biasanya emang mati listrik di sini, jadi aku kebiasaan bawa HP ke kamar mandi." "Oh, kukira tadi kamu gelap-gelapan." "Enggak, kamu yang gelap-gelapan. Tadi aku denger kamu panggil aku kan? Gimana?" "Oh, aku kaget tadi, jadi spontan." Mereka pun ke ruang tamu yang di mana ada O
SELAMAT DATANG PENGANTIN BARU! Banner besar terlihat di depan pintu masuk utama Mansion. Suasana Mansion juga meriah. Terlihat Dea dan Juna bersama Baby Adam menyambut mereka bersama karyawan Mansion. Hal itu membuat Mira hampir menangis, saking terharunya. Aron terus merangkulnya dan ikut senang melihat sambutan meriah itu. "Selamat datang, Papi dan Mama!" sapa Dea langsung berlari memeluk keduanya. "Sedih banget gak bisa liat prosesnya," ujar Dea. "Sorry, De," balas Mira. "Lagian di sana sibuk banget, kasian Adam kalo misal kalian ikut," ujar Aron. Tak lama Juna dan Adam ada di sisi mereka, membuat Mira langsung teralih, ia segera menggendongnya dan memeluknya dengan penuh kerinduan. "Masyaa Allah, Baby Adam yang cute. Kamu tambah gembul, Sayang." Tentu saja, si pecinta bayi dan anak kecil itu tak bisa menahan diri untuk berinteraksi dengan makhluk paling lucu bernama bayi. Melihat itu Aaron lega, karena pernikahan mereka disambut dengan baik terutama oleh D
"Mami!" teriak Dea pada sang ibu. Namun yang dipanggil, malah sedang asyik berenang dengan bikininya. "Apa sih Sayang?" tanya Julia dengan santai setelah menepi. Dea pun melihat ibunya dengan tatapan geram. Ia membawa Baby Adam dan langsung menyerahkannya pada sang pengasuh. "Mami apa-apaan sih?!" tanya Dea kesal. "Ke mana Papi sama Mama?!""Oh jadi kamu udah manggil dia Mama?" tanya Julia.Ia bukannya fokus pada apa yang dibahas Dea, malah fokus pada panggilan Dea pada Mira."Mereka lagi pergi," kata Julia santai.Ia duduk di pinggiran kolam sambil memainkan air di kakinya.Dea ingat betul kalau hobi sang ibu adalah berenang, dan kolam renang itu jarang dipakai sejak sang ibu pergi. Hanya Dea yang memakai, dengan mood yang sering tidak singkron."Mami tadi bilang, Mora di sini sama Mami.""Nggak... nggak... Mami cuma alasan doang buat godain kamu. Mami juga nggak ekspek kamu bakal ke sini beneran, Mama kira kamu cuma mengancam doang."Dea tidak mengerto jalan pikiran sang
"Sejak awal jiwanya sudah terluka, yang harusnya disembuhkan malah dibiarkan. Bahkan difasilitasi untuk berpikir buruk pada orang lain. Ia mendendam dan terus seperti itu, sampai akhirnya perasaan itu menumpuk dan menjadi sebuah penyakit jiwa."Dea dan Juna mendengarkan penjelasan dokter yang menangani Rani dengan seksama.Lalu, Dea merespon, berharap itu menjadi pendukung data tentang Rani untuk sang dokter."Hem... tapi Rani belum pernah ke dokter atau ke psikiater," ujarnya.Sang dokter tersennyum tipis, "Ya... orang-orang yang akhirnya menjadi gila awalnya karena deni dengan dirinya sendiri atas tekanan psikologos yang ia hadapi. Sejak awal mereka merasa sok kuat menghadapi masalahnya sendiri, padahal mereka tak sekuat itu. Merasa mampu untuk bertahan sendiri, tapi aslinya... mereka adalah manusia biasa yang perlu disembuhkan juga, perlu ditemani dan didengadkan. Mereka perlu sembuh dulu, sebelum menghadapi dunia ini yang keras ini," jelas sang dokter.Dea merenung, benar apa yang
"Aaaaaa!" Bug! Mira diangkat dan ditidurkan di atas kasur empuk di kamar mereka. Hal itu membuat Aron senang, istrinya akhirnya menatapnya dengan benar. Sejak tadi misuh dan melengos, ia jadi tidak bisa melihatnya. "Tolong berikan aku kesempatan untuk menebusnya, Sayang," rayu Aron dengan suara yang lembut.Mira pun menggeleng dan mencoba untuk lepas dari kungkungan suaminya."Ah ggak mau.""Kalau nggak mau, ya udah, aku mending mengunjungi Dede bayi aja," ujar Aron. Mira yang sudah tahu dengan istilah itu pun langsung terkejut dan mencoba untuk mendorongnya, bahkan menendang suaminya tapi, Mira lupa kalau suaminya jauh lebih besar daripada dirinya, dan ototnya juga jauh lebih kuat. Akhirnya, Aron benar-benar melancarkan aksinya untuk mengunjungi Dede Bayi dengan cara bersenggama.Namun hal itu, tentu saja tidak bertujuan untuk menyakiti Mira, itu pure untuk menghentikan penolakan Mira dan memperbaiki hubungan.Sehingga, pasca kejadian itu Mira jadi mau mendengarkannya dan Aron
"Aku gak bermaksud gitu Sayang." "Tapi kamu begitu... hiks." "Oke-oke, aku minta maaf. Maafin ya." Mira tetap fokus memasukkan barangnya ke dalam tas, ia tak mau lagi tinggal satu atap dengan Julia. Ia tidak ingin menahan diri terus, ia cemburu. "Sayang...." panggil Aron lagi. Mira tetap diam saja, sementara tangannya terus memasukkan barang-barangnya ke tasnya. "Sayang dengerin aku...." Mira tak menjawab, ia benar-benar kesal. Aron juga bingung, ia tak bisa menyalahkan istrinya, tapi situasinya berbeda dari biasanya. "Sayang, ayo bicara dulu," ajak Aron. Namun, Mira tetap diam tak bersuara, ia terus mengabaikan suaminya. Hingga akhirnya, Aron mendekat dan memeluknya tiba-tiba dari belakang. Mira kaget dan secara otomatis berhenti memasukkan barang ke tasnya. "Oh, Sayang, maafin aku ya." Mira mencoba melepaskan, tapi Aron terus saja memeluknya dan malah semakin erat. Hal itu membuat Mira sesak, "Lepaaaas, kegencet Dedenya!" protes Mira. "Hah?! Sakit?!
"Tuh kan...." bisik Dea pada Juna. "Apa?" tanya Juna. Mereka sedang makan malam bersama di Mansion Dea dan Juna. "Kamu sih nyuruh Papi buat jemput Mami, kan Mira jadi cemburu!" jawab Dea kesal. "Kulihat, Mora diem aja tuh," ujar Juna santai. "Ya iya diem, kamu tuh sama Papi emang sama aja ya, nggak peka banget! Dia jelas diamlah, orang dia karakternya begitu, diem. Lihat deh, dia kayak nggak nafsu makan gitu." "Bukannya ibu hamil emang sering gak nafsu makan gitu?" "No, dia nggak mungkin mau jujur kalau nggak ditanya." "Ya kenapa nggak jujur? Ribet amat," ujar Juna. Dea pun mulai kesal dengan suaminya, tapi kemudian Juna berkata sebelum emosi istrinya meledak. "Ya udah ita, aku minta maaf. Nggak lagi-lagi kayak gitu deh." Dea diam saja berusaha mengendalikan emsoinya. Ukuran meja memang besar, jadi jaraknya agak jauh sehingga jika bisik-bisik, mereka tidak dengar. "Tapi... Mami kamu kok kayak masih suka sama Papi kamu?" "Ya emang iya, makanya aku ngomelin ka
"Tapi itu berbahaya, Sayang," ujar Dea memperingatkan saminya. Ia khawatit suaminya kenapa-napa. "Iya, tapi penjahat tetaplah penjahat, Sayang. Mereka harus dihukum sebagaimana harusnya! Jika ada yang melawan, aku nggak segan-segan mengeluarkan kekuatanku yang sebenarnya." "Hem... kamu yakin?" Juna mengangguk, "Ya, Sayang. Percayalah sama aku." Dea pun menyetujuinya. Meskipun ia memiliki kekhawatiran, itu wajar tapi, sungguh ia mempercayai suaminya. Ia percaya kalau Juna bisa mengatasi semuanya. ••• Keesokan harinya, tiba-tiba saja ada seorang pembantu yang berteriak. "Aaaaaaaa!" Hal itu membuat kepala pembantu terkejut dan langsung bertanya. "Ada apa sih teriak-teriak?!" tanyanya menggeram. Hampir mengomel, tetapi ia langsung melihat ke arah objek yang membuat pembantu itu berteriak. "Apa-apaan ini?" gumamnya. Pembantu bernama Dila itu menerima paket dan langsung ia ambil dan ia taruh di dapur. Ia kira, itu paket pesanannya karena ia berbelanja online. Di
"Rani ketahuan akan bunuh diri, tapi segera digagalkan oleh Tim.""Lalu di mana suami Mamiku?""Pergi. Kami menemukan celah ketika ia pergi, dan kami kemudian menemukan Rani yang ingin bunuh diri di sebuah kamar di rumah yang ada di pedesaan." "Hah?! Bagaimana bisa kejadiannya seperti itu? Padahal, Rani adalah sosok yang sangat kuat selama ini. Dia bahkan selalu menentang orang-orang yang bunuh diri, karena kakaknya pernah mengalami hal itu. Dan sudah meninggal," ujar Dea tak menyangka. Sosok yang selalu menjadi penguatnya ternyata punya masalah jauh lebih banyak."Ya seperti yang dia ceritakan ke kamu, kakaknya benar-benar meninggal karena bunuh diri. Lalu Rani, dia menganggap bahwa aku adalah sumber masalah dari kakaknya, sehingga kakaknya mengakhiri hidupnya. Dia menganggap juga, kalau akulah yang membuat hidup keluarganya hancur!""Bisa-bisanya," gumam Dea tak habis pikir."Rani sangat menyayangi kakaknya, sampai ketika kehilangannya, ia menjadi depresi dan mengalami gangguan me
"Aku udah berhasil ngamankan Mami kamu. Tapi sayangnya, Rani sepertinya dibawa kabur atau disembunyikan oleh ayah tiri kamu." "Serius, terus gimana?!" tanya Dea kaget. "Aku masih mencari, dan sayangnya karena mereka di luar negeri agak susah, tapi tenang aja... aku punya banyak koneksi di sana. Jadi masih bisa diatur, tinggal nunggu hasilnya." "Aku harap dia secepatnya ditangkap," ujar Dea. Ia sama sekali tidak merasa kasihan, ia sudah menumpuk amarah pada temannya itu. Sudahlah hampir membunuhnya dan anaknya, Rani juga menghancurkan rumah tangga ibunya. Setelah pembicaraannya dengan Juna selesai, Dea pun makan sesuatu bersama Mira dan Angel. Kemudian Angel pun pulang, karena sudah dicari ibunya. Untung saja Dea juga sangat akrab dengan orang tua Angel, sehingga kedua orang tua Angel mengizinkan anaknya untuk menghibur temannya itu. Kejadian-kejadian itu kemudian diupload ke media sosial Da, agar orang-orang tidak menyalahkan ia dan Juna terus, terhadap kejadian anak
"Tentu saja itu sangat mengejutkan dan menjijikan sekaligus," ujar Dea. "Jadi apa yang harus aku lakukan? Rani dilindungi olehnya kan?" "Betul Mami diancam oleh suami Mami, hiks...""Diancem apa Mami?""Diancem, kalau lapor sama kamu mungkin dia akan melakukan hal yang buruk ke Mami!""Oh my God! Mami! Lebih baik Mami pulang ke Indonesia, Mami bisa tinggal sama aku. Juna akan ngelindungin kita!""Tapi...""Dea nggak mau Mami harus mengalami semua ini, dan bertahan sama pria brengsek yang sakit jiwa itu!""Bukan gitu Sayang, tapi Mami ....""Apa yang kamu bicarakan dengan anakmu?" tanya sebuah suara.Itu suara pria dan..."Ah!"Julia teriakan kencang, suaranya berasal dari seberang sana. Hal itu membuat Dea langsung terkejut, itu jelas suara suami Julia dan Julia berteriak karena sebuah tindakan yang sayangnya tidak Dea ketahui."Mami!!!" panggil Dea panik.Akan tetapi, tidak ada jawaban. Ia berkali-kali memanggilnya, dan sambungannya pun terputus."Apa yang harus aku lakukan sekaran