Sorry kalo ceritanya masih fokus ke Aron dan Mira ya....
"Oma!" Ibu-ibu itu langdung pamit, sementara Oma tersenyum dengan penuh percaya diri. "Assalamualaikum, Mira. Apakabar?" tanya Oma. "Waalaikumsalam, Oma. Tapi, kenapa Oma di sini?" tanya Mira, ia jelas sangat terkejut. Tiba-tiba, Aron dan Opa turun dari mobil mewah itu. Deg! Mira semakin shock, bagaimana tidak, mengapa para orang kaya ini datang ke pelosok? Apakah mereka akan membangun proyek di sana? "Mira, siapa yang datang?" tanya seorang wanita paruh baya di ambang pintu. "Itu...." Mira bingung, tetapi melihat sekitar dan ia mulai menggunakan akal sehatnya, lalu menyambut mereka untuk masuk ke dalam rumah. Sayang sekali, ruang tamu yang menjadi tempat belajar para anak SD itu menadi berantakan karena kelakuan mereka, jadi Mira memberihkannya terlebih dahulu. Ia terus memikirkan alasan mereka datang ke sini, untuk apa. Penampilan mereka pun mewah, Opa dan Oma yang mengenakan pakaian yang sangat rapih dan formal, tetapi memperlihatkan sikap anggunnya. Sem
"Yah, kami sudah memiliki hubungan sejauh ini, kami berencana menikah. Ya kan, Mira?" jawab Aron dominan. Mira hanya planga-plongo, ia jelas kaget dengan keadaan ini. Bagaimana bisa jadi seperti ini? "Bagaimana kalau kita bicara bedua dulu, Tuan Aron?" tanya Mira. Aron pun dengan santai memenuhinya, kemudian keduanya pindah ke belakang rumah yang langsung memperlihatkan hamparan sawah yang luas itu. Sawah-sawah itu ditanami padi yang masih hijau, menciptakan kesan santai dan segar. "Apa maksud Bapak melakukan itu?" tanya Mira padanya. Aron terkekeh mendengar pertanyaan Mira yang terkesan buru-buru itu. "Apalagi kalau bukan untuk mengikat kamu?" jawabnya terkesan menantang. Mira berusaha mengatur napasnya, membuat Aron makin tertarik untuk membuat Mira kesal. "Saya cinta sama kamu," ujar Aron. Deg! Mira terpaku, apa yang baru saja ia dengar? ••• "Anjay, mereka beneran ke kampungnya Mira," ujar Dea pada suaminya. Juna pun menggeser duduknya dan melihat statu
Mira diam saja, menatap mata pria itu dan menunggu ucapannya yang berikutnya. "Itu karena saya gila setelah kamu pergi dari Mansion, saya mencari keberadaanmu yang ternyata kamu di sini, kenapa kamu melakukan itu?" tuntut Aron tak terima. Mira tak menjawab, ia tak mengerti melakukan itu apa. Tentu ia pergi karena kontraknya habis. "Segitunya kamu ingin pergi dari saya dan membuat saya kehilangan jejakmu?! Kenapa kamu menjauh dan berbohong begini? Saya gak bisa bayangin kalo kamu pulang dan menikah dengan pria lain, yang lebih muda dari saya, yang memenuhi kriteriamu? Saya gak mau kamu dimiliki orang lain!" "Stop!!!" Mira berteriak, sampai membuat Aron kebingungan, ia tak pernah mendengar suaranya yang sekeras itu. "Saya menghapus semua jejak saya, itu... karena..." Ia menunduk, menatap kaki mereka yang hampir bersentuhan. "Karena saya tak mau gagal move on!" lanjutnya. Sontak membuat Aron berdiri tegak karena kaget, ia tak menyangka kalau itu yang Mira pikirkan.
"Masyaa Allah, kamu jarang dandan, sekali didandani cantik banget, Mir." "Makasih, Sri," ujar Mira pada sang penata rias. Sri adalah teman SD Mira, ia sudah menikah taoi berkarir di bidang MUA. Mereka sudah lama tak bertemu sejak ia ke Jakarta, bertemu hanya saat lebaran saja. Jadi, Mira merasa antara rindu dan sekaligus malu, karena tiba-tiba mengundangnya menjadi penata rias sekaligus mengundangnya di pernikahannya."Sama-sama, kamu akhirnya menemukan jodohmh, Mir," ujar Sri tersenyum tulus."Haha, makasih Sri. Btw, mana anakmu?" "Di luar sama Mbahnya, kamu mau ketemu?""Boleh, biar aku gak gugup," jawab Mira.Sri kemudian pergi, dan datanglah Nenek Mira yang tinggal di desa sebelah bersama Budenya yang janda."Mira, kamu kok mau nikah gak bilang-bilang sih, Nduk?" ujar sang Nenek sambil memeluknya."Maaf, Mbah. Aku juga gak nyangka akan secepat ini dilamar."Mereka melepaskan pelukan mereka, ia berganti memeluk Budenya."Owalah Mir, gak pernah keliatan sama cowok, tiba-tiba d
Mira dan rombongan berjalan di belakang Aron dan para Bapak-bapak di depan menuju Masjid. Sepertinya Aron juga merasa gugup dan malu untuk melihatnya. Di antara para Bapak-bapak itu, Aron benar-benar menonjol, memperlihatkan perawakannya yang tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot. Sangat proporsional di usianya yang tak muda lagi. Mira jadi memperhatikan lingkungan sekitar, banyak orang yang menonton perjalanan mereka ke Masjid, bahkan ada yang mengiring mereka dengan suka cita. Dari anak-anak, sampai orang dewasa. Ia tidak tahu kau pernikahan yang mendadak ini, ternyata banyak yang antusias untuk mendukungnya. Ia sangat terharu. Andai ia tidak memikirkan make up-nya, ia mungkin akan menangis, ia sangat bersyukur atas keberkahan itu. Kemudian ketika melihat kembali calon suaminya di depan sana, ia mulai memikirkan fakta bahwa ia dulu begitu mengaguminya, bahkan hanya ada dia di hatinya sampai saat ini. Namun, itu tidak mungkin waktu itu, karena jarak usia yang sangat j
Mira maju ke depan untuk duduk di samping Aron, menyalaminya, dan Aron mencium keningnya dengan hikmat. Lanjut Aron mendoakan istrinya, mendengar ceramah Pak Penghulu, terakhir menandatangani surat nikah. Setelah proses itu selesai, mereka kembali pulang ke rumah keluarga Mira, dan ternyata Aron sudah menjadikan sopirnya sebagai fotografer, jadi semua proses dari iring-iringan sampai selesainya Akad, divideo dengan baik. Di sinilah yang membuat Mira gugup, setelah sampai rumah mereka menyambut tamu, sampai jam 23.00 WIB, akhirnya Opa menyuruh mereka istirahat. Maka keduanya pun pamit ke kamar Mira. Di sana, mereka duduk di tepi ranjang bagian ujung bersebelahan. Meski keduanya sudah pernah tidur di kasur yang sama, kali ini berbeda, yang mendasarinya bukan bisnis, melainkan cinta. "Mira!" panggil Aron dengan lembut. "Iya, Pak?" tanya Mira gugup. "Mas gitu, jangan Pak," tegur Aron terkekeh. "Saya nikahin kamu bukan buat jadi anak saya, Mira." "Iya... terus apa?"
"Tapi kamu juga bisa sama yang lain kan?" "Gak bisalah, aku nggak bisa membiarkan itu terjadi." "Hem kenapa?" "Ya karena hatiku udah terbawa ke kamu. Aku mungkin masih bisa hidup, tapi tanpa cinta ...." "Lebay banget, lagian ada Dea dan Adam yang bisa menjadi alasan kamu mencintai mereka." "Cinta untuk mereka berbeda, Sayang. Cintaku padamu, cintaku pada mereka itu sangat berbeda. Cintaku padamu buat aku kembali bersinergi, ada rumah yang jadi alasanku pulang." "Kamu udah punya rumah, gede banget lagi kayak lapangan Golf." Sumpah Mira kadang memang sangat lucu, antara polos dan oon. Memang perss seperti yang Dea katakan, meski begitu, itulah daya tariknya, tidak membuat orang-orang di sekelilingnya bosan. "Haha... Sayang, maksudku rumah sebagai kiasan, bahwa ada seseorang yang jadi alasan aku kembali sejauh apapun aku pergi," ungkap Aron. Ia gemas sekali dengan Mira yang kadang lemot, tapi bagaimana lagi, ia begitu mencintainya. Lihat sekarang, wajahnya kembali mem
Postingan itu berisi buku nikah, di mana Aron memotret dua buku nikah itu dengan latar belakang Mira yang sedang mengobrol dengan yang lain pasca acara Akad selesai. "Ada apa, Sayang?" tanya Aron mendekatinya. "Nih!" ujar Mira menyodorkannya. Bukannya mengonfirmasi atau menjelaskan alasannya, Aron malah tersenyum puas. "Bagus kan hasil fotonya?" tanyanya. Mira tambah dongkol dengan reaksi itu, "Mas, please! Ini serius." Aron mengeryit, "Loh siapa yang bilang becanda? Aku serius juga dan emang ini niatku." "Tapi nanti kalo semua orang tau?" tanya Mira. "Justru itu, aku pengen memberitahu kepada semua orang.""Tapi mereka jadi menduga-duga.""Biarin aja, emang kenapa?""Semua orang bahkan menebak beberapa orang yang pernah jalan sama kamu," balas Mira kesal.Melihat wajah Mora, Aron malah terkekeh."Oooh, jadi kamu cemburu?" tanyanya menggoda. "Ayo coba aku tanya sekarang, apa kamu siap untuk go publik?"Mira merasa ragu, "Aku bingung aku nggak siap untuk jadi pasangan k
Mira keluar dari kantor saat tiba-tiba mobil mewah yang sangat ia kenali, berhenti di depannya, membuatnya dan orang di sekitarnya kaget. Lalu, kaca mobil dibuka dan memperlihatkan Yuda--sopir Aron yang tersenyum padanya. "Silahkan naik, Nyonya." "Lah Evi (opir Mira) kemana?" tanya Mira. "Sudah pulang, Tuan yang nyuruh." Mira kemudian mendekat dan melihat ada Aron yang duduk di kursi penumpang dengan ekspresi datar. Hal itu membuatnya bingung, tapi ia juga tak bisa menolaknya. Dibukanya pintu samping sopir dan ia duduk di sana, mengabaikan tatapan Aron yang jelas tak suka ia duduk di samping Yuda. "Nyonya... itu..." "Sssstttt, jalan!" perintah Mira. Yuda melirik Aron dari kaca tenah dan melihat sang majikan mengangguk parah. Sepertinya mereka sedang ada masalah, yang membuat Nyonyanya tak mau duduk bersama sang Tuan. Padahal biasanya mereka sangat menempel, tapi sebagai sopir Ia hanya bisa fokus menyetir dengan kondisi tertekan. Bagaimana tidak tertekan? B
"Kita harus kerja sekarang kan?" Aron mengeryit, "Di situasi ini?" Ia sungguh kaget, pembicaraan ini amat penting, dan sekarang Mira masih memikirkan kerja? "Aku akan teat dan akan dapat masalah," ujar Mira panik. Alih-alih menunggu suaminya bicara, ia segera masuk ke kamar mereka dan mengambil batang-barang yang harus ia bawa ke kantor. Aron kebingungan, tapi Mira terlanjur heboh sendiri dan minta dintarkan ke kantor pada sopirnya. Pada saat itulah, Aron merasa apa yang ia lakukan tidak mempan untuk Mira. Yah, Mira bukan perempuan bodoh, tapi ia hanya belum bisa menerima. Ia pun akan mencoba mengerti, jika seperti itu hasilnya. ••• Dea tadi malam memang sudah memberikan testimoni pada Mira tentang ayahnya Ia bukannya mau ikut campur, tapi ia ingin membantu ayahnya sedikit-sedikit. Makanya ia cukup banyak menceritakan tentang ayahnya pada Mira. Saat ini, Dea sudah agak senggang dan membuka ponselnya karena Baby Adam sudah tidur. Akan tetapi, ayahnya menelpon dan
"Jangan tinggalin aku!" gumam Aron dengan isak tangisnya. Mira tambah bingung, "Apa yang kamu maksud? Ninggalin apa?" tanyanya. Aaron kemudian melepas pelukannya pada Mira dan menatapnya. "Kamu nggak ninggalin aku kan?" Mira mengeryit bingung, "Maksud kamu? Lah aku kan cuma nginep di tempat Dea." "Kukira kamu gak bakal pulang karena masih marah sama aku. Aku takut kamu pulang lagi ke kampung," ujarnya dengan suara yang agak kekanakan. Jujur di sini Mira merasa bingung, apakah ini suaminya yang biasanya berwibawa, ia tampak seperti Kucing manja sekarang. Mira pun menghela nafas dan menggeleng. "Enggak kok, aku gak akan pergi sebelum nyelesein masalah kita." "Tapi kamu tetep pergi?" "Tergantung kamu," balas Mira sok cuek. Padahal ia hampir kelepasan ketawa gara-gara kondisi muka Aron terlihat seperti balita yang takut ibunya pergi. Saat Aron ingin membalas lagi, Oma menyarankan agar mereka duduk dulu. Lalu, mereka pun menurut dan berjalan menuju sofa. Mira dud
Mira merasa hatinya mulai mengeras, ia sulit percaya pada suaminya lagi. Ia takut, bahwa cintanya juga akan pudar. Ia mengirimkan pesan pada suaminya karena ingin menginap di Mansion milik Dea. Mira || Mas, ijin nginep di tempat Dea ya Aron || Kenapa? Aku mau ngobrol loh Sayang Mira || Besok aja, sekarang aku mau sama Baby Adam Menunggu cukup lama selama 5 menit, baru Aron membalas lagi. Aron || Ya udah gak papa, semoga mimpi indah Mira mendengus, "Manis banget kamu Mas," gumamnya kecewa. Ia masih kecewa dengan keadaan ini, di mana ia bahkan tidak bisa membayangkan kalau suaminya memang berselingkuh dengan Julia. Dea menatap Mira dengan prihatin, "Papi bilang apa?" "Dia mau ngobrol sama ku, tapi aku mau sama Baby Adam dulu." Dea pun mengangguk-angguk saja. Ia tak ingin membuat mood Mira turun. Ia yakin Mira dalam kondisi yang tidak membutuhkan nasihat, ia hanya butuh jeda jntuk bertemu Aron sebelum menghadapinya lagi. Menghadaoi orang yang membuat kita kecewa
Mira akan tetap berada di sendiri aja bahwa suaminya harus berusaha membuktikan bahwa ia tidak bersalah Ia merasakan trust issue dengan orang kaya seperti suaminya. Awalnya ia berharap bahwa ada titik terang, tapi ternyata Aaron juga berpotensi untuk menuju ke arah suami tidak setia. Lagian wajar sih, banyak cewek di luaran sana yang tertarim dengan Aron, tertarik untuk menikmati uang atau bahkan tubuhnya. Ia pernah diberitahu Dea, bahwa ayahnya pernah hampir diperkosa, ada juga yang terang-terangan meminta disetubuhi oleh suaminya secara gratis. Ia jadi merasa tambahsesak ketika mengingat fakta itu, ingin rasanya menangis. Ia tidak rela kalau harus membayangkan suaminya bercinta dengan perempuan lain, bayangkan kalau tangannya menyentuh entah bagian tubuh perempuan yang mana, atau perempuan mana saja yang ia sentuh. Ia tidak rela, dan terus merasa frustasi dengan itu. ••• Hari ini katanya Aron akan bertemu dengan Julia, sementara dirinya memilih pergi ke tempat Dea
Mira begadang semalaman, dan memikirkan apa yang dikatakan Dea. "Masuk akal...." gumamnya. Apakah mungkin aktivitas yang dilakukan Aron dan mantan istrinya itu, dilatarbelakangi dari kebutuhan batinnya yang tidak terpenuhi dari istrinya sendiri? Itu bisa sejalan sih, tapi Mira tidak yakin kalau Aron orang yang seperti itu. Jika memang Aron ternyata orang seperti itu, dan ia tidak tahu aslinya. Ia akan sangat hancur. Ia merasa bodoh, atau bisa jadi Aron terbiasa dengan itu dan tidak bisa sembuh. Suaminya bisa saja terbiasa melampiaskan kebutuhannya itu, pada para pelacur atau orang-orang random yang mau berhubungan badan dengannya, yang sama-sama terbiasa dengan aktivitas seperti itu. Ditambah lagi, Aron punya modal fisik yang sulit ditolak. Sangat langka untuk ukuran pria yang tampan tapi tidak doyan selingkuh, presentasenya sekitar 1 banding 10? Mira tidak tau. Biasanya perilaku playboy itu tidak bisa sembuh. Lalu, karena mereka sudah menikah, bisa saja seumur hid
Masalah antara Aron dan Mira tentu saja belum selesai, mereka masih saling diam tapi, Oppa kemudian bicara pada Aron. Mereka bicara di taman belakang, sambil ngopi dan menikmati sore yang tenang. Hari itu, Aron memang pulang lebih awal seperti biasa, ia tak tenang pergi ke kantor ketika istrinya marah padanya. Ia merasa dihantui rasa bersalah, dan merasa tak berguna. Ia merindukan Mira meski ia bisa melihatnya tiap hari, tapi tak bisa menyentuhnya, memeluknya dan menatapnya dati dekat. Mira selalu menjaga jarak, mengabaikannya dan mencoba mengurangi interaksi. Ini adalah siksaan terbesar untuknya. "Ini tidak boleh diteruskan, Aron," ujarnya. "Aku tau, hanya saja Mira tidak mau bicara padaku Yah," keluh Aron merasa frustasi sendiri. "Aku menerti, kamu kan bisa cari cara agar Mira bisa mendengarkan penjelasanmu. Bukan malah membiarkan dia menghindarimu seperti itu, perempuan memang punya ego sendiri, seperti kita parah laki-laki, sama. Tapi memang, mereka harus dibujuk deng
Malam harinya tiba, Aron menagih apa yang ditanyakan pada istrinya tadi siang. "Sayang, sekarang kamu udah mau cerita kan apa yang tadi aku tanyain ke kamu?" tanyanya. Mira yang baru naik ke ranjang dan bergabung di satu selimut yang sama dengan suaminya pun menghela napas. Ia seolah mempersiapkan semuanya untuk menjelaskan pada suaminya. Mempertimbangkan reaksinya atau akibat dari apa yang ingin ia sampaikan. "Gini..." Aron sebenarnya merasa gemas dengan istrinya yang seolah tarik ulur, tetapi ia paham bahwa ia juga butuh waktu untuk siap, jadi ia sabar menunggu. "Aku... liat waktu itu, kamu sama Maminya Dea ciuman di ruang tamu pas aku baru pulang dari rumah Dea." Deg! Wajah Aron langsung pias, seoolah baru saja ketahuan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan, setidaknya itu yang Mira pikirkan. Ia sempat merasa khawatir kalau ternyata itu benar, akan tetapi Aron kemudian langsung berkata. "Maaf, itu salahku. Aku kira kamu gak tau?" tanya Mira langsung. Ia tak bisa men
"Maksudnya, Mami merasa nggak nyaman sama Mira dalam artian karena dia pasangan dari mantannya Mami. Eh... tapi aku paham kok kalau Mami ngerasain hal itu, karena itu kecemburuan yang wajar." Julia terlihat diam saja, seolah ingin menghindari percakapan dengan menatap ke luar jendela yang memperlihatkan taman samping Mansion. "Masalahnya kalau Mami takut aku lebih condong pada Mira, itu salah besar. Karena aku akan selalu menempatkan Mami di tempat utama, sementara Mira meskipun Ia sekarang ibu tiri aku, dia tetaplah sahabat aku. Setidaknya itu yang aku lihat, di mata aku dia adalah sahabatku. Jadi Nami nggak perlu khawatir tentang itu," ujar Dea meyakinkan. Julia masih diam, tapi kali ini terlihat mengangguk pelan. "Hem... coba deh Mami kenali Mira lebih jauh lagi. Dia asik kok orangnya," lanjut Dea meyakinkan sang ibu. Julia pun mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa. Dea pun mengerti, mungkin Julia sedang memikirkan atau mempertimbangkan apa yang ia sarankan. . Sem