Seminggu berlalu, Dea pulang ke Mansion milik Juna. Ia sudah sepakat untuk tinggal mandiri, setelah 8 bulan pernikahannya dengan Juna, sepertinya sang ayah juga sudah rela untuk melepasnya. Lagi-lagi, mereka melakukan semua itu tanpa kehadiran Mira. "Mira ke mana sih, Pih? Masa nginep gak bisa njenguk aku?" "Sayang, Mira lagi training, jadi Papi nyuruh dia buat istirahat aja. Dia pulang jam 7 terus." "Kerja apa sih? Kok kayak mengeksploitasi banget?" "Ya kantoran, tapi staff biasa jadi karena masih training, mungkin agak dimanfaatin sama Seniornya." "Cih, dasar kuno. Masa jaman sekarang masih ada praktik begitu," ujar Dea. "Ya itu udah tugasnya." "Papi harusnya lakuin sesuati biar Mira gak kecapean, masa sampe gak bisa jenguk aku." "Semua tentang kamu ya," ujar Aron mengusap kepala putrinya. Sudah jadi ibu tapi sifatnya masih kekanakan, ia tak menyalahkannya, justru itu salahnya yang terlalu membiarkan semuanya ia dapatkan dengan mudah tanpa usaha terlebih dahul
"Bukan itu intinya, sepertinya apakah pernikahan ini sah?" tanya sang ayah bertanya balik. Aron masih diam, ia bingung dengan situasinys sekarang. "Kalau begitu, kalian bisa menikah ulang." "Tapi Mira...." "Kejar dia, seperti caramu mengejar mimpimu, Aron," potong sang ibu menyemangati. ••• Aron tidak tahu harus bagaimana, ia tidak bisa menghubungi Mira, juga tidak tahu keberadaannya. Ketika ia bertanya pada sopir yang mengantarkan Mira di perusahaan yang katanya akan ditempati Mira sebagai tempat kerjanya, sopir hanya sekedar tau sampai situ. Aron juga mengecek pengeluaran terakhir Mira di Blackcard-nya. Tercatat, dalam pengeluaran bahwa Mira mengambil uang sebesar 10 juta dan tercatat ada sebuah transaksi pada kost putri di sekitar perusahaan tempat terakhir sopirnya mengantarkan Mira. Namun seketika, Aaron mengkonfirmasi ke dalam perusahaan itu, semuanya nihil. Tidak ada yang mendaftar atas nama Mira, dan mereka tidak membuka lowongan kerja. Aron langsung menyes
"Papi kok gak ke sini ya?" tanya Dea malam-malam saat mereka terbangun. Apa lagi penyebabnya kalau bukan bayi mereka yang imut itu terbangun dari tidurnya? Juna yang sedang menimang-nimang anaknya pun menghela nafas lelah dengan pertanyaan berulang itu. "Kamu tuh udah tanya ini berkali-kali, Sayang. Papi kamu lagi kerja. Mungkin lagi sibuk atau bahkan keluar kota?" balasnya. "Eh... tapi setidaknya dia angkat telepon aku. Aku jadi khawatir." "Khawatir kenapa sih, kok kamu kayak topiknya Papi kamu sama Mira terus?" tanya Juna tak mengerti. "Ya kamu bayangin aja, pas sekitar 3 hari setelah aku lahiran, Bi Asih bilang kalau dia lihat Mira tuh masukin baju-baju ke koper terus mereka nggak tidur di kamar yang sama, terus sejak saat itu juga Papi sama Mira nggak pernah datang ke sini," ujar Dea menggebu. "Papi kamu dateng." "Maksudnya ... Papi cuman datang sendirian, nggak ada Mira." "Ya telpon aja." "Masalahnya Mira dihubungin susah banget, katanya sih dia kerja. Tapi aku kok kaya
Aron lebih banyak diam di taman belakang rumah kesayangannya. Berharap bisa melihat sang istri yang bermain-main dengan ikannya. Namun, itu hanya bayangannya. Bayangan sosoknya yang tersenyum, melamun, atau tertawa saat mengobrol dengan Dea atau para pembantu. Sosok itu yang selalu membuat sebesar apapun masalahnya, akan luruh ketika melihat atau mendengar suaranya saja. Aron benar-benar merindukannya, ingin rasanya ia mengambil kunci mobil, pergi ke Bandara untuk menaiki jet pribadinya dan menghampirinya, setidaknya akan lebih cepat daripada pakai kereta atau mobil. Bolehkah ia senekat itu? Ia sudah tak tahan lagi, ia ingin pergi ke sana dan memeluknya. Sungguh! Tak terasa, air mata menetes dari mata coklat terang itu. Banyak yang mendambaksnnya, tetapi hanya ada satu yang membuat hatinya takluk padanya. Hanya ada satu yang bisa membangkitkan sisi terliarnya dalam mencintai, ia ingin memilikinya hanya untuknya sendiri. Ia tak bisa membayangkan kalau di kampung, Mi
Aron benar-benar pergi setelah merenung saat itu, kekhawatirannya tak tertahankan dan ia mengajak kedua orang tuanya untuk menjemput sang pujaan hati. Mereka pergi menggunakan jet pribadi dan berhenti di Bandara Jogja, lalu menaiki mobil selama tiga jam ke daerah tempat Mira berada. Daerah itu adalah pedesaan pelosok, yang jaraknya sekitar 30 menit dari pusat kota kecil itu menggunakan motor, bisa lebih lama kalau menggunakan mobil karena jalanannya yang sempit dan rusak. "Wah suasananya masih sangat asri ya," ujar Oma menikmati udara pedesaan itu. "Pantas saja Mira memiliki karakter yang patuh, dia anak Desa," balas Opa. "Tidak semua, Yah," ujar Aron. "Iya sih, tapi kebanyakan." Aron merasa gugup untuk bertemu dengan Mira, sosok yang sangat ia rindukan. Mereka menggunakan sopir yang sudah diatur oleh asisten Aron, ia adalah bagian dari keluarganya yang ada di Jogja, jadi Aron mempercayainya. "Masih lama ya?" tanya Aron. "Iya, Pak. Mohon maaf ya, karena aksesnya aga
"Oma!" Ibu-ibu itu langdung pamit, sementara Oma tersenyum dengan penuh percaya diri. "Assalamualaikum, Mira. Apakabar?" tanya Oma. "Waalaikumsalam, Oma. Tapi, kenapa Oma di sini?" tanya Mira, ia jelas sangat terkejut. Tiba-tiba, Aron dan Opa turun dari mobil mewah itu. Deg! Mira semakin shock, bagaimana tidak, mengapa para orang kaya ini datang ke pelosok? Apakah mereka akan membangun proyek di sana? "Mira, siapa yang datang?" tanya seorang wanita paruh baya di ambang pintu. "Itu...." Mira bingung, tetapi melihat sekitar dan ia mulai menggunakan akal sehatnya, lalu menyambut mereka untuk masuk ke dalam rumah. Sayang sekali, ruang tamu yang menjadi tempat belajar para anak SD itu menadi berantakan karena kelakuan mereka, jadi Mira memberihkannya terlebih dahulu. Ia terus memikirkan alasan mereka datang ke sini, untuk apa. Penampilan mereka pun mewah, Opa dan Oma yang mengenakan pakaian yang sangat rapih dan formal, tetapi memperlihatkan sikap anggunnya. Sem
"Yah, kami sudah memiliki hubungan sejauh ini, kami berencana menikah. Ya kan, Mira?" jawab Aron dominan. Mira hanya planga-plongo, ia jelas kaget dengan keadaan ini. Bagaimana bisa jadi seperti ini? "Bagaimana kalau kita bicara bedua dulu, Tuan Aron?" tanya Mira. Aron pun dengan santai memenuhinya, kemudian keduanya pindah ke belakang rumah yang langsung memperlihatkan hamparan sawah yang luas itu. Sawah-sawah itu ditanami padi yang masih hijau, menciptakan kesan santai dan segar. "Apa maksud Bapak melakukan itu?" tanya Mira padanya. Aron terkekeh mendengar pertanyaan Mira yang terkesan buru-buru itu. "Apalagi kalau bukan untuk mengikat kamu?" jawabnya terkesan menantang. Mira berusaha mengatur napasnya, membuat Aron makin tertarik untuk membuat Mira kesal. "Saya cinta sama kamu," ujar Aron. Deg! Mira terpaku, apa yang baru saja ia dengar? ••• "Anjay, mereka beneran ke kampungnya Mira," ujar Dea pada suaminya. Juna pun menggeser duduknya dan melihat statu
Mira diam saja, menatap mata pria itu dan menunggu ucapannya yang berikutnya. "Itu karena saya gila setelah kamu pergi dari Mansion, saya mencari keberadaanmu yang ternyata kamu di sini, kenapa kamu melakukan itu?" tuntut Aron tak terima. Mira tak menjawab, ia tak mengerti melakukan itu apa. Tentu ia pergi karena kontraknya habis. "Segitunya kamu ingin pergi dari saya dan membuat saya kehilangan jejakmu?! Kenapa kamu menjauh dan berbohong begini? Saya gak bisa bayangin kalo kamu pulang dan menikah dengan pria lain, yang lebih muda dari saya, yang memenuhi kriteriamu? Saya gak mau kamu dimiliki orang lain!" "Stop!!!" Mira berteriak, sampai membuat Aron kebingungan, ia tak pernah mendengar suaranya yang sekeras itu. "Saya menghapus semua jejak saya, itu... karena..." Ia menunduk, menatap kaki mereka yang hampir bersentuhan. "Karena saya tak mau gagal move on!" lanjutnya. Sontak membuat Aron berdiri tegak karena kaget, ia tak menyangka kalau itu yang Mira pikirkan.
Mira keluar dari kantor saat tiba-tiba mobil mewah yang sangat ia kenali, berhenti di depannya, membuatnya dan orang di sekitarnya kaget. Lalu, kaca mobil dibuka dan memperlihatkan Yuda--sopir Aron yang tersenyum padanya. "Silahkan naik, Nyonya." "Lah Evi (opir Mira) kemana?" tanya Mira. "Sudah pulang, Tuan yang nyuruh." Mira kemudian mendekat dan melihat ada Aron yang duduk di kursi penumpang dengan ekspresi datar. Hal itu membuatnya bingung, tapi ia juga tak bisa menolaknya. Dibukanya pintu samping sopir dan ia duduk di sana, mengabaikan tatapan Aron yang jelas tak suka ia duduk di samping Yuda. "Nyonya... itu..." "Sssstttt, jalan!" perintah Mira. Yuda melirik Aron dari kaca tenah dan melihat sang majikan mengangguk parah. Sepertinya mereka sedang ada masalah, yang membuat Nyonyanya tak mau duduk bersama sang Tuan. Padahal biasanya mereka sangat menempel, tapi sebagai sopir Ia hanya bisa fokus menyetir dengan kondisi tertekan. Bagaimana tidak tertekan? B
"Kita harus kerja sekarang kan?" Aron mengeryit, "Di situasi ini?" Ia sungguh kaget, pembicaraan ini amat penting, dan sekarang Mira masih memikirkan kerja? "Aku akan teat dan akan dapat masalah," ujar Mira panik. Alih-alih menunggu suaminya bicara, ia segera masuk ke kamar mereka dan mengambil batang-barang yang harus ia bawa ke kantor. Aron kebingungan, tapi Mira terlanjur heboh sendiri dan minta dintarkan ke kantor pada sopirnya. Pada saat itulah, Aron merasa apa yang ia lakukan tidak mempan untuk Mira. Yah, Mira bukan perempuan bodoh, tapi ia hanya belum bisa menerima. Ia pun akan mencoba mengerti, jika seperti itu hasilnya. ••• Dea tadi malam memang sudah memberikan testimoni pada Mira tentang ayahnya Ia bukannya mau ikut campur, tapi ia ingin membantu ayahnya sedikit-sedikit. Makanya ia cukup banyak menceritakan tentang ayahnya pada Mira. Saat ini, Dea sudah agak senggang dan membuka ponselnya karena Baby Adam sudah tidur. Akan tetapi, ayahnya menelpon dan
"Jangan tinggalin aku!" gumam Aron dengan isak tangisnya. Mira tambah bingung, "Apa yang kamu maksud? Ninggalin apa?" tanyanya. Aaron kemudian melepas pelukannya pada Mira dan menatapnya. "Kamu nggak ninggalin aku kan?" Mira mengeryit bingung, "Maksud kamu? Lah aku kan cuma nginep di tempat Dea." "Kukira kamu gak bakal pulang karena masih marah sama aku. Aku takut kamu pulang lagi ke kampung," ujarnya dengan suara yang agak kekanakan. Jujur di sini Mira merasa bingung, apakah ini suaminya yang biasanya berwibawa, ia tampak seperti Kucing manja sekarang. Mira pun menghela nafas dan menggeleng. "Enggak kok, aku gak akan pergi sebelum nyelesein masalah kita." "Tapi kamu tetep pergi?" "Tergantung kamu," balas Mira sok cuek. Padahal ia hampir kelepasan ketawa gara-gara kondisi muka Aron terlihat seperti balita yang takut ibunya pergi. Saat Aron ingin membalas lagi, Oma menyarankan agar mereka duduk dulu. Lalu, mereka pun menurut dan berjalan menuju sofa. Mira dud
Mira merasa hatinya mulai mengeras, ia sulit percaya pada suaminya lagi. Ia takut, bahwa cintanya juga akan pudar. Ia mengirimkan pesan pada suaminya karena ingin menginap di Mansion milik Dea. Mira || Mas, ijin nginep di tempat Dea ya Aron || Kenapa? Aku mau ngobrol loh Sayang Mira || Besok aja, sekarang aku mau sama Baby Adam Menunggu cukup lama selama 5 menit, baru Aron membalas lagi. Aron || Ya udah gak papa, semoga mimpi indah Mira mendengus, "Manis banget kamu Mas," gumamnya kecewa. Ia masih kecewa dengan keadaan ini, di mana ia bahkan tidak bisa membayangkan kalau suaminya memang berselingkuh dengan Julia. Dea menatap Mira dengan prihatin, "Papi bilang apa?" "Dia mau ngobrol sama ku, tapi aku mau sama Baby Adam dulu." Dea pun mengangguk-angguk saja. Ia tak ingin membuat mood Mira turun. Ia yakin Mira dalam kondisi yang tidak membutuhkan nasihat, ia hanya butuh jeda jntuk bertemu Aron sebelum menghadapinya lagi. Menghadaoi orang yang membuat kita kecewa
Mira akan tetap berada di sendiri aja bahwa suaminya harus berusaha membuktikan bahwa ia tidak bersalah Ia merasakan trust issue dengan orang kaya seperti suaminya. Awalnya ia berharap bahwa ada titik terang, tapi ternyata Aaron juga berpotensi untuk menuju ke arah suami tidak setia. Lagian wajar sih, banyak cewek di luaran sana yang tertarim dengan Aron, tertarik untuk menikmati uang atau bahkan tubuhnya. Ia pernah diberitahu Dea, bahwa ayahnya pernah hampir diperkosa, ada juga yang terang-terangan meminta disetubuhi oleh suaminya secara gratis. Ia jadi merasa tambahsesak ketika mengingat fakta itu, ingin rasanya menangis. Ia tidak rela kalau harus membayangkan suaminya bercinta dengan perempuan lain, bayangkan kalau tangannya menyentuh entah bagian tubuh perempuan yang mana, atau perempuan mana saja yang ia sentuh. Ia tidak rela, dan terus merasa frustasi dengan itu. ••• Hari ini katanya Aron akan bertemu dengan Julia, sementara dirinya memilih pergi ke tempat Dea
Mira begadang semalaman, dan memikirkan apa yang dikatakan Dea. "Masuk akal...." gumamnya. Apakah mungkin aktivitas yang dilakukan Aron dan mantan istrinya itu, dilatarbelakangi dari kebutuhan batinnya yang tidak terpenuhi dari istrinya sendiri? Itu bisa sejalan sih, tapi Mira tidak yakin kalau Aron orang yang seperti itu. Jika memang Aron ternyata orang seperti itu, dan ia tidak tahu aslinya. Ia akan sangat hancur. Ia merasa bodoh, atau bisa jadi Aron terbiasa dengan itu dan tidak bisa sembuh. Suaminya bisa saja terbiasa melampiaskan kebutuhannya itu, pada para pelacur atau orang-orang random yang mau berhubungan badan dengannya, yang sama-sama terbiasa dengan aktivitas seperti itu. Ditambah lagi, Aron punya modal fisik yang sulit ditolak. Sangat langka untuk ukuran pria yang tampan tapi tidak doyan selingkuh, presentasenya sekitar 1 banding 10? Mira tidak tau. Biasanya perilaku playboy itu tidak bisa sembuh. Lalu, karena mereka sudah menikah, bisa saja seumur hid
Masalah antara Aron dan Mira tentu saja belum selesai, mereka masih saling diam tapi, Oppa kemudian bicara pada Aron. Mereka bicara di taman belakang, sambil ngopi dan menikmati sore yang tenang. Hari itu, Aron memang pulang lebih awal seperti biasa, ia tak tenang pergi ke kantor ketika istrinya marah padanya. Ia merasa dihantui rasa bersalah, dan merasa tak berguna. Ia merindukan Mira meski ia bisa melihatnya tiap hari, tapi tak bisa menyentuhnya, memeluknya dan menatapnya dati dekat. Mira selalu menjaga jarak, mengabaikannya dan mencoba mengurangi interaksi. Ini adalah siksaan terbesar untuknya. "Ini tidak boleh diteruskan, Aron," ujarnya. "Aku tau, hanya saja Mira tidak mau bicara padaku Yah," keluh Aron merasa frustasi sendiri. "Aku menerti, kamu kan bisa cari cara agar Mira bisa mendengarkan penjelasanmu. Bukan malah membiarkan dia menghindarimu seperti itu, perempuan memang punya ego sendiri, seperti kita parah laki-laki, sama. Tapi memang, mereka harus dibujuk deng
Malam harinya tiba, Aron menagih apa yang ditanyakan pada istrinya tadi siang. "Sayang, sekarang kamu udah mau cerita kan apa yang tadi aku tanyain ke kamu?" tanyanya. Mira yang baru naik ke ranjang dan bergabung di satu selimut yang sama dengan suaminya pun menghela napas. Ia seolah mempersiapkan semuanya untuk menjelaskan pada suaminya. Mempertimbangkan reaksinya atau akibat dari apa yang ingin ia sampaikan. "Gini..." Aron sebenarnya merasa gemas dengan istrinya yang seolah tarik ulur, tetapi ia paham bahwa ia juga butuh waktu untuk siap, jadi ia sabar menunggu. "Aku... liat waktu itu, kamu sama Maminya Dea ciuman di ruang tamu pas aku baru pulang dari rumah Dea." Deg! Wajah Aron langsung pias, seoolah baru saja ketahuan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan, setidaknya itu yang Mira pikirkan. Ia sempat merasa khawatir kalau ternyata itu benar, akan tetapi Aron kemudian langsung berkata. "Maaf, itu salahku. Aku kira kamu gak tau?" tanya Mira langsung. Ia tak bisa men
"Maksudnya, Mami merasa nggak nyaman sama Mira dalam artian karena dia pasangan dari mantannya Mami. Eh... tapi aku paham kok kalau Mami ngerasain hal itu, karena itu kecemburuan yang wajar." Julia terlihat diam saja, seolah ingin menghindari percakapan dengan menatap ke luar jendela yang memperlihatkan taman samping Mansion. "Masalahnya kalau Mami takut aku lebih condong pada Mira, itu salah besar. Karena aku akan selalu menempatkan Mami di tempat utama, sementara Mira meskipun Ia sekarang ibu tiri aku, dia tetaplah sahabat aku. Setidaknya itu yang aku lihat, di mata aku dia adalah sahabatku. Jadi Nami nggak perlu khawatir tentang itu," ujar Dea meyakinkan. Julia masih diam, tapi kali ini terlihat mengangguk pelan. "Hem... coba deh Mami kenali Mira lebih jauh lagi. Dia asik kok orangnya," lanjut Dea meyakinkan sang ibu. Julia pun mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa. Dea pun mengerti, mungkin Julia sedang memikirkan atau mempertimbangkan apa yang ia sarankan. . Sem