"Jadi, sebenarnya sejak kapan lo naksir Dinara?" Sandi menyunggingkan senyum tipis penuh makna kala pertanyaan itu kembali hinggap di rungunya. Dia sendiri tidak tahu pasti sebenarnya sejak kapan dia mulai menyukai Dinara.Sementara Sandi tak mau sibuk menghabiskan waktu untuk mengingat awal mula, matanya masih menerobos santai memandangi Dinara yang diyakininya tengah tersipu. Semburat merah muda malu-malu kucing itu jelas bukan efek blush on! Bibirnya menarik seutas senyum gemas. Dinara masih menunduk berpura-pura tidak peduli. Seolah dia akan bodo amat dengan apapun yang kawannya lontarkan. Padahal telinga gadis itu sudah makin memerah. Tapi dibanding memenuhi rasa ingin tahu kawan- kawan jahilnya, Sandi memilih lurus pada aturan utama permainan. "Ini bukan giliran gue buat jawab, kan?" Dia mematahkan harapan gadis- gadis kepo dihadapannya. Semua menghela nafas kesal. Sekarang mereka tentu berharap setelah ini punya kesempatan untuk menggali dalam perihal Sandi dan Dinara yang
"Terus kenapa repot-repot kesini kalau semua udah deal?" Sandi mengeluh. Dari awal pun dia yakin keluarga besarnya sudah mengatur semuanya dengan baik. Begitu dia mengetahui bahwa gedung utama yang digunakan adalah salah satu milik pamannya, Sandi yakin semua ini sudah pasti diatur sampai tuntas oleh keluarganya. Alana tersenyum sekilas, "menurutmu, aku sama Arkasa mau terima jadi aja? Both of us have an eye for every little detail," ucapnya sebelum menyeruput teh hangat yang disuguhkan. Sandi menghela nafas, hampir lupa bahwa kakak sepupu dan calon kakak iparnya itu perfeksionis luar biasa. Saat ini mereka tengah duduk di salah satu meja bundar sembari mereview kembali hasil temuan hari ini. Mulai dari memastikan jumlah undangan, pemilihan warna dekorasi, menggambar layout peletakan barang dan lain sebagainya. Gedung ini punya ballroom yang cukup megah hingga bagian taman outdoor yang juga terlihat cantik. Alana tak perlu pikir lama untuk deal menyewa tempat karena usut punya usu
Kata orang, Dinara seperti slogan 'i want it i get it' berjalan. Meskipun diperoleh dengan upaya keras, tapi apapun yang gadis itu inginkan pada akhirnya selalu dia dapatkan. Itu kata orang. Kata orang-orang yang hanya tahu dia di permukaan tapi tak mengenalnya lebih dalam. Mereka yang hanya silau pada pencapaian Dinara tanpa tahu sakit dan perjuangan macam apa yang harus gadis itu lewati. Berjalan dengan orientasi hasil dibarengi proses yang konsisten dia jalani. Setidaknya Dinara tahu apa yang dia inginkan dan berupaya keras untuk mewujudkannya. Tapi khusus untuk kasus Sandi Arsena, Dinara berubah menjadi payah. Jujur, dia tidak tahu apa yang ingin dilakukannya. Dinara punya ketakutan sendiri yang membuatnya jadi banyak pikiran. Kalau mau lurus pada tujuan akademik dan karirnya, harusnya Dinara bisa menolak Sandi dengan tegas sejak awal. Dinara sudah menetapkan set tujuannya sejak awal. Jadi halangan apapun pasti akan dia singkirkan agar bisa tetap fokus pada cita-citanya. Tapi
Hanya ada gemericik air keran dan detak bersahutan yang memenuhi telinga. Dinara hening saja saat lelaki bertubuh tegap dihadapannya meraih telunjuknya dan kembali dibasuh di air mengalir. Lanjut mengoles obat dan menutupnya dengan perban steril. Keduanya masih berada di dapur. Viviane tadi sempat membawakan kotak P3K dan langsung diusir Sandi untuk menyelesaikan masakan mereka. Dinara harus dia sekap sementara. Lagipula mayoritas pekerjaan tadi sudah dikerjakan Dinara, finishing lain-lain masih bisa percaya pada sobat-sobatnya lah. "Ditungguin Vela, tuh!" Dinara jelas merasa tak nyaman berada di ruangan berdua usai perdebatan alot yang tak menghasilkan putusan apa-apa itu. Apalagi sekarang mereka seperti mengasingkan diri dari kawan-kawan yang sibuk menyelesaikan persiapan makan malam. Sandi meliriknya dengan jenis pandangan tak suka. "Kenapa jadi Vela?"Berdecih sinis sembari memutar bola matanya malas, "kan masih asik sandar-sandaran, ngapain juga lama-lama disini?"Sandi mau ta
Lagi dan lagi Sandi seolah lupa daratan kalau sudah bersama Dinara Jeandra. Waktu itu di lift usai wisuda, di muka umum yang untungnya tidak disergap langsung oleh sang mama. Kali ini justru di dapur villa yang tiba-tiba dibuka duo upin ipin paling ember seantero sekolah pada zamannya. Malu! Dinara menarik diri dan membalik tubuhnya kembali menghadap wastafel. Sementara Sandi bergerak canggung sembari berdehem mengamati perubahan ekspresi di wajah dua kawannya itu. Dia dengan cepat memahami situasi, "Free Pass Sky High VIP minggu depan," ucapnya enteng. Nathan dan Kevin saling berpandangan saat mendengar nama klub mahal itu. Sandi sepertinya tahu saja jenis sogokan yang tepat untuk mereka. "Padahal kita gak niat kasitau siapa-siapa, ya kan? Udah pada gede masa hal kaya gini digemborin juga?" Kevin si munafik senyum-senyum dengan tampang tengilnya. Nathan mengangguk mengiyakan, "tapi karena udah lo tawarin, ya gak bisa diambil balik! Jangan lupa plus minum sama jatah rokok!" Nath
"Aku rasa kamu terlalu berlebihan."Sandi mengernyitkan alisnya saat sebuah kalimat merayap menyapa pendengarannya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi yang terletak tak jauh dari dapur dan taman tempat pesta sederhana teman- temannya berlangsung. Begitu berbalik badan, dia menemukan gadis yang cukup dikenalnya bersandar pada tembok sembari bersidekap di depan dada memandangnya dengan jenis tatapan aneh."Maksudnya?"Mau tak mau Sandi menghentikan langkahnya, memberi pertanyaan sekaligus raut tanya pada sang pelempar kalimat. Vela menghela nafas lalu berjalan mendekat, refleks membuat Sandi mundur karena tak mau terlalu dekat. Ingat sekali bahwa sekarang ada hati yang harus dia jaga, hehehe.Melihat Sandi mundur dua langkah membuat Vela otomatis mengembangkan seringaian tipis. Biasanya Sandi tidak pernah berlaku seperti itu sebelumnya. Laki- laki yang dikenalnya sedari remaja itu tipikal yang santai dalam pergaulan dengan siapapun. "Aku gak tau kalau selama tinggal di Jakarta kamu
Semuanya kembali duduk di taman dekat kolam renang. Memulai sesi makan cemilan santai, minum-minum dan sesekali meledek siapapun yang kebetulan menjadi sasaran. Adegan kekerasan berupa jewer menjewer bahkan menggeplak duo Upin Ipin yakni Kevin Nathan juga tak ketinggalan dilakukan oleh Julie yang seolah berperan menjadi Kak Ros. Mereka duduk melingkar di taman belakang, dekat dengan kolam renang yang bahkan belum sempat mereka jajal sama sekali selama berada disini. Obrolan dan gelak tawa kali ini juga pastinya tak lepas dari permainan tadi siang yang pada akhirnya mereka lanjutkan. Truth or Dare. Biarpun awalnya Kevin dan Nathan sempat berkomentar miring soal games yang sudah terlalu umum ini, pada akhirnya mereka semua bergabung dalam satu kesatuan. Bedanya, kali ini terdapat sanksi bagi mereka yang tidak menjawab atau melakukan dare. Minum dua gelas minuman beralkohol yang baru saja keluar dari koleksinya James. "Yaelah, niat banget ya lo pengen bunuh gue?" Nathan melengos s
"Mau sekali lagi?" Dinara seolah mati rasa. Begitu kalimat ambigu yang diucap oleh bibir seksi itu merayap menyapa rungunya, gadis itu mendadak punya tenaga lebih untuk loncat dari kasur empuk tempatnya berbaring tadi. Dia menarik selimut lalu duduk meringkuk di depan walk in closet sembari menggigit bibir gelisah. Ini tidak seperti yang terjadi pada film-film, kan? Tanah serasa bergetar, pun kepalanya masih pening serta perut rasanya seperti diobrak abrik. Dinara meringis saat merasakan nyeri disekujur tubuhnya. Ditambah lagi kini netranya yang perlahan fokus seperti efek bukaan pada bokeh kamera baru semakin tajam. Dinara menggigit bibir bawahnya gelisah, apa yang Sandi Arsena lakukan diatas ranjangnya shirtless seperti itu? Laki- laki itu tersenyum bak iblis sembari menyangga kepalanya dengan tangan sebelah kanan, menatap Dinara bak om-om pedo yang hendak menyergap mangsa. "Good morning sweet heart! Feel better?" Sandi kembali berujar santai seolah tak ada yang salah dengan
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
“Apa kabar Dinara?” Satu kalimat pendek yang Alana layangkan pertengahan januari lalu membuka kembali komunikasi antar mantan rekan kerja itu. Alana tak mau banyak basa-basi dan langsung menawarkan pekerjaan meskipun dia tahu Dinara masih dalam masa menyelesaikan studinya. Alana cukup tahu kapasitas kerja Dinara Jeandra. Dia mengenal Dinara sejak gadis itu masih magang di perusahaan lama. Apa yang dia tawarkan saat itu juga merupakan sesuatu yang fleksibel yang untungnya disanggupi oleh Dinara sendiri. Meskipun pada awalnya wanita muda itu agak meragukan dirinya sendiri. Bisa dibilang, Alana pada akhirnya dengan percaya memberikan posisi tetap pada Dinara. Syukur juga Dinara berkesempatan lulus lebih awal sehingga dia bisa kembali ke Indonesia lebih dulu. Dan disinilah dia sekarang. Tanah kelahirannya yang amat dia rindukan. Berdiri dengan anggun memperkenalkan diri sebagai junior manager salah satu cabang perusahaan milik keluarga Alana. Pertemuannya dengan Sandi disini pun sebe
“Kalau bukan karena Kak Alana, gue nggak bakal bela-belain dateng, sih!” Arkasa tertawa kecil menyambut kedatangan sepupu kesayangannya yang berjalan kearahnya dengan wajah setengah cemberut. Tapi siapapun tahu bahwa raut itu jelas dibuat-buat karena beberapa detik kemudian si pelaku justru menjabat tangan Arkasa dengan santai dan menampilkan senyuman lebarnya. Wajahnya jadi agak lucu, kontras dengan setelan desainer serta sisiran rambutnya yang ditata rapi. Lelaki itu kemudian lanjut bersalaman dengan pemilik utama perhelatan, Alana Diandra Yasmin. “Katanya lo maraton kesini setelah dari acaranya Damian, ya?” tanya Alana memastikan info yang dia dapat dari asistennya.Sang suami lebih dulu menambahi, “Udah makin sering gantiin Om Seno di event-event gede! Tinggal nunggu peresmian aja sih kalau gini,” godanya.Sandi Arsena memasang wajah malas, pun menggeleng sebagai tanggapan lanjutan. Memang setelah hampir setahun mengabdi di anak perusahaan, akhirnya secara resmi Sandi diperkena
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berkunjung ke museum, foto-foto di beberapa bagian town square, belanja ke toko buku dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Cambridge. Jangan tanya kenapa destinasi wisata keduanya jadi terlihat akademis begitu. Mau bagaimana lagi? Tempat semacam itulah yang dimiliki oleh salah satu wilayah institusi pendidikan ini. Dinara paling malas kalau harus berkendara jauh, sementara Sandi juga tidak terlalu mengenal banyak tempat disana. Maka dari itu keduanya memilih untuk berwisata sesuai panduan di internet, mendatangi tempat-tempat sekitar mereka yang jadi pilihan turis. Dinara sempat membeli beberapa buku dan sangat menikmati kunjungannya. Sementara Sandi sih sebenarnya sama sekali tidak masalah mau kemanapun, poin pentingnya adalah dia harus menghabiskan wak
Terbangun dari mimpi indahnya yang seakan hanya berlangsung dua detik. Dinara mendapati dirinya telah berada dalam kamar asrama—masih dengan pakaian semalam karena gadis itu ternyata justru ketiduran. Melirik jam di meja, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum dia harus ke kampus untuk mengumpulkan hardcopy tugas. Semuanya sudah siap, Dinara tinggal mandi dan siap-siap sedikit lalu berjalan menuju kampus yang hanya sekitar lima menit dari asrama. Pandangannya kini tertuju pada langit-langit kamar, memandang kosong atau bahkan lebih tepatnya memutar kembali memori semalam yang masih berbekas. Kali pertama dia melangkah lebih jauh dengan Sandi—maksudnya ya belum sampai dijebol tapi sepertinya ini sudah sangat intim baginya.Dinara masih ingat pandangan kelam dan bibir bengkak Sandi dihadapannya, begitu juga selatannya yang jelas terasa mengganjal. Cahaya remang-remang dan bahkan mereka hanya berdua dini hari kemarin. Meskipun Sandi berhasil menyentuh kulitnya lebih banyak, tetap saja
Pada akhirnya, dua insan yang sempat terpisah jarak dan waktu itu hanya bisa duduk dalam diam. Dinara yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar serta Sandi yang merasa terlalu meluap-luap hingga berprasangka buruk begitu saja. Canggung? Tentu. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa Sandi bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Itu yang mendasari pada akhirnya kata maaf meluncur beberapa kali. Meskipun sebenarnya Dinara masih sedikit gondok menghadapinya.“Besok kamu ada kelas jam berapa?” tanya Sandi pada akhirnya.Dinara meliriknya sebentar, “sekitar pukul sebelas, hanya submit tugas,” jawabnya. Sandi mengangguk paham, “aku disini seminggu kedepan. Kapan ada waktu luang? Temenin jalan-jalan, bisa?” tanya Sandi lagi.“Kemana?” Dinara mau, tapi sejujurnya dia tidak terlalu tahu banyak tempat disini. Seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Dinara bahkan sama sekali belum sempat jalan-jalan. “Kemana aja. Kamu nggak akan nyasar, kok!” ucap Sandi seolah menjawab kekh