Tiba-tiba saja hujan beriak jatuh dari langit. Benar- benar deras sampai terdengar cukup berisik saat bergesekan dengan kanopi di depan rumah. Pun beberapa kali kilat menciptakan efek kejut yang cukup nyata. Mungkinkah hebohnya hujan malam ini adalah bentuk balas dendam langit terhadap manusia bumi yang mengeluh panas gerah siang tadi?Masih terjebak di rumah Dinara Jeandra saat hujan deras disertai angin kencang itu melanda. Sebenarnya Sandi bisa saja berlari ke rumahnya yang hanya berjarak kurang dari sepuluh langkah itu. Atau mungkin meminjam payung dari Dinara agar setidaknya tidak terlalu basah kuyup. Namun suara hatinya mungkin terdengar lebih keras daripada gemuruh malam ini—sebentar saja, bolehkah ini jadi alasan untuk setidaknya memandang Dinara setelah tiga hari tak bersua?Sandi tak tahu sejak kapan ia berubah jadi setengah memalukan begini. Rasanya baru kali ini ia mengejar seorang gadis bahkan sampai tumbuh rasa ketakutan sendiri. Dia belum memiliki, namun sudah merasa
"Good morning putri tidur!" Sapaan tak biasa dari sang ayah membuat Dinara yang baru turun dari kamarnya memanyunkan bibirnya. Gadis itu memang sedikit kelabakan tadi dan bahkan harus dibangunkan oleh sang mama. Tapi menurutnya masih tidak cukup untuk mengkategorikannya dalam golongan putri tidur. Masih menjinjing tas kulit berwarna coklat dan blazer nude di tangan kanannya, gadis itu kini ikut duduk disebelah ayahnya yang sesekali masih memandangnya jenaka. Rasanya ada sesuatu yang salah. Apalagi kini Dikta dan mamanya yang baru bergabung di meja makan ikut bertukar tatapan mencurigakan. "Sean mana?" tanya Dinara pada Dikta sembari meraih selembar roti tawar lalu mengolesi selai coklat diatasnya. Dinara ingat semalam bocah itu tidur di kamar Dikta. Usai meneguk susu, Dikta membalas dengan santai. "Dibawa pulang sama abangnya subuh tadi," ujarnya. Bibirnya membulat membentuk huruf o sembari mengangguk paham. Selanjutnya Dinara memilih untuk kembali diam dan fokus denga
"Arsena!"Keduanya kompak menoleh saat mendengar sapaan berat namun juga halus pria bertubuh tinggi yang nampak rapi nan klimis. Terdengar setengah asing namun Dinara yakin sempat mendengar ayah Sandi juga memanggil putranya begitu. "Ngapain disini?" Pria itu super tampan dan punya gurat wibawa di wajahnya. Dia kelihatan familiar namun Dinara lupa pernah melihatnya dimana. Sandi tersenyum sembari membalas pelukan hangat dari lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu. "Kebetulan lagi ketemu temen," ia melirik Dinara. "Nar, kenalin ini kakak sepupuku yang baru pulang dari London."Dinara menjabat tangan besar yang terulur dari pria tinggi itu. "Arka," ucapnya singkat saat memperkenalkan dirinya. Dinara tersenyum kikuk saat pria matang itu melirik kearahnya dan tersenyum kecil, bergantian melirik adik sepupunya yang nampak tak terganggu sama sekali. Dari setelan yang digunakan dan aroma parfum yang menyeruak, Dinara makin sadar bahwa kasta keluarga besar Sandi itu lumayan
Serba mendadak!Belum ada duduk lima belas menit, gadis dengan rambut lurus itu harus buru-buru merapikan dokumennya. Ada client yang minta reschedule jadwal temu sehingga janji yang awalnya dicanangkan saat makan siang harus dimajukan menjadi pukul sepuluh pagi. "Draftnya tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Bu Alana saat Dinara sudah menyusulnya masuk ke dalam mobil. Mereka berangkat bersama supir kantor yang memang biasa mengantar perjalanan bisnis. Dinara mengangguk pasti, "sudah saya cek semua, bu. Draft tulisan, layout, dan beberapa tawaran konsep baru yang sebelumnya kita bahas sudah ada dalam map," terang Dinara yakin. Alana mengangguk paham. Ia lalu mengintruksikan supir untuk mulai melajukan mobil menuju Hotel Royal di pusat kota karena pertemuannya akan dilangsungkan di resto disana. Client hari ini bisa dibilang merupakan salah satu VIP nya perusahaan mereka. Pasalnya, The Royal merupakan perusahaan raksasa yang sedang melejit dan sudah membawahi beberapa hotel dan r
Dinara menghempaskan tubuh super lelahnya diatas ranjang queen size miliknya. Masih berbalut kemeja putih dengan siku yang tergulung dan celana kain hitam yang melekat manis di kaki jenjangnya. Tidak ada niatan sama sekali baginya untuk masuk ke dalam kamar mandi—setidaknya dalam rentang satu jam kedepan ini. Ponselnya yang masih berada di nakas itu mendadak berdering. Niat awalnya sih ingin mengabaikan dering menyebalkan itu, namun dia takut kalau- kalau panggilan itu ternyata penting. Dengan setengah hati, Dinara meraih benda pipih itu dengan bantuan lengan panjangnya. "Gimana tadi tes nya, Din?" Dinara mengaktifkan fitur speaker dan menggeletakkan ponselnya tanpa niat. Tubuh tingginya masih rebahan menguasai kasur dan sudah dikuasai kemalasan sekarang ini. "Gue gak tau deh itu tadi bisa dibilang lancar atau enggak, kak," sahut Dinara tak bersemangat. Kepalanya masih berdenyut lumayan hebat setelah mendorong dirinya untuk berkonsentrasi penuh selama kurang lebih dua jam. Meskip
Bermain game merupakan aktivitas yang seharusnya terasa menyenangkan. Sandi bahkan sempat menobatkan kegiatan memencet-mencet tombol, memilih strategi dan fokus pada layar itu sebagai salah satu pilihan healing buatnya. Meskipun tak jarang dia justru makin mumet saat kalah setelah berjuang dengan kekuatan maksimum otaknya. Jemarinya bergerak asal, pun setelah banyak diteriaki bocah-bocah celana biru dan abu-abu, dia masih tak fokus. Matanya sesekali melirik kearah tangga melingkar hunian sepi itu. "Dih, bang Sandi kenapa mendadak noob?" Keenan menutup mulutnya rapat setelah mendapatkan tatapan setajam silet dari lelaki yang diledeknya tadi. Sandi melempar stick PS miliknya asal lalu meluruskan kakinya diatas karpet wol tebal di ruang tamu itu. "Ta, kakak lo lagi sibuk apa, sih?" Akhirnya berhasil mengungkapkan rasa penasarannya. Hari minggu siang, Sandi sudah deal dengan tiga bocil laknat yang katanya akan mengajaknya main game sampai sore. Niatnya jelas, selain memang m
Telinganya berdengung, tubuhnya pun masih lemas tak bertenaga sampai- sampai digendong bridal masuk kedalam kamar. Untuk membuka mata saja rasanya berat akibat pening yang mendera hampir seluruh bagian kepalanya itu. Dia hanya pasrah saat Sandi menggendongnya ringan ketika keluar dari mobil sampai kini diturunkan pelan- pelan di ranjang."Makanya kalau kerja atau belajar tuh jangan sampai lupa makan minum! Kalau capek jangan lupa istirahat! Maksa terus sih! Emang kamu gak sayang badan sendiri?" Samar- samar Dinara mendengar gerutuan Sandi yang sepertinya masih terus dirapalkan sejak mereka keluar dari klinik lima belas menit yang lalu. Meskipun tak secara jelas mendengar untaian kalimat panjang yang juga diucapkan Sandi saat di mobil selama perjalanan pulang, Dinara cukup yakin bahwa maknanya masih sama."Udah sih, bang! Lagi sakit malah dimarahin terus," bela Keenan yang sepertinya juga ikut panas telinganya. Meskipun yang dimarah itu Dinara, tapi Keenan yang berperan sebagai supir
Senin pagi punya cuaca cerah dan udara yang masih cukup asri. Tunggu saja dua jam berikutnya ketika berganti dengan panas polusi kendaraan dan hiruk pikuk manusia khas kota hectic satu ini. Apalagi ini senin, beberapa manusia mungkin punya dendam kesumat akan hari setelah akhir pekan ini. Hari pertama kembali bekerja dalam setiap minggu—setidaknya bagi para pekerja kantoran dan pelajar. Rapat penting di hari senin menjadi alasan utama Dinara untuk tetap pergi ke kantor meskipun belum sembuh total. Sakit kepalanya sudah lumayan reda, panas juga turun, namun ada semacam hawa hangat yang masih berputar dalam tubuhnya. Entah bagaimana cara menjelaskannya, tapi rasanya seperti masih ada efek obat disana. Dinara memakai halter neck dilapisi blazer coklat susu dengan celana hitam kain panjang. Kakinya dibalut heels warna coklat setinggi lima senti. Dara rupawan itu membiarkan rambutnya tergerai, dia baru saja keramas setelah kemarin berkeringat akibat suhu tubuhnya yang menggila. Make up
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
“Apa kabar Dinara?” Satu kalimat pendek yang Alana layangkan pertengahan januari lalu membuka kembali komunikasi antar mantan rekan kerja itu. Alana tak mau banyak basa-basi dan langsung menawarkan pekerjaan meskipun dia tahu Dinara masih dalam masa menyelesaikan studinya. Alana cukup tahu kapasitas kerja Dinara Jeandra. Dia mengenal Dinara sejak gadis itu masih magang di perusahaan lama. Apa yang dia tawarkan saat itu juga merupakan sesuatu yang fleksibel yang untungnya disanggupi oleh Dinara sendiri. Meskipun pada awalnya wanita muda itu agak meragukan dirinya sendiri. Bisa dibilang, Alana pada akhirnya dengan percaya memberikan posisi tetap pada Dinara. Syukur juga Dinara berkesempatan lulus lebih awal sehingga dia bisa kembali ke Indonesia lebih dulu. Dan disinilah dia sekarang. Tanah kelahirannya yang amat dia rindukan. Berdiri dengan anggun memperkenalkan diri sebagai junior manager salah satu cabang perusahaan milik keluarga Alana. Pertemuannya dengan Sandi disini pun sebe
“Kalau bukan karena Kak Alana, gue nggak bakal bela-belain dateng, sih!” Arkasa tertawa kecil menyambut kedatangan sepupu kesayangannya yang berjalan kearahnya dengan wajah setengah cemberut. Tapi siapapun tahu bahwa raut itu jelas dibuat-buat karena beberapa detik kemudian si pelaku justru menjabat tangan Arkasa dengan santai dan menampilkan senyuman lebarnya. Wajahnya jadi agak lucu, kontras dengan setelan desainer serta sisiran rambutnya yang ditata rapi. Lelaki itu kemudian lanjut bersalaman dengan pemilik utama perhelatan, Alana Diandra Yasmin. “Katanya lo maraton kesini setelah dari acaranya Damian, ya?” tanya Alana memastikan info yang dia dapat dari asistennya.Sang suami lebih dulu menambahi, “Udah makin sering gantiin Om Seno di event-event gede! Tinggal nunggu peresmian aja sih kalau gini,” godanya.Sandi Arsena memasang wajah malas, pun menggeleng sebagai tanggapan lanjutan. Memang setelah hampir setahun mengabdi di anak perusahaan, akhirnya secara resmi Sandi diperkena
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berkunjung ke museum, foto-foto di beberapa bagian town square, belanja ke toko buku dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Cambridge. Jangan tanya kenapa destinasi wisata keduanya jadi terlihat akademis begitu. Mau bagaimana lagi? Tempat semacam itulah yang dimiliki oleh salah satu wilayah institusi pendidikan ini. Dinara paling malas kalau harus berkendara jauh, sementara Sandi juga tidak terlalu mengenal banyak tempat disana. Maka dari itu keduanya memilih untuk berwisata sesuai panduan di internet, mendatangi tempat-tempat sekitar mereka yang jadi pilihan turis. Dinara sempat membeli beberapa buku dan sangat menikmati kunjungannya. Sementara Sandi sih sebenarnya sama sekali tidak masalah mau kemanapun, poin pentingnya adalah dia harus menghabiskan wak
Terbangun dari mimpi indahnya yang seakan hanya berlangsung dua detik. Dinara mendapati dirinya telah berada dalam kamar asrama—masih dengan pakaian semalam karena gadis itu ternyata justru ketiduran. Melirik jam di meja, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum dia harus ke kampus untuk mengumpulkan hardcopy tugas. Semuanya sudah siap, Dinara tinggal mandi dan siap-siap sedikit lalu berjalan menuju kampus yang hanya sekitar lima menit dari asrama. Pandangannya kini tertuju pada langit-langit kamar, memandang kosong atau bahkan lebih tepatnya memutar kembali memori semalam yang masih berbekas. Kali pertama dia melangkah lebih jauh dengan Sandi—maksudnya ya belum sampai dijebol tapi sepertinya ini sudah sangat intim baginya.Dinara masih ingat pandangan kelam dan bibir bengkak Sandi dihadapannya, begitu juga selatannya yang jelas terasa mengganjal. Cahaya remang-remang dan bahkan mereka hanya berdua dini hari kemarin. Meskipun Sandi berhasil menyentuh kulitnya lebih banyak, tetap saja
Pada akhirnya, dua insan yang sempat terpisah jarak dan waktu itu hanya bisa duduk dalam diam. Dinara yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar serta Sandi yang merasa terlalu meluap-luap hingga berprasangka buruk begitu saja. Canggung? Tentu. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa Sandi bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Itu yang mendasari pada akhirnya kata maaf meluncur beberapa kali. Meskipun sebenarnya Dinara masih sedikit gondok menghadapinya.“Besok kamu ada kelas jam berapa?” tanya Sandi pada akhirnya.Dinara meliriknya sebentar, “sekitar pukul sebelas, hanya submit tugas,” jawabnya. Sandi mengangguk paham, “aku disini seminggu kedepan. Kapan ada waktu luang? Temenin jalan-jalan, bisa?” tanya Sandi lagi.“Kemana?” Dinara mau, tapi sejujurnya dia tidak terlalu tahu banyak tempat disini. Seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Dinara bahkan sama sekali belum sempat jalan-jalan. “Kemana aja. Kamu nggak akan nyasar, kok!” ucap Sandi seolah menjawab kekh