Bermain game merupakan aktivitas yang seharusnya terasa menyenangkan. Sandi bahkan sempat menobatkan kegiatan memencet-mencet tombol, memilih strategi dan fokus pada layar itu sebagai salah satu pilihan healing buatnya. Meskipun tak jarang dia justru makin mumet saat kalah setelah berjuang dengan kekuatan maksimum otaknya. Jemarinya bergerak asal, pun setelah banyak diteriaki bocah-bocah celana biru dan abu-abu, dia masih tak fokus. Matanya sesekali melirik kearah tangga melingkar hunian sepi itu. "Dih, bang Sandi kenapa mendadak noob?" Keenan menutup mulutnya rapat setelah mendapatkan tatapan setajam silet dari lelaki yang diledeknya tadi. Sandi melempar stick PS miliknya asal lalu meluruskan kakinya diatas karpet wol tebal di ruang tamu itu. "Ta, kakak lo lagi sibuk apa, sih?" Akhirnya berhasil mengungkapkan rasa penasarannya. Hari minggu siang, Sandi sudah deal dengan tiga bocil laknat yang katanya akan mengajaknya main game sampai sore. Niatnya jelas, selain memang m
Telinganya berdengung, tubuhnya pun masih lemas tak bertenaga sampai- sampai digendong bridal masuk kedalam kamar. Untuk membuka mata saja rasanya berat akibat pening yang mendera hampir seluruh bagian kepalanya itu. Dia hanya pasrah saat Sandi menggendongnya ringan ketika keluar dari mobil sampai kini diturunkan pelan- pelan di ranjang."Makanya kalau kerja atau belajar tuh jangan sampai lupa makan minum! Kalau capek jangan lupa istirahat! Maksa terus sih! Emang kamu gak sayang badan sendiri?" Samar- samar Dinara mendengar gerutuan Sandi yang sepertinya masih terus dirapalkan sejak mereka keluar dari klinik lima belas menit yang lalu. Meskipun tak secara jelas mendengar untaian kalimat panjang yang juga diucapkan Sandi saat di mobil selama perjalanan pulang, Dinara cukup yakin bahwa maknanya masih sama."Udah sih, bang! Lagi sakit malah dimarahin terus," bela Keenan yang sepertinya juga ikut panas telinganya. Meskipun yang dimarah itu Dinara, tapi Keenan yang berperan sebagai supir
Senin pagi punya cuaca cerah dan udara yang masih cukup asri. Tunggu saja dua jam berikutnya ketika berganti dengan panas polusi kendaraan dan hiruk pikuk manusia khas kota hectic satu ini. Apalagi ini senin, beberapa manusia mungkin punya dendam kesumat akan hari setelah akhir pekan ini. Hari pertama kembali bekerja dalam setiap minggu—setidaknya bagi para pekerja kantoran dan pelajar. Rapat penting di hari senin menjadi alasan utama Dinara untuk tetap pergi ke kantor meskipun belum sembuh total. Sakit kepalanya sudah lumayan reda, panas juga turun, namun ada semacam hawa hangat yang masih berputar dalam tubuhnya. Entah bagaimana cara menjelaskannya, tapi rasanya seperti masih ada efek obat disana. Dinara memakai halter neck dilapisi blazer coklat susu dengan celana hitam kain panjang. Kakinya dibalut heels warna coklat setinggi lima senti. Dara rupawan itu membiarkan rambutnya tergerai, dia baru saja keramas setelah kemarin berkeringat akibat suhu tubuhnya yang menggila. Make up
"Permisi, ini ada gofud buat Mbak Dinara."Rasa-rasanya Dinara belum sempat mengulik aplikasi hijau tersebut meskipun memang dia terpikir untuk pesan makan siang. Meski setengah bingung, dara itu pada akhirnya bangkit juga dan mendekat pada OB yang tersenyum ramah di depan pintu. Dinara mengintip ke dalam bungkus yang ternyata berisi bento langganannya. Tanpa pikir panjang pun dia akhirnya tahu siapa pengirimnya. Tidak lain dan tidak bukan pasti the one and only Sandi Arsena. Tetangga protektif yang sudah kedua kalinya mengirimkan bento ke kantor. Gadis itu tersenyum tipis, "makasih ya, mas," ucapnya pada OB yang akhirnya pamit. "Yah, padahal gue baru aja mau traktir lo bubur ayam di warung depan," dengus Stecia saat Dinara kembali duduk di tempatnya. Dinara mengendikkan bahu sementara Kalila tiba-tiba saja sudah duduk disebelahnya dengan pandangan memicing curiga. "Kalo gofudnya sampe dianter ke dalam ruangan gini, pasti bukan lo yang pesen kan, Din?" terkanya. Kadan
"Dinara!"Si pemilik nama menoleh kala suara yang terdengar akrab menyapu telinganya. Sore ini tak banyak manusia yang lalu lalang di lobby, sehingga ia tidak kesulitan menemukan orang yang menyapanya. Dinara tersenyum tipis membalas lambaian tangan bersemangat yang Valdi ayunkan dari dalam lift hingga kini setengah berlari menuju kearahnya. Staf Finance itu menggendong tas ransel hitam miliknya yang nampak cukup penuh dan berat. "Tumben senin jam segini udah di lobby, gak ada lembur?" Pertanyaan pertama yang laki- laki itu utarakan cukup menyentil Dinara. Memang benar sih, divisinya termasuk salah satu yang paling getol urusan lembur. Bagaimana tidak? Ada beragam konten yang harus diselesaikan dalam kurun waktu singkat. Ditambah lagi mereka punya visi yang sama dengan pemimpinnya, pantang pulang sebelum clear, hehehe.Untung saja mereka bekerja di perusahaan besar yang masih adil dalam perhitungan overtime. Dinara rasa lemburannya selama ini masih dibayar dengan layak. Dinara meng
Sandi mendelik mendengar permintaan Dinara kali ini. "Gak boleh! Bakso micinnya banyak!" tegasnya. Dinara mengerutkan dahi dan mengerucutkan bibirnya tanda melawan, "Bakso langganan aku micinnya dikit!" Sandi masih belum menyerah, "Tahu darimana? Emangnya ikut bantuin masak? Beli sayur hijau aja atau sup-sup gitu!" Usulnya. Dinara merengut sebal, matanya entah kenapa berkaca. Jadi sensitif out of nowhere yang membuat Sandi kelimpungan juga pada akhirnya. "Tapi pengennya bakso! Kan enak dingin-dingin gini makan bakso kuah anget! Aku juga gak bakal nambah sambel, saos ataupun kecap," ujarnya dengan suara lebih kecil daripada sebelumnya. Kali pertama menemukan sisi Dinara yang ini membuat Sandi jadi dilema. Rasanya sulit sekali menolak permintaan gadis yang nampak keras diluar tapi ternyata bisa merengek juga hanya karena makanan dengan bentuk bulat dan berkuah itu. Maka dengan segenap kesabaran dan kegemasan yang ditahan, pada akhirnya mereka berlabuh di salah satu rumah makan ba
Dinara merasa harus memberi pelajaran khusus pada adik laki- laki kesayangannya. Remaja itu biasanya tak banyak tingkah dan bicara. Namun belakangan ini, terutama sejak kenal Sandi, surprisingly dia menjadi sosok yang oversharing. Sisi bagusnya, Dikta mulai terbuka tentang perasaannya. Tapi bagian paling menyebalkan adalah laki-laki itu terlihat seperti lebih mendukung Sandi. Selama ini ada banyak sekali 'kebetulan' yang sepertinya tidak murni kebetulan. Salah satunya info-info kecil seperti apakah Dinara sudah tidur, pukul berapa pulang dan semacamnya. Dalam tahapan ini, bisakah Dikta disebut sebagai mata- mata utusan Sandi Arsena? Dikta benar- benar adiknya, kan? Tapi mengapa laki- laki itu sepertinya lebih memihak pada tetangga sebelah? Terjadi lagi kamis sore kali ini sepulang kerja. Dinara terpaksa berada dalam sebuah supermarket bersama dengan Sandi setelah tiba- tiba saja lelaki itu muncul di parkiran perusahaan. Ulah siapa lagi kalau bukan Dikta? Manusia yang membocorkan inf
Memasak mungkin bukanlah perkara sulit untuk Dinara. Apalagi kalau hanya sebatas makanan sehari- hari yang tak perlu tatanan ala-ala fine dining. Menu malam ini adalah mie goreng spesial lengkap dengan sayuran, telur, udang, dan sosis. Wanginya yang semerbak langsung memanggil Dikta yang sedari tadi duduk manis menunggu di ruang makan. Dinara menyiapkan satu porsi penuh untuk adiknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu. Tak lupa menggeser segelas air juga. Celingak-celinguk mencari presensi manusia lain, si pemilik permintaan. Sepulang dari supermarket tadi Sandi bilang akan ke rumahnya pukul delapan malam. Tapi hingga kini sudah hampir setengah sembilan dan laki- laki itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Meraih ponselnya diatas meja dan tak menemukan pesan dari Sandi sama sekali. Maka dari itu pada akhirnya Dinara sendiri yang berinisiatif untuk menekan dial panggilan kepada Sandi. Tersambung namun tak diangkat, Dinara awalnya memilih bodo amat. Dia mengambil sepa
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
“Apa kabar Dinara?” Satu kalimat pendek yang Alana layangkan pertengahan januari lalu membuka kembali komunikasi antar mantan rekan kerja itu. Alana tak mau banyak basa-basi dan langsung menawarkan pekerjaan meskipun dia tahu Dinara masih dalam masa menyelesaikan studinya. Alana cukup tahu kapasitas kerja Dinara Jeandra. Dia mengenal Dinara sejak gadis itu masih magang di perusahaan lama. Apa yang dia tawarkan saat itu juga merupakan sesuatu yang fleksibel yang untungnya disanggupi oleh Dinara sendiri. Meskipun pada awalnya wanita muda itu agak meragukan dirinya sendiri. Bisa dibilang, Alana pada akhirnya dengan percaya memberikan posisi tetap pada Dinara. Syukur juga Dinara berkesempatan lulus lebih awal sehingga dia bisa kembali ke Indonesia lebih dulu. Dan disinilah dia sekarang. Tanah kelahirannya yang amat dia rindukan. Berdiri dengan anggun memperkenalkan diri sebagai junior manager salah satu cabang perusahaan milik keluarga Alana. Pertemuannya dengan Sandi disini pun sebe
“Kalau bukan karena Kak Alana, gue nggak bakal bela-belain dateng, sih!” Arkasa tertawa kecil menyambut kedatangan sepupu kesayangannya yang berjalan kearahnya dengan wajah setengah cemberut. Tapi siapapun tahu bahwa raut itu jelas dibuat-buat karena beberapa detik kemudian si pelaku justru menjabat tangan Arkasa dengan santai dan menampilkan senyuman lebarnya. Wajahnya jadi agak lucu, kontras dengan setelan desainer serta sisiran rambutnya yang ditata rapi. Lelaki itu kemudian lanjut bersalaman dengan pemilik utama perhelatan, Alana Diandra Yasmin. “Katanya lo maraton kesini setelah dari acaranya Damian, ya?” tanya Alana memastikan info yang dia dapat dari asistennya.Sang suami lebih dulu menambahi, “Udah makin sering gantiin Om Seno di event-event gede! Tinggal nunggu peresmian aja sih kalau gini,” godanya.Sandi Arsena memasang wajah malas, pun menggeleng sebagai tanggapan lanjutan. Memang setelah hampir setahun mengabdi di anak perusahaan, akhirnya secara resmi Sandi diperkena
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berkunjung ke museum, foto-foto di beberapa bagian town square, belanja ke toko buku dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Cambridge. Jangan tanya kenapa destinasi wisata keduanya jadi terlihat akademis begitu. Mau bagaimana lagi? Tempat semacam itulah yang dimiliki oleh salah satu wilayah institusi pendidikan ini. Dinara paling malas kalau harus berkendara jauh, sementara Sandi juga tidak terlalu mengenal banyak tempat disana. Maka dari itu keduanya memilih untuk berwisata sesuai panduan di internet, mendatangi tempat-tempat sekitar mereka yang jadi pilihan turis. Dinara sempat membeli beberapa buku dan sangat menikmati kunjungannya. Sementara Sandi sih sebenarnya sama sekali tidak masalah mau kemanapun, poin pentingnya adalah dia harus menghabiskan wak
Terbangun dari mimpi indahnya yang seakan hanya berlangsung dua detik. Dinara mendapati dirinya telah berada dalam kamar asrama—masih dengan pakaian semalam karena gadis itu ternyata justru ketiduran. Melirik jam di meja, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum dia harus ke kampus untuk mengumpulkan hardcopy tugas. Semuanya sudah siap, Dinara tinggal mandi dan siap-siap sedikit lalu berjalan menuju kampus yang hanya sekitar lima menit dari asrama. Pandangannya kini tertuju pada langit-langit kamar, memandang kosong atau bahkan lebih tepatnya memutar kembali memori semalam yang masih berbekas. Kali pertama dia melangkah lebih jauh dengan Sandi—maksudnya ya belum sampai dijebol tapi sepertinya ini sudah sangat intim baginya.Dinara masih ingat pandangan kelam dan bibir bengkak Sandi dihadapannya, begitu juga selatannya yang jelas terasa mengganjal. Cahaya remang-remang dan bahkan mereka hanya berdua dini hari kemarin. Meskipun Sandi berhasil menyentuh kulitnya lebih banyak, tetap saja
Pada akhirnya, dua insan yang sempat terpisah jarak dan waktu itu hanya bisa duduk dalam diam. Dinara yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar serta Sandi yang merasa terlalu meluap-luap hingga berprasangka buruk begitu saja. Canggung? Tentu. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa Sandi bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Itu yang mendasari pada akhirnya kata maaf meluncur beberapa kali. Meskipun sebenarnya Dinara masih sedikit gondok menghadapinya.“Besok kamu ada kelas jam berapa?” tanya Sandi pada akhirnya.Dinara meliriknya sebentar, “sekitar pukul sebelas, hanya submit tugas,” jawabnya. Sandi mengangguk paham, “aku disini seminggu kedepan. Kapan ada waktu luang? Temenin jalan-jalan, bisa?” tanya Sandi lagi.“Kemana?” Dinara mau, tapi sejujurnya dia tidak terlalu tahu banyak tempat disini. Seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Dinara bahkan sama sekali belum sempat jalan-jalan. “Kemana aja. Kamu nggak akan nyasar, kok!” ucap Sandi seolah menjawab kekh