"Ngalah dong sama yang lebih muda!""Siniin, punya gue itu!""Eh-eh mati mati, eh woy!""Tolollll"Seperti hari- hari biasanya, Dikta menghabiskan waktu liburnya dengan Sean dan Sandi. Hari ini makin ramai karena sepupunya, Keenan juga ikut menambah keriuhan siang ini. Apalagi terkadang mulutnya memang suka bablas, dengan anak dibawah umur juga masih bisa mengeluarkan kalimat plus kebun binatangnya. Ini kalau Dinara dengar, sudah pasti Keenan didepak dengan tidak hormat karena telah menodai kosakata polos adiknya.Ya untung saja hari ini mereka berada di kediaman Sandi dan Sean yang memang sedang sepi. Ditengah keriuhan itu, Sandi kini sudah tak fokus pada games berkat chat dari dosen pembimbingnya yang baru masuk. Katanya mahasiswa tidak boleh menghubungi dosen di hari libur dan juga diluar jam kerja. Tapi kenapa dosen pembimbingnya ini justru balik suka sekali menghubunginya pada hari libur?Mau tak mau ia membuka bubble chat yang ternyata sudah menumpuk berisi aneka peringatan dan
Tadinya dua onggok manusia itu hendak menyelesaikan tulisan di rumah, namun suara bor dan mesin disebelah agaknya berhasil membuyarkan konsentrasi keduanya. Padahal komplek perumahan ini cukup elit, jarak antar rumah pun tak terlalu dekat. Namun tetap saja, sepertinya tetangga sebelah punya masalah cukup serius sehingga harus menggunakan beberapa alat yang suaranya cukup mengganggu.Mau pakai headset pun menurutnya tidak akan cukup membantu. Selain itu, mungkin akan lebih aman bagi mereka berada diluar rumah. Kondisi rumah kosong begini sangat rawan. Iman masih lemah, takut saja kalau- kalau setan lewat membuat Sandi bertindak diluar ambang sadar, hehehe. Awalnya Sandi hendak mengajak Dinara pergi ke sebuah cafe, namun entah kenapa pada akhirnya mereka berakhir di taman pinggir kota yang kebetulan cukup tenang. Taman tersebut punya pojok khusus semacam tempat belajar yang juga pastinya dilengkapi meja, kursi, wifi, dan steker. Biasanya akan ada beberapa kawula muda yang hinggap d
Langit yang tadinya cerah tiba- tiba makin mendung. Belum sempat Dinara dan Sandi beranjak menuju mobil, keduanya harus terjebak hujan sehingga belum bisa kemana-mana sekarang. Sebenarnya sih Sandi bisa saja menggunakan jaketnya lalu seperti adegan drama menggunakannya untuk melindungi Dinara. Tapi kalau dia pikir-pikir, jaket tipisnya itu tidak akan sanggup menghalau hujan. Apalagi mereka harus berlari sekitar beberapa ratus meter menuju tempat parkir. Ditambah ada laptop di dalam tas tidak waterproof yang Sandi gunakan hari ini. Sandi jelas mengurungkan niatnya. Dia tidak mau kelihatan bodoh pada akhirnya. Toh juga Dinara tidak menggesanya pulang, gadis itu mungkin punya pemikiran yang sama dengannya. Hujan mungkin tidak begitu deras, namun tetap saja mereka sangat malas kalau harus basah- basahan. Ini tidak akan menjadi adegan drama yang romantis. Hanya basah kuyup dan juga flu yang menanti kalau mereka nekat menerobos. Sembari menunggu hujan reda, Dinara kembali menarik foku
Dua pasang bola mata kelam itu menatap serius kearah layar yang tengah menayangkan film aksi. Duduk dengan tegak, bahkan tak mampu bersandar santai di sofa. Padahal ada banyak sekali tempat yang bisa dikuasai untuk rebahan. Namun Sandi memilih duduk di sofa tunggal, sementara Dinara duduk disebelah Dikta, adiknya yang menggunakan paha Dinara sebagai bantal. Sore tadi, keduanya memutuskan untuk kembali ke rumah Sandi, niatnya sih menjenguk bocah- bocah yang mereka terlantarkan sebelumnya. Meskipun sebenarnya tiga onggok bocah laki- laki itu jelas jauh dari kata terlantar. Ada beragam makanan yang tersaji dan mereka masing- masing juga punya uang jajan kalau memang hendak membeli kudapan diluar.Setelah dipaksa ikut menonton film action yang baru didownload Keenan, Dinara dan Sandi harus kembali menghadapi suasana canggung. Pasalnya bocah- bocah itu dengan santainya kompak tertidur di depan televisi. Niatnya menonton film, tapi kenapa sekarang justru film yang menonton mereka?Ini puk
Sepertinya yang namanya overthinking di jam rawan tak dapat dihindari. Dinara harus membolak-balikkan bantal bahkan tubuhnya terus bergerak resah karena pikiran- pikiran random terus mengusiknya. Ini sudah lewat lebih dari delapan jam sejak kejadian tadi. Namun siapa yang bisa Dinara salahkan untuk keributan yang terjadi dalam pikirannya sekarang? Divisi berpikirnya mungkin tengah dalam mode operasi brutal, semuanya bekerja hingga terlalu riuh. Mendadak Dinara dihinggapi perasaan tak tenang. Menyesal karena memotong omongan Sandi tanpa mendengarkan dulu apa yang hendak laki- laki itu bicarakan. Bagaimana jika sebenarnya lelaki itu hanya hendak membahas pasal skripsi yang telah dia bantu itu? Bisa- bisanya Dinara tanpa pikir panjang langsung menyimpulkan bahwa lelaki itu hendak membahas insiden terakhir di taman sebelum mereka pulang. Kalau benar, Dinara sudah tidak tahu lagi mau meletakkan wajahnya dimana. Dia pasti dianggap terlalu percaya diri atau GR duluan. Dinara tidak bisa
Senin pagi memang selalu bikin pusing. Dinara duduk lemas di kursinya sebab belum sarapan, sementara masih banyak daftar tulisan yang harus dia kerjakan. Apalagi dia baru saja keluar dari ruangan rapat setelah ikut meeting mingguan yang cukup menguras energi dan pikirannya. Tidur pukul tiga pagi membuat Dinara harus lagi-lagi grasa-grusu menghadapi pagi. Bagaimana tidak? Gadis itu baru bangun pukul tujuh lebih lima menit, sementara dia harus berada di kantor jam delapan teng. Belum mandi, dandan, dan perjalanan, semua butuh waktu, kan? Untung saja jalanan hari itu cukup lenggang sehingga Dinara masih bisa sampai tepat waktu. Tapi sayang sekali konsekuensinya dia jadi tidak sempat sarapan. Padahal sang mama sepertinya telah menyiapkan nasi goreng yang aromanya merebak luar biasa satu ruangan. Dia sedikit menyesal kenapa tidak membungkusnya sedikit sebagai bekal makan di kantor. Satu kotak susu coklat dan roti isi hinggap di meja kerja Dinara tepat waktu. Gadis itu mendongak dan te
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan kediaman Dinara. Sandi yang tengah asyik memetik gitar di balkon kamar langsung menghentikan aktivitasnya. Satu linting gulungan tembakau yang tadi bertengger di bibirnya juga langsung ia padamkan.Seketika bibirnya mengulum senyum kecil saat menemukan Dinara turun dari mobil dengan raut lelah yang cukup kentara. Gadis itu masih cantik seperti biasa. Dia mengenakan kemeja biru langit dengan beberapa garis putih, rambutnya digulung tinggi dengan banyak anak rambut yang menjuntai. Bahkan masih ada lanyard yang tergantung manis di lehernya. Sanyum tipis yang Dinara sampirkan melengkapi polesan makeup samar yang dia gunakan.Entah sejak kapan Sandi berubah jadi pengamat detail seorang Dinara Jeandra. Dia dengan jujur mengakui bahwa gadis itu punya pesona yang luar biasa. Dia mungkin tidak terlalu mengikuti mode seperti gadis-gadis sebayanya, tapi dia tetap terlihat menawan dengan gayanya sendiri. Tetangganya itu akhirnya kembali setelah
Tak sampai lima menit setelah Sandi menyentuh dapur, Dinara sigap menggulung lengan kemejanya dan mengambil alih pekerjaan. Dia tidak bisa diam saja setelah melihat tahap demi tahap yang dicurigai justru akan menghancurkan keseluruhan rumahnya itu. Sandi mungkin hanya perlu menjentikkan jarinya untuk membuat wajan yang sudah nangkring sopan diatas kompor justru melayang. Dia hanya perlu sedikit menggeser tangannya untuk menjatuhkan beberapa peralatan. Aksi memotong sayuran dengan pisau terbalik yang luar biasa butuh otot. Dinara menyerah—bahkan hanya sekadar menyaksikannya pun rasanya tak akan sanggup.Tangan terampil Dinara hanya perlu waktu beberapa menit untuk membalik keadaan. Dia bisa memotong sayuran dan sosis dengan cepat lalu lanjut menggoreng telur dan bumbu serta menyiapkan nasi serta semua bahan yang akan dituang. Bahkan Dinara masih sempat mengusap beberapa titik minyak dan merapikan kembali peralatan. Kali ini Sandi kembali menyaksikan bagaimana manajemen waktu dan orga
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari dan seterusnya sampai tak terasa bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Ini tepat dua tahun setelah malam dimana Dinara dan Sandi digoda untuk membicarakan pernikahan oleh kedua pihak keluarga. Tidak langsung mengiyakan. Malam itu mungkin titik balik hubungan keduanya. Alih-alih menerima usulan duo mami untuk langsung menikah, baik Sandi maupun Dinara sepakat mengundurnya. Sandi benar-benar menepati janjinya untuk menunggu Dinara. Gadis itu ingin menikah setelah mereka berdua cukup settle. Baginya, terlalu dini untuk berpuas diri pada keadaan. Apalagi saat itu keduanya masih dalam misi untuk bisa naik jabatan. Sampai akhirnya, tiga bulan lalu Sandi memantapkan diri melamar Dinara. Alhasil, hari ini keduanya berjalan di altar dan mengucap janji sehidup semati. Hari dimana rasanya tidak akan pernah siap dia jalani. Pada kenyataannya, hari itu terjadi juga. Dua tahun belakangan bukan waktu yang mudah. Setelah beragam drama dan
Sore ini Sandi sudah mewanti-wanti Dinara untuk pulang bersama. Rencananya hari ini Sandi mau pulang ke rumah keluarganya, sekalian mengantar Dinara. Tidak lupa bahwa mereka tetangga, kan? Sandi menyetir dengan satu tangan, tak lupa satunya lagi dia gunakan untuk sesekali menggenggam jemari Dinara. Sandi Bucin Arsena selalu punya tingkah menggemaskan yang kadang membuat Dinara jadi geleng- geleng kepala.Netra si cantik akhirnya tertuju pada gantungan polaroid yang dipasang Sandi tempo hari. Menampakkan foto lawas mereka saat liburan dulu.“Eh, kamu masih ada foto ini? Ya ampun, padahal nggak lebih dari dua tahun, tapi kok kita kelihatan muda banget ya?” Sandi tersenyum tipis, akhirnya Dinara notice keberadaan selfie mereka waktu liburan di Nusa Penida dulu. “Waktu itu soalnya belum terlalu mikirin kerjaan,” respon santai Sandi ternyata langsung dicegat oleh Dinara. Keningnya berkerut, “ah enggak juga. Waktu itu aku kan juga udah kerja,” ucapnya. Sandi tersenyum tipis, “ya tapi w
Ketidaktenangan Sandi berlanjut. Setelah pesan menyebalkan pagi itu, Sandi harus kembali menahan kecemburuannya saat menemukan Dinara tertawa lepas di cafe depan kantor barunya bersama dengan Valdi. Yap, Valdi yang itu! Valdi rekan kerja Dinara di kantor lama Dinara yang sempat membuat Sandi agak insecure karena lelaki itu kelihatan punya perangai yang mirip dengan Dinara. Sebagai sama-sama lelaki, Sandi pun menyadari bahwa Valdi punya intensi khusus pada Dinara. Apa lagi kalau bukan naksir?Kok bisa-bisanya mereka bertemu lagi disin? Bukankah jarak antara kantor lama dan kantor Dinara yang sekarang cukup jauh, ya?Sandi yang berniat mengajak Dinara untuk makan siang bersama pun mengurungkan niatnya sebentar. Dia menjaga jarak dan mengamati keduanya dari posisi agak jauh. Meskipun sebenarnya hatinya ketar-ketir mendapati pemandangan itu. Dibanding teman-teman lelaki Dinara yang lain, Sandi paling tidak suka pada Valdi. Pasalnya, radar Sandi menangkap bahwa Valdi ini juga golongan le
Sandi mengerutkan kening sejak subuh tadi. Tangan kanannya masih sibuk mengutak-atik ponsel milik Dinara yang menyala. Sejak pertama kali mereka berpacaran dua tahun lalu, ini mungkin kali pertama Sandi nekat mengusik privasi gadisnya itu. Dia melirik Dinara yang masih terlelap disampingnya, memastikan bahwa gadis itu masih berada di alam kapuk. Kalau sampai Dinara tahu dia melakukan ini, entah pasal saling percaya mana lagi yang akan Dinara gaungkan.Lelaki itu menahan gemeretak di gigi, sorot matanya yang sebenarnya kurang tidur ini terlihat jelas. Awalnya dia baik-baik saja sampai ketika dia menyadari bahwa ponsel Dinara terus saja menyala dan mendentingkan nada pertanda pesan masuk. Sandi yang gemas akan hal itu pada akhirnya berusaha untuk mengaktifkan mode hening. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan beragam notifikasi dari nomor yang tak dikenal serta nama-nama asing di akun instagram Dinara. Maka itulah yang mengawali aktivitas stalking Sandi. Menjudge pria-pria yang meng
“Apa kabar Dinara?” Satu kalimat pendek yang Alana layangkan pertengahan januari lalu membuka kembali komunikasi antar mantan rekan kerja itu. Alana tak mau banyak basa-basi dan langsung menawarkan pekerjaan meskipun dia tahu Dinara masih dalam masa menyelesaikan studinya. Alana cukup tahu kapasitas kerja Dinara Jeandra. Dia mengenal Dinara sejak gadis itu masih magang di perusahaan lama. Apa yang dia tawarkan saat itu juga merupakan sesuatu yang fleksibel yang untungnya disanggupi oleh Dinara sendiri. Meskipun pada awalnya wanita muda itu agak meragukan dirinya sendiri. Bisa dibilang, Alana pada akhirnya dengan percaya memberikan posisi tetap pada Dinara. Syukur juga Dinara berkesempatan lulus lebih awal sehingga dia bisa kembali ke Indonesia lebih dulu. Dan disinilah dia sekarang. Tanah kelahirannya yang amat dia rindukan. Berdiri dengan anggun memperkenalkan diri sebagai junior manager salah satu cabang perusahaan milik keluarga Alana. Pertemuannya dengan Sandi disini pun sebe
“Kalau bukan karena Kak Alana, gue nggak bakal bela-belain dateng, sih!” Arkasa tertawa kecil menyambut kedatangan sepupu kesayangannya yang berjalan kearahnya dengan wajah setengah cemberut. Tapi siapapun tahu bahwa raut itu jelas dibuat-buat karena beberapa detik kemudian si pelaku justru menjabat tangan Arkasa dengan santai dan menampilkan senyuman lebarnya. Wajahnya jadi agak lucu, kontras dengan setelan desainer serta sisiran rambutnya yang ditata rapi. Lelaki itu kemudian lanjut bersalaman dengan pemilik utama perhelatan, Alana Diandra Yasmin. “Katanya lo maraton kesini setelah dari acaranya Damian, ya?” tanya Alana memastikan info yang dia dapat dari asistennya.Sang suami lebih dulu menambahi, “Udah makin sering gantiin Om Seno di event-event gede! Tinggal nunggu peresmian aja sih kalau gini,” godanya.Sandi Arsena memasang wajah malas, pun menggeleng sebagai tanggapan lanjutan. Memang setelah hampir setahun mengabdi di anak perusahaan, akhirnya secara resmi Sandi diperkena
Memang benar bahwa waktu adalah hal paling berharga yang tak boleh disia-siakan. Rasanya baru sebentar berkunjung ke museum, foto-foto di beberapa bagian town square, belanja ke toko buku dan lanjut mengisi perut di restoran terdekat. Namun sekarang ini langit gelap telah menyapa dua insan berbeda gender yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan malam Cambridge. Jangan tanya kenapa destinasi wisata keduanya jadi terlihat akademis begitu. Mau bagaimana lagi? Tempat semacam itulah yang dimiliki oleh salah satu wilayah institusi pendidikan ini. Dinara paling malas kalau harus berkendara jauh, sementara Sandi juga tidak terlalu mengenal banyak tempat disana. Maka dari itu keduanya memilih untuk berwisata sesuai panduan di internet, mendatangi tempat-tempat sekitar mereka yang jadi pilihan turis. Dinara sempat membeli beberapa buku dan sangat menikmati kunjungannya. Sementara Sandi sih sebenarnya sama sekali tidak masalah mau kemanapun, poin pentingnya adalah dia harus menghabiskan wak
Terbangun dari mimpi indahnya yang seakan hanya berlangsung dua detik. Dinara mendapati dirinya telah berada dalam kamar asrama—masih dengan pakaian semalam karena gadis itu ternyata justru ketiduran. Melirik jam di meja, masih ada waktu sekitar dua jam sebelum dia harus ke kampus untuk mengumpulkan hardcopy tugas. Semuanya sudah siap, Dinara tinggal mandi dan siap-siap sedikit lalu berjalan menuju kampus yang hanya sekitar lima menit dari asrama. Pandangannya kini tertuju pada langit-langit kamar, memandang kosong atau bahkan lebih tepatnya memutar kembali memori semalam yang masih berbekas. Kali pertama dia melangkah lebih jauh dengan Sandi—maksudnya ya belum sampai dijebol tapi sepertinya ini sudah sangat intim baginya.Dinara masih ingat pandangan kelam dan bibir bengkak Sandi dihadapannya, begitu juga selatannya yang jelas terasa mengganjal. Cahaya remang-remang dan bahkan mereka hanya berdua dini hari kemarin. Meskipun Sandi berhasil menyentuh kulitnya lebih banyak, tetap saja
Pada akhirnya, dua insan yang sempat terpisah jarak dan waktu itu hanya bisa duduk dalam diam. Dinara yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar serta Sandi yang merasa terlalu meluap-luap hingga berprasangka buruk begitu saja. Canggung? Tentu. Setelah semua yang terjadi, bagaimana bisa Sandi bersikap seolah tak terjadi apa-apa? Itu yang mendasari pada akhirnya kata maaf meluncur beberapa kali. Meskipun sebenarnya Dinara masih sedikit gondok menghadapinya.“Besok kamu ada kelas jam berapa?” tanya Sandi pada akhirnya.Dinara meliriknya sebentar, “sekitar pukul sebelas, hanya submit tugas,” jawabnya. Sandi mengangguk paham, “aku disini seminggu kedepan. Kapan ada waktu luang? Temenin jalan-jalan, bisa?” tanya Sandi lagi.“Kemana?” Dinara mau, tapi sejujurnya dia tidak terlalu tahu banyak tempat disini. Seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Dinara bahkan sama sekali belum sempat jalan-jalan. “Kemana aja. Kamu nggak akan nyasar, kok!” ucap Sandi seolah menjawab kekh