***
"Yakin mau menaiki ini?" Salwa terperangah melihat kincir raksasa, J-Sky Ferris Wheel di AEON mall.Salsabila mengangguk pasti. "Ustadzah Cahya dan Om Setya pernah ngajak sini. Sekarang Salsa pengen rasain sama Umi dan Papa."Salwa meringis.Aditya menyentuh bahu Salwa. "Takut ketinggian?"Sekali lagi menengadah. Ia menelan salivanya."Ayolah, Mi! Umi pernah cerita sering naik gunung sama Papa," bujuk Salsabila sambil menggoyang kain gamis ibunya.“Cerita?” Aditya menatap penuh arti. Mendadak Salwa merasakan wajahnya memanas.Dulu waktu bercerita, tidak ada apa pun di balik itu. Bercerita pun kadang sekadar mengisi bahan obrolan. Siapa sangka sekarang obrolan itu menjadi penuh arti."Ayolah!"Salsabila menyeret ibunya hingga ke dalam kabin.Salwa memilih duduk berseberangan dengan Salsabila dan Aditya. Ia ingin merekam momen kedekatan putrinya dengan ayah sambungnya. Tidak a“Malaikat kecilku!”Salsabila mengernyit. “Bagi Papa kamu malaikat kecilku juga Umi. Jaga diri baik-baik ya, dan doakan Umi dan Papa juga semoga sehat, baik, murah rezeki dan bisa sering menjengukmu.”Salsabila mengangguk. “In sya Allah. Papa Umi juga malaikat Salsa. Salsa akan terus mendoakan Papa Umi.”Aditya memeluk tubuh mungil dengan haru. “Papa sangat bangga padamu.”Mata Salwa berkaca-kaca menatap keduanya. Benar kata orang, direbut paksa kadang bukan untuk kehilangan, melainkan untuk diganti yang lebih baik. ***"Ada perintah baru?" Uwa Winarti, lalu menghisap rokoknya. Mengepul asap memenuhi ruangan. "Mereka sedang liburan. Nanti saat mereka baru saja pulang. Saat itu mereka kecapekan dan lengah, terutama Salwa.”Uwa Winarti tersenyum sinis. "Kau tidak percaya padaku?!""Kenyataannya dua kali selalu gagal kan?" bantah Danum
Salwa memperlihatkan layar ponselnya. “Curiga?”Aditya terkekeh. Ia memeluk Salwa dari belakang. “Cuma bercanda. Sedikitpun tidak ada curiga padamu.”“Malah kamu yang seharusnya dicurigai,” cibir Salwa. “Ya Allah, Wa. Kenapa jadi pendendam banget. Sudah aku bilang, aku sendiri heran dengan perasaanku yang tiba-tiba. Dilogikan pun sangat aneh, kenapa aku menyukai Danum, jelas-jelas kamu tipeku.”“Ya, bisa aja. Kucing kalau disuguhi ikan. Ikan apa saja, pasti mau. Apalagi kalau lagi lapar.”“Kau samakan aku dengan kucing?!” protes Aditya. “Iya, kucing garong,” sahut Salwa dengan wajah merengut. Susah payah ia menahan geli yang menggelitik di perutnya. “Oke, kucing garong. Lihat saja, bagaimana kucing garong beraksi.”Seketika tawa Salwa pecah. Aditya menghujaninya dengan ciuman. Salwa terbaring. Tawanya terhenti ketika melihat Aditya yang menghentikan aksinya. Aditya menatapnya lembut sambil mengelus rambutnya. “Kenapa?”“Tidak apa. Senang melihatmu tertawa. Kebahagiaanmu, kebahagia
"Mengingat orang yang dicintai akan membuat kita kuat. Allah akan membuat kita lebih kuat, jika kita mengingat Dia." ~El Nurien~***“Dit!” panggilnya sambil menyentuh Aditya. “Dit!” Berkali-kali dipanggil Aditya masih bergeming. Bahkan sekadar ceracau pun tidak ada. Tidak seperti biasanya. Lolongan anjing kembali terdengar. Tiba-tiba ia memiliki firasat buruk. “ADIT?!” Akhirnya ia menyadari apa yang terjadi dengan Aditya. Ia bergegas bangun sebelum dirinya juga tak mampu bergerak. Sekuat tenaga ia berusaha bagun, melawan dirinya yang terasa berat dengan sisa tenaga yang makin terkuras, direduksi lagi oleh panas yang makin menggerayang.“Ya Allah, hasbunallah wani’mal wakill!” ucapnya sambil memotivasi diri. Akhirnya ia mampu turun ranjang, meski tidak yakin bisa sampai ke dapur. Sengaja ia meninggalkan Aditya yang tak kunjung bergerak. Jika itu olah Danum, ia percaya Danum tidak akan mencela
“Ya, Allah, jika umurku terakhir malam ini, kumohon lindungilah Salsabila dan Adit,” lirihnnya dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Tenaganya tidak tersisa lagi, Tidak punya tenaga lagi untuk mengerang, berteriak, bahkan hanya untuk mengeluarkan suara untuk membaca Al-Qur’an. Air matanya pun telah kering. kesadarannya perlahan mulai memudar. Ia memejamkan mata. Memfokuskan pada satu ayat. Hanya ayat kursi yang ia gumamkan. Seandainya, malam ini ditakdirkan binasa, setidaknya ia mati dengan membawa ayat Al-Qur'an, meski hanya seayat. “UMI! WA! UMI!WA!”Panggilan silih berganti. Memaksa kesadarannya agar terus terjaga. Tidak. Ia tidak boleh mati. Ia tidak akan mati sekarang dengan konyol. Kebenaran tidak boleh mati di tangan kebatilan. Mendadak matanya kembali berair. Ia tersenyum di antara wajah yang meringis. Pada situasi tertentu air mata ternyata itu juga nikmat. Ia mengucapkan hamdalah berkali-kali. Mengingat nikmat All
"Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya),dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.” (Qs. Al-Falaq: 1-5)***Aditya mengernyit, ketika menyadari Salwa tidak juga menunjukkan batang hidung. Biasanya Salwa selalu menyambut ketika datang baru masjid. Salwa memberikan penghormatan padanya tak jauh beda datang dari masjid atau pekerjaan. Sama-sama menyambutnya dengan kehangatan. Namun, Aditya tahu dari mata Salwa terpancar kebahagiaan luar biasa saat ia baru datang masjid. Sebab itulah, tidak ada kata malas untuk ke masjid, kecuali saat ia di bawah pengaruh sihir.Aditya tersentak, ketika melihat masih terbaring dengan sembarang di lantai mushola rumahnya. "Wa? Kau tidak apa-apa?" Tidak ada jawaban. Ia menepuk pipi, Salwa masih bergeming. Seketika ia diserang pa
Salwa mengalihkan tatapannya ke Aditya. “Kamu tidak apa-apa kan?” “Bukannya aku yang seharusnya tanya sama kamu,” gerutu Aditya. Salwa hanya menjawab dengan senyum lebar. Matanya berkaca-kaca. Tangannya terangkat ingin menggapai kepala Aditya. Aditya menurunkan kepalanya. "Senang melihatmu baik-baik saja," bisik Salwa sambil mengelus lembut rambut Aditya. Anita dan Bayu saling bersitatap heran.***"Jadi selama ini Haikal tinggal di Rantau dan dia yang memakai sedan hitam milikmu?" tanya Aditya. Ia duduk di samping bahu Salwa. Tangannya tak lepas dari mengelus rambut Salwa. "Iya. Hanya di sana tempat susah dicari," jawab Bayu sambil terkekeh. Ia duduk di sofa bersama Anita dan Izza. Anita sambil membuka ponselnya. "Asem kamu, Bayu. Orang khawatir padanya, kamu malah menyembunyikannya dari kami," gerutu Aditya. Salwa menoleh ke arah Haikal. "S
"Cinta akan membuatmu gila, tapi kamu menyukainya." ~El Nurien~***“Aku ada menyimpan barangmu,” lirih Aditya.Salwa tersentak.“Bagaimana kamu bisa menyimpan barangku?"Anita dan Bayu ikut terseret penasaran, meski mereka masih tidak mengerti arah pembicaraan suami istri itu.“Sebelum kuliah, diam-diam aku mencuri kerudungmu untuk kubawa ke Jogja.”Kening Salwa mengerut tajam. Otak lelahnya dipaksa mengulang memori beberapa tahun silam. “Ooh, iya. Aku ingat, aku pernah kehilangan kerudung. Jadi kamu yang menyimpannya?”Aditya mengangguk. Salwa mendesis. “Ya Allah, ADIT! Bagaimana kalau kamu meninggal sebelum kasus ini terungkap?” “Setelahnya aku sudah memberitahu ibumu, hanya saja aku minta ibumu untuk tidak memberitahumu.”“Itu kerudungku, bukan kerudung ibu.” Salwa mempertegas. “Sudahlah, bukan i
Cinta akan mengajarkanmu cara melindunginya.~Aditya~***“Kamu benar, tapi kita harus bagaimana? Dilaporkan? Atas dugaan apa?”Aditya menghela napas. “Tau tidak, pada situasi ini, aku ingin menjadi orang kaya. Mampu menyewa jasa satpam di rumah juga bodyguard untukmu ke mana-mana?”“Kok, bikin aku merinding ya. Kamu ingin menyerahkan istrimu ke bodyguard? Terus satpam seharian di depan rumah?! Mereka semua bukan mahramku, membayangkannya saja membuatku merinding.”“Apa sebaiknya kamu tinggal di rumah singgah dulu?” usul Aditya.“Apaan sih? Memangnya aku penyintas kanker?!” “Bukan begitu! Setidaknya di sana banyak orang. Tentu dia harus pikir panjang untuk berbuat buruk padamu. Kamu juga tidak kesepian.”“Dan kamu bisa pulang sampai larut malam gitu?!” protes Salwa. “Bukan begitu. Atau bagaimana kalau kita mencari art?”“Art? Perempuan? Dia bukan mahrammu?”Aditya mendesis “Kan dia cuma menemanimu di siang hari atau selama aku nggak ada. Kalau aku ada dia bisa pulang.”Salwa menghel
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa