"Abi, kemarin Salsa telepon, kenapa tidak diangkat?" Gerakan Salwa terhenti ketika mendengar pertanyaan Salsabila kepada ayahnya. Berganti dengan dialog dari kartun negeri jiran yang sedang mereka tonton. "Kemarin Salsa ada telpon Abi? Kapan?" tanya Salman. Spontan ia keluar dari aplikasi merah itu, lalu menyentuh ikon aplikasi panggilan. "Tidak ada panggilan. Salsa lihat kan?" Salsa mengangguk. "Salsa memang telepon, Bi. Habis salat Magrib, tapi tidak diangkat-angkat," gerutu Salsa dengan wajah cemberut"Oh iya, Abi kemarin salat terburu-buru. Habis Isya baru pulang ke rumah. Lihat hp, ternyata ponselnya nggak aktif.""Nggak aktif? Salsa tau kok itu sempat tersambung, tapi dimatikan. Salsa telepon lagi, dimatikan lagi. Sampai akhirnya mati beneran.""Masa sih?" Salman mengerutkan kening. Ia bertanya-tanya mungkinkah Jamilah yang mematikan? Ia juga teringat, baterai ponselnya masih banyak. Namun, waktu itu ia tidak begitu peduli."Ih Abi, kenapa Salsa bohong?" "Iya iya, Abi pe
Salsabila duduk. "Tapi kenapa sekarang malah tambah sibuk? Seling hari lagi. Abi kemana sih?" "Sayang, Abi--" "Baiklah. Hari ini kita jalan-jalan." Salman tiba-tiba muncul di balik pintu. Salwa menatap cemas. Ia masih tidak bisa melupakan wajah suram Salman waktu mereka rekreasi ke pantai. Seketika nyeri kembali muncul dan merayapi tubuhnya. Mengapa semakin lama, semakin banyak situasi yang membuatnya nyeri. "Benarkah?" Salsabila terlonjak gembira. Salman mengangguk. Ia duduk di samping putrinya. "Salsa mau kemana?"Salsabila menengadahkan wajahnya, dengan meletakkan jari di dagu. Salwa tertawa melihat tingkah Salsa, tetapi bersamaan dengan itu matanya mulai mengaca.“Rupanya belum tau ya mau kemana?” celetuk Salman. Salsabila tersenyum cengengesan. “Kalau kita ke pantai, boleh?”Salwa menahan napasnya. “Kalau itu kejauhan. Perjalanan pulang pergi jadi 4 jam. takutnya kita kecapekan kaya kemarin. Besoknya Salsa harus sekolah lagi kan?"Salsabila mengangguk. "Kalau begitu sekita
Ia berusaha melepaskan, tetapi kedua tangan itu semakin mengerat. “Aku tidak akan melepaskan sebelum Umi memaafkanku.”“Untuk apa? Semua telah terjadi. Abi telah melukainya hanya karena masalah pribadi.”“Aku sangat capek, tiba-tiba saja dikuasai emosi,” bela Salman.Salwa berbalik. Ia mengusap kasar wajahnya. “Capek?” Mata merahnya semakin nanar. “Kamu capek karena terpaksa melakukannya.”“Kamu juga tahu, aku tidak suka jalan-jalan?!”Salwa tersenyum sumbang. “Bi, kami tahu kamu tidak suka keramaian. Coba Abi hitung, sekian tahun kita menikah berapa kali aku meminta jalan-jalan?”Bibir Salman bergerak-gerak tapi tidak ada suara yang keluar.“Oke, tidak usah hitung usia pernikahan kita. Usia Salsa saja. Atau setahun ini berapa kali Salsa minta jalan-jalan ke Abi? Baru kali ini kan?”Salman mengangguk.“Karena ia tahu abinya sibuk. Jika ia bisa memahami kondisi abinya, kenapa kamu tidak berusaha untuk memahami kondisinya? Dia anak-anak, wajar saja jika dia ingin main-main dengan ayahn
"... Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri …." (Qs. An-Naml: 40)***Berkat kerja kerasnya, Haira dapat menyelesaikannya bacaannya satu kali khatam dengan baik dan lancar. Ia telah menaiki satu tingkat lagi, sekarang ia telah berada di kelas tahfiz. Di kelas tahfiz inilah ia mengalami kesulitan menghafal. Dalam satu bulan, hafalan tidak bisa naik dari sepuluh surah juz belakang.Atas saran Salwa, Haira dimasukkan ke kelas Silmi. Ustadzah khusus menangani santriwati yang kesulitan dalam menghafal.“Bagaimana hafalannya, Haira? Ada perkembangan?” Salwa menyempatkan diri menjenguk Haira setelah selesai kelas.“Belum ada perkembangan, Ustadzah,” sahut Haira dengan muka cemberut. “Ga nyantol. Hari ini dihafal, besok bisa hilang. Ulang lagi.”“Ustadzah Silmi ngajarin kamu teknik apa?""Menghafal dengan melibatkan indra lainnya seperti penglihatan, pendengaran dan perasa.”“Kita coba dulu ya. Seminggu berikutnya kita lihat bagaimana hasilny
Salsabila membulatkan matanya. “Apa itu, Om?”“Bentar. Tunggu, ya.” Aditya berlalu, tak lama datang dengan membawa potongan semangka yang masih terbungkus plastik. “Woah.” Mata Salsabila membesar. Ia mengangkat tangannya, tetapi turun kembali, lalu menoleh ke arah ibunya. Ia tersenyum ceria, ketika mendapat anggukan ibunya. “Terima kasih, Om,” ucapnya sambil menyambut potongan semangka itu. “Sama-sama.”"Tapi Om, Salsabila harus makan di sini." "Salsa," tegur Salwa.Salsabila lupa dengan peraturan yang dibuat ibunya."Kenapa?" "Yah, Om. Kalau sekadar semangka, di jalan juga banyak. Kita harus makan semangka ini bersama. Ingat nggak waktu kita makan semangka di kebun nenek?""Waah, Salsa masih ingat?" Aditya memasang wajah kaget. Dalam hati ia berkata, ia pun tidak melupakan itu. Karena itu kenangan pertama kali setelah sekian tahun."Iya, dong. Itu semangka yang paaaling enak yang pernah Salsa makan.""Masa?!" Aditya membelalakkan matanya. Antusiasnya semakin tinggi. Ia melihat
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kehormatannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Qs. An-Nur: 30)🌸🌸🌸Salman berubah banyak dari yang ia kenalnya sebelumnya. Kehangatan, bahkan tatapan mata tidak seperti dulu lagi. Sungguh itu selalu menyiksa dia. Perempuan manapun pasti ingin dinomorsatukan. Meski menyadari kondisi yang dihadapi, selalu ada saja bagian dirinya yang meletup-letup. Berpotensi menjadi ledakan sewaktu-waktu. Ledakan itu kadang menimbulkan obsesi ingin memiliki seutuhnya. Salahkah jika ia ingin memiliki Salman seutuhnya? Ia tidak sepenuhnya salah. Salman sendiri yang salah, jatuh dalam pesonanya. Jika mau disalahkan, Salwa juga salah karena tidak bisa mempercantik diri. Jangan salahkan Salman jatuh cinta padanya. Dihitung usia, Salwa lebih muda darinya. Bodo amat dengan usia. Bodo amat dengan kesederhanaan. Kenyataannya, pandangan di atas sega
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar-Ruum: 21)🌸🌸🌸“Kak Haikal, sayang banget lho sama Kak Haira. Salsa mau nggak jadi adik Kak Haikal?” Salsabila mengangguk tanpa berkedip. Haikal tertawa dibuatnya. "Oh iya, HARA itu nama kalian berdua?" "Iya, Tante. HA dari Haikal dan Ra Haira.""Kalau boleh tau, kapan Hara berdiri?" tanya Salwa. "Kata almarhum Papa, setelah Haira lahir. Makanya diberi nama Hara. Papa bilang kedua anaknya membawa keberkahan baginya.""Masya Allah. Kalian memang anak-anak yang beruntung. Menjadi cahaya mata bagi orang tua.""Sayangnya, Papa tidak lama menemani kami." Seketika wajah Salwa berubah. "Maaf," sesal Salwa.Haikal terkekeh. "Tidak apa, Tante. Itu sudah lam
Salwa menggeleng. “Palingan juga karena maag. Biasanya cukup minum madu dan jahe, in sya Allah,” ucapnya sambil meletakkan tangan di atas dahi. Kepalanya pun kita terasa berat. “Tapi lihat, kamu keringatan gini.”“In sya Allah, akan pulih setelah istirahat. Jangan khawatir.”“Assalamu ‘alaikum, Umi.” Salsabila muncul dengan pakaian seragam sekolah. Ia mengulurkan tangannya kepada ibunya. “Yang saleh di sekolah, ya. Ingat, Allah selalu melihat kita!” nasihat Salwa setelah menjawab salam putrinya. “In Sya Allah, Umi.”“Kalau begitu, aku mengantar Salsa dulu, ya. Nanti aku balik lagi ke sini. In Sya Allah,” ucap Salman.Salwa mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Ia memejamkan mata. Nyeri di kepalanya benar-benar tidak tertahankan. *** “Abi ga kerja?” tanya Salwa setelah menyadari Salman berada di sisinya. Salman menggeleng. Ia memiringkan badannya, lalu menyentuh dahi Salwa yang terasa sangat dingin. “Bagaimana sekarang perasaan Umi? Sudah agak baikan? Tidur Umi nyenyak sekali.”Sal
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa